2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi ekologi- sosial perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan
dijaga secara aktif. Pengembangan resiliensi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman,
pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pesisir yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan
banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan- perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan
kenaikan paras muka laut. Berbagai tekanan yang menyebabkan degradasi terhadap terumbu karang seperti pencemaran, sedimentasi, pemutihan karang
coral bleaching, gangguan predator, serta berbagai cekaman lingkungan faktor- faktor ekologi lainya merupakan hal mendasar perlu diterapkanya konsep
resiliensi ekologi-sosial eko-sosio bagi pengelolaan terumbu karang di pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi pada kawasan Teluk Kotania.
Resiliensi ekologi-sosial meliputi beragam mekanisme untuk bertahan hidup dan belajar dari kondisi yang berubah secara tiba-tiba. Resiliensi ekologi-sosial
adalah kapasitas dari sistem ekologi-sosial yang saling terkait untuk mengabsorbsi gangguan dan perubahan karena terjadinya bencana sehingga tetap mampu
mempertahankan struktur dan proses esensial yang ada serta mampu menyediakan umpan balik. Resiliensi merefleksikan tingkat kemampuan adaptif sebuah sistem
yang kompleks untuk melakukan pengorganisasian diri self-organization, sebagai lawan dari kurang terorganisir atau pengorganisasian yang dipaksakan
oleh faktor eksternal. Pengembangan resiliensi sistem ekologi-sosial merupakan kunci bagi
pembangunan yang keberlanjutan. Namun demikian, pengembangan resiliensi
sistem ekologi-sosial di negara-negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan dalam mengkaji pengelolaan
keberlanjutan di pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak. Resiliensi berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan
lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial-ekonomi serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika
yang ada di dalamnya sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM Integrated Coastal Management yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan
saat ini. Walaupun saat ini upaya penerapan teori resiliensi dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan karena masih tergolong kajian yang sangat baru, tetapi berdasarkan alasan yang disebutkan
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa teori resiliensi memiliki potensi yang sangat besar diaplikasikan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil. Perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan yang berkaitan dengan resiliensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dapat ditampilkan pada Tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1. Contoh perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan
Terumbu karang di wilayah Karibia yang telah mengalami perubahan drastis dalam dua dekade terakhir yaitu dari dominan karang keras menjadi dominan alga
lunak. Perubahan diakibatkan oleh kombinasi proses alami badai dan penyakit serta faktor manusia kelebihan tangkap dan peningkatan nutrien. Selanjutnya,
Ecosystem Type
Alternative State 1 Alternative State 2
References Freshwater
System Clear water
Turbid water Carpenter, 2001
Benthic Vegetation Blue-green algae
Scheffer et al., 2001 Oligotrophic macrophytes
and algae Cattails and blue green
algae Gunderson, 2001
Marine Systems
Hard coral Flesh Algae
Nistrom et al., 2000 Kelp forest
Urchin dominance Estes
and Duggins,
1993 Seagrass beds
Algae and muddy water Gunderson, 2001
kondisi di atas bisa berubah kembali, misalnya bila fungsi fungsi grazing terhadap alga oleh spesies ikan herbivor ditingkatkan dengan mengurangi penangkapan
terhadap jenis ikan herbivor dapat meningkatkan kembali resiliensi terumbu karang dengan menyediakan luas permukaan dasar perairan yang cukup bagi
kolonisasi kembali oleh larva terumbu karang sehingga bisa kembali ke keadaan yang didominasi oleh karang setelah terjadinya badai Nystrom and Folke 2001.
Disamping itu, perubahan degradasi sumberdaya yang dapat mempengaruhi kondisi resiliensi di wilayah pesisir juga diakibatkan oleh kegiatan overfishing.
Tekanan penangkapan ikan terhadap jaring-jaring makanan dapat menyebabkan perubahan yang besar dalam kelimpahan spesies pada berbagai tingkatan tropik.
Di Laut Hitam, overfishing berkontribusi terhadap hancurnya perikanan tangkap, meledaknya populasi ubur-ubur, peledakan populasi alga dan rusaknya komunitas
bentik. Hal yang sama terjadi di utara Laut Atlantic dan Baltic akibat pemancinganrekreasi. Dampak industri perikanan tangkap dunia terlihat dari
transisi jaring makanan di laut dari ikan-ikan tropik tinggi yang bersiklus hidup panjang menuju ke avertebrata dan plankton berukuran kecil dengan tropik rendah
dan siklus hidup pendek yang memakan ikan-ikan pelagis. Selain itu, industri perikanan juga telah menyebabkan reduksi dari kelompok fungsional dari spesies
tertentu mamalia laut, penyu, ikan karang dan memutus tingkat tropik sehingga ekosistem laut menjadi sangat rentan. Hilangnya kelompok fungsional tersebut
menyebabkan berbagai dampak diantaranya eutrofikasi, peledakan populasi alga, penyebaran penyakit, dan masuknya spesies baru di laut.
Terganggunya kestabilan sumberdaya perikanan akibat kegiatan eksploitasi yang berakibat degradasi sumberdaya yang lebih luas, sudah tentu akan
mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi suatu kawasan. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi tingkat resiliensi sosial dan ekonomi masyarakat
yang memiliki hubungan ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, badai dan topan yang menimbulkan dampak bagi masyarakat di seluruh dunia, berupa kehilangan tempat tinggal, kematian dalam skala masif,
serta dampak tidak langsungnya terhadap ekosistem pesisir seperti terumbu karang, lamun dan mangrove yang mendukung kehidupan sosial dan ekonomi
lokal. Saat ini banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi badai.
Di Karibia, respon terhadap badai dan efektivitasnya tergantung pada resiliensi ekologi-sosial-ekonomi. Sebagai contoh, di Pulau Cayman telah
diimplementasikan aksi
pada tingkat
nasional dan
lokal, membangun
kesiapsiagaan dan resiliensi komunitas, dan kemudian terjadi tiga kali badai besar, yaitu Gilbert pada tahun 1998, Mitch pada tahun 1998, dan Michelle pada tahun
2000. Resiliensi pulau tersebut kemudian diuji lagi oleh topan Ivan pada tahun 2004, yang menunjukkan peningkatan. Evaluasi terhadap berbagai komponen aksi
yaitu adaptasi dan perubahan aturan dan kebijakan terhadap resiko bencana, perubahan kelembagaan, penyiapan sistem peringatan dini, dan pengembangan
pengetahuan untuk
memobilisasi diri.
Selanjutnya pembelajaran
sosial, keberagaman adaptasi, dan pengembangan kohesi sosial yang kuat serta
mekanisme aksi kolektif menunjukkan peningkatan resiliensi terhadap bencana. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa resiliensi ekologi-sosial terhadap
bencana pesisir dapat ditingkatkan dengan melibatkan berbagai tindakan yang membutuhkan agen manusia. Keterbukaan terhadap bahaya juga dapat dikurangi
melalui intervensi aturan atau norma dalam pemanfaatan wilayah pesisir. Resilliensi pada sistem ekologis-sosial memiliki berbagai mekanisme untuk
menghadapi perubahan dan krisis. Dalam ekosistem, biodiversitas, redundansi fungsional,
dan pola
spasial semuanya
dapat mempengaruhi
resiliensi. Biodiversitas memperkuat resiliensi bila spesies atau kelompok fungsional
merespon secara berbeda terhadap fluktuasi lingkungan, sehingga penurunan jumlah dalam satu kelompok dikompensasi oleh kenaikan pada kelompok lainnya.
Heterogenitas spasial juga akan memperkuat resiliensi bilamana area pengungsian menyediakan sumber-sumber bagi koloni untuk merepopulasi wilayah yang rusak.
Sesuai dengan itu, dalam sistem sosial, tatanan dan kerangka pengelolaan dapat menyebarkan resiko
melalui pendiversifikasian pola pemanfaatan sumberdaya dengan mendorong dilakukannya kegiatan dan gaya atau pola hidup alternatif,
praktek seperti ini akan mempertahankan kelestarian jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan.
2.2. Konsep Resiliensi Dalam Kaitan Dengan Sistem Ekologi-Sosial