5.6 . Implikasi Kebijakan Resiliensi Eko-Sosial Dalam Pengelolaan Terpadu
Terumbu Karang di Teluk Kotania
Implementasi model resiliensi ekologi-sosial sangat dibutuhkan bagi tercipatanya pengelolaan terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan.
Tingginya tingkat resiliensi ekologi-sosial menandakan kondisi terumbu karang memiliki
kesempatan yang
cukup dalam
proses pertumbuhan
dan perkembangannya. Sebaliknya jika tingkat resiliensi ekologi-sosial rendah
menunjukan terumbu karang dalam kondisi kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan rentan kehilangan daya resiliensinya. Untuk itu model
resiliensi ekologi-sosial resiliensi eko-sosio pengelolaan terumbu karang yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya hendaknya dapat di terapkan
beradasarkan asumsi-asumsi tingkatan resiliensi yang dapat menjelaskan kualitas resiliensi ekologi-sosial. Untuk itu, implikasi kebijakan dari konsep ini secara
umum diperlukan
dalam bentuk
regulasi secara
partisipatif dengan
mempertimbangkan sistim
nilai budaya
masyarakat setempat
yang dikombinasikan dengan aturan-aturan adat seperti sasi, dan program penyadaran
masyarakat tentang pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan biota di sekitarnya.
Implikasi kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berbasis resiliensi ekologi-sosial hendaknya dapat dipadukan dengan arahan yang tertuang
dalam UU No. 27 Tahun 2007 yang menghendaki pengelolaan pesisir dan pulau- pulau kecil terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai
dengan peruntukan kawasan. Berdasarkan hal tersebut, maka secara khusus implikasi kebijakan
pengelolaan terumbu karang hendaknya mengacu pada konsep resiliensi ekologi- sosial dan regulasi yang sudah ada. Dengan demikian terdapat dua landasan yang
dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan terumbu karang terpadu di Teluk Kotania. Pertama, berdasarkan lokasi dengan kelas resiliensi
tinggi dengan nilai indeks resiliensi ekologi-sosial 0.4 yang dalam analisis gerombolpengelompokan dikategorikan sebagai cluster pengelolaan 1. Lokasi
yang masuk dalam kategori ini adalah high resilient st3, st7, st10, st11 dan midle resilient st5, st9, st19.
Kedua, berdasarkan lokasi dengan kelas resiliensi ekologi-sosial rendah nilai indeks resiliensi ekologi-sosial 0.4 yang mencakup
low resilient dan very low resilient, yang dalam analisis gerombol dipetakan menjadi 2 cluster pengelolaan yaitu cluster pengelolaan dengan indeks resiliensi
ekologi-sosial 0.21-0.4, cluster ini selanjutnya disebut sebagai cluster pengelolaan dengan tingkat resiliensi rendah, dan cluster pengelolaan dengan indeks resiliensi
ekologi-sosial 0.21 yang selanjutnya disebut sebagai cluster pengelolaan 3
dengan tingkat resiliensi sangat rendah. Pengelolaan setiap cluster pengelolaan semaksimalkan mungkin harus dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kesejahteraan adalah hal penting dari hasil pengelolaan ekosistem yang efektif. Peran peneliti, praktisi, dan
pembuat kebijakan dituntut mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu lintas sektoral dengan pelibatan multi-pihak sebagai langkah strategi
menciptakan tata kelola yang dapat menciptakan pengelolaan ekosistem berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Brown et al.
2001, Brown 2007, Waltner-Toews 2004 dan Soskolne et al. 2007 dalam Bunch M.J. 2011 .
5.6.1. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio tinggi Kebijakan pengelolaan terumbu karang pada kategori ini mencakup lokasi
st3, st7, st10, st11 dan midle resilient st5, st9, st19. Implikasi kebijakan pengelolaan hendaknya dapat diarahkan pada usaha perlindungan ekosistem
terumbu karang dan pengaturan aktifitas di sekitar terumbu karang. Implikasi kebijakan tersebut akan memberikan peluang dan kesempatan bagi terumbu
karang dalam proses pemulihan diri yeng lebih baik. Jika kegiatan penangkapan ikan di areal terumbu karang tetap dilakukan maka terdapat dua langkah yang
harus dipertimbangkan. Pertama, pada wilayah ini diperlukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Jika
pengawasan tidak dilakukan maka dikuatirkan aktifitas perikanan di areal terumbu karang akan menyebabkan tekanan terhadap terumbu karang akan semakin tinggi,
dan tentunya menurunkan daya resiliensi terumbu karang. Langkah ini perlu dilakukan untuk menghindari tingkat eksploitasi yang berlebihan pada areal
terumbu karang tersebut. Kedua, menjadikan areal ini sebagai zona inti
pengelolaan ekosistem
terumbu karang.
Langkah ini
diperlukan untuk
mengembalikan dan memulihkan kondisi resiliensi terumbu karang. Jenis aktifitas penangkapan ikan hanya diperuntukan untuk kegiatan memancing dengan tingkat
tekanan rendah terhadap terumbu karang, sehingga tersedia kesempatan yang lebih besar bagi terumbu karang untuk memulihkan diri secara alami.
5.6.2. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio rendah Cluster pengelolaan ini mencakup st2, st4, st6, st13, st14, dan st17.
Kebijakan pengelolaan terumbu karang dengan kategori resiliensi rendah ini dapat dilakukan dengan dua terobosan. Pertama, mengembangkan skenario tiga
alternatif mata pencaharian seperti yang telah dijelaskan sesuai dengan peruntukan keahlian masyarakat. Kedua, menjadikan kawasan ini sebagai zona pemanfaatan
bersyarat. Kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif tetap dilakukan disertai dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi terumbu karang di sekitar
areal pengembangan
jenis mata
pencaharian masyarakat
dengan sistem
partisipatif. Pada zona ini, pengembangan kerambah jarring tancap sebaiknya dilakukan pada areal-areal dengan tingkat kerusakan terumbu karang tinggi yang
pada umumnya terdapat pada kedalaman 2 meter sampai 4 meter. Kegiatan
rehabilitasi dapat dilakukan disekitar areal budidaya rumput laut dan kerambah jaring tancap, namun untuk kerambah jaring tancap kegiatan rehabilitasi juga
dapat dilakukan di dalam areal kerambah dengan sistem spot-spot. Pelatihan transplantasi karang merupakan pengetahuan penting bagi
masyarakat yang menjadi target skenario pengembangan tiga mata pencaharian aternatif.
5.6.3. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio sangat rendah Kebijakan pengelolaan terumbu karang pada cluster ini mencakup seluruh
stasiun yang berada dalam tingkatan very low resilient yaitu st1, st8, st12, st15, st16, dan st18. Strategi kebijakan yang dapat diterapkan pada cluster pengelolaan
ini yaitu menetapkan kawasan ini sebagai zona rehabilitasi terumbu karang. Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan dengan sistem lelang nilai. Seluruh
stakeholders yang beraktifias disekitar ekosistem terumbu karang diajak bersama dan menilai serta melakukan negosiasi tentang nilai-nilai yang akan menjadi
kesepakatan bersama dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pelibatan masyarakat dalam proses rehabilitasi adalah hal penting dalam strategi manajemen
dalam memperbaiki kondisi terumbu karang yang telah rusak dan sekaligus sebagai upaya meningkatkan resiliensi terumbu karang.
Aktivitas-aktivitas penelitian tentang teknik-teknik transplantasi karang dapat dijadikan sebagai program andalan pada zona ini, dengan harapan akan
tercipta suatu teknik transplantasi karang yang dapat menjamin presentasi hidup terumbu karang yang lebih baik sesuai dengan kondisi setempat. Selain itu,
program rehabilitasi dengan konsep ekowisata dan sistem adopsi koloni terumbu karang dapat dijadikan sebagai desain program rehabilitasi yang dinilai sesuai
untuk kondisi Teluk Kotania. Keberadaan zona ini sangat penting dalam mengembalikan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi tinggi
menjadi komunitas yang kembali pulih dan sehingga memungkinkan terjadi perubahan zona yang awalya menjadi zona rehabilitasi meningkat menjadi zona
pemanfaatan atau zona lain dengan kualitas terumbu karang yang lebih baik dari zona sebelumnya.
Perencanaan pada zona ini hendaknya dilakukan secara detail dengan memperhitungkan berbagai aspek guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk
itu, zona ini memerlukan desain program yang bersifat jangka pendek dan jangka menengah. Evaluasi keberhasilan dari setiap program hendaknya dilakukan rutin
dan dijadwalkan dengan baik sehingga program rehabilitasi yang telah ditetapkan mencapai hasil maksimal.
Mengingat topografi dasar perairan Teluk Kotania yang dangkal dengan reef flat yang berbentuk relung, maka kegiatan rehabilitasi
sebaiknya dilakukan pada areal perairan yang dalam terlebih dahulu kemudian disusul areal perairan yang dangkal. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar
areal terumbu karang yang berada pada perairan dangkal tidak terinjakrusak dan mempermudah proses rehabilitasi akibat cuaca yang tidak memungkinkan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN