Kajian Penerapan Sistem Low External Input Agriculture

48

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.

Penerapan Sistem Low External Input Agriculture Penerapan sistem agroekologi di Desa Pasir Honje dan Desa Cidokom belum murni penerapan agroekologi. Namun, kegiatan pertanian yang dilakukan di kedua desa ini lebih cenderung pada penerapan sistem Low External Input Agriculture LEIA. Penerapan sistem LEIA ini dilakukan petani dengan kegiatan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia, kegiatan menjaga kualitas lingkungan dengan memanfaatkan pengetahuan lokal, dan mempertahankan tradisi yang ada.

6.1.1. Kajian Penerapan Sistem Low External Input Agriculture

Perkembangan sistem pertanian di Indonesia mengalami berbagai masalah salah satunya adalah ketidakberdayaan petani kecil yang mempunyai keterbatasan sumberdaya untuk menyerap teknologi. Sehingga, petani sering tidak mengikuti perkembangan teknologi dalam hal untuk meningkatkan hasil. Sama halnya yang terjadi pada penerapan sistem LEIA di Kabupaten Bogor. Sistem LEIA yang diterapkan di Kabupaten Bogor tidak mudah dilakukan oleh petani, karena sifat ketergantungan petani pada pupuk kimia. Serta kondisi petani yang berlatar belakang pendidikan yang relatif rendah dan pada umumnya berumur di atas 51 tahun yang menyebabkan petani sulit untuk menyerap suatu sistem yang baru. Hal ini dikarenakan, petani lebih cenderung belajar dari pengalaman, pengetahuan yang lalu dan lebih berorientasi pada hasil produksi yang tinggi tanpa peduli dengan keadaaan lingkungan atau kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang semakin menurun menyebabkan produktivitas lahan 49 semakin turun, yang berimplikasi juga pada produksi pangan secara global terutama negara Indonesia sendiri. Menurunnya produktivitas pangan, memberikan rangsangan kepada pemerintah dan pihak pemerhati pertanian lainnya untuk melakukan inovasi- inovasi baru agar dapat meningkatkan produktivitas pangan nasional dan menyelamatkan lingkungan atau ekologi dari kerusakkan akibat aktivitas pertanian. Penyelamatan lingkungan dan peningkatan produksi pertanian dimulai dengan mengurangi penggunaan input eksternal. Penggunaan input eksternal yang rendah dapat menjaga stabilitas ekologi dan kondisi lingkungan, terutama kesuburan tanah yang sangat berpengaruh pada hasil produksi. Penerapan penggunaan input eksternal yang rendah telah dilakukan di beberapa daerah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Kabupaten Bogor. Penerapan LEIA di Kabupaten Bogor merupakan percontohan bagi daerah-daerah lain, sehingga apabila ada perbaikan kualitas lingkungan dan peningkatan produktivitas di Kabupaten Bogor maka penerapan yang sama dapat dilakukan di daerah lain. Penerapan LEIA di Kabupaten Bogor Pasir Honje dan Cidokom sebenarnya telah dilakukan dari dulu oleh petani berdasarkan pengetahuan lokal. Namun, petani belum mengetahui bahwa kegiatan yang telah mereka lakukan merupakan penerapan LEIA. Adapun contoh penerapan LEIA yang telah dilakukan oleh petani adalah sebagai berikut: 1. Perawatan Tanah Sebagian besar petani Pasir Honje dan Cidokom merawat tanah untuk tetap menjaga kesuburan tanah masih menggunakan pupuk kimia dan pestisida. 50 Namun, penggunaan pupuk kimia ini sudah berkurang dari sebelum mereka menerapkan LEIA. Pengurangan penggunaan pupuk kimia sekitar 170 kgha per tahun. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida di Pasir Honje masih lebih banyak dibandingkan di Cidokom. Petani di Cidokom telah melakukan pengurangan penggunaan pupuk kimia lebih banyak karena sumber input pupuk kandang yang tersedia di Cidokom lebih banyak dan terjangkau oleh petani. Selain pupuk kimia dan pupuk kandang, petani juga menggunakan pupuk alami seperti daun bambu yang dibakar untuk dijadikan pupuk, kotoran kerbau dan kotoran kambing yang dijadikan sebagai pupuk kandang, penggunaan pupuk dari jerami yang dilapisi dengan kotoran ayam, dan penggunaan abu dari kayu bakar. Pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani untuk menjaga kesuburan tanah masih menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan kerbau dalam proses pembajakan. Penggunaan kerbau ini menggambarkan pengurangan pemakaian energi bahan bakar dibandingkan dengan penggunaan traktor yang biasa dilakukan petani sekarang. Selain itu, petani juga melakukan pergantian tanaman antara lain tanaman kacang-kacangan dan jagung yang dapat mengikat nitrogen sehingga dapat mempertahankan unsur hara tanah. Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei 2010 Gambar 4. Perawatan Tanah Secara Tradisional dengan Menggunakan Kerbau 51 Perawatan tanah yang dilakukan petani di lokasi penelitian memiliki kesamaan dengan perawatan tanah yang dilakukan petani di Zaachilla dan Meksiko. Persamaan kegiatan yang dilakukan petani di Zaachilla dan Meksiko seperti menggunakan pupuk alami untuk meningkatkan unsur hara tanah. Pupuk alami yang digunakan oleh petani di Zaachilla dan Meksiko adalah dengan memanfaatkan sampah semut sebagai pupuk tanaman seperti tomat, cabe, dan bawang wilken, 1987 dalam Reijntjes et al., 1999. Selain itu, petani di Senegal juga melakukan kegiatan yang sama seperti kegiatan yang dilakukan petani di lokasi penelitian yaitu memanfaatkan tanaman lain sebagai pengikat nitrogen. Namun, penggunaan jenis tanaman yang berbeda, di lokasi penelitian tanaman yang digunakan sebagai pengikat nitrogen adalah tanaman kacang-kacangan kacang panjang dan jagung yang akarnya mengandung polong. Namun, di Senegal petani memanfaatkan tanaman akasia sebagai pengikat nitrogen dari udara sehingga menyuburkan tanah dan meningkatkan hasil panen OTA, 1988 dalam Reijntjes et al., 1999. 2. Penangkaran Benih Penangkaran benih yang dilakukan petani umumnya dilakukan sendiri oleh petani, hal ini dilakukan karena dapat memperkecil biaya yang harus dikeluarkan petani per musimnya. Benih awal biasanya diperoleh petani dengan cara membeli, kemudian untuk musim tanam berikutnya petani memilih hasil panen yang dianggap bagus untuk dijadikan benih. Namun, benih yang diambil dari hasil panen hanya dapat digunakan untuk tiga musim tanam, selanjutnya petani membeli benih lagi atau melakukan pertukaran pada petani lain yang hasil panennya masih baik untuk dijadikan benih. 52 Sama halnya penangkaran benih padi yang dilakukan oleh petani di Filipina, petani melakukan penangkaran benih sendiri karena petani menginginkan hasil panen yang tinggi, mengurangi pengeluaran dan menjaga varietas asli yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Penangkaran benih dilakukan dengan memilih hasil panen yang masih bagus dan sesuai karakter khusus untuk dapat dijadikan benih Reijntjes et al., 1999. 3. Pengendalian Hama Pertanian yang ekologis dan sehat seharusnya mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida alami. Penggunaan pestisida alami yang dilakukan oleh petani di Pasir Honje dan Cidokom biasanya dilakukan sesuai dengan hama yang menyerang. Hama yang menyerang tanaman sesuai dengan jenis tanamannya. Tanaman padi biasanya diserang oleh hama wereng, hama ini merupakan hama yang paling sulit untuk dimusnahkan dan belum ditemukan juga bahan alami yang dapat memusnahkan hama tersebut, sehingga petani masih menggunakan pestisida kimia akodan, purudan untuk membasmi hama tersebut. Padi juga diserang oleh hama tikus, hama ini dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida alami yaitu menggunakan daun pandan, dengan cara daun pandan yang telah diiris kemudian disebar ke sawah. Selain itu ada juga hama walang sangit, hama ini dapat dikendalikan dengan menggunakan daun sirsak yang ditumbuk dan dicampur dengan air. Selain itu, untuk hama yang menyerang tanaman kayu-kayuan, cabe, bayam, kangkung petani masih menggunakan pestisida kimia. Selain itu, petani di lokasi penelitian juga menggunakan pengetahuan lokal dalam mengendalikan hama. Pengetahuan lokal yang dimanfaatkan petani misalnya informasi tentang waktu tanam yaitu 53 menggunakan bulan jawa setiap tanggal 18 bulan jawa dengan perhitungan ini diharapkan dapat mengurangi serangan hama dan meningkatkan hasil. Cara pengendalian hama yang dilakukan di Pasir Honje dan Cidokom belum sepenuhnya lepas dari input eksternal atau penggunaan pestisida. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang pestisida alami yang dapat digunakan oleh petani. Berbeda halnya dengan petani yang ada di Filipina, bahwasannya petani di Filipina telah mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang cara pengendalian tiap-tiap jenis hama yang menyerang tanaman. Adapun contoh kegiatan yang dilakukan petani di Pilipina yaitu menggunaan air seni lembu yang ditampung dan dibiarkan dua minggu di dalam air, kemudian disemprotkan ke hama penggerek batang pada jagung. Selain itu, petani juga melakukan tanaman tumpangsari yang dapat memberikan efek positif untuk mengurangi hama serangga, penyakit, dan gulma. Hama juga dapat dijebak dengan tanaman perangkap dan tanaman pengumpan Reijntjes et al., 1999. 4. Sistem Pengaturan Air Ketersediaan air sangat berpengaruh pada produksi tanaman. Sehingga diperlukan sistem pengaturan air yang baik untuk melestarikan air yang tersedia dan mengatur air yang berlebihan dari sawah. Sistem pengaturan air di tempat penelitian tidak menggunakan sistem irigasi, melainkan memanfaatkan air yang bersumber dari gunung, air hujan, dan air sungai. Pemanfaatan air yang merupakan “common resources” dilakukan dengan baik oleh masyarakat yaitu dengan cara membuat parit secara bersama-sama sebagai tempat aliran air dan kemudian air dialirkan ke setiap sawah. Air bukan merupakan sumberdaya yang 54 sulit diperoleh oleh petani, karena lokasi ini berada di kawasan gunung kapur yang menyediakan aliran air yang cukup untuk pertanian. Berbeda halnya dengan di negara-negara luar yang mempunyai iklim panas, sehingga pengaturan air untuk pertanian harus diperhatikan. Adapun cara- cara yang dilakukan oleh petani luar seperti Afrika, yaitu melakukan penampungan air, penyimpanan air, pemanfaatan air banjir, membuat garis kontur pengahalang tembus air yang tersusun dari batu, batang, ranting atau bahan organik lainnya. Selain itu petani di Sri Lanka, Thailand, Filipina, Nepal, Burma melakukan konservasi kelembaban tanah dengan rumput vitiver. Rumput ini dapat menghentikan erosi lapisan, dapat mengkonsentrasikan aliran air sungai, memperlambat arus air, menyebarkan atau meratakan air Reijntjes et al., 1999.

6.1.2. Keberlanjutan Sistem Low External Input Agriculture