Analisis Finansial dan Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut UU Pokok Kehutanan No. 41 tahun 1999, hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Berdasarkan manfaatnya, hutan rakyat dibagi menjadi hutan yang berwujud dan tidak berwujud. Dalam hutan rakyat, manfaat berwujud yang dapat dirasakan oleh masyarakat khususnya petani hutan adalah manfaat yang berbentuk kayu, rotan, getah, daun dan sebagainya. Manfaat tidak berwujud dapat berupa jasa lingkungan, pemandangan, pendidikan, plasma nutfah dan lain-lain.

Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabkan kerusakan dan menurunnya produktifitas sumberdaya hutan (Attar, 2000). Salah satu alternatif pemecahan masalah ini adalah dengan pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan yang tidak produktif terutama di luar Pulau Jawa atau dengan alternatif lainnya adalah pembangunan hutan rakyat di Pulau Jawa juga di luar Pulau Jawa (Attar, 2000).

Hutan rakyat sebagai suatu pendekatan pembangunan kehutanan juga berdimensi pada kelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga perlu dikembangkan dengan lebih baik. Waluyo (2003) menyatakan alasan-alasan lain yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain :

1. Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.

2. Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosial ekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah dan air).

3. Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal bentuk-bentuk hutan rakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi, pengelolaan maupun


(2)

pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.

4. Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).

5. Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkan menjadi untuk hutan rakyat.

Hasil dari kegiatan pembangunan hutan rakyat selain secara ekologis dapat mendukung lingkungan, dapat pula dihasilkan kayu rakyat yang saat ini telah berkembang menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik dan dirasakan oleh masyarakat bahwa usaha ini dapat memberikan tambahan pendapatan (Prabowo, 2000). Sehubungan dengan hal diatas maka perlu dicari sistem pengelolaan hutan rakyat yang memberikan manfaat optimal, yang mampu memberikan produksi kayu yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan petani, dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi hutan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh peneliti, sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang banyak ditanaman di hutan rakyat Desa Pasir Madang. Hasil dari hutan rakyat tersebut nantinya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Penghasilan yang diperoleh dari hutan rakyat dapat dianggap penting walaupun jumlahnya tidak besar apabila dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang bersangkutan baik dari segi waktu dan jumlah.

1.2. Rumusan Masalah

Pemanfaatan lahan dengan sistem hutan rakyat di Desa Pasir Madang memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani setempat. Keberadaan ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sumber pendapatan, baik sumber pendapatan utama maupun sumber pendapatan tambahan.


(3)

Kajian mengenai kontribusi hutan rakyat terhadap kesejahteraan petani hutan rakyat serta pola atau sistem bertanam pada hutan rakyat yang diterapkan oleh petani setempat menjadi dibutuhkan guna mengetahui seberapa besar keberadaan hutan rakyat tersebut memberikan kontribusinya terhadap rumah tangga petani. Dengan semakin besar kontribusinya akan menjadi pendorong minat dan usaha masyarakat untuk terus mengembangkan hutan rakyat.

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Berapa besar kontribusi hutan rakyat di Desa Pasir Madang terhadap ekonomi rumah tangga petani setempat?

2. Pola atau sistem hutan rakyat seperti apa yang diterapkan petani setempat?

3. Motivasi apa yang melatar belakangi petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat terutama untuk pengembangan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria)?

1.3 Kerangka Pemikiran

Kerusakan hutan di Indonesia sangat memprihatinkan dan telah mengurangi luasan hutan yang produktif. Kerusakan tersebut disebabkan oleh eksploitasi sumberdaya hutan yang kurang memperhatikan azas-azas kelestarian demi memenuhi kebutuhan akan bahan baku bagi industri kayu di Indonesia yang terus meningkat. Berkurangnya pasokan bahan baku serta tingginya permintaan akan bahan baku kayu menyebabkan harga kayu menjadi semakin tinggi (Suryandari, 2008). Kondisi tersebut sebenarnya merupakan peluang yang baik bagi perkembangan hutan rakyat di Indonesia. Disamping untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku kayu, usaha hutan rakyat juga berperan dalam upaya peningkatan pendapatan petani.

Berangkat dari kedua hal tersebut maka studi mengenai kontribusi kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan sangat menarik untuk diteliti sehingga perlu dilakukan penelitian guna mengetahui lebih jauh mengenai kegiatan pengelolaan hutan rakyat sebagai alat pemenuhan kebutuhan dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani di Desa Pasir Madang. Selain itu menjadi penting untuk mengetahui pola atau sistem hutan rakyat yang


(4)

diterapkan oleh petani setempat. Hal ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani setempat. Serta motivasi petani yang melatar belakangi petani dalam melakukan jenis usaha hutan rakyat ini. Kerangka pemikiran ini disajikan dalam diagram alur pada gambar 1, sebagai berikut :

Gambar 1.Kerangka pemikiran

1.4. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kontribusi hutan rakyat di Desa Pasir Madang Kecamatan Sukajaya terhadap pendapatan rumah tangga petani setempat.

2. Mengetahui pola pengelolaan hutan rakyat yang diterapkan oleh petani di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. 3. Mengetahui motivasi yang melatar belakangi petani hutan rakyat dalam

pengelolaan hutan rakyat terutama untuk pengembangan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria).

Hutan Rakyat Monokultur

Hutan Rakyat Campuran (Agroforestri)

Hasil Hutan Rakyat Penerapan Pola

Hutan Rakyat?

Besarnya Kontribusi? Kesejahteraan Petani

Hutan Rakyat Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan

Hutan Rakyat

Motivasi yang Melatar Belakangi Petani? Rumah Tangga Petani


(5)

1.5. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kontribusi hutan rakyat terhadap rumah tangga petani dan informasi pola pengelolaan hutan rakyat yang diterapkan oleh petani setempat dalam usaha pemenuhan kebutuhan sesuai dengan keberadaan dan prinsip kelestarian hutan.


(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Rakyat

2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat

Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hal ini menunjukan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang telah dibebani hak milik, dan tidak diusahakan pada tanah negara. Tetapi lebih menekankan pada kepemilikan lahan.

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50 %), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. (SK Menteri Kehutanan Nomor 49/KPTS-II/1997).

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.03/MENHUT-V/2004, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimun 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %.

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran, baik yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah (Hayono, 1996).

Kamus Kehutanan (1990) dalam Awang (2001), hutan rakyat adalah hutan yang terdapat pada lahan milik rakyat atau milik adat (ulayat) yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman.

2.1.2. Ciri-ciri Hutan Rakyat

Dalam usaha pengembangan hutan rakyat sampai saat ini, dapat dinyatakan bahwa usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar, tetapi juga tidak pernah mati. Usaha hutan rakyat ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :


(7)

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10 % dari pendapatan total (Suharjito 2000).

2.1.3. Pola Hutan Rakyat

Anonim dalam Budiharto (2003), menyebutkan bahwa hutan rakyat tersusun atas jenis-jenis vegetasi yang sangat beragam. Dominasi dari setiap jenis akan menentukan pola hutan rakyat yang ada. Berdasarkan jenis yang mendominasi ruang tumbuh, hutan rakyat dapat diklasifikasikan menjadi 6 pola yaitu :

1. Pola tanaman pangan, hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman pangan. 2. Pola silvopastur, hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman yang dapat

menghasilkan pakan ternak/hijauan makanan ternak.

3. Pola kayu bakar, hutan rakyat ini didominasi oleh jenis pohon-pohonan yang kayunya menghasilkan energi.

4. Pola hortikultura, hutan rakyat jenis ini didominasi oleh jenis tanaman buah-buahan.

5. Pola perdagangan/industri, hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman kayu perdagangan.

6. Pola kayu-kayuan, hutan rakyat ini didominasi oleh kayu-kayuan yang bisa menghasilkan bahan bangunan kayu perkakas.

2.1.4. Peranan Hutan Rakyat

Djajapertjunda (2003) menyatakan bahwa hutan rakyat adalah sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon-pohon sebagai jenis utamanya, maka peranannya pun tidak banyak berbeda, yaitu :


(8)

a. Ekonomi : untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan jaringan ekonomi rakyat.

b. Sosial : guna membuka lapangan kerja

c. Ekologi : Sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap CO2 dan produsen O2).

d. Estetika : memberikan keindahan alam.

e. Sumber : merupakan sumberdaya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain ilmu biologi, ilmu lingkungan dan lain-lain.

2.1.5. Pengelolaan Hutan Rakyat

Lembaga Penelitian IPB (1990) menyatakan bahwa kerangka dasar pengelolaan hutan rakyat melibatkan beberapa sistem, yaitu sistem produksi, sistem pengelolaan hasil dan sistem pemasaran hasil. Sistem produksi mengatur agar tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah, jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sedangkan sistem pemasaran hasil mengatur tingkat penjualan yang optimal yaitu keadaan dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual di pasaran. Dalam pengelolaan hutan rakyat, pada umumnya sistem silvikultur yang baik, seperti penggunaan bibit, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan belum sepenuhnya diterapkan, sehingga pertumbuhan pohon dan mutu yang dihasilkan kurang baik.

Menurut Awang (2001), dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat yaitu :

1. Hutan rakyat monokultur

Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada hutan ini cenderung tidak ada tanaman pangan di dalam hutan rakyat.

2. Hutan rakyat campuran

Hutan rakyat ini ditumbuhi lebih dari satu jenis tanaman. Pada hutan ini mungkin ditanami tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran (agroforestry).


(9)

Lundgren dan Raintree (1982) mendefinisikan agroforestri sebagai istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

2.2. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat

Menurut Kartasubrata (1986), pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan dan pendapatan non-kehutanan. Pendapatan kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan, sedangkan pendapatan non-kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di luar kehutanan.

Mubyarto (1998) menyatakan pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga, baik suami, istri maupun anak. Menurut Sayogyo (1982) dalam Kusumaningtyas (2003), pendapatan rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Pendapatan dari usaha bertani.

b. Pendapatan yang mencangkup usaha bertanam padi, palawija, dan kegiatan pertanian lainnya.

c. Pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan termasuk sumber-sumber mata pencaharian di luar pertanian.

Beragam alternatif dapat digunakan untuk menentukan garis kemiskinan antara lain : konsumsi beras (kg per orang), konsumsi sembilan bahan pokok, pengeluaran rumah tangga (Rp per orang), konsumsi kalori dan protein (orang per hari). Garis kemiskinan mempunyai ciri-ciri yaitu spesifikasi atas tiga garis

kemiskinan yang mencangkup konsepsi “nilai ambang kecukupan”,

menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Untuk kehidupan di pedesaan ada tiga klasifikasi yaitu :


(10)

1. Miskin, dikatakan miskin apabila pengeluaran rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/orang/tahun.

2. Miskin sekali, pangan tak cukup, jika pengeluaran dibawah 240 kg nilai tukar beras/orang/tahun.

3. Paling miskin, dapat digolongkan ke dalam paling miskin jika pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/orang/tahun (Sajogyo 1977 dalam Indaryanti dkk 2006).

Sajogyo dalam Sitorus dkk (1996) menyatakan. Lapisan pengeluaran rumah tangga di desa, 240-320 kg nilai tukar beras/orang/tahun disebut “ambang

kecukupan”, sedangkan untuk kota angka-angka tersebut sebesar 360-480 kg nilai tukar beras/orang/tahun.

2.3. Motivasi Petani dalam Penanaman Hutan Rakyat

Maslow (1999) dalam Puspita (2006) menyatakan bahwa dalam arti tertentu setiap keadaan organisme apapun merupakan suatu keadaan motivasi. Teori motivasi yang sehat menganggap motivasi sebagai suatu hal yang konstan, tiada akhir, berubah-ubah dan kompleks, dan merupakan sesuatu yang hampir universal dari setiap keadaan organisme.

Dalam penelitiannya Nurozi (1993) menyatakan bahwa motivasi petani adalah proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara persepsi, kebutuhan, sikap, keputusan, dan sebagainya yang terjadi pada diri petani.

2.4. Penelitian Terdahulu

Berikut adalah beberapa penelitian-penelitian mengenai hutan rakyat yang telah dilakukan dari tahun 2007-2011 yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Penelitian-penelitian terdahulu

Peneliti Rata-rata Pendapatan Hutan

Rakyat (Rp. Jt/thn) Kontribusi (%) Tahun

Handoko, AD 2,183833 6,12 2007

Rachman 6,933274 60,6 2008

Sultika 7,928117 33,02 2009

Rachman, RM 18,010221 79,5 2010

Firani, SD 13,978565 69,93 2011

Pambudi, RA

Kelas 1 4,525556 22,9

2012

Kelas 2 9,8 29,1

Kelas 3 20,55 61,5


(11)

Penelitian mengenai hutan rakyat yang dilakukan Handoko (2007) di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur menyimpulkan bahwa kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan total rumah tangga adalah 6,12% dengan pendapatan rata-rata dari hutan rakyat sebesar Rp. 2.183.833,-/tahun. Komoditas yang diusahakan adalah jati dengan mayoritas dikelola dengan menggunakan sistem monokultur.

Rachman (2008) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa hasil usaha hutan rakyat di Desa Sukadamai, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat memberikan kontribusi sebesar 60,6% dari pendapatan total rumah tangga dengan pendapatan rata-rata dari hutan rakyat sebesar Rp. 6.933.274,-/tahun.

Sultika (2009) dalam penelitiannya di Desa Sidamulih, Kecamatan Pamarican dan Desa Bojong, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa kontribusi hutan rakyat adalah sebesar Rp. 7.928.117,-/tahun atau sebesar 33,02% dari total pendapatan rumah tangga.

Menurut penelitian Rachman (2010) yang dilakukan di Desa Cigudeg, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menyimpulkan bahwa hutan rakyat memberikan kontribusinya sebesar 79,5% dari pendapatan total rumah tangga dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 18.010.221,-/tahun. Komoditas yang menjadi andalan di daerah penelitian ini adalah buah-buahan seperti durian, petai, jengkol, dan pisang.

Penelitian mengenai hutan rakyat yang dilakukan Firani (2011) di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat menyimpulkan bahwa kontribusi kayu hutan rakyat terhadap pendapatan total rumah tangga adalah 59,58% dengan pendapatan rata-rata dari hutan rakyat sebesar Rp. 12.004.861,-/tahun dengan komoditas yang diusahakan adalah suren, mahoni dan mindi. Selain itu pada penelitian ini petani juga memperoleh manfaat dari hasil hutan non kayu hutan rakyat dari tanaman-tanaman perkebunan seperti vanili, cengkeh dan lada sebesar 10,35% dari pendapatan total Rp 1.973.704,-/tahun.

Pada penelitian ini menunjukkan hasil rata-rata pendapatan hutan rakyat responden pada masing-masing kelas. Untuk pendapatan hutan rakyat pada kelas


(12)

1 sebesar Rp. 4.525.556,-, pada kelas 2 sebesar Rp. 9.800.000,-, pada kelas 3 sebesar Rp. 20.550.000,- dan pada kelas 4 sebesar Rp. 44.940.000,-. Dapat dilihat bahwa hutan rakyat dalam perjalanannya ini semakin menampakkan perannya. Kontribusinya cukup besar terutama dalam usaha peningkatan pendapatan rumah tangga petani secara langsung.


(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Mei 2012 dan bertempat di hutan rakyat Desa Pasir Madang, Kec. Sukajaya, Kab. Bogor, Jawa Barat.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah : 1. Kuisioner

2. Alat tulis

3. Data-data sekunder 4. Kalkulator

5. Laptop

6. Software Microsoft Excel 2007 7. Software Minitab 14

8. Kamera digital

3.3. Batasan-batasan Operasional

Untuk memberikan pengertian dan persepsi yang seragam atas pengelolaan hutan rakyat di dalam skripsi ini, maka diberikan batasan-batasan sebagai berikut :

a. Hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah dan ditanami pohon-pohon berkayu, baik yang terdiri dari satu jenis tanaman (monokultur), maupun campuran yang ditanam dengan tanaman pertanian atau tanaman palawija.

b. Petani hutan rakyat adalah petani yang memiliki dan menggarap lahan hutan rakyat.

c. Pendapatan hutan rakyat adalah seluruh pendapatan yang diperoleh rumah tangga petani untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil hutan rakyat yang dimiliki.

d. Pengeluaran rumah tangga petani hutan rakyat adalah pengeluaran yang dilakukan oleh petani hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari


(14)

penghasilan yang diperoleh. Pengeluaran dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir.

e. Rumah tangga sejahtera adalah rumah tangga yang tergolong kategori tidak miskin dan mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rumah tangga sejahtera mempunyai nilai pendapatan lebih besar dari pengeluaran. f. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani adalah besarnya pendapatan dari hutan rakyat jika dibandingkan dengan pendapatan total rumah tangga petani.

g. Motivasi adalah dorongan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku terkait dengan pengelolaan hutan rakyat.

3.4. Sasaran Penelitian

Sasaran dari penelitian ini yaitu rumah tangga petani hutan rakyat yang memiliki hutan rakyat di Desa Pasir Madang Kec. Sukajaya,Bogor Jawa Barat dengan diambil responden petani hutan rakyat sebanyak 30 kepala keluarga.

3.5. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder, sebagai berikut :

Tabel 2 Jenis dan sumber data

No Jenis Data Klasifikasi Data Rincian Data Sumber Data 1

Data Primer

Data Identitas Responden

a. Nama Responden

Petani hutan rakyat b. Umur

c. Jenis kelamin d. Pendidikan

e. Jumlah anggota keluarga f. Pekerjaan sampingan responden

Data Ekonomi Rumah Tangga

a. Luas lahan kepemilikan hutan rakyat dan non hutan rakyat

Petani hutan rakyat b. Jumlah sengon yang dimiliki

c. Jumlah dan jenis selain pohon sengon yang dimiliki (kayu afrika, Akasia, dan lain-lain)

d. Jenis tanaman pertanian dan tanaman palawija yang diusahakan

e. Pendapatan dari hutan rakyat (dari penjualan kayu atau tanaman pertanian dan tanaman palawija)

f. Pendapatan dari non hutan rakyat (usaha, peternakan, perdagangan, upah/gaji, dan lain-lain)

Petani hutan rakyat


(15)

Tabel 2 ...(Lanjutan)

No Jenis Data Klasifikasi Data Rincian Data Sumber Data

Data Primer

Data Pendapatan Rumah Tangga

a. Jumlah pendapatan

Petani hutan rakyat b. Sumber pendapatan

c. Frekuensi waktu

Data Pengeluaran Rumah Tangga

a. Biaya kebutuhan sehari-hari (kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, transportasi, hiburan, dan lain-lain)

Petani hutan rakyat b. Biaya insidental (khitanan, nikahan,

pajak, dan lain-lain) c. Biaya pendidikan

d. Biaya sarana rumah tangga (listrik, air, dan lain-lain)

e. Sumber pemenuhan kebutuhan dan frekuensi waktu

Motivasi Petani Alasan petani dalam penanaman kayu afrika pada hutan rakyat

Petani hutan rakyat 2 Data Sekunder Data Sosial Ekonomi

a. Kondisi geografis lokasi BAPPEDA, Kantor Desa,

Kantor Kecamatan, Kantor Dinas Kehutanan Bogor b. Jumlah penduduk

c. Pendidikan d. Potensi lahan

e. Jenis tanaman yang diusahakan, dan lain- lain

3.6. Metode Pengumpulan Data

Untuk menunjang analisis data maka pengumpulan data dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :

a. Teknik wawancara : pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuisioner. b. Observasi lapang : pengumpulan data dengan cara mengadakan

pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti

c. Teknik pencatatan : mencatat dan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari instansi.

d. Studi pustaka : pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.

3.7. Metode Pemilihan Responden

Pengambilan sampel responden menggunakan metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah responden yang dianggap peneliti menpunyai informasi yang dapat menunjang penelitian dalam hal ini yaitu petani


(16)

yang memiliki, mengelola hutan rakyat dan sudah ada penjualan serta mendapatkan penghasilan dari hutan rakyat tersebut. Penentuan jumlah sampel responden yang diambil berdasarkan standar minimal penelitian survey minimal 30 orang (Singarimbun dan Effendi 1987). Petani hutan rakyat yang menjadi responden sebanyak 30 Kepala Keluarga (KK) per desa atau kelurahan.

3.8. Analisis dan Pengolahan Data

Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif berupa tabel, grafik dan gambar. Di dalam analisa dilakukan tabulasi dengan mengelompokkan data berdasarkan beberapa kriteria untuk keperluan analisis selanjutnya, seperti data umum responden, data pendapatan, data pengeluaran dan data yang berkaitan dengan persepsi responden, seperti peranan tanaman hutan sengon (Paraserianthes falcataria) bagi petani dan motivasi petani dalam penanaman sengon. Beberapa analisa kuantitatif sederhana dilakukan untuk menghitung pendapatan dan pengeluaran petani hutan rakyat.

Untuk beberapa metode perhitungan dilakukan dengan rumus-rumus sebagai berikut :

1. Pendapatan petani dari hutan rakyat

Keterangan :

Ihr = Pendapatan total petani dari hutan rakyat (Rp/tahun)

Pendapatan petani dari produk hutan rakyat = Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu dan tanaman palawija

2. Pendapatan petani dari non hutan rakyat

Keterangan :

Inhr = Pendapatan total petani dari produk non hutan rakyat (Rp/tahun) Pendapatan dari produk non hutan rakyat = Hasil peternakan, perdagangan,

serta upah atau gaji dan sumber- sumber pendapatan lainnya.

Ihr =  Pendapatan petani dari produk hutan rakyat


(17)

3. Pendapatan total petani

Keterangan :

Itot = Jumlah pendapatan total rumah tangga petani (Rp/tahun) Ihr = Pendapatan total petani dari hutan rakyat (Rp/tahun)

Inhr = Pendapatan total petani dari produk non hutan rakyat (Rp/tahun) 4. Menghitaung pendapatan perkapita rumah tangga petani hutan rakyat

Keterangan :

Ipkhr = Pendapatan perkapita rumah tangga hutan rakyat (Rp/tahun) Itot = Pendapatan total rumah tangga dari produk hutan rakyat

(Rp/tahun)

AK = Jumlah anggota keluarga

5. Menghitaung pendapatan perkapita non hutan rakyat

Keterangan :

Ipknhr = Pendapatan perkapita rumah tangga hutan rakyat (Rp/tahun) Itrtnhr = Pendapatan total rumah tangga dari hutan rakyat (Rp/tahun) AK = Jumlah anggota keluarga

6. Persentase pendapatan dari hutan rakyat terhadap total pendapatan

Keterangan :

Ihr % = Persentase pendapatan dari hutan rakyat Ihr = Pendapatan total dari hutan rakyat (Rp/tahun)

Itot = Pendapatan total dari rumah tangga petani (Rp/tahun) 7. Menghitung total pengeluaran

Itot = Ihr + Inhr

Ipkhr = Itot / AK

Ipknhr = Itrtnhr / AK

Ihr % = (Ihr / Itot) x 100%


(18)

Keterangan :

Ctot = Total pengeluaran rumah tangga selama periode satu tahun C = Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan

selama periode satu tahun

8. Persentase pendapatan dari hutan rakyat terhadap total pendapatan

Keterangan :

Cpk = Pengeluaran perkapita pertahun

Ctot = Pengeluaran total rumah tangga per tahun AK = Jumlah anggota keluarga

9. Persentase pendapatan dari hutan rakyat terhadap total pendapatan

Keterangan :

Itot % = Persentase pendapatan total rumah tangga terhadap total pengeluaran

Itot = Pendapatan total rumah tangga per tahun Ctot = Pengeluarann total rumah tangga per tahun 10. Perhitungan kriteria kemiskinan

Perhitungan kriteria kemiskinan ditentukan berdasarkan teori Sajogyo (Sajogyo 1977 dalam Indaryanti, dkk 2006) dengan menggunakan standar harga beras yang dikomsumsi di lokasi penelitian. Garis kemiskinan untuk daerah pedesaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Jika pendapatan perkapita responden ≤ 320 kg x harga beras / orang / tahun maka dikategorikan miskin

2. Jika pendapatan perkapita ≤ 240 kg x harga beras / orang / tahun maka dikategorikan miskin sekali

3. Jika pendapatan perkapita ≤ 180 kg x harga beras / orang / tahun maka dikategorikan paling miskin.

Cpk = Ctot / AK


(19)

11. Variabel dan perhitungan skor motivasi

Variabel yang diukur dalam perhitungan motivasi adalah seberapa besar tingkat pentingnya tegakan kayu sengon (Paraserianthes falcataria) pada lahan hutan rakyat jika dilihat dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial.

Perhitungan nilai skor motivasi dihitung dengan menggunakan Metode Likert. Nilai tiap soal dihitung dari jawaban yang diberikan responden, untuk masing-masing pilihan jawaban memiliki nilai a (tidak setuju) = 1, b (setuju) = 2, c (sangat setuju) = 3. Semua jawaban soal dijumlahkan kemudian dihitung rata-ratanya. Setelah itu dikelompokan dan rumus perhitungannya sebagai berikut :

Keterangan :

% NM = Persentase nilai motivasi

O = Jumlah orang yang menjawab sesuai option

P = Jumlah responden yang diambil dalam lokasi pengamatan


(20)

BAB IV

KEADAAN UMUM

4.1. Sejarah Pengelolaan Lahan

Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat di Pasir Madang, awalnya tahun 1975 terdapat perkebunan cengkeh yang mencakup 3 desa, yaitu Desa Pasir Madang, Cisarua, dan Cileuksa. Namun ternyata perkebunan ini tidak bertahan sampai masa HGU-nya habis. Sekitar tahun 1990 perkebunan ini mengalami krisis, sehingga lahan berstatus HGU tersebut dioper garap dari pengusaha cengkeh kepada pengusaha teh. Perkebunan teh ini juga tidak dapat berjalan lancar dan hanya bertahan sampai dua tahun. Kemudian sekitar tahun 1995 masa HGU lahan ini habis dan tidak diperpanjang sehingga lahan dibiarkan terlantar. Kemudian masyarakat mulai mengambil inisiatif untuk mengelola lahan bekas HGU tersebut, pembagian haknya tergantung pada modal dari tiap-tiap individu dengan kata lain yang memiliki modal yang besar akan memiliki lahan yang luas pula. Hal tersebut terjadi sampai sekarang.

4.2. Letak dan Luas

Desa Pasir Madang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah sebesar 1536 Ha (BPS, 2009).

Batas wilayah Desa Pasir Madang secara administratif dapat dirinci sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kiara Sari, Kiara Pandak, dan

sukajaya Kecamatan Sukajaya.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cisarua Kecamatan Sukajaya. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cileuksa Kecamatan Sukajaya.

Desa Pasir Madang terdiri dari 3 dusun dengan 6 rukun warga (RW) dan 27 rukun tetangga (RT).


(21)

4.3. Iklim

Berdasarkan data dari BPS tahun 2009 Desa Pasir Madang memiliki curah hujan sebesar 2.401,5 mm/tahun atau rata-rata per bulan 200,1 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 161 hari. Berdasarkan kriteria iklim dari Schmidt dan Ferguson, dengan melihat bulan kering, bulan lembab, dan bulan basah di Desa Pasir Madang masuk ke dalam iklim A dengan nilai Q sebesar 11,1% yang artinya daerah tersebut sangat basah.

4.4. Aksesibilitas

Daerah Pasir Madang di Kecamatan Sukajaya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan ini berjarak ± 45 km dari kota Bogor. Untuk menuju Desa Pasir Madang dari Bogor dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua atau lebih, seperti angkutan kota dan ojeg. Angkutan perkotaan yang melayani rute ini tersedia dalam jumlah yang cukup banyak dan waktu yang terbatas. Desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan empat dengan kondisi jalan menuju tempat penelitian relatif kurang bagus.

4.5. Sosial Ekonomi dan Budaya

Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah penduduk di Desa Pasir Madang berjumlah 4.158 jiwa dengan perincian 2.153 penduduk laki-laki dan 2.005 penduduk perempuan, dan terdapat 1.141 kelurga, dengan rata-rata satu keluarga berisikan 3 - 4 orang. Penduduk laki-laki di Desa Pasir Madang lebih besar dibandingkan penduduk perempuan, sehingga seks rasio di Desa Pasir Madang sebesar 93,1% artinya terdapat 93 penduduk perempuan setiap 100 penduduk laki-laki.

Untuk penyebaran/kepadatan penduduk di Desa Pasir Madang masih sangat sedikit dan jarang setiap hektarnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil perbandingan dengan membandingkan jumlah total penduduk di Desa Pasir Madang dibagi dengan luas desa (Ha). Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan hasil perbandingan bahwa penyebaran/kepadatan penduduk di desa ini 3 orang setiap satu hektar.


(22)

Mayoritas penduduk adalah suku Sunda yang mayoritas memeluk agama Islam. Profesi masyarakat di Desa Pasir Madang cukup beragam, mulai dari petani, buruh tani, pegawai, karyawan, pedagang, sopir, pengrajin, dan lain-lain. Dalam bidang pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat di Desa Pasir Madang bervariasi mulai dari belum sekolah sampai perguruan tinggi. Berdasarkan data monografi Pasir Madang tahun 2011, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Pasir Madang belum pernah bersekolah bahkan masih terdapat beberapa penduduk yang buta huruf.


(23)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Umum Hutan Rakyat di Wilayah Penelitian

Hutan Rakyat di wilayah penelitian yang berada di daerah Pasir Madang Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor pada umumnya didomonasi oleh tanaman dari jenis sengon (Paraserientes Falcataria) dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Jenis-jenis tanaman lainnya yang sering dibudidayakan oleh masyarakat antara lain adalah jabon (Anthocephalus cadamba) , akasia (Acacia Mangium), puspa (Schima wallichii), dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus), mangga (Mangifera indica), alpukat (Persea americana), dan pisang (Musa acuminata). Tanaman sengon dan kayu afrika lebih banyak dipilih oleh petani karena jenis kayu ini memiliki masa panen yang relatif singkat dibandingkan dengan jenis kayu lainnya.

Secara umum hutan rakyat yang dijumpai terdiri dari dua model pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 2. Model pertama adalah hutan rakyat dengan penanaman sengon menggunakan sistem yang cenderung monokultur. Pada model ini, sebagian besar ruang pada lahan petani digunakan untuk tanaman kayu-kayuan yang didominasi sengon dan kayu afrika. Jenis-jenis kayu lainnya masih memungkinkan untuk dijumpai, namun dalam jumlah yang relatif lebih sedikit. Tanaman palawija, seperti jagung, singkong, ubi jalar, kacang tanah , pisang, cabai kadang-kadang dijumpai juga pada model penanaman seperti ini, terutama pada saat umur tanaman sengon masih relatif muda. Palawija ditanam untuk memanfaatkan areal lahan yang masih kosong dibawah tegakan sengon. Akan tetapi apabila tajuk tegakan sengon sudah menutupi areal lahan dibawahnya, atau sekitar 60% areal lahan sudah tertutupi tajuk tegakan, makan penanaman palawija sudah tidak dilakukan lagi karena intensitas cahaya matahari yang sudah semakin berkurang dan persaingan untuk memperoleh unsur hara yang semakin sulit.

Model yang kedua pada lokasi penelitian adalah sebagian besar ruang pada lahan petani digunakan untuk membudidayakan palawija dan hortikultura. Tanaman sengon atau jenis-jenis kayu lainnya sering dijumpai sebagai tanaman


(24)

pembatas lahan atau juga dalam bentuk larikan-larikan, sehingga lebih menyerupai sistem agroforestry. Baik pada model pertama maupun model kedua terlihat jelas bahwa petani berusaha memanfaatkan ruang lahan mereka dengan semaksimal mungkin dengan jenis tanaman kayu-kayuan maupun palawija sehingga sulit dijumpai areal lahan yang kosong.

Gambar 2. Pola hutan rakyat di Pasir Madang

Hutan rakyat yang terdapat di areal penelitian dibangun diatas lahan-lahan HGU. Letak hutan rakyat tersebut pada umumnya tidak berjauhan dari tempat tinggal petani. Luasan hutan rakyat yang dimiliki rumah tangga petani pada umumnya relatif kecil dan sebagian besar berada di bawah 0,5 ha.

Gambar 3. Diagram proporsi sebaran luas kepemilikan hutan rakyat di Desa Pasir Madang.

5.2. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Petani di Wilayah Penelitian

Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian pada umumnya masih dilakukan secara tradisional. Para petani melakukan budidaya penanaman sengon atau jenis lainnya dengan kurang memperhatikan aspek-aspek silvikultur tanaman, karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki. Tahapan kegiatan dalam


(25)

budidaya hutan rakyat di wilayah penelitian terdiri dari beberapa kegiatan yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

a. Pengadaan benih dan bibit

Benih atau bibit tanaman yang digunakan petani umumnya berasal dari penjual ataupun menemukan dilingkungan mereka sekitar. Kemudian petani menyemai sendiri atau membeli langsung dalam bentuk bibit. Sampai saat ini belum pernah ada bantuan dalam bentuk benih maupun bibit dari instansi-instansi terkait.

b. Persiapan dan penanaman

Langkah awal dalam pembuatan adalah pembersihan lahan yang berupa penyiangan tumbuhan bawah. Langkah selanjutnya adalah pengolahan tanah, yang meliputi penggemburan tanah, penggebrusan akar alang-alang, penghalusan dan pembersihan tanah pada jalur tanam. Selanjutnya dibuat larikan untuk mempermudah penanaman sesuai jarak tanam.

Lubang tanam untuk bibit dipersiapkan dengan menggali lubang sedalam 30 x 30 x 30 cm. Lubang tanam dibiarkan tiga sampai empat hari sebelum ditanami agar kandungan asam tanah hilang. Jarak tanam yang umumnya digunakan adalah 1,5-2 m x 2m.

Gambar 4. Jarak tanam

Penanaman bibit pada lubang tanam dilakukan dengan terlebih dahulu melepaskan polybag atau kantung plastik bibit. Polybag dilepaskan secara perlahan dan dijaga agar media bibit yang melindungi akar tetap kompak. Setelah bibit ditanam, lubang tanam dipadatkan dengan tanah di sekitarnya.


(26)

c. Pemeliharaan tanaman

Tidak banyak kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan di lokasi penelitian. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang sering dilakukan adalah pembersihan tumbuhan bawah yang bertujuan untuk mengurangi dan mengendalikan tenaman pengganggu yang menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh unsur-unsur hara, cahaya matahari dan air. Selanjutnya tumbuhan bawah tersebut dipakai oleh petani sendiri untuk pakan ternak yang dimiliki petani.

Kegiatan selanjutnya yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan tanaman adalah pemberantasan penyakit. Serangga hama yang dijumpai di areal hutan rakyat ini adalah serangga perusak daun antara lain belalang, dan ulat daun. Tanda serangan yang disebabkan serangga perusak daun adalah daun tidak utuh, berlubang, dan daun habis, yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Penyakit berikutnya yang ditemukan didaerah penelitian adalah Karat Puru. Penyebabnya adalah jamur karat (Uromycladium tepperianum (Sace)McAlp.). Rahayu (2007) dalam Jumali (2009), menyebutkan bahwa jamur karat puru hanya membutuhkan 1 inang saja yaitu tanaman sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Jamur hanya memerlukan satu macam spora yang dinamakan teliospora saja. Secara spesifik, telliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangka terdiri dari 3 telliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar 14-20 um dan panjang 17-28 um. Teliospora mudah diterbangkan oleh angin dari satu tempat ke tempat yang lain ataupun dari tanaman sengon satu ke tanaman sengon yang lain. Apabila telah mendapatkan tempat sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih muda dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora. Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermmis membentuk hypha didalam atau diantara sel-sel epidermis, xylem dan phloem. Pada semai, batang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan jamur karat puru.


(27)

Gambar 5. Pohon sengon yang terserang penyakit

Serangan karat puru ditandai dengan terjadinya pembengkakan (gall) pada ranting/ cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helai daun. Penyakit karat puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon. Penyebaran penyakit ini sangat cepat, dengan menyerang tanaman sengon mulai dari persemai sampai lapangan dan pada semua tingkatan umur. Kerusakan serius bila serangan terjadi pada tanaman muda, karena titik-titik serangan bisa terjadi di batang pokok/utama sehingga batang pokok/utama rusak/cacat, tidak dapat menghasilkan pohon yang berkualitas tinggi.

Serangan karat puru ini sebenarnya dapat dicegah sejak dini yaitu apabila gejala-gejala serangan terjadi ketika masih dalam persemaian harus segera dicabut dan dimusnahkan. Namun apabila tanaman sengon telah terjangkit serangan karat puru biasanya petani mengendalikannya dengan cara mekanik. Cara mekanik yaitu dengan memotong pucuk, cabang ranting yang telah terserang ataupun dengan melakukan penjarangan dengan memilah tanaman sengon yang telah terserang.

Kegitan berikutnya adalah penjarangan. Penjarangan merupakan suatu perlakuan silvikultur dengan memberikan pengaturan ruang tumbuh bagi tanaman dengan melakukan penyeleksian tegakan yang memiliki pertumbuhan kurang baik, sehingga pada akhir daur didapatkan tegakan yang merata, sehat, berbatang lurus , dan tanpa cacat kayu. Adapun tujuan akhir dari kegiatan penjarangan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan sehingga pada akhir daur diperoleh tegakan dengan kualitas dan volume yang tinggi.


(28)

Terdapat beberapa prinsip penjarangan yang dijadikan panduan bagi petani di lokasi penelitian yaitu target utama kegiatan penjarangan adalah tegakan tinggal yang berkualitas pada akhir daur bukan pada hasil kayu penjarangannya, pelaksanaan penjarangan dilakukan secara tepat dan benar. Dalam penjarangan dilakukan penebangan terhadap pohon yang tertekan dan memiliki pertumbuhan yang kurang baik atau terserang pengakit. Beberapa petani melakukan kegiatan pemelihaan penjarangan ini, namun banyak juga petani yang tidak melakukan kegitan penjarangan tersebut dikarenakan pola pikir sebagian petani yang menganggap jika dilakukan penjarangan maka petani akan merasa rugi.

Pada umumnya, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan dilokasi penelitian hanya sebatas pembersihan tumbuhan bawah saja. Untuk kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan lanjutan, penjarangan, penyulaman, tidak dilakukan oleh petani atau bisa dibilang dibiarkan tumbuh begitu saja. Hal ini dikarenakan adanya faktor keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani di daerah penelitian.

Dari segi hasil hutan rakyat yang dipanen yang merupakan komoditas utama selain kayu adalah tanaman palawija. Tanaman palawija yang dibudidayakan di Desa Pasir Madang ini adalah jagung, kacang tanah, cabe, buncis, mentimun dan lain-lain. Komoditas tanaman palawija yang ditanam ini mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan hasil hutan kayu baik dari segi lingkungan maupun dari segi waktu berproduksinya bahkan jika hasilnya dipanen hanya akan menyebabkan degradasi dalam jumlah kecil sekali. Sementara itu, untuk pengusahaan produk kayu akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup besar.

Hal itu dapat diketahui dari penebangan tegakan dilokasi hutan rakyat. Biasanya petani menjual kayunya jika ada keperluan mendesak dan membutuhkan dana dalam jumlah besar atau bersifat insidentil seperti untuk membiayai acara pernikahan anak, khitanan, maupun membangun rumah ataupun jika mendadak ada anggota keluarga yang sakit. Sistem penebangan seperti ini dikenal dengan nama sistem tebang butuh. Penjualan kayu dilakukan kepada para pedagang kayu ditingkat tengkulak. Penjualan kayu dilakukan dalam bentuk pohon berdiri, sehingga kegiatan penebangan dilakukan oleh para tengkulak. Hal ini menguntungkan petani karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk


(29)

penebangan dan pengangkutan, namun kerugiannya petani kurang memiliki posisi tawar sehingga harga kayu yang ditawarkan oleh tengkulak relatif kecil.

Sistem pengelolaan di hutan rakyat Pasir Madang berlangsung dengan cukup baik namun masih kurang efektif karena adanya beberapa faktor yaitu faktor ekonomis, dimana masyarakat terutama masyarakat petani hutan merasakan adanya kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan dan kesejahteraan keluarganya walaupun pengusahaan hutan rakyat ini masih bersifat sebagai usaha sampingan. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani hutan juga bersifat kontinyu sehingga dapat digunakan jika petani membutuhkan biaya dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak. Faktor ekologis juga dirasakan secara langsung oleh masyarakat melalui fungsi hutan sebagai penjaga ketersediaan air, penyerap karbon, penghijauan lahan, pencegah terjadinya erosi dan secara tidak langsung juga dapat membantu mencegah kekeringan didaerah Pasir Madang. Faktor lainnya adalah adanya kearifan lokal yang selaras dengan alam sehingga timbul keinginan untuk tetap menjaga alam agar tetep lestari.

Faktor yang menjadi pembatas terhadap sistem produksi hutan rakyat di daerah Pasir Madang ini adalah keterbatasan kemampuan petani baik dari segi modal maupun dari segi tingkat pendidikan yang menyebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan, dan pola pikir terhadap pengelolaan guna penambahan nilai komoditas yang dihasilkan dari hutan rakyat. Harga jual komoditas hutan rakyat yang fluktuatif akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan pendapatan petani.

Faktor cuaca yang tidak menentu juga menjadi pembatas terhadap sistem produksi karena untuk menanam palawija yang umumnya dapat dipanen tiga kali dalam setahun, jika ketersediaan airnya kurang atau dilanda musim kering berkepanjangan mengakibatkan panen hanya dapat dilakukan sekali setahun. Selain itu, rendahnya pendidikan mengakibatkan terbatasnya informasi yang didapatkan petani baik dari segi harga pasar komoditi yang ada di lahan miliknya maupun informasi untuk pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar sehingga nantinya dapat menghasilkan komoditi yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.


(30)

5.3. Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Gambaran mengenai karakteristik petani hutan rakyat dilakukan dengan metode wawancara kepada responden. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 responden. Data yang dikumpulkan meliputi data identitas, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan responden, pengeluaran responden, serta motivasi responden terhadap pengelolaan hutan rakyat khususnya untuk pengelolaan tanaman sengon.

5.3.1 Umur

Berdasarkan data yang dikumpulkan, umur responden yang paling muda adalah 27 tahun, dan yang paling tua berumur 66 tahun. Data umur responden disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan karakteristik kelas umur

Kelas umur Jumlah (Orang) Persentase (%)

27 - 33 4 13,3

34 - 40 8 26,7

41 - 47 9 30

48 - 54 4 13,3

55 - 61 3 10

≥62 2 6,7

Tabel 3 menunjukkan persentase terbesar responden berada pada umur 41-47 tahun yaitu sebesar 30%. Hal ini disebabkan karena pada rentang umur 41-41-47 tahun responden masih masuk dalam umur produktif dan rata-rata telah berkeluarga, sehingga motivasi untuk bekerja sebagai petani hutan pada lahan hutan rakyat yang dimiliki lebih besar guna membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.

Adapun responden yang berusia muda menunjukan bahwa pada dasarnya lahan hutan rakyat yang ada di daerah Pasir Madang merupakan lahan turun temurun yang diberikan sebagai warisan ke generasi berikutnya, sehingga untuk usaha pengembangan hutan rakyat itu sendiri juga dikelola secara turun temurun oleh pihak yang mengelola lahan tersebut. Tetapi dalam kenyataannya banyak juga masyarakat Pasir Madang yang berusia muda merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan, walaupun pada akhirnya apabila telah berkeluarga banyak yang kembali ke Pasir Madang dan meneruskan bekerja menjadi petani hutan rakyat.


(31)

5.3.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan petani berpengaruh pada pola pikir petani dalam mengelola hutan rakyat yang dimiliki sebagai upaya meningkatkan usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, tingkat pendidikan dapat menjadi indikator dalam suatu masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang dalam kehidupan suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula status sosialnya di dalam masyarakat tersebut. Data tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase(%)

Tidak bersekolah 6 20%

SD 18 60%

SMP 4 13%

SMA 2 7%

Sarjana - 0%

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden (60%) tingkat pendidikannya hanya sampai SD. Kemudian disusul 20% responden tidak bersekolah, 13% SMP dan SMA 7%. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh besarnya biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, selain itu juga tidak terdapat fasilitas pendidikan pada tingkat lanjutan yang ada di Pasir Madang. Selama ini masyarakat desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus memiliki kemampuan untuk sekolah keluar desa. Selain itu tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari memaksa para petani untuk bekerja guna memenuhi kehidupan sehari-harinya sehingga pentingnya pendidikan menjadi agak dikesampingkan. Tingkat pendidikan yang masih rendah juga menyebabkan keterbatasan kemampuan sehingga kebanyakan usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan melanjutkan usaha orang tuanya yaitu menjadi petani hutan rakyat atau merantau ke daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan.

5.3.3 Pekerjaan Pokok dan Sampingan

Sebanyak 22 dari 30 orang responden memiliki pekerjaan sampingan selain bekerja sebagai petani hutan rakyat. Data pekerjaan sampingan responden disajikan pada Tabel 5.


(32)

Tabel 5 Jenis pekerjaan sampingan responden

Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

Pegawai 3 10%

Pedagang 3 10%

Peternak 14 46,7%

Jasa 16 53,3%

Tabel 5 menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang paling banyak adalah sebagai jasa yaitu sebesar 53,3%. Mayoritas responden menjual jasa mereka sebagai buruh tani dan gurandil. Jenis pekerjaan sampingan sebagai peternak juga mempunyai presentase yang cukup besar yaitu sebesar 46,7%. Dengan adanya pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan maka dapat diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan responden tidak hanya dari usaha hutan rakyat saja, namun juga dari pekerjaan sampingan lainnya. Selain itu, terdapat beberapa responden yang memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan sampingan. Hal ini juga menjelaskan bahwa mereka memiliki waktu luang untuk dimanfaatkan guna meningkatkan penghasilan yang dimiliki.

5.4. Pendapatan

Perbedaan mata pencaharian akan menyebabkan perbedaan jumlah pendapatan pada masing-masing responden. Pendapatan ini dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir dari perolehan pekerjaan responden baik dari hasil hutan rakyat maupun di luar hasil hutan rakyat dan dikelompokkan berdasarkan distribusi frekuensi pendapatan responden. Distribusi frekuensi pendapatan responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Distribusi frekuensi pendapatan responden tahun 2011

No Kelas Kelas (Rp) Frekuensi Persentase (%)

1 6.900.000 – 15.182.857 16 53,3

2 15.182.858 – 23.465.714 9 30

3 23.465.715 – 31.748.571 3 10

4 48.314.287 – 64.880.000 2 6,7

Mayoritas distribusi pendapatan responden berada pada rentang Rp. 6.900.000,- sampai 15.182.857,- sebesar 53,3%, Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang berada pada selang ini memiliki pekerjaan sampingan yang bergerak di bidang jasa. Sedangkan untuk minoritas distribusi pendapatan responden berada pada selang Rp. 48.314.287,- sampai Rp. 64.880.000,- sebesar 6,7%, berbeda dengan responden yang berada pada selang mayoritas, pada selang ini responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai wirausaha/pedagang.


(33)

Pendapatan dari hutan rakyat diperoleh dari penjualan kayu dan tanaman palawija yang ada di lahan milik petani, sedangkan untuk pendapatan non hutan rakyat diperoleh dari hasil peternakan, perdagangan, upah atau gaji, dan lain-lain. Data penghasilan responden dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pendapatan seluruh responden tahun 2011

Sumber Pendapatan

Jumlah (Rp. Juta/thn) Jumlah (Rp. Juta/thn)

Total (Rp. Juta/thn) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Hutan Rakyat 232,26

Kayu 14 25,8 27 64 130,8

Palawija 24,98 27,5 23,1 25,88 101,46

Non HR 301,28

Peternakan 12,3 4,6 4 0 20,9

Perdagangan 8,11 50,4 0 27 85,5 Lain-lain

100,38 69 25,5 0 194,88

(Upah/gaji)

Total 159,76 177,3 79,6 116,88 533,54

Tabel 7 memberikan informai bahwa pendapatan hutan rakyat dibagi menjadi pendapatan dari kayu dan tanaman palawija. Hasil perhitungan pendapatan hutan rakyat berupa kayu pada kelas 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing sebesar Rp. 14.000.000,-/tahun, 25.800.000,-/tahun, 27.000.000,-/tahun dan 64.000.000,-/tahun. Sedangkan hasil perhitungan pendapatan hutan rakyat berupa palawija pada kelas 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing sebesar Rp. 24.980.000,-/tahun, 27.500.000,-/tahun, 23.100.000,-/tahun dan 25.880.000,-/tahun. Pendapatan non hutan rakyat pada kelas 1 dan 2 lebih besar dari pada pendapatan hutan rakyat, sedangkan pada kelas 3 dan 4 terjadi sebaliknya yaitu pendapatan dari hutan rakyat lebih besar dari pada pendapatan non hutan rakyat. Pada kelas 1 dan 2 pendapatan terbesar berasal dari upah/gaji, hal ini karena distribusi pekerjaan responden pada kelas ini yang mayoritas bergerak di bidang jasa.

5.5. Pengeluaran

Pengeluaran responden dihitung untuk semua keperluan mulai dari kebutuhan tetap tahunan, kebutuhan insidental, dan kebutuhan lain yang dikeluarkan tahun 2011. Tiap kebutuhan rumah tangga berbeda-beda dipengaruhi jumlah anggota keluarga dan jenis kebutuhannya. Data pengeluaran responden disajikan dalam Tabel 8.


(34)

Tabel 8 Pengeluaran responden untuk biaya tahunan pada tahun 2011

Indikator Pengeluaran Jumlah (Rp. Juta/thn) Total (Rp. Juta/thn) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Pangan 85,44 72 28,8 24 210,24

Sandang 5,46 7,7 5,5 3 21,66

Pendidikan 4,3 7,05 5,5 3,5 20,35

Pajak 0 0 0 0 0

Sarana Rumah Tangga 5,4 4,23 1,62 1,08 12,33

Kesehatan, dll 48,25 51,1 18,1 19 136,45

Total 148,85 142,08 59,52 50,58 401,03

Pengeluaran untuk biaya tahunan yang dikeluarkan seluruh responden petani hutan rakyat adalah sebesar Rp. 401.030.000/tahun. Sedangkan untuk alokasi pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk kebutuhan pangan yaitu sebesar Rp 85.440.000,-/tahun pada kelas 1, Rp 72.000.000,-/tahun pada kelas 2, Rp 28.800.000,-/tahun pada kelas 3 dan Rp 24.000.000,-/tahun pada kelas 4. Sedangkan untuk alokasi pengeluaran terkecil adalah untuk pembayaran pajak. Tidak adanya pembayaran pajak tiap tahun dikarenakan tanah milik petani berada pada tanah yang berstatus kepemilikan lahan bekas HGU (Hak Guna Usaha).

Petani hutan rakyat di daerah Pasir Madang adalah petani subsisten. Petani subsisten adalah petani yang hanya berusaha tani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kurangnya pendidikan, minimnya keterampilan, dan kurangnya modal memaksa petani menjadi petani subsisten. Selain biaya tetap tahunan, pengeluaran responden untuk biaya insidental dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pengeluaran responden untuk biaya insidental tahun 2011

Indikator Pengeluaran Jumlah (Rp. Juta/thn) Total Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 (Rp. Juta/thn)

Nikah - - 10 - 10

Khitanan 1 - - 4,5 5,5

Lain-lain (Rumah Sakit, Pembangunan rumah, Pembayaran hutang, Sumbangan/Bantuan Rukun Tetangga (RT), dll)

1,5 17,76 5 52 76,26

Total Pengeluaran 2,5 17,76 15 56,5 91,76

Biaya insidental yang dikeluarkan oleh responden berupa biaya untuk pernikahan, khitanan dan biaya lain-lain yang meliputi biaya rumah sakit, pembangunan rumah, pembayaran hutang, dan sumbangan atau bantuan rukun tetangga. Biaya tersebut dikeluarkan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak untuk dipenuhi. Sumbangan atau bantuan rukun tetangga dikeluarkan


(35)

jika ada tetangga akan mengadakan suatu acara. Kondisi lingkungan pedesaan dan rasa kekeluargaan yang tinggi menyebabkan responden memiliki rasa membantu yang tinggi baik dalam hal tenaga maupun uang saat keluarga atau tetangga mengadakan suatu acara.

Pengeluaran terbesar untuk biaya insidental adalah pada kelas 4 sebesar Rp. 56.500.000,-/tahun dan terkecil pada kelas satu sebesar Rp. 2.500.000,-/tahun. Tidak semua responden mengeluarkan biaya insidental dalam kurun waktu satu tahun. Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran untuk keseluruhan responden dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perbandingan total pendapatan dan pengeluaran seluruh responden tahun 2011

Kelas Pendapatan (Rp.jt/thn)

Pengeluaran (Rp.jt/thn)

Jumlah Pendapatan Perkapita (Rp.jt/kapita/tahun)

Jumlah Pengeluaran Perkapita (Rp.jt/kapita/tahun)

Kelas 1 159,76 151,35 66,316667 60,45375

Kelas 2 177,3 159,84 36,315 32,9315

Kelas 3 79,6 74,52 16,005357 15,186548

Kelas 4 116,88 107,08 38,96 36,86

Total 533,54 492,79 157,597024 145,431798

Pendapatan keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp. 533.540.000,- dan untuk pengeluaran keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp 492.790.000,-. Pendapatan perkapita keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp. 157.597.024,- dan untuk pengeluaran keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp 145.431.798,-. Jumlah pendapatan perkapita lebih besar daripada jumlah pengeluaran perkapita pada kelas 1, kelas 2, kelas 3 maupun kelas 4. Hal ini menunjukkan bahwa jika dibandingkan antara pendapatan dan pengeluaran maka dapat diketahui bahwa pendapatan responden lebih besar daripada pengeluaran responden, sehingga secara keseluruhan petani mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya baik dari hasil hutan rakyat maupum dari hasil non hutan rakyat. Meskipun secara keseluruhan petani mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya pada kenyataannya pada masing-masing kelas 1 dan kelas 2 terdapat 1 responden dimana memiliki kondisi pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Visualisasi pendapatan dan pengeluaran responden dapat dilihat pada Gambar 6.


(36)

Pengeluaran_1 Pendapatan_1 70000000 60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 D a ta

Boxplot of Pendapatan_1, Pengeluaran_1

Gambar 6. Boxplot pendapatan dan pengeluaran

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa garis pendapatan berada diatas garis pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan responden lebih besar dari pengeluaran. Jadi, rata-rata petani mampu membiayai kebutuhannya baik dari hasil hutan rakyat maupun dari hasil non hutan rakyat.

5.6. Kontribusi Hutan Rakyat

Setelah perhitungan pendapatan dan pengeluaran dihitung maka dapat dihitung kontribusi dari hutan rakyat terhadap pendapatan dan pengeluaran. Kontribusi hutan rakyat dibagi menjadi kontribusi pendapatan hutan rakyat dari kayu terhadap total pendapatan dan pengeluaran, serta kontribusi pendapatan hutan rakyat dari hasil tanaman palawija terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Selain itu dapat dihitung kontribusi hutan rakyat (kayu dan tanaman palawija) terhadap pendapatan dan pengeluaran, serta kontribusi non hutan rakyat terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11Persentase kontribusi hutan rakyat dan non hutan rakyat terhadap pendapatan dan pengeluaran responden tahun 2011

Indikator Persentase (%) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas

4 Rachman

Total pendapatan AF (buah) terhadap total

pendapatan - - - - 68,3

Total pendapatan HR (kayu) terhadap total

pendapatan 8,1 13,8 33,7 55 6,5

Total pendapatan HR (tanaman palawija)


(37)

Tabel 11 ...(Lanjutan) Indikator Persentase (%) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas

4 Rachman

Total pendapatan HR terhadap total

pendapatan 22,9 29,1 61,5 79,1 79,5

Total pendapatan non HR terhadap total

pendapatan 77 70,8 38,4 20,8 20,5

Total pendapatan HR terhadap total

pengeluaran 25 32,3 65,3 85,8 79,5

Total pendapatan AF (buah) terhadap total

pengeluaran - - - - 272,7

Total pendapatan HR (kayu) terhadap total

pengeluaran 8,8 15,4 35,2 58,9 26,2

Total pendapatan HR (tanaman palawija)

terhadap total pengeluaran 16,2 16,9 30,1 26,9 18,9 Persentase total pendapatan non HR terhadap

total pengeluaran 80,3 78,8 41,7 20,9 81,9

Total pendapatan terhadap total pengeluaran 105,3 111,1 107,1 106,7 399,7 Tabel 11 menunjukkan bahwa pada kelas 1 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 22,9% (dari 8,1% (kayu) ditambah 14,8% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 2 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 29,1% (dari 13,8% (kayu) ditambah 15,3% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 3 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 61,5% (dari 33,7% (kayu) ditambah 27,8% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 4 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 79,1% (dari 55,0% (kayu) ditambah 24,1% (palawija)) terhadap total pendapatan. Sedangkan dari hasil non hutan rakyat berkontribusi cukup besar pada kelas 1 dan 2, yaitu sebesar 77,0% pada kelas 1 dan 70,8% pada kelas 2. Sedangkan pada kelas 3 sebesar 38,4% dan 20,8% pada kelas 4.

Pada kelas 1 sebagian besar pendapatan diperoleh dari non hutan rakyat. Hal ini dikarenakan pada kelas 1 mayoritas distribusi pekerjaan responden bergerak di bidang jasa. Tabel 11 juga memberikan informasi terjadinya kecenderungan sumber pemenuhan kebutuhan pada kelas 1 dan kelas 4 dimana pada kelas 1 cenderung lebih mengandalkan hasil dari non hutan rakyat dan pada kelas 4 lebih cenderung mengandalkan hasil dari hutan rakyat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan luas kepemilikan lahan, dimana pada kelas 1 memiliki luasan lahan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kelas 4. Luasan lahan yang lebih kecil pada kelas 1 memaksa petani untuk mencari tambahan pendapatan diluar sektor hutan rakyat guna mencukupi kebutuhan rumah tangga


(38)

keluarganya. Secara keseluruhan, pada setiap kelas persentase total pendapatan terhadap total pengeluaran didapatkan nilai positif yaitu nilai yang lebih besar dari 100% untuk persentase total pendapatan terhadap pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan responden mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

Menurut Suharjito (2000), hutan rakyat hanya merupakan pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total. Namun pada hutan rakyat di Pasir Madang justru dirasakan peran yang sangat penting dan dapat menjadi hal yang bermanfaat secara kontinyu karena memberikan pendapatan lebih besar dari 10% terhadap pendapatan total. Kontribusi yang besar dari hutan rakyat di daerah Pasir Madang memberikan dampak yang positif bagi petani hutan rakyat dari segi ekonomi.

Dapat dibandingkan bahwa hutan rakyat pada penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan sebesar 22,9% pada kelas 1, 29,1% pada kelas2, 61,5% pada kelas 3 dan 79,1% pada kelas 4, sedangkan pada penelitian Rachman sebesar 79,5%. Agak sedikit berbeda jika dibandingkan dari hasil penelitian Rachman dimana hasil hutan rakyat dari produk kayu memberikan kontribusi sebesar 6,5% Sedangkan pada penelitian ini hasil hutan rakyat dari produk kayu sebesar 8,1% pada kelas 1, 13,8% pada kelas 2, 33,7% pada kelas 3 dan 55% pada kelas 4. Hal ini karena adanya pebedaan komoditas yang diusakan oleh petani dimana pada penelitian Rachman komoditas utamanya adalah buah-buahan.

5.7. Garis Kemiskinan dan Kesejahteraan

Setelah mengetahui besarnya kontribusi dari hutan rakyat, dapat dihitung juga tingkat kemiskinan pada responden di daerah Pasir Madang, tingkat kemiskinan ini dihitung untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dari responden. Suatu masyarakat belum tentu dapat dikatakan bebas dari kemiskinan dan belum dikatakan sejahtera jika penghasilannya belum bisa memenuhi kebutuhan minimumnya. Sajogyo (1997) dalam Indaryanti, dkk (2006) menyatakan konsep miskin atau tidak miskin tidak hanya bebas dari ancaman kelangsungan hidup secara fisik/biologis saja, tetapi juga harus mampu untuk hidup dan berfungsi sebagai anggota masyarakat di lingkungan setempat. Pada lokasi penelitian, contoh penerapan konsep tidak miskin adalah mampu memenuhi kebutuhan


(39)

pangannya, mempunyai kelebihan uang untuk ditabung dan jika ada tetangga yang mempunyai hajat (mengadakan acara atau syukuran) maka masyarakat lain ikut serta mengeluarkan biaya guna membantu pembiayaan acara tersebut.

Pada penelitian ini tingkat kemiskinan seseorang dihitung menggunakan standar pengukuran kemiskinan menurut Prof. Dr. Sajogyo. Garis kemiskinan mencangkup konsepsi nilai ambang kecukupan pangan dan menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Data hasil perhitungan garis kemiskinan untuk menentukan kesejahteraan responden disajikan pada gambar berikut :

Gambar 7. Grafik jumlah dan persentase garis kemiskinan

Mengacu pada teori garis kemiskinan Sajogyo, hanya 10 orang atau 36,6% yang pendapatan perkapitanya di bawah standar konsep tidak miskin. Kategori ini masuk kedalam kategori miskin sebesar 33,3% dari responden, yaitu rata-rata pengeluaran perkapitanya antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,00, dan kategori nyaris miskin sebesar 3,3%, rata-rata pengeluaran perkapitanya kurang dari Rp. 1.224.000,-. Sedangkan untuk responden yang termasuk dalam kategori tidak miskin sebanyak 19 orang dari 30 responden atau sebesar 63,3%. Perhitungan dan pengelompokkan ini berasal dari perhitungan pengeluaran perkapita dari masing-masing rumah tangga responden yang dibandingkan dengan harga beras perkilogram yang dikonsumsi oleh responden. Harga beras yang dikonsumsi responden adalah sebesar Rp. 6.800,00/kg yaitu beras jenis Muncul-1.

Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan standar garis kemiskinan Sayogyo, jika pengeluaran perkapita rumah tangga >320 kg nilai tukar beras/orang/tahun atau pada kasus di Pasir Madang ini >320 kg x Rp. 6.800,00 = Rp. 2.176.000,00, maka responden tersebut dapat dikategorikan tidak miskin. Untuk kategori miskin yaitu apabila pengeluaran perkapita rumah tangga antara


(40)

180 sampai 320 kg atau antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,-. Untuk kategori nyaris miskin ≤ 180 kg nilai tukar beras/orang pertahun atau ≤ 180 kg x Rp 6.800,00 = Rp. 1.224.000,-. Dari perhitungan maka diperoleh sebagian besar resonden atau 63,3% dari jumlah responden kehidupannya berada di lapisan ambang kecukupan pangan. Rumah tangga dalam lapisan ini mampu mencapai kebutuhan minimun pangan. Akan tetapi tidak semua responden di Pasir Madang ini merupakan warga yang hidup diatas garis kemiskinan menurut teori Sajogyo. Masih terdapat sekitar 36,6% dari responden yang hidup berada di bawah garis kemiskinan menurut teori Sajogyo ini. Grafik diatas juga memperlihatkan penurunan secara signifikan dari jumlah responden yang tidak miskin sampai responden yang paling miskin. Hal ini menunjukkan kondisi masyarakat tersebut termasuk kategori cukup baik dari segi pemenuhan kebutuhannya karena telah mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya.

Dalam menentukan miskin dan tidak miskinnya rumah tangga, teori Sajogyo ini masih kurang relevan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 dimana rumah tangga miskin menurut teori Sajogyo pun bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini terlihat pada Tabel 10 dimana penghasilannya bisa lebih besar daripada pengeluaran. Dalam usaha penuntasan kemiskinan, hutan rakyat memiliki peranan yang sangat penting. Hal ini juga dapat dilihat pada tabel 9 dimana peran hutan rakyat dapat memberikan penghasilan tambahan bagi petani sehingga petani dapat memcukupi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 10 juga menunjukkan bahwa hutan rakyat dapat memberikan manfaatnya dan ini menunjukkan bahwa hutan rakyat berperan cukup penting dalam usaha menuntasakan kemiskinan terutama pada masyarakat di pedesaan yang mengusahakan hutan rakyat.

5.8. Nilai Motivasi

Motivasi merupakan penggerak dalam diri individu atau seseorang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengelolaan dan pengembangan produk dari hutan rakyat juga dilatarbelakangi oleh motivasi. Motivasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Pasir Madang terutama dalam pengusahaan tegakan sengon sebagai komoditas yang dikembangkan dan memiliki nilai jual tinggi disajikan dalam Tabel 12.


(41)

Tabel 12 Nilai motivasi

No. Pernyataan

Persentase Jawaban (%) Tidak

setuju Setuju Sgt setuju 1 Tegakan sengon pada HR memiliki manfaat ekonomi bagi

keluarga dan keuntungan bagi pendapatan.

0 66,67 33,33

2 Pengelolaan HR yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.

0 73,33 26,67

3 Hasil digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar. 16,67 70 13,33 4 Tanaman sengon hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

0 43,33 56,67

5 Pengelolaan sengon di HR membantu menyediakan lapangan pekerjaan.

0 63,33 36,67

6 Tanaman lain selain sengon lebih menguntungkan. 26,67 40 33,33 7 Tanaman sengon dapat membantu kesuburan tanah. 30 60 10 8 Tegakan sengon dapat membantu menjaga tanah dan tata air

agar tidak menimbulkan erosi, longsor dan banjir.

6,67 23,33 70

9 Penanaman sengon di daerah Pasir Madang sudah sesuai dengan prinsip silvikultur.

40 40 20

10 Selain tanaman sengon yang ditanam di hutan rakyat, tanaman kayu lainnya (tanaman agroforestry juga ikut dipelihara).

23,33 40 36,67

11 Tegakan sengon dapat memberikan investasi masa depan bagi keluarga.

0 16,67 83,33

Rata-rata 13,03 48,79 38,18

Motivasi dalam pengelolaan hutan rakyat yang didominasi tegakan sengon dan kayu afrika ini dapat diketahui besarnya persentase responden yang menyatakan hutan rakyat yang ditanami tegakan sengon dan kayu afrika penting bagi aspek ekonomi, ekologi maupun sosial. Dari Tabel 12, dapat diketahui bahwa hampir dari setengah responden atau sebesar 48,79% memberikan jawaban setuju terhadap pentingnya tegakan sengon dan kayu afrika pada lahan hutan rakyat. Terutama dari aspek ekonomi sangat terlihat jelas bahwa responden memberikan respon positif terhadap keberadaan hutan rakyat tersebut. Hal ini dapat terlihat pada persentase skor dari pernyataan ke 1,2,3,4,6, dan 11.

Persentase tidak setuju sebesar 13,03% ini, menunjukkan masih ada petani yang kurang atau belum memperhatikan aspek pengelolaan dan pemeliharaan sengon di lahan hutan rakyat. Hal ini disebabkan responden tersebut juga merasakan manfaat tanaman lain selain tanaman sengon di lahan hutan rakyat. Namun beberapa responden ada yang benar-benar merasakan bahwa tanaman lain tidak lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tanaman sengon atau kayu afrika.


(42)

Dari aspek ekologi dapat dilihat bahwa hutan rakyat sengon memberikan dampak positif bagi kondisi lahan, tata air, tanah dan sebagainya. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil persentase jawaban pernyataan ke 7, 8, 9 dan 10. Upaya pengelolaan yang dilakukan oleh petani hutan terhadap tegakan sengon dapat dilihat dari pernyataan ke 9 yang menyatakan bahwa penanaman sengon di daerah Pasir Madang telah dilakukan sesuai dengan prinsip silvikultur, responden yang menjawab setuju sebesar 40% dan yang menjawab sangat setuju sebesar 20%. Hal ini menunjukkan tingginya motivasi dari responden dalam upaya pemeliharaan tegakan sengon pada lahan hutan rakyat di Desa Pasir Madang.

Sedangkan untuk aspek sosial dapat terlihat dari jawaban responden yang menjawab setuju pada pernyataan ke 5. Dari seluruh jawaban yang diberikan oleh responden dapat digolongkan bahwa responden yang mengelola hutan rakyat memiliki motivasi yang cukup tinggi dalam pengelolaan dan pemeliharaan hutan rakyat terutama untuk jenis sengon dan kayu afrika mengingat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan rakyat tersebut. Selain dapat dijadikan tabungan, tanaman ini juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Pasir Madang.


(1)

Lampiran 5. Kontribusi Hutan Rakyat dan Non Hutan Rakyat terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Responden

Kelas 1

No Nama

Responden

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pendapatan

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pendapatan

% Pend HR Thd Total Pendapatan

% Pend Non HR Thd Total

Pendapatan

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pengeluaran

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pengeluaran

% Tot Pend HR thd tot Pengeluaran

% Tot Pend Non HR thd

tot Pengeluaran

% Tot Pend terhadap Pengeluaran

1 Suminta 8,70% 4,35% 13,04% 86,96% 9,36% 4,68% 14,04% 93,60% 107,64%

2 Aswita 27,52% 22,02% 49,54% 50,46% 30,00% 24,00% 54,00% 55,00% 109,00%

3 Said 38,79% 51,72% 90,52% 9,48% 44,82% 59,76% 104,58% 10,96% 115,54%

4 Pardi 0,00% 47,68% 47,68% 52,32% 0,00% 56,27% 56,27% 61,74% 118,01%

5 Candra 17,24% 0,00% 17,24% 82,76% 19,08% 0,00% 19,08% 91,60% 110,69%

6 Sarib 0,00% 47,06% 47,06% 52,94% 0,00% 48,19% 48,19% 54,22% 102,41%

7 Sidik 0,00% 11,76% 11,76% 88,24% 0,00% 12,63% 12,63% 94,74% 107,37%

8 Jamsuri 0,00% 13,04% 13,04% 86,96% 0,00% 13,38% 13,38% 89,22% 102,60%

9 Aci 4,35% 0,00% 4,35% 95,65% 5,12% 0,00% 5,12% 112,70% 117,83%

10 Eman 0,00% 0,00% 0,00% 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 102,04% 102,04%

11 Pulung 0,00% 0,00% 0,00% 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 105,90% 105,90%

12 Ratmi 6,10% 18,29% 24,39% 75,61% 5,88% 17,65% 23,53% 72,94% 96,47%

13 Isak 13,33% 0,00% 13,33% 86,67% 14,81% 0,00% 14,81% 96,30% 111,11%

14 Mirta 13,79% 0,00% 13,79% 86,21% 12,45% 0,00% 12,45% 77,80% 90,25%

15 Sapri 0,00% 0,00% 0,00% 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 82,31% 82,31%

16 Yusuf 0,00% 21,74% 21,74% 78,26% 0,00% 23,11% 23,11% 83,20% 106,32%


(2)

Lampiran 5. ...(Lanjutan)

Kelas 2

No Nama

Responden

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pendapatan

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pendapatan

% Pend HR Thd Total Pendapatan

% Pend Non HR Thd Total

Pendapatan

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pengeluaran

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pengeluaran

% Tot Pend HR thd tot Pengeluaran

% Tot Pend Non HR thd

tot Pengeluaran

% Tot Pend terhadap Pengeluaran

1 Amus 13,37% 0,00% 13,37% 86,63% 17,04% 0,00% 17,04% 110,43% 127,47%

2 Dayat 11,93% 0,00% 11,93% 88,07% 14,89% 0,00% 14,89% 109,97% 124,86%

3 Salam 0,00% 21,05% 21,05% 78,95% 0,00% 23,60% 23,60% 88,50% 112,09%

4 Sarmin 0,00% 11,76% 11,76% 88,24% 0,00% 12,23% 12,23% 91,74% 103,98%

5 Saiful Bahri 16,13% 0,00% 16,13% 83,87% 14,51% 0,00% 14,51% 75,44% 89,94%

6 Ahmat 5,95% 22,62% 28,57% 71,43% 6,64% 25,25% 31,89% 79,73% 111,63%

7 Ukib 0,00% 0,00% 0,00% 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 108,50% 108,50%

8 Nanang 55,81% 14,42% 70,23% 29,77% 61,41% 15,86% 77,28% 32,75% 110,03%

9 Sasmin 21,27% 67,87% 89,14% 10,86% 23,74% 75,76% 99,49% 12,12% 111,62%

Rata-rata 13,83% 15,30% 29,13% 70,87% 15,36% 16,97% 32,33% 78,80% 111,12%

Kelas 3

No Nama

Responden

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pendapatan

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pendapatan

% Pend HR Thd Total Pendapatan

% Pend Non HR Thd Total

Pendapatan

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pengeluaran

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pengeluaran

% Tot Pend HR thd tot Pengeluaran

% Tot Pend Non HR thd

tot Pengeluaran

% Tot Pend terhadap Pengeluaran

1 Badri 16,60% 14,94% 31,54% 68,46% 18,40% 16,56% 34,96% 75,90% 110,86%

2 Adik 74,07% 0,00% 74,07% 25,93% 75,99% 0,00% 75,99% 26,60% 102,58%

3 Udis 10,53% 68,42% 78,95% 21,05% 11,34% 73,70% 85,03% 22,68% 107,71%


(3)

Lampiran 5. ...(Lanjutan)

Kelas 4

No Nama

Responden

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pendapatan

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pendapatan

% Pend HR Thd Total Pendapatan

% Pend Non HR Thd Total

Pendapatan

% Pend HR Kayu Thd Tot

Pengeluaran

% Pend HR Palawija Thd

Tot Pengeluaran

% Tot Pend HR thd tot Pengeluaran

% Tot Pend Non HR thd

tot Pengeluaran

% Tot Pend terhadap Pengeluaran

1 Hendi 57,69% 42,31% 100,00% 0,00% 65,25% 47,85% 113,09% 0,00% 113,09%

2 Wawak 52,40% 5,98% 58,38% 41,62% 52,63% 6,01% 58,64% 41,80% 100,43%


(4)

(5)

RIZKI AGUNG PAMBUDI. Analisis Finansial dan Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO.

Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabkan kerusakan dan menurunnya produktifitas sumberdaya hutan. Salah satu alternatif pemecahan masalah ini adalah dengan pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan yang tidak produktif terutama di luar Pulau Jawa atau dengan alternatif lainnya adalah pembangunan hutan rakyat di Pulau Jawa juga di luar Pulau Jawa. Hasil dari kegiatan pembangunan hutan rakyat selain secara ekologis dapat mendukung lingkungan, dapat pula dihasilkan kayu rakyat yang saat ini telah berkembang menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik dan dirasakan oleh masyarakat bahwa usaha ini dapat memberikan tambahan pendapatan. Hutan rakyat sebagai suatu pendekatan pembangunan kehutanan juga berdimensi pada kelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga perlu dikembangkan dengan lebih baik, agar mampu memberikan produksi kayu yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan petani, dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih jauh karakteristik dan peran hutan rakyat di wilayah Pasir Madang, khususnya dari aspek peranan hutan rakyat tersebut terhadap kesejahteraan keluarga. Penelitian ini mempelajari kondisi ekonomi para petani hutan rakyat melalui perhitungan atas neraca pendapatan dan pengeluaran keluarga petani hutan rakyat. Lebih jauh penelitian ini mengkaji kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan keluarga rumah tangga petani dan mengidentifikasi motivasi petani di dalam pengelolaan hutan rakyat.

Data penelitian dikumpulkan melalui teknik wawancara atas contoh responden petani hutan rakyat yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Disamping melalui wawancara, informasi tambahan dikumpulkan melalui studi pustaka atas sumber-sumber data sekunder dari berbagai instansi pemerintah yang terkait. Responden petani yang diwawancarai di dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang berasal dari Desa Pasir Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar hutan rakyat di Desa Pasir Madang dikelola dengan menggunakan sisten agroforestry. Hutan rakyat di Desa Pasir Madang ini berfungsi sebagai tabungan masyarakat yang dapat dipanen apabila petani membutuhkan uang dalam jumlah yang relatif besar dan dalam keadaan mendesak. Pola pemanenan seperti itu dikenal

dalam istilah sebagai sistem “tebang butuh”.

Para responden petani hutan rakyat di lokasi penelitian sebagian besar berumur pada kisaran 41-47 tahun. Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya sampai tingkat sekolah dasar. Pada umumnya petani hutan rakyat memiliki pekerjaan sampingan selain bekerja di lahan hutan rakyat mereka. Petani di wilayah ini mempunyai tingkat pendapatan rumah tangga yang lebih besar daripada tingkat pengeluarannya, sehingga mereka berada pada kondisi surplus. Dari sisi pengeluaran, alokasi terbesar para petani digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Hutan rakyat memiliki kontribusi yang sangat penting di dalam struktur pendapatan rumah tangga petani. Dengan menggunakan garis kemiskinan Sajogyo, lebih dari tiga perempat responden petani hutan rakyat berada diatas garis kemiskinan atau mampu memenuhi kebutuhan primer minimumnya. Kondisi tersebut cukup mendorong motivasi petani di Desa Pasir Madang di dalam usaha hutan rakyat mereka.


(6)

SUMMARY

RIZKI AGUNG PAMBUDI. Financial Analysis and Contribution of the Community Forest on the Welfare of Farmers Household (in Pasir Madang Village, Sukajaya Subdistrict, Bogor regency, West Java Province). Under supervision of HARIADI KARTODIHARDJO.

The pressure on forest resources led to an excessive exploitation of forest resource so that it no longer able to provide optimal benefits even otherwise cause damage and decreased productivity of forest resources. One alternative solution to this problem is to plant forests construction in forest areas that are not productive especially outside Java or other alternatives is the construction of the community forest in the island of Java also outside of Java island. The result of the community forest development activities in addition to the ecologically can support the environment, can also be produced folk wood currently has evolved into a commodity which has a pretty good economic value and perceived by the public that this effort can provide extra income. The community forest as an approach to development of forestry is also prolific on environmental sustainability and an increase in people's income, so that needs to be developed with the better, so as to provide a high timber production and improve the welfare of farmers, while paying attention to power support and function of forests.

This research aims to understand further the characteristics and role of the community

forest in the Pasir Madang region, particularly from aspect of the community forest’s role against

the welfare of the family. This research studies economic condition community forest farmers through the calculation of the balance of the income and spending the community forest farmer families. Further this research examines the contribution of community forest against the peasant household family income and identifying the motivation of farmers in community forest management.

Data collected through interview of selected respondens of community forest farmers by using purposive sampling method. Additional information collected through literature studies on secondary data sources from a variety of related government agencies. Respondents farmers who is interviewed in this study consisted of 30 people who come from the village of Pasir madang, Bogor regency, West Java.

Based on these studies it is known that most of the people in the village of Pasir Madang managed using agroforestry systems. The community forest in the Pasir Madang village serves as the public savings which can be harvested when the farmer needed the money in relatively large amounts and in urgent circumstances. A pattern of harvesting as it is known in terms of as a

“tebang butuh” system.

The community forest farmer respondents on site research mature majority in the range of 41-50 years old. The level of education respondents mostly only to elementary schools. In general the community forest farmer has a sideline job in addition to working on their forest field. Farmers in this area have a household incomes larger than level its expenditures, so they are on surplus condition. From the expenditure, allocation largest farmers used to terms of food. The community forest have a very important contribution in the structure of household income of farmers. By

using the Sajogyo’s poverty line, more than three quarters of respondents the community forest

farmers are above the poverty line or are able to meet the minimum basic needs. The condition is quite encouraging motivation of farmers in the Pasir Madang village in the effort of their forests.


Dokumen yang terkait

Kontribusi Hutan Rakyat Kemenyan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

2 53 66

Analisis pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat studi kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

3 13 66

Pola Pemilikan Lahan dan Implikasinya Terhadap Kesej ahteraan Rllmah Tangga Petani (Stlldi KaSllS Desa CiburllY, Kecamatan Cijeruk, Kabllpaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 8 89

Sistem Pengelolaan dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Kasus di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur)

0 19 97

Estimasi manfaat agroekologi terhadap lingkungan dan kesejahteraan petani di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

0 4 199

Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat)

1 10 205

Kontribusi pengelolaan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga petani (Studi Kasus: Desa Bangunjaya, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 3 110

Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Usaha Tani di Desa Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

0 6 47

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Analisis Gender Dalam Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Padi Sawah (Kasus Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat).

0 7 90