Karakteristik Responden Sarana dan Prasarana

43 jiwa dan tamatan perguruan tinggi 144 jiwa, selebihnya tidak tamat sekolah dan buta huruf.

5.2.6. Sarana dan Prasarana

Kebutuhan sarana fisik yang dirasakan oleh penduduk adalah jalan penghubung antar desa. Prasarana yang disediakan pemerintah dirasakan sudah cukup memenuhi untuk kelancaran aktivitas masyarakat. Sarana yang disediakan seperti prasarana pengairan dan alat transportasi, jalan, dan jembatan. Kebutuhan di bidang prasarana ekonomi yang dibutuhkan dan disediakan oleh pemerintah adalah fasilitas pemodalan. Selama ini masyarakat Rumpin mendapat modal dari sistem koperasi, di daerah ini terdapat 10 koperasi. Sumber modal yang lain berasal dari penjualan hasil panen dan bantuan dari kelompok usahatani yang mereka miliki. Sarana dan prasarana pertanian di Kecamatan Rumpin tergolong masih sangat rendah. Sehingga, masyarakat petani di daerah ini belum bisa mengoptimalkan produksi yang mereka dapat dari sistem pertanian yang mereka lakukan. Selain itu, sarana perekonomian yang disediakan pemerintah agar petani dapat menjual hasil panen dengan mudah yaitu pasar umum, di daerah ini terdapat lima pasar umum yang terjangkau oleh petani sehingga petani dapat menjual hasil panen secara langsung.

5.3. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian yang dilakukan di Desa Cidokom dan desa Pasir Honje adalah petani agroekologi yang berjumlah 35 responden yaitu 25 responden dari Desa Cidokom dan 15 responden dari Desa Pasir Honje. Karakteristik responden yang dapat diketahui adalah umur, pendidikan, 44 pengalaman bertani, luas lahan yang digarap, dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Variasi umur petani yang menjadi responden cukup lebar, yaitu dari umur 25 hingga 75 tahun. Jumlah Responden petani di Cidokom lebih banyak dari responden petani di Pasir Honje. Hal ini terjadi karena petani yang telah menerapkan agroekologi di Cidokom lebih banyak dari petani yang ada di Pasir Honje. Petani Cidokom banyak yang menerapkan agroekologi karena mengikuti kebiasaan masyarakat dan kondisi tanah yang lebih subur serta ketersediaan input pupuk kandang untuk menerapkan agroekologi lebih banyak di Cidokom. Selain itu, penerapan agroekologi juga dipengaruhi oleh umur petani. Berikut Tabel 6. Rentang umur petani responden. Tabel 6. Rentang Umur Petani Responden di Pasir Honje dan Cidokom Tahun 2010 No Rentang Umur Tahun Pasir Honje Cidokom Jumlah orang Persentase Jumlah orang Persentase 1 25-35 5 33.33 2 36-45 4 26.67 5 25 3 46-55 4 26.67 6 30 4 56-65 6 30 5 6 66-75 75-85 2 13.33 2 1 10 5 Total 15 100 20 100 Sumber: Dikumpulkan Oleh Penulis Melalui Survei 2010 Tabel 6 di atas memperlihatkan rentang umur responden, yang menunjukkan bahwa petani di Pasir Honje relatif lebih muda dibandingkan petani di Cidokom. Terlihat dari jumlah responden yang memiliki rentang umur 25-35 tahun bahwa di Pasir Honje ada lima responden 33, sedangkan di Cidokom tidak ada 0. Hal ini juga menunjukkan bahwa petani Rumpin relatif lebih tua, 45 sehingga memiliki pengalaman bertani dan pengetahuan dari orang zaman dahalu tentang cara bertani yang lebih banyak dibandingkan dengan petani Pasir Honje. Responden yang memiliki umur di atas 46 tahun adalah sebanyak enam orang 40 untuk wilayah Pasir Honje dan 15 orang 75 untuk wilayah Cidokom. Umur juga dapat menggambarkan status pendidikan responden, bahwa responden yang lebih tua atau responden pada zaman dulu pada umumnya tidak tamat SD. Tabel 7. Status Pendidikan Responden di Pasir Honje dan Cidokom Tahun 2010 No Status Pendidikan Pasir Honje Cidokom Jumlah Orang Persentase Jumlah Orang Persentase 1 2 3 Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD 1 7 7 7 47 47 2 10 8 10 50 40 Total 15 100 20 100 Sumber: Dikumpulkan Oleh Penulis dari Survei 2010 Berdasarkan Tabel 7, dari status pendidikan yang terlihat, sebagian besar responden memiliki pendidikan yang rendah yang mungkin mempengaruhi kemampuan petani untuk menyerap atau menerima pengetahuan yang baru dalam hal pembangunan atau perkembangan pertanian termasuk juga dalam penerapan agroekologi yang sebenarnya dapat membantu petani meningkatkan hasil produksi pertanian mereka. Selanjutnya, responden dalam penelitian memiliki pengalaman bertani yang bervariasi. Responden petani Pasir Honje pada umumnya mempunyai pengalaman bertani antara 1-15 tahun yaitu 10 orang 67 sedangkan responden petani Cidokom mempunyai pengalaman bertani yang lebih lama yaitu antara 16 sampai 30 tahun. Responden Cidokom yang mempunyai pengalaman 16 sampai 30 tahun sebanyak 11 orang 55 dari responden. 46 Tabel 8. Rentang Pengalaman Bertani Responden di Pasir Honje dan Cidokom Tahun 2010 No Rentang Pengalaman Bertani Tahun Pasir Honje Cidokom Jumlah Orang Persentase Jumlah Orang Persentase 1 2 3 4 1-15 16-30 31-45 46-60 10 2 2 1 67 13 13 7 4 11 5 20 55 25 Total 15 100 20 100 Sumber: Dikumpulkan Oleh Penulis dari Survei 2010 Responden petani yang melakukan usaha tani, pada umumnya melakukan usahatani di atas lahan milik sendiri. Petani dari Pasir Honje yang menggarap lahan milik pribadi adalah sebanyak 11 orang 73.33 sedangkan yang menggarap lahan milik orang laian hanya empat orang 26.67. Responden di Cidokom hampir semua petani menggarap lahan milik pribadi yaitu 19 orang 95 dan responden yang menggarap lahan milik orang lain yaitu satu orang responden 5. Tabel 9. Status Kepemilikkan Lahan Responden di Pasir Honje dan Cidokom Tahun 2010 No Kepemilikkan Pasir Honje Cidokom Jumlah Orang Persentase Jumlah Orang Persentase 1 2 Pribadi Milik Orang Lain 11 4 73.33 26.67 19 1 95 5 Total 15 100 20 100 Sumber: Dikumpulkan Oleh Penulis dari Survei 2010 Status kepemilikkan lahan mencerminkan pendapatan atau penghasilan yang diperoleh petani. Pendapatan petani yang menggarap lahan milik sendiri akan memiliki pendapatan yang lebih besar dari pada pendapatan petani yang menggarap lahan milik orang lain. Hal ini terjadi karena, petani yang menggarap lahan milik orang lain akan membagi hasil yang diperoleh dengan pemilik lahan. Proporsi pembagian hasil yang biasa dilakukan petani adalah 1:4 yaitu empat 47 bagian dari hasil untuk pemilik lahan dan satu bagian dari hasil untuk penggarap. Pendapatan petani juga dipengaruhi oleh luas lahan yang dimiliki atau digarap oleh petani. Tabel 10. Rentang Luas Lahan yang dimiliki Responden di Pasir Honje Tahun 2010 No Rentang Luas ha Pasir Honje Cidokom Jumlah Orang Persentase Jumlah Orang Persentase 1 2 3 4 0,25-0,5 0,60-1,0 1,10-1,5 1,60-2,0 6 3 3 3 40 20 20 20 9 9 2 45 45 10 Total 15 100 20 100 Sumber: Dikumpulkan Oleh Penulis dari Survei 2010 Luas lahan yang dimiliki petani di lokasi penelitian masih dikatakan sangat kecil dan hasil yang diperoleh dari hasil bertanipun hanya cukup untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Pada umumnya responden memiliki luas lahan kurang dari 1 ha. Tabel 10 menunjukkan bahwa hanya 20 petani Pasir Honje yang memiliki luas lahan lebih dari 1.6 ha sedangkan petani Rumpin tidak ada yang memiliki luas lahan lebih dari 1.6 ha. Petani Cidokom memiliki luas lahan pada umumnya adalah 0,25-0,5 ha yaitu sembilan orang 45. Luas lahan total sebagian besar besar responden antara 0.25 ha hingga 0.5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani responden Pasir Honje dan Cidokom merupakan petani kecil. 48

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.

Penerapan Sistem Low External Input Agriculture Penerapan sistem agroekologi di Desa Pasir Honje dan Desa Cidokom belum murni penerapan agroekologi. Namun, kegiatan pertanian yang dilakukan di kedua desa ini lebih cenderung pada penerapan sistem Low External Input Agriculture LEIA. Penerapan sistem LEIA ini dilakukan petani dengan kegiatan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia, kegiatan menjaga kualitas lingkungan dengan memanfaatkan pengetahuan lokal, dan mempertahankan tradisi yang ada.

6.1.1. Kajian Penerapan Sistem Low External Input Agriculture

Perkembangan sistem pertanian di Indonesia mengalami berbagai masalah salah satunya adalah ketidakberdayaan petani kecil yang mempunyai keterbatasan sumberdaya untuk menyerap teknologi. Sehingga, petani sering tidak mengikuti perkembangan teknologi dalam hal untuk meningkatkan hasil. Sama halnya yang terjadi pada penerapan sistem LEIA di Kabupaten Bogor. Sistem LEIA yang diterapkan di Kabupaten Bogor tidak mudah dilakukan oleh petani, karena sifat ketergantungan petani pada pupuk kimia. Serta kondisi petani yang berlatar belakang pendidikan yang relatif rendah dan pada umumnya berumur di atas 51 tahun yang menyebabkan petani sulit untuk menyerap suatu sistem yang baru. Hal ini dikarenakan, petani lebih cenderung belajar dari pengalaman, pengetahuan yang lalu dan lebih berorientasi pada hasil produksi yang tinggi tanpa peduli dengan keadaaan lingkungan atau kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang semakin menurun menyebabkan produktivitas lahan