c. Tahap recovery
Tahap ini meliputi kemampuan individu memecahkan krisis yang dimiliki dan mempelajari budaya yang ada di lingkungan barunya
Oberg dalam Ward, Bochner Furnham, 2001. d.
Tahap adjustment Tahap ini menggambarkan perasaan senang dan telah memiliki
kemampuan fungsional yang baik dalam lingkungan barunya Oberg dalam Ward, Bochner Furnham, 2001.Dimana, individu mulai
merasa terbiasa dan mulai menikmati pengalaman yang dimiliki. Kemampuan berbahasa individu juga mulai meningkat dan dapat
mengikuti pola kehidupan sehari-hari.Individu juga lebih mampu untuk bersahabat dengan orang-orang lokal dan dapat beradaptasi
dengan hal-hal di lingkungan yang baru.Individu sudah tidak merasa aneh di lingkungan barunya. Kemampuan individu dalam berpikir juga
sudah bisa menyesuaikan dengan orang-orang di lingkungan barunya. Keadaan ini dapat bertahan selama beberapa tahun lamanya Lysgaard
dalam Heine, 2008.
3. Gejala – gejala
Culture Shock
Untuk dapat menangani gejala culture shock yang dialami individu, maka perlu dikenali beberapa gejalanya. Gejala yang ditunjukkan
oleh individu antara lain, individu akan merasa terasingkan dan sendirian, sehingga ini menimbulkan perasaan sedih dalam diri individu tersebut
Pujiriyani Rianty, 2010. Hal tersebut ditunjukkan dengan menghindari kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya yang baru
dan enggan untuk berbicara dengan orang lain Pujiriyani Rianty, 2010. Hal ini terjadi karena individu tersebut merasa tidak nyaman untuk
berinteraksi dengan orang lain. Individu tersebut merasa kehilangan petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya Hooves,
dalam Mulyana Rakhmat, 2009. Selain itu, dirinya juga harus hidup terpisah dari orang-orang terdekatnya dan mulai merasa kehilangan
dukungan Sandhu Asrabadi, dalam Furnham, 2004. Gejala lain yang akan dialami oleh individu ialah masalah terkait
dengan perubahan tempramen. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku individu yang mudah tersinggung, mudah kesal dan marah. Selain itu, individu
tersebut juga akan menunjukan perasaan depresi, merasa lemah dan menderita Pujiriyani Rianty, 2010. Hal tersebut terjadi karena dalam
diri individu tersebut diliputi oleh respon-respon negatif akibat keberadaannya di lingkungan yang baru Oberg dalam Bochner, 1994;
Smith Bond, 1993. Keadaan ini membuat individu tersebut menjadi mudah marah menghadapi hal-hal yang dialaminya Church dalam Heine,
2008. Keadaan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan bahwa orang yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan,
depresi dan stress Thomson, Rosenthal Russell, 2006. Gejala berikutnya yang mungkin muncul adalah mulai muncul
perasaan tidak berdaya dalam melakukan suatu hal, termasuk
menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana Pujiriyani Rianty, 2010. Dengan demikian, akan muncul keinginan untuk terus bergantung
pada orang yang berasal dari tempat yang sama Hooves dalam Mulyana Rakhmat, 2009. Pertemuan antara dua budaya yang berbeda, dapat
memunculkan persoalan dan terkadang persoalan tersebut belum pernah dialami sebelumnya. Dalam setiap pemecahan masalah, setiap individu
akan bernegosiaasi dengan caranya masing-masing Ward, Bochner Furnham, 2001. Oleh karena itu, ketika individu menghadapi masalah di
lingkungan budayanya yang baru dan masih menggunakan model pemecahan masalah dari budayanya yang lama, maka masalah tersebut
dirasa berat dan tidak dapat diselesaikannya. Keadaan seperti ini yang kemudian membuat individu tersebut ingin tetap dekat dan bergantung
dengan orang yang berasal dari budaya yang sama dan dapat diajak berkomunikasi dengan lebih dekat Oberg dalam Irwin, 2008; Guanipa,
2008. Individu tersebut juga lebih suka bersahabat dengan individu yang berasal dari budaya yang sama Bochner Furnham, 2001.
Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak dapat bekerja secara efektif juga menjadi gejala culture shock Pujiriyani Rianty, 2010.
Seorang individu yang mengalami gejala culture shock biasanya akan mengalami gangguan pada kemampuannya dalam melakukan suatu hal.
Individu tersebut tidak dapat bekerja seefektif dan sebaik mungkin. Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri individu tersebut telah
muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu melakukan sesuatu
Pujiriyani Rianty, 2010. Dengan demikian, pekerjaan yang sedang atau telah dilakukan oleh individu tersebut akan selalu terasa kurang
memuaskan. Individu yang mengalami culture shock juga akan menunjukkan
rasa kehilangan identitas dan kurangnya percaya diri Pujiriyani Rianty, 2010. Perubahan dalam konteks budaya tersebut mampu mengubah
identitas individu. Keadaan ini disebabkan karena indentitas dibentuk dan dipertahankan berdasarkan konteks budaya, sehingga pengalaman dalam
konteks budaya yang baru seringkali memunculkan pertanyaan tentang identitas Lysgaard dalam Martin Nakayama, 2004.
Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman inilah yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu
Pujiriyani Rianty, 2010. Hal ini terjadi karena ketika individu masuk ke dalam lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan
berinteraksi dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang didapatkannya, mampu membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya
yang selama ini tidak sesuai dengan keadaannya saat ini. Dengan demikian, kedaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi rasa percaya diri
individu tersebut, sehingga ia akan mengalami rasa kurang percaya diri Pujiriyani Rianty, 2010.
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,
keluarga dan rumah Pujiriyani Rianty, 2010; Lysgaard dalam Heine,
2008. Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya
Church dalam Heine, 2008. Gejala culture shock yang selanjutnya adalah individu mulai
mengalami gangguan makan, minum dan istirahat yang berlebihan Pujiriyani Rianty, 2010. Individu yang mengalami culture shock
mungkin akan mengalami gangguan makan dan minum. Hal tersebut terjadi karena kebiasaan makan juga diatur dalam budaya Porter
Samovar dalam Mulyana Rakhmat, 2009. Ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut juga
akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu, budaya juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan
pekerjan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang diikuti dan perubahan tempat tinggal Furnham Bochner, 2001. Perubahan
yang dialami oleh individu tersebut, akhirnya mengganggu gaya hidup yang sudah dimiliki dalam budaya yang sebelumnya.
Individu yang mengalami gangguan makan, minum dan pola tidur ini pada akhirnya juga akan bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan
dalam menghadapi penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit yang dialaminya termasuk penyakit yang sepele Pujiriyani Rianty,
2010; Hooves dalam Mulyana Rakhmat, 2009. Individu tersebut juga mulai mengalami sakit kepala dan sakit perut Gudykunst Kim dalam
Samovar, Porter McDaniel, 2010.
Pada saat individu berada di lingkungan budaya yang berbeda, orang tersebut akan lebih banyak mengalami distress dan membutuhkan
konsultasi medis Babiker, Cox Miller dalam Heine, 2008. Hal ini dilakukan karena individu tersebut merasa butuh bantuan seseorang yang
memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh karena itu, pada saat mengalami suatu penyakit yang ringan, orang tersebut akan langsung
melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut juga mendukung munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan diri dan
lingkungannya yang menjadi berlebihan Pujiriyani Rianty, 2010. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa gejala-
gejala culture shock antara lain: a.
Merasa sedih, sendirian dan terasingkan b.
Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal
c. Takut melakukan kontak fisik
d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama
e. Merasa tidak aman rasa ketakutan yang berlebihan takut ditipu,
dirampok, takut terluka f.
Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita, dan lemah g.
Mudah tersinggung, kesal dan marah h.
Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana
i. Kehilangan identitas dan kurang percaya diri
j. Merindukan keluarga dan rumah
k. Memiliki hasrat makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan
sangat kurangsedikit insomnia l.
Bermasalah dengan kesehatan flu, demam, diare, alergi m.
Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness kebersihan yang berlebihan terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun
tempat tidur .
4. Faktor - faktor yang mempengaruhi