FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA)PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA.

(1)

FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Disusun oleh : MARSHELLENA DEVINTA

08413244004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Lepaskan masa lalu tanpa penyesalan namun jadikan pelajaran, Hadapi hari ini dengan tegar dan percaya diri,

Siapkan masa depan dengan rencana yang matang tanpa ada rasa khawatir

(Hary Tanoesoedibjo

Ada dua cara untuk menghadapi kesulitan, mengubah kesulitan itu atau mengubah diri sendiri untuk menghadapinya

(Phyllis Bottome)

Jangan patah semangat walau apapun yang terjadi, karena jika kita menyerah maka habislah sudah

(Tom)

Seringkali, pekerjaan terlihat sangatlah sulit untuk dilakukan. Mengeluhlah karena itu manusiawi, hanya saja jangan nyaman dengannya

(Doni Hermawan)

“We shall not cease from exploration And the end of all exploring Will be to arrive where we started And know the place for the first time

(T.S. Elliot)

Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu, karena jika kamu terlalu larut dalam kesedihanmu sesungguhnya kamu hanya akan bersedih sendirian


(6)

PERSEMBAHAN

Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya, sehingga skripsi ini

akhirnya dapat terselesaikan.

Dengan penuh ketulusan dan rasa hormat, kupersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua ku, Bapak Agus Waryanto dan Ibuku Siti Lungwiati tercinta,

terimakasih atas doa tulus yang tidak pernah padam menyertai langkahku, dukungan yang tidak pernah berhenti, kasih sayang dan cinta kasih yang tidak pernah surut dalam membimbingku serta nasihat untuk meluruskan jalanku akan

selalu menjadi motivasi dalam menggapai cita.

Kubingkiskan untuk Adikku satu-satunya Dinda Imaniska dan keponakan pertamaku Banu Mahardika yang memberikan semangat dalam warna-warni

hidupku. Terimakasih karena canda, tawa, tangis, amarah, kebersamaan dan senyum tulus kalianlah yang memompa niatku untuk terus menjadi lebih baik.

Semoga semua cita-cita kita tercapai. Aamiin.

Karya ini juga kubingkiskan untuk Doni Hermawan, seseorang yang mengisi hati serta hariku dengan ketulusan, kesabaran dan kebahagiaan. Terimakasih telah

hadir, memberikan motivasi dalam menjalani hidupku dan tidak bosan selalu memberikanku semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Untuk teman-teman angkatanku Pendidikan Sosiologi 2008, terimakasih atas masa kebersamaan yang telah kalian berikan. Kini saya datang meyusul kalian untuk berjuang menggapai cita-cita karena ternyata perjalanan memang masih


(7)

KATA PENGANTAR Assalamu „alaikum wr.wb.,

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-NYA. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan sepanjang jaman. Hanya atas petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan

Di Yogyakarta” sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana

pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A, selaku Rektor Universitas

Negeri Yogyakarta yang berkenan memberi kesempatan bagi saya untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta beserta fasilitas yang telah disediakan.

2. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian. 3. Bapak Grendi Hendrastomo, S. Sos., MA., MM., selaku Ketua Program Studi


(8)

yang telah memberikan izin serta mengesahkan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana (Strata-1).

4. Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M. Si., selaku Ketua Penguji yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik yang membangun, masukan berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Ibu V Indah Sri Pinasti, M.Si., selaku Dosen Narasumber dan Penguji Utama yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik, masukan berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Ibu Nur Hidayah, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Grendi Hendrastomo, MM., MA., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Jurusan Pendidikan Sosiologi Prodi Pendidikan Sosiologi yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis selama berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

9. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.

10. Walikota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.


(9)

11. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian serta memberikan data-data mahasiswa perantau di Yogyakarta tahun akademik 2015 sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

12. Para mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang telah banyak memberikan informasi sehingga dapat terlaksana penelitian dan tersusunnya skripsi dengan baik dan lancar.

13. Kedua orang tuaku tercinta yang tidak pernah berhenti selalu mengejar janji terselesaikannya skripsi ini dalam suasana apapun, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini jua.

14. Sahabat seperjuanganku di Pendidikan Sosiologi Non-Reguler 2008, Nia Budi Lestari dan Pri Rohmawati yang telah banyak membantu memberikan bantuan, dukungan serta semangat, terimakasih untuk semuanya.

15. Teman-teman Kost Mbak Kondang-Mbak Mull Gejayan CC XII/ 87a Soropadan, Mbak Funny, Ganita, Afrilia, Watik, Mbak Ina, Mbak Vicha, Mbak Nana, Mbak Intan dan semua yang selalu memotivasi saya menyelesaikan skripsi.

16. Teman-teman parkiran Gedung Kampus Fakultas Ilmu Sosial Mas Adit dan Mas Galih yang membantu mencarikan narasumber Program Kerja sama Daerah.

17. Teman-teman Jurusan Pendidikan Sosiologi angkatan 2008 yang telah memberikan masa kebersamaan selama menempuh masa akademik yang tidak pernah akan terlupakan.


(10)

(11)

FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA

Disusun oleh: MARSHELLENA DEVINTA

08413244004 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta, (2) Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini adalah delapan orang informan mahasiswa perantau dari luar Jawa yang terdiri dari empat orang informan mahasiswa perantau semester awal dan empat orang informan mahasiswa perantau semester lanjut. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta terbagi atas penyebab internal dan eksternal. Culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki gejala dan reaksi dalam bentuk stress mental maupun fisik yang berbeda-beda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Pengalaman culture shock bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan yang memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi dan kondisi budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Empat fase dalam culture shock yaitu fase optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase recovery (fase ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta terdapat pada fase terakhir dalam culture shock yang ditunjukkan dengan adanya tindakan adaptasi budaya yang diaplikasikan oleh mahasiswa perantauan di Yogyakarta sebagai tempat rantauan. Kata Kunci: Mahasiswa Perantauan, Culture Shock, Adaptasi Budaya


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR... 12

A. Kajian Pustaka ... 12

1. Culture Shock ... 12

a. Pengertian Culture Shock…... 12

b. Penyebab Culture Shock…... 12

c. Gejala Culture Shock... 13


(13)

2. Adaptasi………... 17

3. Sosialisasi………. 19

a. Pengertian Sosialisasi………. 19

b. Tujuan Sosialisasi……….. 20

4. Komunikasi Bahasa……….. 22

5. Budaya dan Masyarakat………... 23

6. Mahasiswa... 25

7. Perantau dan Merantau………... 25

a. Pengertian Perantau... 25

b. Pengertian Merantau...…… 26

B. Penelitian yang Relevan……….……… 27

C. Kerangka Pikir………...…… 31

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Lokasi dan Subyek Penelitian………...…. 34

B. Waktu Penelitian ... 34

C. Metode Penelitian ... 34

D. Sumber Data Penelitian... 36

1. Sumber Data Primer ... 36

2. Sumber Data Sekunder ... 37

E. Teknik Pengumpulan Data ... 38

1. Pengumpulan Data dengan Observasi………... 38

2. Pengumpulan Data dengan Wawancara………... 39

3. Pengumpulan Data dengan Dokumentasi……… 40

F. Teknik Pengambilan Sampel………. 41

G. Validitas Data………. 44

H. Teknik Analisa Data………... 46

1. Pengumpulan Data……… 46

2. Reduksi Data……… 47


(14)

4. Penarikan Kesimpulan………. 49

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…... 51

A. Deskripsi Data………...…………... 51

1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta ………...…...……… 51

a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta……… 55

b.Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta………. 58

2. Deskripsi Umum Informan Penelitian……….………… 62

B. Analisa dan Pembahasan. ………..……… 68

1. Penyebab yang Melatarbelakangi Proses Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta………. 68

2. Dampak Culture Shock………... 103

C. Pokok-Pokok Temuan………... 113

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(15)

DAFTAR BAGAN

1. Kerangka Pikir... 33 2. Komponen-komponen Analisis data Miles dan Huberman………… 50


(16)

DAFTAR TABEL

1. Gejala dan Reaksi Culture Shock Pedersen……… 15 2. Jumlah Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta Berdasarkan Asal

Daerah tahun Ajaran 2015………..……….. 60 3. Perbedaan Culture Shock Yang Dialami Oleh Mahasiswa Perantauan


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Pedoman Observasi... 125 2. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal

Perkuliahan... 126 3. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah

Perkuliahan... 129 4. Hasil Observasi... 132 5. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal

Perkuliahan... 135 6. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah

Perkuliahan...…. 176 7. Tabel Koding... 227


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau, lokasi universitas yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dengan tingkat kualitas berbeda-beda memunculkan pandangan berberbeda-beda pada masing-masing calon mahasiswa dalam menentukan pilihan universitas. Bercampurnya mahasiswa dengan identitas budaya yang berbeda-beda dalam suatu daerah bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat gerak sosial geografis oleh seorang individu atau kelompok individu di atas kemajemukan budaya, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya yang terdapat di Indonesia, sehingga sangat memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk Indonesia. Mengingat beragamnya budaya menimbulkan perbedaan budaya yang ada antara satu budaya dengan budaya lainnya di tanah air Indonesia, maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin besar. Dalam konteks tersebut secara umum kekagetan budaya terjadi akibat ketidaksiapan individu menghadapi perbedaan budaya yang dikenal dengan istilah culture shock (gegar budaya), yang ditunjukkan pada tahap awal kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami suatu problem ketidaknyamanan terhadap lingkungan barunya yang kemudian akan berpengaruh baik secara fisik maupun emosional sebagai reaksi ketika


(19)

berpindah dan hidup dengan lingkungan baru terutama yang memiliki kondisi budaya berbeda. Ketika nilai-nilai budaya baru tersebut terasa berbeda dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sebagai dampaknya individu pasti akan merasa sangat terganggu karenanya. Budaya yang baru dapat berpotensi menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai-nilai budaya lain bukanlah hal yang instan serta menjadi sesuatu hal yang tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mudah.

Konsep culture shock (gegar budaya) pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg pada tahun 1960 untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh individu-individu yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).

Yogyakarta adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa yang juga merupakan salah satu kota tujuan pendidikan yang banyak menarik minat para perantau untuk datang dan melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi yang terdapat di kota Yogyakarta. Hal ini ditinjau dari hampir setiap tahunnya puluhan universitas yang tersebar di wilayah Yogyakarta dipenuhi oleh para pelajar yang berasal dari luar kota, luar propinsi atau bahkan luar negeri dengan motif tujuan yang sama yaitu untuk menuntut ilmu dan meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, baik jenjang diploma maupun jenjang sarjana dari S1, S2, hingga S3. Semakin banyak mahasiswa perantau yang datang untuk menuntut ilmu di Yogyakarta menyebabkan dinamika pelajar yang juga semakin tinggi karena


(20)

di sanalah pertemuan emosional kolektif putera puteri Indonesia dari Sabang

hingga Merauke diatas “Bhineka Tunggal Ika” yang diwujudkan dengan niat

menuntut ilmu diberbagai perguruan tinggi Yogyakarta. Para pelajar rantauan inilah awal mula terbentuknya keanekaragaman budaya dan memunculkan nuansa multikultural yang ada di kota Yogyakarta baik di lingkungan tempat-tempat perguruan tinggi hingga lingkungan tempat tinggal sementara (seperti kos) para mahasiswa perantau tersebut. Sehingga tidak heran jika di lingkungan sosial kampus terlebih di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar miniaturnya Indonesia ini akan kita temui sejumlah mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan karakternya masing-masing yang mencerminkan kekhasan budaya dari mana individu itu berasal.

Selain kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya yang kental dengan budaya Jawa dan masyarakatnya yang menjunjung tinggi adat istiadat Jawa dalam tata perilaku mereka sehari-hari berupa tata krama, unggah-ungguh, nilai-norma, misalnya saja dari segi bahasa, sebagian besar masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari yang terkenal sopan, halus serta bernada rendah. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa perantau yang memilih berkuliah di Yogyakarta memiliki karakteristik sosial budaya yang tentu saja berbeda dengan kondisi sosial budaya kota Yogyakarta. Sehingga kondisi multikultural yang ada diantara mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa maupun dengan penduduk pribumi sebagai tuan rumah baik itu adalah teman kuliah, dosen, maupun


(21)

warga kampung daerah tempat tinggal kosnya, ini tentunya dapat menimbulkan reaksi psikis berupa kekagetan budaya yang biasanya diikuti dengan munculnya hal-hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan sosial budaya diantara mereka yang dipertemukan dalam satu tempat yang sama yaitu Yogyakarta.

Budaya merupakan alat perekat dalam suatu komunitas (Tilaar, 2004: 82). Pada hakekatnnya hal inilah yang menjadi salah satu wahana efektif bagi masyarakat dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai individu yang berbeda budaya untuk saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat begitu saja berlaku pada mahasiswa perantau yang baru memasuki tahap awal kehidupannya di Yogyakarta sebagai tempat rantauan. Berada di lingkungan baru yang asing menghadapkan mahasiswa perantau pada suatu permasalahan sosial-psikologis yang harus mereka lalui terlebih dahulu sebagai proses adaptasi terhadap tempat rantauan, karena suasana multikultural diantara mahasiswa perantau di Yogyakarta, serta kondisi sosial budaya penduduk pribumi Yogyakarta sebagai tuan rumah di tempat rantauan ternyata dapat menimbulkan kekagetan budaya (culture shock) yang terjadi akibat ketidaksiapan individu perantau yang berpindah dari suatu budaya asal kebudaya baru dengan segala perbedaan yang ada didalamnya.

Adanya perbedaan latarbelakang budaya beserta karakter diantara mahasiswa perantau dengan individu-individu tuan rumah tersebut tentunya akan melahirkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal kehidupan,


(22)

perbedaan-perbedaan tersebut dapat berpotensi sebagai modal budaya jika mengarah pada persatuan (intergrasi) atau asosiatif, jika terjalin suatu hubungan dan kerja sama yang baik antara mahasiswa perantauan dari suatu daerah tertentu dengan teman kampus sesama mahasiswa yang berstatus pribumi Yogyakarta maupun antara mahasiswa perantauan dengan masyarakat pribumi Yogyakarta. Namun fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan yang baru memasuki tahap awal kehidupannya dilingkungan baru sebagai reaksi menemukan perbedaan tersebut dapat juga berpotensi menjadi sumber kekacauan, seperti enggan melakukan interaksi, prasangka negatif, dan keraguan berinteraksi antar budaya yang rentan akan suatu tindakan stereotip (pencitraan yang buruk) terhadap kebudayaan baru hingga timbulnya paham etnosentris pada diri individu mahasiswa perantau dengan memandang rendah budaya tuan rumah di tempat rantauanya, perpecahan (disintegrasi) atau disasosiatif dan mengarah pada pertentangan atau konflik apabila proses sosialisasi dari adaptasi budaya tidak berjalan lancar.

Dapat dikatakan bahwa dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan bahkan dapat menimbulkan masalah sosial akibat adanya perbedaan kebudayaan antara mahasiswa perantauan dengan teman kampus sesama mahasiswa yang berstatus pribumi Yogyakarta maupun antara mahasiswa perantauan dengan masyarakat pribumi Yogyakarta dan akan menjadi negatif menyangkut kerugian fisik, psikologis serta sosial jika culture shock (gegar budaya) tidak teratasi. Kesuksesan bersosialisasi dari


(23)

adaptasi budaya yang akan individu lakukan terhadap lingkungan sosio-kultural barunya ini merupakan tantangan atau permasalahan tersendiri dalam mengusahakan penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan barunya. Tidak jarang pada bulan-bulan pertamanya sebagai proses dari gegar budaya mahasiswa perantauan ini akan rentan merasa gagal menyesuaikan diri, jenuh, tidak nyaman dengan keadaan di tempat rantauan, akibatnya mereka mengalami gegar budaya, kepanikan, kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, daya tahan tubuh mengurang sehingga mudah terserang penyakit ringan seperti flu, demam dan diare, bahkan stres hingga depresi yang akhirnya menimbulkan rasa ingin selalu cepat pulang kekampung halamannya yang dapat mengganggu konsentrasi berkuliah sebagai tujuan utamanya merantau.

Dari uraian-uraian diatas, fenomena culture shock (gegar budaya) yang terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ternyata sangat menarik untuk diamati dan diteliti lebih intensif guna mendapatkan suatu temuan sosial yang bermanfaat. Tulisan ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang fenomena culture shock mengenai penyebab yang melatarbelakangi, gejala hingga reaksi dan dampak culture shock yang terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti berharap melalui tulisan ini pembaca dapat memetik manfaat untuk membantu diri sendiri ataupun orang lain agar terhindar dari culture shock, ataupun mampu mengatasi culture shock saat berada di lingkungan budaya yang berbeda. Selain itu, tulisan ini juga merupakan usaha untuk menambahkan minimnya


(24)

literatur mengenai fenomena culture shock di Indonesia. Bila memungkinkan tulisan ini juga diharapkan dapat membuka minat dan wawasan bagi pembacanya untuk membahas permasalahan mengenai fenomena culture shock atas peluang-peluang riset yang mungkin akan dilakukan di masa mendatang.

B. Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :

a. Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau.

b. Adanya perbedaan latarbelakang budaya diantara para mahasiswa perantauan dengan penduduk asli Yogyakarta.

c. Pengalaman lintas budaya menghadapkan mahasiswa perantau pada fenomena culture shock yang akan dialaminya di tanah rantauan. d. Fenomena culture shock menimbulkan masalah psikis yang

mengganggu bagi mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta. e. Adanya penyebab yang melatarbelakangi terjadinya gegar budaya pada

mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta.

f. Bagi mahasiswa perantau culture shock harus segera diatasi untuk membiasakan diri terhadap segala perbedaan sosial budaya sebagai pengalaman lintas budaya.


(25)

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dalam hal ini permasalahan yang dikaji perlu dibatasi. Pembatasan masalah dilakukan agar fokus penelitian menjadi jelas dan tidak terlalu luas, oleh karenanya untuk mempersempit area bahasan dalam penelitian ini maka peneliti membatasi kajian pada fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :

1. Apakah penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta?

2. Bagaimana dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. 2. Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa


(26)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti dan kontribusi serta wawasan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagai hasil karya ilmiah mengenai fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

b. Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya atau berguna untuk menambah informasi yang berhubungan dengan fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah koleksi bacaan sehinga dapat digunakan sebagai sarana dalam menambah wawasan yang lebih luas.

b. Bagi Pembaca

Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi untuk mengetahui permasalahan dan fenomena yang terjadi yaitu fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.


(27)

c. Bagi Mahasiswa

1) Penelitian ini dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah ke lingkungan perguruan tinggi.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi, informasi dan menambah wawasan mahasiswa mengenai fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta untuk diteliti lebih lanjut. d. Bagi Peneliti

1) Penelitian ini dilaksanakan untuk menyelesaikan studi guna mendapatkan gelar Sarjana (S1) pada program studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengukur kemampuan

peneliti dalam menemukan suatu fenomena atau permasalahan sosial yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat serta menganalisisnya.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Culture Shock

a. Pengertian Culture Shock

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya, istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya baru yang berbeda.

Konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) untuk menggambarkan respon yang mendalam dari depresi, frustasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya baru yang berbeda. Sementara Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).

b. Penyebab Culture Shock

Melalui konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa culture shock terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yaitu:

1)Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana


(29)

sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. 2)Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang

disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini.

3)Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).

Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang berpindah ke negeri lain untuk periode waktu lama (Dayakisni, 2012: 266).

Oberg lebih lanjut menjelaskan bahwa hal-hal tersebut benar dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan lambang hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma yang individu peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak individu tersebut lahir (Mulyana, 2006:175).

Ketika individu perantau memasuki suatu lingkungan budaya baru yang asing, semua atau hampir semua petunjuk-petunjuk ini menjadi samar atau bahkan lenyap, yang dapat di gambarkan individu ini bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun individu tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, individu tetap akan kehilangan pegangan, kemudian individu mengalami frustasi dengan gejala


(30)

maupun reaksi yang hampir sama diderita oleh individu yang terjangkit gegar budaya. Pertama-tama individu akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan hingga penyesalan diri. Lingkungan di kampung halaman sekarang terasa menjadi demikian penting. Semua kesulitan dan masalah yang dihadapi menjadi tekanan dan hanya hal-hal menyenangkan dikampung halamanlah yang diingat menjadi sangat dirindukan. Bagi individu perantau hanya pulang ke kampung halamannya yang akan membawanya kepada realitas.

c. Gejala-Gejala dan Reaksi Culture Shock (Gegar Budaya)

Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya sebagai sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik: individu pindah ke lingkungan baru yang asing, kemudian mengembangkan gejala psikologis negatif dan beberapa gejala gegar budaya ini adalah buang air kecil, minum, makan serta tidur yang berlebih-lebihan; perasaan tidak berdaya lalu keinginan untuk terus bergantung pada individu-individu sebudayanya; marah/ mudah tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi yang berlebih-lebihan terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman (Mulyana, 2006:175).

Gegar budaya banyak menyebabkan gangguan-gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh pendatang baru. Pada tahap awal penyesuaian kebudayan baru, individu


(31)

pendatang akan mengalami masa terombang-ambing antara rasa marah dan depresi. Gegar budaya sebagai pengalaman belajar yang mencakup akuisisi dan pengembangan keterampilan, aturan, dan peran yang dibutuhkan dalam setting kultur yang baru. Gegar budaya juga sebagai hilangnya control seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis (Mulyana, 2006:176).

Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012: 443).

Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar budaya melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau asing yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala dan reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock dapat dilihat dari tabel berikut (Shiraev dan Levy, 2012: 444):


(32)

Gejala Gegar Budaya Deskripsi Reaksi Gegar Budaya 1)Gegar budaya sebagai

nostalgia.

 Orang merasa rindu keluarga, kawan, dan pengalaman lain yang familiar.

2)Gegar budaya sebagai disorientasi dan hilangnya kontrol.

 Hilangnya hal-hal yang familiar tentang perilaku orang lain. Disorientasi menimbulkan kecemasan, depresi, dan merasa putus asa.

3)Gegar budaya sebagai ketidakpuasan atas hambatan bahasa.

 Kurangnya komunikasi atau sulitnya komunikasi bisa menimbulkan frustasi dan perasaan terasing. 4)Gegar budaya sebagai

hilangnya kebiasaan dan gaya hidup.

 Individu tidak mampu melakukan banyak aktifitas yang sebelumnya ia nikmati : ini menyebabkan

kecemasan dan perasaan kehilangan.

5)Gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan.

 Perbedaan antara budaya baru dengan budaya kampung halaman biasanya dilebih-lebihkan dan sulit diterima.

6)Gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan nilai.

 Perbedaan ini biasanya dilebih-lebihkan: nilai-nilai baru tampaknya sulit diterima.

Tabel 1. Gejala dan reaksi culture shock (Pedersen dikutip dari Shiraev dan Levy, 2012: 444)

d. Fase-fase Culture Shock (Gegar Budaya)

Samovar menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U –


(33)

Curve.

1) Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. 2) Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

1) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain (Samovar, Richard dan Edwin, 2010: 169).

Mahasiswa perantau yang notabene telah terbiasa menjalankan dan mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari di daerah asalnya masing-masing, mereka akan saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan sama dan hidup bersama dalam satu daerah dalam kurun waktu yang lama. Keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi, linguistik/ bahasa, pola berpikir, nilai-norma, tata perilaku dan gaya komunikasi yang kesemuanya cara yang terjalin secara terus menerus


(34)

mengiringi kelangsungan hidup masyarakat dalam kelompok lingkungan fisik beserta lingkungan sosial suatu kebudayaannya.

Akibatnya mahasiswa-mahasiswa perantauan tersebut terpelihara dan terbiasa dengan kebudayaan mereka sendiri, hingga tanpa disadari kemudian membentuk karakter dan menjadi ciri khas yang melekat pada diri masing-masing individu sejak ia lahir. Sehingga ketika mereka bermigrasi atau merantau secara tiba-tiba untuk kepentingan pendidikan berkuliah di Yogyakarta, memasuki budaya Yogyakarta yang berbeda dengan budaya asal sama saja dengan menghadapkan mahasiswa perantauan dengan situasi-situasi yang berpotensi menimbulkan keterkejutan, ketidaknyamanan serta kecemasan temporer tidak beralasan dalam diri individu yang berakibat pada terguncangnya konsep diri dan identitas budaya. Kondisi ini dapat menyebabkan sebagian besar mahasiswa perantauan mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu.

2. Adaptasi (Penyesuaian Diri)

Para mahasiswa perantau yang berkuliah di universitas-universitas yang tersebar di Yogyakarta secara tidak langsung dituntut untuk bisa berusaha menyesuaikan diri di lingkungan rantauannya yaitu Yogyakarta.

Dalam kamus sosiologi menjelaskan beberapa pengertian adaptasi.

a. Adaptation

1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk

kepentingan lingkungan dan sistem

3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah


(35)

4) Penyesuaian dari kelompok terhadap lingkungan 5) Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan

6) Penyesuaian biologis atau budaya sebagai hasil seleksi alamiah.

b. Adaptation, communal

Proses penyesuaian dengan lingkungan yang terjadi sebagai akibat tidak langsung dari pengorganisasian penduduk. c. Adaptation, external

Penyesuaian diri dari struktur sosial terhadap lingkungan sosial.

d. Adaptation, genetic

Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, sebagai akibat genotype.

e. Adaptation, individual

Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan sebagai akibat langsung dari usaha pribadi, dan yang secara tidak langsung merupakan akibat kegiatan penduduk yang terorganisasikan. f. Adaptation, social

Hubungan antara suatu kelompok atau lembaga dengan lingkungan fisik yang mendukung eksistensi kelompok atau lembaga tersebut (Soerjono Soekanto, 1985:9).

Ward dan Kennedy (dikutip dari Dakyakisni, 2012:270) melakukan pendekatan melalui dua bentuk adaptasi. Pertama yaitu, Adaptasi sosiokultural, yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan negosiasi interaksi dengan anggota-anggota budaya tuan rumah yang baru. Kedua yaitu, Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa perubahan kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kesulitan lebih rendah dalam pengelolaan kontak sosial sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan adanya tingkat perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan rumah dengan pendatang, interaksi yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi dan tingkat gangguan mood yang lebih rendah.


(36)

Mahasiswa perantauan yang memasuki suatu situasi baru, selain menjadi mahasiswa juga harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Proses adaptasi akan dialami oleh setiap mahasiswa etnik pendatang. Dengan memasuki suatu kebudayaan baru yang tidak familiar, secara tidak langsung mereka juga dituntut berusaha untuk menyesuaikan bahkan mulai menerima sebagian budaya dari etnik budaya setempat melalui proses adaptasi. Mahasiswa perantauan dalam mengatasi fenomena culture shock di Yogyakarta salah satunya ialah dengan adaptasi (penyesuaian diri) dengan Yogyakarta yang kini sebagai lingkungan barunya baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Adaptasi berperan penting sebagai cara mengatasi stress, membatasi terjadinya stress, mengurangi atau menetralisasi pengaruhnya.

3. Sosialisasi

a. Pengertian sosialisasi

Pengertian sosialisasi menurut Peter Berger adalah suatu proses dimana seorang individu belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Idianto, 2004:115). Menurut David Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma agar ia berpartisipasi sebagai seorang anggota dalam kelompok masyarakatnya (Ihromi, 1990: 30).

Secara sederhana sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu berpikir mempelajari cara-cara hidup, nilai-norma sosial yang terdapat dalam suatu


(37)

kelompok agar ia dapat menyesuaikan diri dan mampu berkembang menjadi pribadi yang dapat diterima, berperan serta berfungsi dalam kelompoknya tersebut.

Setelah memahami pengertian sosialisasi menurut beberapa ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi adalah proses yang dilalui oleh setiap individu dalam belajar tentang semua kebiasaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Batasan mengenai sosialisasi yaitu proses dimana individu tersebut mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku di dalam masyarakat dimana individu tersebut hidup.

b. Tujuan sosialisasi

Tujuan pokok adanya sosialisasi bukan semata-mata agar kaidah-kaidah dan nilai-nilai diketahui dan dimengerti. Tujuan akhir dari sosialisasi adalah agar manusia bersikap dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang bersangkutan menghargainya (Soerjono Soekanto, 1990:442).

Sosialisasi sebagai proses sosial mempunyai tujuan sebagai berikut:

1) Memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan seseorang kelak ditengah-tengah masyarakat tempat dia menjadi salah satu anggotanya,

2) Menambah kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien serta mengembangkan kemampuannya untuk membaca, menulis, dan bercerita,

3) Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat, 4) Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan kepercayaan


(38)

pokok yang ada pada masyarakat (Idianto, 2004: 115).

Proses sosialisasi dan kesetiaan sosial akan berjalan secara simultan dan terjadi satu sama lain. Pengalaman serta pengaruh dari individu lain dapat mengubah seseorang individu menjadi pribadi sosial. Beberapa kasus menunjukkan bahwa individu yang mengalami isolasi sosial tidak dapat berkembang sebagai pribadi sosial yang normal. Proses sosial manusia berupa sifat ketergantungan antara individu satu dengan yang lain dan sifat manusia untuk mempelajari barbagai macam bentuk tingkah laku (Koentjaraningrat, 1980: 243).

Proses belajar sosial merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup, yang berawal sejak individu dilahirkan hingga mati. Dalam proses ini, individu mendapatkan pengawasan, pembatasan/ hambatan dari individu lain atau masyarakat. Tetapi individu juga mendapatkan bimbingan, dorongan, stimulasi serta motivasi dari individu lain atau masyarakat. Jadi dalam suatu proses sosialisasi, individu bersikap reseptif dan kreatif terhadap pengaruh invidu lain atas masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1980: 247).

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dijabarkan mengenai batasan dari definisi sosialisasi, antara lain:

1) Sosialisasi ditempuh oleh seorang individu melalui proses belajar untuk memahami, menghayati, menyesuaikan dan melaksanakan tindakan sosial yang sesuai dengan pola perilaku masyarakatnya,

2) Sosisalisasi ditempuh seorang individu secara bertahap dan berkesinambungan sejak ia dilahirkan hingga ia


(39)

berakhir hayatnya,

3) Sosialisasi erat sekali kaitannya dengan enkulturasi atau proses pembudayaan, yaitu proses belajar seorang individu untuk belajar, mengenal, menghayati, menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap sistem adat, norma, bahasa, seni, agama, serta semua peraturan yang mengatur hidup seorang individu dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1980: 249).

Teori sosialisasi menjadi salah satu konsep khusus terhadap terjadinya dinamika sosial yang sangat dibutuhkan untuk menganalisa secara ilmiah gejala-gejala serta kejadian-kejadian sosial budaya pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta sebagai proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan. Hal ini dikaitkan dalam culture shock disebabkan meski perbedaan budaya menjadi suatu kendala tersendiri bagi mahasiswa perantauan, namun tanpa disadari proses belajar kebudayaan akan tertuntun sendirinya secara alamiah dan tidak dapat dihindari sebagai naluri sosial oleh berjalannya waktu disamping usaha individu untuk tetap bertahan di tempat rantauan demi tujuan utamanya melanjutkan pendidikan. Pada dasarnya mahasiswa perantauan tetap saja seorang makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lainnya untuk melangsungkan hidupnya di Yogyakarta. 4. Komunikasi Bahasa

Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti memberikan dan mentaati perintah, bertanya dan menjawab pertanyaan, serta menjelaskan


(40)

kejadian. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi dan memulai interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen, Littlejohn dan Foss, 2012: 67).

Robert Gales menciptakan sebuah teori terpadu yang bertujuan menjelaskan jenis pesan yang manusia tukar dalam kelompok bahwa bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk tindakan, karena kebutuhan sosial membutuhkan orang lain untuk saling bekerja sama dengan tindakannya sehingga bahasa membentuk suatu prilaku dalam kelompok yang setiap individu dapat memperlihatkan sikap positif atau gabungan dengan (1) menjadi ramah; (2) mendramatisasi suka berbicara; atau (3) menyetujui. Sebaliknya mereka juga dapat menunjukkan sikap negatif atau sikap campur aduk dengan (1) penolakan; (2) memperlihatkan ketegangan; atau (3) menjadi tidak ramah. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap individu dapat (1) menanyakan informasi; (2) menanyakan opini; (3) meminta saran; (4) memberi saran; (5) memeberi opini; dan (6) memberi informasi (Stephen, Littlejohn dan Foss, 2012:326).

5. Budaya dan Masyarakat

Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota dari masyarakat (Koentjaraningrat, 1980: 195).

Menurut C. Kluckhohn dan W. H. Kelly, kebudayaan adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah, yang explisit, implisit, rasional, irasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman-pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi menyatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat,


(41)

jadi dengan demikian kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan tersebut dapat dipelajari (Soerjono Soekanto, 2006: 150-151).

Kroeber membedakan dua aspek dalam kebudayaan yakni kebudayaan nilai (Value cultur) dan kebudayaan realistis (reality culture). Kebudayaan nilai bersumber pada kreativitas manusia, sedangkan kebudayaan realitas berhubungan dengan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan penggarapan lingkungan dengan ekonomi dan teknologi. Menurut Krober, kebudayaan nilai bersifat sekunder artinya perkembangan kebudayaan nilai tergantung pada perkembangan kebudayaan realitas. Tuntutan-tuntutan yang ada pada kebudayaan realitas dapat terpenuhi maka kebudayaan nilai berkembang (Rahyono, 2009: 45).

Koentjaraningrat dalam pengantar ilmu antropologi menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem dan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (dikutip Rahyono, 2009: 45).

Budaya memiliki ciri-ciri (Dedi Mulyana, 2006:23) yaitu: a.Budaya bukan bawaan, tetapi dipelajari.

b. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi. c.Budaya berdasarkan simbol.

d. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terusberubah sepanjang waktu.

e.Budaya bersifat selektif, mempresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas.

f.Berbagai unsur budaya saling berkaitan.

g. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar untuk menilai budaya lain).

Istilah sosial (social) pada ilmu-ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat merupakan sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, memiliki budaya dan dipelajari dalam ilmu sosiologi meliputi masyarakat, perilaku masyarakat,serta perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.


(42)

Mengkaji masyarakat perlu memahami proses sosial yang ada dalam masyarakat, karena pengetahuan tentang proses-proses sosial dapat digunakan untuk memperoleh pengertian mengenai segi dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat yakni bentuk umum proses sosial yaitu interaksi sosial (Soerjono Soekanto, 2006: 55). Masyarakat pasti akan mengadakan interaksi dalam suatu sistem kapasitas atau identitas sosial serta memainkan peran. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok sosial, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia.Kelompok sosial adalah sekumpulan individu yang mengadakan hubungan secara berulang-ulang dalam perangkat hubungan identitas yang bertalian. Melihat masyarakat sebagai suatu sistem hubungan identitas dan kelompok, akan terlukis sebagai sistem sosial.

6. Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi dengan usia yang berkisar antara 19 sampai 28 tahun, yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa (Poerwadarminta, 2005:375). Mahasiswa adalah seorang individu yang sedang menuntut ilmu, terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi untuk belajar menempuh jenjang pendidikan tingkat lanjut. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan


(43)

kerencanaan dalam bertindak. Mahasiswa memiliki tuntutan peran penting untuk mampu berpikir kritis, bertindak dengan cepat dan tepat merupakan prinsip yang saling melengkapi (Dwi Siswoyo, 2007: 21).

7. Perantau dan Merantau a. Perantau

Perantau adalah orang yang meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran untuk pergi merantau ke kota, wilayah atau bahkan negeri lain dalan kurun waktu tertentu (Kato Tsuyushi, 2005: 13).

b. Pengertian Merantau

Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah disebut sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan. Sekarang ini untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga disebut dengan pergi merantau (Kato Tsuyushi, 2005: 13).

Menurut Mochtar Naim ada berbagai alasan mengapa mereka melanjutkan studi diluar daerah, antara lain memeperluas wawasan, memperoleh pendidikan yang lebih baik, memperoleh pengalaman baru, mengharapkan tingkat kehidupan yang lebih baik, memperoleh pengalaman baru dan mengharapkan penghidupan yang lebih baik. Mochtar Naim mendefinisikan merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang mengandung enam unsur pokok yaitu:

1) Meninggalkan kampung halaman. 2) Dengan kemauan sendiri.


(44)

3) Untuk jangka waktu lama atau tidak.

4) Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman.

5) Biasanya dengan maksud kembali pulang.

6) Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya (Mochtar Naim, 1984:2).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian merantau adalah bentuk perpindahan tempat tinggal seseorang ke daerah lain dengan kemauan sendiri, dan jangka waktu tertentu dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik yang telah melembaga di masyarakat, biasanya untuk kembali pulang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seseorang disebut merantau apabila ia pergi keluar daerah budayanya dan individu tersebut tidak lagi berkomunikasi dan berinteraksi hanya dengan kaum kerabat atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnis dan kulturnya berbeda-beda. Berbicara tentang merantau kita juga membicarakan tentang mobilitas penduduk.

Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas non-permanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk non-permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan tidak ada niatan menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003: 172).


(45)

Berdasarkan pengertian diatas, sesuai dengan judul penelitian fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan, maka merantau merupakan bentuk mobilitas penduduk non-permanen.

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian kuantitatif yang pernah dilakukan oleh Yulian Susanti dari Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2012 dalam tesisnya yang

berjudul “Dukungan Teman Sebaya Sebagai Mediator Hubungan Antara

Culture Shock Dengan Prestasi Belajar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan teman sebaya sebagai mediator hubungan antara culture shock dengan prestasi belajar pada mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Yogyakarta kriteria subyek penelitian adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar pulau Jawa, tinggal di kos dan tidak tinggal dengan keluarga.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya dapat menjadi mediator antara culture shock dan prestasi belajar. Mahasiswa mengalami tekanan dan kecemasan akibat dari ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya yang baru akan membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada disekitarnya yaitu dukungan teman sebaya. Teman sebaya memainkan peran sangat penting dalam penyesuaian terhadap lingkungan baru.

Kelompok sebaya merupakan konteks sosial yang berkembang lewat keberfungsian kolektif para anggotanya berdasarkan norma dan nilai kelompok. Seringnya bertemu, melakukan kegiatan bersama, dan adanya


(46)

keterkaitan afektif antar pribadi para anggota kelompok membuat kelompok teman sebaya menjadi pengaruh sosialisasi yang kuat dalam lingkungan instansi pendidikan. Koneksi dan jejaring sosial dengan teman sebaya yang terbentuk dan terbina bisa menjadi sumber utama dukungan sosial bagi remaja di dalam mengatasi tekanan emosional dan kesulitan penyesuaian diri yang sedang individu alami. Selain memberikan pengaruh kust dalam hal gaya dan sosialisasi remaja, juga memberikan rasa nyaman sehingga mampu mengurangi ketegangan akibat ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya. Kemudian dukungan teman sebaya ini dapat menjadi mediator antara culture shock dengan prestasi belajar karena salah satu yang menyebabkan timbulnya kecemasan adalah faktor lingkungan sosial yang kemudian memunculkan perasaan tegang, namun dengan mediasi oleh faktor sosial berupa dukungan dari teman sebaya maka kecemasan yang dialami individu dapat diminimalisir. Adanya dukungan sosial dari teman sebaya membuat individu merasa memiliki teman yang memperhatikan, menghargai, serta perasaan senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan rasa kepemilikan dan harga diri yang lebih baik. Dukungan teman sebaya memiliki hubungan positif terhadap prestasi belajar, semakin tinggi dukungan teman sebaya yang diperoleh mahasiswa maka prestasi yang diperoleh semakin baik.

2. Penelitian kualitatif yang pernah dilakukan oleh Fransiska Ani Dewanti dari Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2008 dalam tesisnya


(47)

Pemula Di Kapal Pesiar Internasional”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan pengalaman culture shock oleh para ABK pemula dan bagaimana mereka memaknai kerja setelah melalui masa culture shock dalam proses penyesuaian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman culture shock merupakan pengalaman penyesuaian yang didalamnya terjadi dinamika psikolois yang muncul dalam diri individu sebagai bentuk respon terhadap situasi baru yang harus dihadapi. Dinamika psikologis ABK pemula terhadap pengalaman culture shock merupakan interaksi antara elemen-elemen di dalamnya baik itu elemen yang mencetuskan respon terhadap penyesuaian yang harus dihadapi, maupun elemen yang menjadi faktor anti yang bersifat mereduksi respon negatif terhadap penyesuaian yang harus dihadapi.

Ketika faktor anti dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan faktor pendorong dan pencetus, maka dampak pengalaman culture shock yang timbul dapat diminimalisir. Dinamika psikologis tersebut menghasilkan suatu pemaknaan ABK pemula terhadap pengalaman culture shock yaitu sebagai suatu proses yang harus dijalani, sebagai suatu kebanggaan karena mampu menghadapi proses yang berat tersebut, sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, dan sekaligus melegakan, serta adanya penghargaan dari lingkungan terhadap hasil kerja yang dicapainya. Pemaknaan tersebut membatu ABK pemula dalam memaknai kerja mereka di kapal pesiar internasional


(48)

secara menyeluruh. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai upaya mencari materi memandang pekerjaan sebgai suatu mata pencaharian baik untuk memenuhi kebutuhan saat ini maupun di masa mendatang.

ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai sarana untuk mencari modal usaha di masa mendatang melatih kedewasaan sebagai batu loncatan dan sebagai bentuk harga diri memandang pekerjaan mereka sebagai karir dimana pekerjaan tersebut merupakan salah satu cara untuk menstimulasi kebutuhan mereka untuk bersaing atau meningkatkan prestise dan kepuasan. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya bahwa meskipun pekerjaannya dianggap sepele tapi besar manfaatnya bagi orang lain memandang pekerjaannya sebagai sumber dari fulfillment atau keutuhan. Ia memandang pekerjaannya sebagai suatu panggilan dan memaknainya sebagai suatu bentuk kontribusi mereka pada lingkkungan sosial.

Dari penelitian relevan di atas, telah digunakan sebagai bahan pembanding sekaligus referensi bagi penelitian yang akan peneliti lakukan dengan fokus penelitian yang sama yaitu tentang fenomena culture shock. C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah proses penelitian karena mencakup tujuan dari penelitian itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.


(49)

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu bentuk miniatur dari Negara Indonesia, karena di dalamnya terdapat berbagai kebudayaan dari provinsi yang ada di nusantara Indonesia yang di wakili oleh berbagai pelajar dan mahasiswa yang datang hendak meneruskan studi ke jenjang pendidikan perguruan tinggi yang banyak tersedia di kota ini. Mahasiswa perantauan asal luar Jawa sebagai pendatang baru yang berasal dari luar daerah Yogyakarta, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru, masyarakat yang baru dan perubahan dalam lingkungan fisik, biologis, budaya dan psikologis.

Perubahan dalam lingkungan fisik seperti lingkungan tempat tinggal. Perubahan dalam hal biologis antara lain meliputi makanan yang bergizi, tingkatan kebersihan, perubahan suhu, dan perbedaan iklim. Perubahan dalam hal budaya antara lain perubahan cara bicara seperti bahasa daerah, kebiasaan, ekspresi atau gerak tubuh, rasa masakan, adat, dan nilai norma yang berlaku. Sedangkan perubahan psikologis yaitu proses yang harus dihadapi karena berpisahnya individu dengan orang tua, sanak saudara dan teman-teman di daerah asal oleh jarak geografis. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan culture shock (gegar budaya) yang dapat menghambat mahasiswa perantau untuk mampu menempatkan dirinya di dalam lingkungan budaya masyarakat yang baru di tempat rantauan.

Individu sebagai makhluk sosial, dituntut untuk mampu mengatasi masalah perbedaan budaya yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan


(50)

Culture Shock (Gegar Budaya) Mahasiswa Perantau asal Luar Pulau Jawa

Budaya Yogyakarta

Penyebab

Reaksi

Gejala

Dampak Berkuliah di universitas

Yogyakarta

lingkungan sosial dan mampu menyelaraskan diri sesuai dengan norma yang berlaku baik di lingkungan tempat tinggal sementara (kos) maupun di lingkungan kampus universitasnya. Penyesuaian diri terhadap lingkungan baru yang berbeda budaya ini kemudian mengarahkan mahasiswa perantau tersebut untuk mampu bersosialisasi serta terdorong melakukan adaptasi budaya yang terlebih dahulu melalui berbagai bentuk fenomena sosial, salah satunya yang akan peneliti bahas secara khusus berupa fenomena culture shock yang pada prosesnya akan tetap menghantarkan mahasiswa perantau terhadap pembelajaran kebudayaan yang berlaku di lingkungan baru sebagai tempat rantauan dimana ia tinggal sekarang yaitu Yogyakarta.

Bagan 1. Kerangka Pikir


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang “Fenomena Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan

di Yogyakarta” dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui faktor hingga reaksi atau gejala yang melatarbelakangi terjadinya culture shock serta akibat yang ditimbulkan terhadap mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

B. Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian tentang fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ini dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih pada bulan September 2013 sampai dengan selesai, terhitung sejak pemilihan judul dan pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan laporan penelitian sebagai hasil dari penelitian.

C. Metode Penelitian

Suatu penelitian, diperlukan adanya pendekatan penelitian. Pendekatan dalam penelitian yang berjudul Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu pengamatan, wawancara dan penelaah dokumen. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis, kata-kata lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara utuh dengan


(52)

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2006: 4).

Pembangunan dan pengembangan teori sosial khususnya sosiologi dapat dibentuk dari empiris melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti. Dengan demikian teori yang dihasilkan mendapatkan pijakan yang kuat pada realitas, bersifat kontektsual dan historis. Pada penelitian kualitatif ini, peneliti menyajikan hasil penelitian secara kualitatif deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka, misalnya data dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, arsip dan dokumen resmi lainnya.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya (Hadari Nawari, 2007:67). Pemikiran dalam metode ini tidak sekedar melihat gejala atau fakta-fakta, tetapi perlu dikembangkan dengan mengemukakan hubungannya satu sama lain di dalam aspek-aspek yang diselidiki serta memberikan penafsiran yang akurat terhadap fakta-fakta yang ditemukan.

Penelitian deskriptif bukan saja memberikan gambaran tentang fenomena tetapi juga menerangkan hubungan, membuat prediksi, serta mendapatkan makna dari fenomena yang dikaji. Data yang disajikan dalam penelitian ini berupa data deskriptif yang berupa kata-kata, gambar dan bukan berupa angka-angka. Laporan penelitian ini berupa kutipan-kutipan yang diperoleh


(53)

dari observasi langsung, catatan lapangan, wawancara langsung, foto, buku, jurnal dan internet yang tentunya relevan dengan mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian secara bertahap, agar data yang diambil merupakan data lengkap dan benar. Peneliti juga akan terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data yang sesuai dengan hasil wawancara dan data yang diperoleh dari para informan, kemudian dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga mudah untuk dimengerti. Peneliti juga akan mengambil gambar pada saat pelaksanaan wawancara sebagai arsip/dokumen-dokumen yang dianggap penting untuk mempertegas hasil penelitian. Peneliti mempelajari juga dari buku-buku serta berbagai tulisan-tulisan mengenai culture shock (gegar budaya).

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, bahasa dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan yang mendukung seperti dokumen, foto dan lain-lain (Moleong,2007:157). Tindakan orang-orang yang diamati/diwawancarai merupakan sumber data utama yang dicatat melalui catatan tertulis maupun melalui perekam video/audio tape. Data dari informan yang digunakan atau diperlukan dalam penelitian, dikaji dari sumber data penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Sumber Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian yang diambil, dikumpulkan atau diperoleh langsung oleh peneliti kepada sumbernya


(54)

tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan subjek atau informan dan pengamatan langsung di lapangan. Data atau informasi tersebut dilakukan dengan metode wawancara. Berkaitan dengan hal tersebut, pada penelitian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan sumber data tertulis.

Sumber data primer pada penelitian ini, peneliti mengambil data secara langsung melalui observasi dan wawancara dengan beberapa informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang menempuh kuliah semester awal di universitas-universitas Yogyakarta sebagai informan lapangan penelitian ini. Serta diperkuat oleh data dan informasi dari beberapa informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang menempuh kuliah semester lanjut di universitas-universitas Yogyakarta. 2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data kedua di luar kata dan tindakan yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, namun data ini tidak diabaikan dan memiliki kedudukan penting yang mampu memberikan tambahan serta penguatan terhadap data penelitian. Sumber data sekunder biasanya diperoleh dari mengumpulkan referensi dan kajian kepustakaan dan dokumen dari kegiatan objek penelitian yang sedang dilaksanakan. Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari sumber tertulis, majalah, surat kabar, jurnal, internet dan hasil penelitian yang relevan dengan fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di


(55)

Yogyakarta. Data sekunder juga dapat berupa data statistik mengenai jumlah mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang akan diteliti.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data dengan Observasi

Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan. Peneliti berada ditempat itu, untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid dalam laporan yang akan diajukan. Menurut Sanafiah Faisal (dikutip dari Sugiyono, 2007: 266) mengklasifikasikan observasi menjadi beberapa bagian yaitu, observasi partisipasi (participant observation), observasi secara terang-terangan dan tersamar (overt observation and covert observation) dan observasi yang tak terstruktur (unstructured observation).

Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian overt observation and covert observation dengan jenis observasi non partisipasi atau pengamatan secara langsung terhadap suatu fenomena yang dikaji. Dalam observasi non partisipasi ini, pengamat berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian pengamat akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku yang diharapkan (Irawan Suhartanto, 2002:69).


(56)

Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara langsung fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti melakukan observasi dalam tiga tahap, tahap pertama observasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyesuaian diri hingga bentuk sosialisasi mahasiswa perantau di Yogyakarta akibat fenomena culture shock. Tahap kedua observasi dilakukan untuk mengetahui komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal sementara (kos) baik terhadap masyarakat sekitar kos maupun sesama penghuni kos lainnya. Tahap ketiga observasi dilakukan untuk mengetahui interaksi pertemanan antar mahasiswa yang terjadi di lingkungan kampus.

2. Pengumpulan Data dengan Wawancara

Wawancara dimaksudkan untuk mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Wawancara atau interview merupakan percakapan denganmaksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh kedua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan atau sebagai pihak penanya, dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pihak penanya.

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara semi terstruktur memiliki pedoman wawancara namun apabila sudah terjun ke lapangan akan berkembang sesuai dengan kondisi


(57)

lapangan. Sedangkan wawancara tidak terstruktur, yaitu peniliti tidak terikat waktu dan biasanya informan karena memiliki sifat khas. Pelaksanaan ini mengalir seperti percakapan sehari-hari (Moleong, 2007: 190-191).

Metode wawancara sering digunakan untuk mendapatkan informasi dari orang atau masyarakat. Wawancara merupakan cara utama yang digunakan dalam penelitian ini jika seseorang ingin mendapatkan data-data atau keterangan secara lisan dari seorang informan. Wawancara dilakukan dengan membuat pedoman wawancara yang relevan dengan permasalahan yang kemudian digunakan untuk tanya jawab. Sebelum melakukan wawancara, peneliti harus menyiapkan instrumen wawancara terlebih dahulu. Didalam pedoman wawancara ini berisi sejumlah pertanyaan yang wajib ditanya atau direspon oleh responden. Isi pertanyaan tersebut meliputi fakta, realita, data, konsep, pendapat, persepsi yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian.

Teknik wawancara menjadi cara yang digunakan jika seseorang ingin mendapatkan data-data atau keterangan secara lisan dari seorang responden. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan berusaha menggali data, informasi dan keterangan dari subjek yang diperlukan, yaitu para mahasiswa perantauan di Yogyakarta.

3. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen


(1)

membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta?

Informan :Yang paling buat aku stress itu rasa masakannya, sampai jadi tertekan sendiri. Konsumsi mie yang tidak baik untuk pencernaan, roti cemilan yang tidak mengenyangkan, nasi Padang yang sangat berminyak, berlemak dan tinggi kolesterol, semua itu selalu kupikir aku takut gemuk yang tidak sehat karena pola makan akhirnya selama 2 semester membuatku menderita kehilangan selera makan, malas, bosan. Sehingga timbul penyakit perut yang kudapat disini ya itu maag. Puji Tuhan sekarang sudah bisa walaupun menyesuaikannya sendiri butuh waktu lama dan tidak mudah untukku

20.Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?

Informan :Masalah dengan teman-teman baru itu.. aku sempet merasakan masa bingung mau bagaimana memulai perkenalan dengan orang baru, takut salah, males ribet jadi waktu awal dulu aku masih belum punya teman baru atau malah cuma sebatas tahu siapa namanya saja kalau sampai benar-benar mengenal dan banyak mengobrol itu belum, apalagi tanggapannya teman-teman yang di kampus itu memandang aku ini unik atau malah aneh mereka komentar kalau cara bicaraku terbaliklah, suaraku keraslah, nadanya kasarlah, mereka juga terlalu sering berbahasa etnis Jawa mereka juga kan, jadi itu membuat aku jadi ckckck.. wah kalau begini kan aku mau bagaimana lho wajarlah kalau malas jadinya mau membaur itu. Nah anehnya itu tidak sama dengan yang di lingkungan kos, kalau di kos walau kami berbeda-beda latar budaya tapi kami lebih seru bisa membaur kalau yang di kelas jaga jarak malahan mungkin orang akan berpikir jika aku ini merupakan orang yang kurang terbuka karena terkesan pendiam padahal sebenarnya aku tidak seperti itu aku hanya menunggu orang lain yang mengawali dulu ke aku barulah aku menanggapi. Jogja itu kan memang tinggi tingkat karakternya apalagi bagi mahasiswa sepertiku yang selalu berkutat dengan perbedaan budaya namun berada ditengah-tengah mereka tanpa disadari membuatku

Comment [CS184]: Gjl & Rea


(2)

mengamati bagaimana-bagaimana orang-orang yang ada disekitarku sehingga lama-kelamaan aku sedikit banyak mulai belajar memahami karakter masing-masing orang disekitar, ya siapa tahu suatu saat nanti ketika aku sudah berani membaur dengan mereka aku bisa memperkirakan harus bagaimana menentukan sikap bergaul.

21.Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan

mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?

Informan :Kalau yang di kelas sejak awal aku mau semua baik-baik saja, semua harus kuawali dengan berhati-hati dalam bersikap dalam berkata ya walau itu dalam arti menurutku sih kan entah orang laian bagaimana menilai.. dan akhirnya itu membuahkan hasil walaupun waktu awal dulu aku memang pendiam, jarang komunikasi dengan orang sekitar, apa-apa aku urus sendiri, tidak bergantung dengan teman tapi kini aku mulai punya banyak teman ya walau hanya sekedar teman bukan yang akrab seperti itu, kalau yang intens ya tetap apa-apa diskusi sama yang sama-sama Kalimantan sama mereka memang ku akui lebih nyaman tapi setidaknya kalau sama yang etnik lain apa lagi sama yang etnik Jawa aku bisa membawa diri dan sebisa mungkin tidak ada masalah. Yang buat aku sangat jadi pelajaran itu ya.. Yogyakarta kan sangat beragam dari penjuru nusantara sabang sampai merauke nyaris semuanya ada disini. Terkadang mereka yang pendatang itu tidak bisa menyaring atau sadar diri kalau disini itu bukan daerahnya. Ada banyak teman perantauan yang buat aku heran dengan karakternya yang keras, seenaknya, mau menangnya sendiri, tidak peka lingkungan sekitar.. yaa mungkin karena dia dari daerah yang memang keras sehingga membentuknya dengan karakter yang seperti itu cuma yaa kan dia harusnya mawas diri kalau apa yang dia lakukan itu banyak menyinggung teman-teman disekitarnya yang berinteraksi dengannya itu sudah jadi contoh ya agar aku tidak berlaku sama seperti dia. Karena aku saja yang sama-sama hanya perantau yang notabene pendatang merasa terganggu apa lagi yang lainnya?

22.Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat


(3)

pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ?

Informan :Iya lumayanlah sedikit banyak mereka membantu, kan kesal ya kalau keseringan di ajak bicara pakai bahasa Jawa dan aku tidak tahu artinya. Pertamanya iseng hanya dari memperhatikan, lalu belajar menirukan kata perkata yang mudah ditirukan saja ya, gara-gara awalnya hanya iseng berbicara berbahasa Jawa akhirnya sekarang jadi bisa berbahasa Jawa walaupun hanya bisa-bisaan saja yang gampang-gampang saja. Lama-lama karena semakin penasaran akhirnya kuberanikan diri tanya langsung sama teman-teman tapi sengaja aku minta bantuan sama yang lokal asli Jogja, kan kalau sama yang asli Jogja mereka lebih ramah tidak main-main apa maksudku itu mereka benar-benar baiklah mau mengajarkan sedikit-sedikit kepada aku, nada bicara juga di tuntun jadi lebih lembut, lebih ramah, tahu tatakrama dari pada awal datang di Jogja. Semua itu aku dapat karena merantau.

23.Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman- teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?

Informan :Sekarang sama teman kos jadi lebih seru sering nongkrong bareng atau jalan kemana bareng walau kami berbeda latar belakang, universitas dan jurusan tapi mereka menghormatiku kami saling menghargai. Dengan yang di kampus setidaknya tidak terlalu ada jarak, kalau dulu kan nampak sekali jarak yang tercipta antara kami sekarang jadi samar ya walau masih ada jarak tapi sudah di minimalisir begitu. Kendala yang mainstream Puji Tuhan tidak ada, yang penting kita tidak terlalu ambil pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di bawa enjoy-happy. Iya dulu sempat galau pinginnya balik kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir. 24.Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan

ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut?

Comment [CS187]: Hsl Adpts


(4)

Informan :Berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan itu kalau pas awal dulu jelas ada complicated banget malah seperti tempatnya asing, orang-orangnya asing, karakternya beda, bahasanya beda, cara bicaranya beda, masakannya beda, iklimnya beda, cara pergaulannya beda dulu sempat galau pinginnya balik kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir. 25.Peneliti :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai

masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini?

Informan :Apa ya paling menurutku yang penting kita tidak terlalu ambil pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di bawa enjoy-happy, slow seperti air mengalir. Santai saja tidak usah terlalu pesimis, menyerah dengan kenyataan, larut dalam kesepian karena jarak yang terlalu jauh dengan kampung halaman. Apa lagi ya yang penting banyak-banyak curhat saja sama orang tua dan Tuhan Yesus, rutin ibadah ke gereja jika sedang parah galau-galaunya banyak pikiran itu sangat-sangat bisa membantu agar kita bisa lebih lega.


(5)

Lampiran 7

Tabel Koding

1. Asal daerah, suku, bahasa daerah mahasiswa perantauan dan alasan menjadi mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

Kode Keterangan Penjelasan

Asl Asal daerah Dari mana asal daerah mahasiswa perantau di Yogyakarta

Sk etnk Suku/ Etnik Suku/ etnik sebagai latar belakang dari mahasiswa perantau di Yogyakarta

Bhs daerh

Bahasa daerah

Bahasa daerah sebagai latar belakang dari mahasiswa perantau di Yogyakarta

Alsn Alasan Merantau

Alasan menjadi mahasiswa perantauan di Yogyakarta

2. Penyebab dan bentuk culture shock berupa gejala hingga reaksi yang terjadi pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

Kode Keterangan Penjelasan

Intrnl Internal Penyebab internal yang melatarbelakangi terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

Ekstrnl Eksternal Penyebab eksternal yang melatarbelakangi terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

Gjl & Rea

Gejala dan Reaksi

Gejala hingga reaksi yang terjadi pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

3. Dampak dari culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta

Kode Keterangan Penjelasan

Hsl adpt

Hasil adaptasi Hasil adaptasi sebagai dampak dari culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta


(6)

Jumlah Mahasiswa Tahun Akademik 2015

NO. PROVINSI JUMLAH PERSENTASE (%)

1 DKI 9.141 2,5

2 JAWA BARAT 14.886 4,1

3 JAWA TENGAH 82.331 22,4

4 DIY 99.610 27,1

5 JAWA TIMUR 9.415 2,6

6 NAD 2.889 0,8

7 SUMATERA UTARA 17.832 4,9

8 SUMATERA BARAT 3.882 1,1

9 RIAU 14.221 3,9

10 JAMBI 4.114 1,1

11 SUMATERA SELATAN 7.993 2,2

12 LAMPUNG 7.116 1,9

13 KALIMANTAN BARAT 5.821 1,6

14 KALIMANTAN TENGAH 3.882 1,1

15 KALIMANTAN SELATAN 3.225 0,9

16 KALIMANTAN

TIMUR-KALIMANTAN UTARA 8.221 2,2

17 SULAWESI UTARA 2.110 0,6

18 SULAWESI TENGAH 2.577 0,6

19 SULAWESI SELATAN 7.322 2,0

20 SULAWESI TENGGARA 2.241 0,6

21 SULAWESI BARAT 6.541 1,7

22 MALUKU 1.447 0,4

23 BALI 2.792 0,8

24 NTB 4.472 1,2

25 NTT 13.822 3,8

26 PAPUA 7.889 2,1

27 BENGKULU 3.221 0,9

28 BANTEN 1.221 0,3

29 MALUKU UTARA 1.227 0,3

30 BANGKABELITUNG 2.551 0,7

31 GORONTALO 1.261 0,3

32 PAPUA BARAT 4.221 1,1

33 KEPULUAN RIAU 3.354 0,8

LUAR NEGERI 4.882 1,3