Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas sebagian orang memilih untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, yaitu perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka memilih melanjutkan studi di kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya ketika SMA. Hal ini tentu dilatar belakangi oleh berbagai macam alasan, salah satunya ialah mencari perguruan tinggi yang memiliki kualitas cukup baik. Bukan hanya berpindah kota, bahkan bagi mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa juga banyak yang berlomba-lomba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi yang terdapat di Pulau Jawa. Biasanya mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa memilih untuk meneruskan pendidikannya di Pulau Jawa, karena selain terdapat banyak perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di Pulau Jawa pun dinilai lebih baik dibanding perguruan tinggi di Luar Pulau Jawa Niam, 2009. Daerah yang banyak diminati oleh pelajar untuk melanjutkan pendidikan umumnya adalah kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa, seperti Bandung, Jakarta, Bogor, Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Yogyakarta. Dari beberapa daerah tersebut Yogyakarta yang cukup dikenal sebagai kota pelajar. Hal ini dikarenakan Yogyakarta memiliki banyak perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Pada setiap tahunnya Yogyakarta kedatangan sekitar puluhan ribu calon mahasiswa baru. Diantara mereka banyak yang berasal dari berbagai daerah di luar Pulau Jawa Republikaonline, 2010. Salah satu populasi terbesar mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa di Yogyakarta adalah populasi mahasiswa yang berasal dari Papua. Terlihat dari jumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Yogyakarta, mencapai kurang lebih 7.500 orang. Jumlah ini terdiri atas mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di jenjang S1, S2 dan S3 Aliansi Mahasiswa Papua Jogja, 2011. Keadaan ini tentu saja dilatar belakangi oleh berbagai macam alasan.Menurut Boveington 2007 dalam penelitiannya yang berjudul Sebuah Survei tentang Para Pelajar Papua yang Kuliah di Jawa Timur, salah satu hal yang memotivasi mahasiswa yang berasal dari Papua untuk melanjutkan pendidikannya di Jawa Timur, yakni karena mereka merasa mutu pendidikan di Papua masih kurang bagus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boveington 2007 ini dijelaskan bahwa yang memotivasi mahasiswa asal Papua melanjutkan pendidikannya di pulau Jawa karena mutu pendidikan di Papua yang masih kurang baik. Hal ini dilakukan karena mereka ingin mengembangkan Papua dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Bagi mahasiswa asal Papua dengan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mahasiswa akan memperbaiki ketertinggalan dan mengembangkan sumber daya manusia yang ada di Papua. Mereka ingin membagikan ilmu yang mereka miliki disana dan mereka menyebutkan ingin “Papua yang Maju” sebagai cita-cita mereka Boveington, 2007. Perilaku mahasiswa asal Papua yang belajar ke Pulau Jawa dan setelah selesai studi kembali ke kampung halaman, membuat mereka dapat digolongkan ke dalam sojourner. Menurut Ady, Klineberg Hull dalam Ward, Bochner Furnham, 2001 sojourner adalah orang-orang yang datang sementara waktu di tempat yang baru dan setelah tujuan tercapai akan kembali ke tempat asal. Datang ke sebuah tempat yang baru merupakan situasi yang dapat menimbulkan kecemasan, karena mereka menjumpai beberapa perbedaan antara tempat asal mereka dengan tempat tinggal mereka yang baru. Hal ini juga dialami oleh mahasiswa asal Papua yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa, terutama di Yogyakarta. Papua dan Yogyakarta tentu saja memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda. Yogyakarta memiliki budaya Jawa yang cukup kental dan bahasa daerah yang digunakan oleh mayoritas penduduknya. Mayoritas penduduk Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari – hari. Dalam menyampaikan pendapatnya pun budaya di Jawa tengah, termasuk Yogyakarta lebih bersifat unggah – ungguh dan kurang dapat bersikap arsetif Bagus, M. G., 2002. Hal yang berbeda antara Yogyakarta dengan kota di Jawa Tengah lainnya yaitu di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa yang berasal dari beragam daerah dan memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Ini yang menyebabkan Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar. Dengan demikian, mahasiswa di Yogyakarta dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik agar dapat menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Mahasiswa Papua mengatakan bahwa tidak sedikit dosen yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa utamanya. Situasi seperti ini terkadang membuat mahasiswa yang berasal dari Papua merasa tidak nyaman. Hal ini pernah dialami oleh salah satu mahasiswa asal Papua, ia mengatakan bahwa terkadang dosen menggunakan bahasa Jawa ditengah-tengah perkuliahannya. Hal ini dirasa sebagai salah satu hambatan baginya dalam memahami materi perkuliahan Wawancara, 16 Oktober 2012. Di Papua, mahasiswa asal Papua terbiasa dengan bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas. Bahasa tersebut biasanya lebih singkat dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang asli. Misalnya dalam bahasa Indonesia kita mengatakan “saya atau kami pergi ke pasar” dengan logat Papua bisanya mereka cukup mengucap “sa atau kam pi di pasar”. Contoh lain misalnya kalimat tanya dalam bahasa Indonesia “anda hendak pergi kemana?” dalam bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas akan mengucap “ko mo pi dimana?”. Selain bahasa yang lebih disingkat pola atau penggunaan kata bantu seperti di- dan ke- cukup berbeda Fauzi, 2012. Selain itu, nada bicara yang digunakan oleh mahasiswa Papua cenderung lebih kerasa sehingga terkesan seperti orang yang marah atau membentak. Hal ini dibenarkan oleh salah satu mahasiswa asal Papua di Yogyakarta yang mengaku bahwa terkadang ketika mereka berbicara banyak orang di Yogyakarta menduga mereka sedang marah. Kemudian ia pun mengatakan dalam menyatakan ketidaksetujuannya atau penolakan mereka terbiasa untuk asertif. Akan tetapi, mereka menyadari bahwa di Yogyakarta mereka harus lebih berhati – hati dalam berbicara karena karakter orang Jawa yang sensitif Wawancara, 16 oktober 2012. Mahasiswa Papua juga memiliki sikap individualitas yang tinggi, khususnya mereka yang berasal dari daerah Pantai Utara, Papua. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa bekerja sama dan menerima kehadiran orang lain Koentjaraningrat, 2002. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kroeber Kluckhohn yang menyebutkan bahwa budaya sangat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, seperti penyesuaian diri, pemecahan masalah, belajar dan kebiasaan yang dimiliki dalam Berry, Poortinaga, Segall Dasen 1999. Perbedaan-perbedaan antara kondisi di daerah asal dengan di daerah baru dapat memunculkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mahasiswa pendatang. Menurut Furnham dan Bochner Hidajat dalam Niam, 2009 hal- hal yang tidak menyenangkan seperti masalah perbedaan bahasa antara daerah asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari munculnya culture shock. Culture shock didefinisikan sebagai dampak yang timbul dari perpindahan budaya yang familiar ke budaya yang tidak familiar, biasa dialami oleh orang-orang ketika mereka berpergian atau pergi ke suatu sosial budaya yang baru Odera, 2003.Culture shock biasanya ditandai dengan adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara budaya maupun sosial baru.Oberg dalam Irwin, 2007 menjelaskan hal ini disebabkan oleh kecemasan individu karena ia kehilangan simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi, yang terjadi ketika individu tinggal dalam budaya yang baru dengan jangka waktu yang relatif lama. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai perilaku yang tertanam dalam diri individu.Budaya merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari individu, akumulasi dari pengalaman yang disosialisasikan dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial social learning. Selain itu, kebudayaan juga didefinisikan sebagai pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol – simbol yang mereka terima. Semua hal itu diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generas kepada generasi berikutnya Liliweri. A, 2002. Pada penelitian ini budaya dibatasi pada perilaku terkait dengan cara berinteraksi yang telah tertanam dalam diri individu, karena di perguruan tinggi mereka harus berinteraksi dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan memiliki latar belakang budaya yang beragam, dan peningkatan pada prestasi dan penilaiannya Belle Paul, Upcraft dan Gardner, dalam Santrock, 2002. Dampak culture shock sangat terasa bagi mahasiswa baru, sebab mahasiswa baru sedang berada pada masa peralihan dari remaja menuju dewasa awal. Selain itu, mahasiswa baru harus menghadapi masa transisi dari sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi yang memiliki struktur sekolah yang lebih besar, dan tidak bersifat pribadi. Keadaan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Rosenthal Russell 2006 yang menemukan bahwa remaja mudah terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam hidupnya, apalagi perubahan yang berkaitan dengan adanya perubahan budaya yang mudah menimbulkan culture shock. Mahasiswa yang berasal dari Papua sangat rentan mengalami culture shock. Hal ini dikarenakan mereka memiliki latar budaya yang sangat berbeda dengan budaya yang berada di Yogyakarta.Hal ini didukung oleh Niam 2009 dalam penelitiannya yang berjudul koping terhadap stres pada mahasiswa luar Jawa yang mengalami culture shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta menemukan bahwa mahasiswa pendatang yang berasal dari luar Pulau Jawa banyak mengalami masalah atau kesulitan ketika ia berada di Surakarta. Mahasiswa yang berasal dari Papua memiliki perbedaan budaya yang sangat mencolok dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Teori sebelumnya menjelaskan bahwa salah satu hal yang memperngaruhi culture shock adalah besar kecilnya perbedaan budaya di lingkungan asalnya dengan lingkungan kebudayaan yang dimasukinya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berlangsung di Papua dan Yogyakarta memiliki perbedaan yang cukup jauh. Dengan demikian, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah