Wacana 32, 33, dan 34 mengandung tuturan-tuturan yang tidak logis. Tuturan-tuturan yang tidak logis tersebut dikatakan oleh O1. O1 dalam 32
mengatakan bahwa hatinya sedang diukir dengan nama O2, O1 dalam 33 menyatakan bahwa O2 sedang berada di dalam hatinya, dan O1 dalam 34
mengatakan bahwa ia berjalan-jalan di hati O2. Semua itu tidak logis dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Seperti pada maksim kuantitas, pembelokan
maksim kualitas juga berfungsi menimbulkan ―nilai rasa gombal‖. Ketiga wacana di atas memiliki maksud yang sama, yaitu memuji O2 dengan ungkapan-
ungkapan bernilai rasa positif yang sebenarnya tidak logis namun justru dapat diterima oleh O2.
3.2.3 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Relevansi
Maksim relevansi menuntut para peserta tutur untuk memberikan sumbangan informasi yang harus berkaitan dengan topik-topik yang sedang
diperbincangkan. Tuturan yang disampaikan hendaknya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Yang dimaksud dengan konteks
adalah asumsi-asumsi yang dimiliki oleh pendenga r mengenai ―dunia‖ Wijana,
2004: 85. WG justru banyak mempermainkan maksim ini. Sebenarnya maksim
relevansi tak sepenuhnya dilanggar dalam WG. Justru sumbangan informasi yang diberikan terlihat tetap berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan, namun
sumbangan tersebut dibelokkan sedemikian rupa sehingga memiliki ―nilai rasa gombal‖. Perhatikan contoh berikut.
37 O1
: Neng, Bapak Neng pasti asli Jakarta kan? O2
: Ih kok Abang bisa tau sich? O1
: Soalnya Eneng telah memonaskan hati Abang Si Raja Gombal, hlm. 11
38 O1
: Kamu pasti suka gaya Briptu Norman ya? O2
: Kok tau? O1
: Soalnya kamu udah men-chaiyya-chaiyyakan hatiku. Si Raja Gombal, hlm. 10
39 O1
: Neng, Bapakmu orang Garut ya O2
: Emang kenape Bang? O1
: Karena kamu telah mendodolkan hatiku. Si Raja Gombal, hlm. 10
Di ketiga wacana di atas, O1 membangun sebuah konteks pada dialog yang pertama. Dalam 35, 36, 37 secara berurutan O1 membentuk persepsi
tentang Jakarta, Briptu Norman, dan Garut. Pada dialog yang kedua, O1 tetap menjaga konteks pembicaraan dengan memberikan sumbangan informasi yang
tetap berkaitan dengan Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan kata kunci monas, chaiyya-chaiyya, dan dodol. Namun informasi pada dialog yang kedua
dipermainkan dengan menambahkan konteks yang berbeda, yaitu tentang hati O1 terhadap O2. Di situlah letak pembelokan maksim relevansi. Tentu tidak ada
hubungan yang relevan antara Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan hati O1, namun oleh O1 hal tersebut dijadikan alat pembuat ―nilai rasa gombal‖.
3.2.4 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Pelaksanaan