Wacana gombal dalam bahasa Indonesia : kajian struktural, pragmatis, dan kultural.

(1)

i

KAJIAN STRUKTURAL, PRAGMATIS, DAN KULTURAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Sony Christian Sudarsono NIM: 094114002

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

iv

Be(e) not afraid (Bee Community)

Saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.

(The Alchemist – Paulo Coelho)

Karya sederhana ini aku persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa, Bapak Darsono dan Ibu Siti serta Nduk Christin di Klaten, Cempluk dari Bandung Prodi Sastra Indonesia USD,


(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 Februari 2013 Penulis


(6)

vi

untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Sony Christian Sudarsono

NIM : 094114002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas

Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul ―Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia:

Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural‖.

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 28 Februari 2013 Yang menyatakan,


(7)

vii

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Yang Mahakasih atas berkat dan rahmat yang melimpah selama penulis menyusun tugas akhir ini dari awal mencari topik hingga akhir penyelesaiannya.

Skripsi berjudul ―Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural‖ ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana S1 pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah melalui proses yang panjang, skripsi ini akhirnya terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih teriring doa tulus kepada pihak-pihak yang telah menjadi perpanjangan Tangan Tuhan berikut.

1. Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. yang berkenan menjadi pembimbing I penulis dalam menyusun skripsi ini. Beliau memberikan banyak inspirasi, masukan, pinjaman buku referensi, dan pesan-pesan yang berguna baik untuk penyusunan skripsi ini maupun untuk kehidupan sehari-hari penulis.

2. Drs. Hery Antono, M.Hum. yang berkenan menjadi pembimbing II penulis dalam menyusun skripsi ini. Beliau juga memberikan banyak inspirasi, masukan, pinjaman buku referensi, dan pesan-pesan yang berguna baik untuk penyusunan skripsi ini maupun untuk kehidupan sehari-hari penulis.

3. Para dosen Program Studi Sastra Indonesia USD yang belum disebut: Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. (dosen pembimbing akademik penulis), S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum., Dr. Y. Yapi Taum, M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa, M.S., serta dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Pengabdian mereka untuk dunia pendidikan sangat berharga dan patut dihormati.

4. Bapak Anthonius Sudarsono dan Ibu Maria Magdalena Siti Satsini serta Adik Christina Susi Rahayu, keluarga tercinta yang telah membiayai dan selalu mendoakan penulis selama hampir 24 tahun penulis hidup di dunia ini. Semoga karya ini dapat menjadi kado pesta perak pernikahan Bapak dan Ibu yang sangat penulis cintai.

5. Benedikta Haryanti yang menjadi inspirator khusus penulis dari awal menemukan topik hingga akhir penyusunan skripsi ini.

6. Staf karyawan sekretariat Program Studi Sastra Indonesia dan Fakultas Sastra yang selama ini mengurus keperluan akademik penulis.


(8)

viii

khususnya dan untuk keperluan kuliah penulis pada umumnya.

8. Teman-teman lain di Prodi Sastra Indonesia angkatan 2009. Tanpa disadari, mereka semua bukan sekadar teman seperjalanan, melainkan juga inspirasi dan penyemangat penulis.

9. Teman-teman PSM Cantus Firmus USD dan sang pelatih yang setiap berjumpa tak henti-hentinya menanyakan apakah skripsi ini sudah selesai atau belum. Terima kasih juga untuk pengalaman-pengalaman bersama di Palangkaraya, Malang, TBY, dan terakhir Bali yang sungguh tak ternilai harganya. Pengalaman-pengalaman tersebut secara tidak langsung membuat penulis lebih kuat menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menyusun skripsi ini. Semoga tahun depan sukses di Latvia.

10.Semua pihak yang ikut membantu dan mendukung penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas semuanya.

Penulis menyadari, karya sederhana ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan penulis sebagai seorang manusia. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun demi lebih baiknya karya ini dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga karya sederhana ini memberikan manfaat yang berguna bagi pembacanya. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 28 Februari 2013


(9)

ix

Sudarsono, Sony Christian. 2013. ―Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural‖. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas wacana gombal (WG). Gombal adalah kata dalam bahasa Indonesia yang mengekspresikan sesuatu yang tidak berguna dan tidak berarti. WG digunakan oleh seseorang (biasanya pria) untuk merayu, menggoda, dan atau mencari perhatian orang lain terutama lawan jenis. Sekarang, WG banyak digunakan untuk hiburan sebagai bagian dari wacana humor. Kajian atas WG ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur WG, kesesuaian WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan fenomena-fenomena lingual dalam WG.

Teori yang digunakan untuk mengkaji WG meliputi (a) pengertian dan struktur wacana, (b) wacana dialog, (c) wacana gombal, wacana humor, dan budaya populer, (d) prinsip kerja sama, serta (e) humor dan penciptaan humor. Landasan teori poin (a) dan (b) digunakan sebagai dasar analisis kajian struktural terhadap WG. Sementara itu, landasan teori butir (c) s.d. (e) menjadi dasar dalam mengkaji kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan jenis-jenis fenomena lingual yang terdapat dalam WG.

Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan data dari buku-buku kumpulan WG dan dari video-video acara televisi yang memuat WG. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa dalam sumber-sumber data tersebut dan mencatatnya dalam kartu data. Kedua, data dianalisis dengan metode agih dan metode padan. Teknik yang digunakan dalam metode agih adalah teknik bagi unsur langsung. Metode padan yang digunakan adalah metode padan pragmatis. Terakhir, hasil analisis data disajikan dengan teknik informal dan formal. Dengan teknik informal, hasil analisis data disajikan dengan kata-kata biasa yang bersifat denotatif, bukan konotatif. Dengan teknik formal, hasil analisis data disajikan dengan tabel ataupun rumus tertentu (Sudaryanto, 1993: 145).

Hasil dari penelitian ini meliputi empat hal yaitu struktur WG, kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan fenomena lingual dalam WG. Struktur WG terdiri dari dua unsur, yaitu pengantar dan ketidakterdugaan. Pengantar merupakan bagian WG yang berfungsi sebagai pembangun persepsi tentang sesuatu. Sementara itu, ketidakterdugaan merupakan bagian WG yang berfungsi membelokkan persepsi yang telah dibangun di bagian pengantar untuk menghasilan ―nilai rasa gombal‖ dan efek jenaka.

Berdasarkan letak unsur pengantar dan ketidakterdugaannya, WG dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe wacana dialog sederhana dan tipe wacana dialog kompleks. WG yang bertipe wacana dialog sederhana memiliki fungsi I dan F. Unsur pengatar dan ketidakterdugaan dalam WG terletak pada fungsi I. WG yang bertipe wacana dialog kompleks sekurang-kurangnya memiliki fungsi I, R/I, R, dan kadang-kadang F. Unsur ketidakterdugaan terletak di fungsi R yang terakhir,


(10)

x

Tuturan dalam WG membelok dari prinsip kerja sama untuk menghasilkan ―nilai rasa gombal‖. WG memuat sumbangan informasi yang bersifat berlebihan, kurang logis, keluar dari konteks, dan ambigu. Penyebab terjadinya fenomena nggombal dimulai dari media massa, terutama televisi. Media massa melalui acara-acara televisi mempublikasikan WG sehingga populer di kalangan masyarakat. WG pun menjadi trend center dalam dunia humor dan trend setter dalam pergaulan sehari-hari.

Fenomena-fenomena lingual dalam WG meliputi pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, yaitu (a) aspek-aspek fonologis yang meliputi (i) subtitusi fonem, (ii) permainan fonem, dan (ii) penambahan suku kata; (b) aspek ketaksaan yang meliputi (i) ketaksaan leksikal: polisemi dan homonimi, dan (ii) ketaksaan gramatikal: idiom dan peribahasa; (c) gaya bahasa yang meliputi (i) hiperbola, (ii) elipsis, (iii) metafora, dan (iv) personifikasi; (d) pantun; (e) nama; (f) pertalian kata dalam frasa, (g) pertalian antarklausa yang meliputi (i) hubungan perlawanan, (ii) hubungan sebab, (iii) hubungan pengandaian, (iv) hubungan syarat, (v) hubungan tujuan, dan (vi) hubungan kegunaan; serta (i) pertalian antarproposisi yang meliputi (i) silogisme dan (ii) entailmen.


(11)

xi ABSTRACT

Sudarsono, Sony Christian. 2013. ―Wacana Gombal in Indonesian Language: Structural, Pragmatics, and Cultural Study‖. Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.

This thesis discusses wacana gombal (―gombal discourse‖, abbreviated as WG). Gombal is a word in Indonesian language that describes something that is useless and invaluable. Someone (usually a man) use WG to attempt to persuade someone else, especially a woman. Now, WG is used as an entertainment so WG is a part of humor discourse. This study on WG aims to describe the structure of WG, the expediency of WG with cooperative principles, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenon in the WG.

The teories that be used in this studying are (a) the definition and structure of discoures, (b) the dialogue discourse, (c) the WG, humor discoures and popular culture, (d) the cooperative principles, and (e) the humor and the humor creating. Teories in point (a) and (b) are used to analyse the structure of WG. Point (c) to (e) become the basis to analyse the expediency of WG with the cooperative principle, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenons in the WG.

The steps of the study are as follows. First, collect the data from the books that and videos TV programs that contain WG with simak methods or observe attentively the using of its langue and wrote it in the data card. Second, the data is analyzed with the method of agih and padan. The agih method is applied through the bagi unsur langsung technique (direct dividing element). The padan method (equal method) that is used is pragmatics padan. Finally, the analytical result from the data is served with informal and formal method. By informal method means that the analytical data are presented by way of ordinary words that is words that has its denotative character not it‘s connotative. Using formal method means that the analytical data are presented by table or a certain formula (Sudaryanto, 1993: 145).

The result of this research are the structure of WG, the expediency of WG with cooperative principles, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenon in the WG. The structure of WG is composed of the introduction and unexpectedness. The function of introduction is to make a perception about something. In the mean time, the unexpectedness functions to split the perception that be made in the introduction to produce ―gombal effect‖ and humor.

WG can be divided to two types, which are simple conversation and complicated conversation. Simple conversation has I and F. The introduction and unexpectedness are in I. Complicated conversation has I, R/I, R, and sometimes F. The unexpectedness is in the last R. the introduction is the part before the latest R. The speech in WG is not appropriate with cooperative principles to produce ―gombal effect‖. WG give the contribution as uninformative as is required or more informative than is required, not logic, out of context, and


(12)

xii

become trend center in entertainment world and trend setter in the daily life. The lingual phenomenon in WG cover the utilization of lingual aspects, that are (a) phonological aspects: (i) phonemic play and (ii) syllabic adding; (b) equivocal aspects: (i) lexically equivocal and (ii) grammatically equivocal; (c) figure of a speech: (i) hyperbola, (ii) ellipsis, (iii) metaphor, and (iv) personification; (d) limerick; (e) name; (f) the relation of words in the phrase; (g) the relation inter clauses: (i) paradox relations, (ii) reason relations, (iii) assumption relations, (iv) conditional relations, (v) aim relations, and (vi) useless relations; and (i) inter proposition relations: (i) syllogism and (ii) entailment.


(13)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

F : feed back I : inisiasi Ir : reinisiasi

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia OVJ : Opera Van Java

O1 : orang pertama O2 : orang kedua R : respons

R/I : respons/inisiasi WG : wacana gombal

DAFTAR TANDA

 : memprediksi elemen berikutnya  : terprediksi oleh elemen sebelumnya

 : terprediksi elemen sebelumnya dan memprediksi elemen berikutnya [ ] : batas pertukaran

( ) : unsur yang diapit bersifat opsional / / : transkripsi fonemik


(14)

xiv

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

KATA PENGANTAR... vii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xiii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.4Manfaat Penelitian ... 6

1.5Tinjauan Pustaka ... 7

1.6Landasan Teori ... 10

1.6.1 Pengertian dan Struktur Wacana... 10

1.6.2 Wacana Dialog ... 12

1.6.3 Wacana Gombal, Wacana Humor, dan Budaya Populer ... 14

1.6.4 Prinsip Kerja Sama... 17

1.6.4.1 Maksim Kuantitas ... 17

1.6.4.2 Maksim Kualitas ... 18

1.6.4.3 Maksim Relevansi ... 19

1.6.4.4 Maksim Pelaksanaan ... 20

1.6.5 Humor dan Penciptaan Humor ... 21

1.7Metode dan Teknik Penelitian ... 22

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data... 23


(15)

xv

2.1Pengantar ... 26

2.2Struktur Wacana Gombal ... 26

2.3Tipe Wacana Gombal ... 28

2.2.1 Tipe WG Dialog Sederhana ... 28

2.2.2 Tipe WG Dialog Kompleks ... 31

2.4Rangkuman ... 32

BAB III WACANA GOMBAL DAN PRINSIP KERJA SAMA ... 34

3.1Pengantar ... 34

3.2Kesesuaian Tuturan dalam Wacana Gombal dengan Prinsip Kerja Sama ... 34

3.2.1 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kuantitas... 35

3.2.2 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kualitas ... 36

3.2.3 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Relevansi ... 37

3.2.4 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Pelaksanaan ... 38

3.3Rangkuman ... 40

BAB IV WACANA GOMBAL DAN BUDAYA POPULER ... 41

4.1 Pengantar ... 41

4.2 Penyebab Terjadinya Fenomena Nggombal... 41

4.3 Rangkuman ... 43

BAB V FENOMENA LINGUAL DALAM WACANA GOMBAL... 45

5.1 Pengantar ... 45

5.2 Pemanfaatan Fenomena Lingual dalam WG ... 46

5.2.1 Aspek Fonologis ... 46

5.2.1.1 Permainan Fonem ... 47

5.2.1.2 Penambahan Suku Kata ... 49

5.2.2 Aspek Ketaksaan ... 50

5.2.2.1 Ketaksaan Leksikal ... 50

5.2.2.1.1 Polisemi ... 50

5.2.2.1.2 Homonimi ... 52

5.2.2.2 Ketaksaan Gramatikal ... 53

5.2.2.2.1 Idiom ... 54


(16)

xvi

5.2.3.2 Elipsis ... 57

5.2.3.3 Metafora ... 58

5.2.3.4 Personifikasi ... 60

5.2.4 Pantun ... 61

5.2.5 Nama ... 62

5.2.6 Pertalian Kata dalam Frasa ... 63

5.2.6.1 Frasa Endosentrik Koordinatif ... 64

5.2.6.2 Frasa Endosentrik Atributif ... 65

5.2.7 Pertalian Antarklausa ... 66

5.2.7.1 Pertalian Perlawanan ... 66

5.2.7.2 Pertalian Sebab ... 68

5.2.7.3 Pertalian Pengandaian ... 69

5.2.7.4 Pertalian Syarat ... 70

5.2.7.5 Pertalian Tujuan ... 71

5.2.7.6 Pertalian Kegunaan ... 71

5.2.8 Pertalian Antarproposisi ... 72

5.2.8.1 Silogisme ... 72

5.2.8.2 Entailmen ... 74

5.3 Rangkuman ... 76

BAB VI PENUTUP ... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Skripsi ini membahas wacana gombal (selanjutnya WG) baik secara struktural, pragmatis, maupun kultural. Akhir-akhir ini, WG mudah dijumpai dalam komunikasi sehari-hari, terutama di kalangan kaum muda. Banyak website dan webblog yang mempublikasikan tulisan-tulisan berupa WG. Bahkan, ada program televisi yang menyediakan ruang tersendiri untuk nggombal.

Dilihat dari arti katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gombal berarti ‗kain yang sudah tua (sobek-sobek)‘ (Tim Penyusun Kamus, 2008: 485). Awalnya, wacana yang disebut bernilai gombal berarti wacana yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, atau berbohong. Bahkan, WG disebut juga wacana yang tidak berguna atau tidak berarti. Berangkat dari pengertian tersebut, WG dapat diartikan sebagai wacana yang kurang serius dan menjurus pada kebohongan atau berlebih-lebihan. Namun, makna WG mengalami pergeseran. WG banyak dipakai untuk merayu, khususnya merayu seorang wanita. Dalam hubungan pacaran atau usaha untuk merebut hati wanita yang diinginkan, seorang pria biasa menggunakan WG untuk merayu wanita pujaannya. Berikut dua contoh WG yang dalam konteksnya diucapkan oleh seorang pria kepada pacarnya.

(1) Kamu cantik sekali sich, bagaikan rembulan yang sedang purnama. (2) Wajahmu lebih manis daripada gula sekalipun.


(18)

Baik contoh (1) maupun (2) memuat tuturan berupa pujian yang berlebihan bagi mitra tuturnya. Wacana seperti itulah yang disebut sebagai wacana ―bernilai gombal‖. Kegiatan yang menggunakan WG sering disebut nggombal.

Pada perkembangannya, para pengguna WG pun kreatif dalam menciptakan WG. WG tidak melulu berlebihan, namun juga memiliki nilai rasa yang berbeda seperti pada contoh berikut.

(3) O1 : Aku udah pernah jatuh dari jembatan. Aku udah pernah jatuh dari tangga. Semuanya gak enak.

O2 : Emangnya ada jatuh yang enak?

O1 : Ada satu jatuh yang paling enak, yaitu jatuh cinta sama kamu.

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hal. 19) (4) O1 : Kamu suka tanaman ya?

O2 : Kok tau sich?

O1 : Karena pohon cintamu telah tumbuh rimbun di hatiku. (Si Raja Gombal: Rayuan Gombal Ala Andre OVJ, hal. 37)

Contoh tuturan (3) dan (4) termasuk WG yang sebenarnya juga hendak merayu mitra tutur dengan pujian gombal. Perbedaannya, pujian pada tuturan (3) dan (4) lebih kreatif dibandingkan tuturan (1) dan (2). Kreativitas tersebut terletak pada permainan bahasa yang digunakan. Tuturan (3) memanfaatkan idiom jatuh cinta yang diperlawankan dengan kata jatuh dalam arti yang denotatif. Tuturan (4) memanfaatkan entailmen antara tanaman dengan tumbuh rimbun.

Seperti telah dikatakan di atas, WG awalnya digunakan penutur untuk merayu, memuji, menggoda, dan mencari perhatian dari mitra tutur. Biasanya penuturnya adalah seorang pria yang hendak merayu seorang wanita sebagai mitra tuturnya. Dalam perkembangannya, kini WG pun dapat dijadikan humor yang menghibur (http://aziznurc.blogspot.com/2012/01/pengeritan-gombal.html). Hal


(19)

tersebut dapat dibuktikan dengan adanya program-program televisi yang memuat WG dan dijadikan humor seperti ―Comedy Project‖ di Trans TV serta ―Raja Gombal‖dan ―Opera van Java‖ di Trans7. Ketika WG hanya dipakai oleh penutur pria kepada mitra tutur wanita, wacana tersebut sedang dipakai untuk merayu dan menggoda mitra tutur. Namun, ketika WG dipakai di atas panggung hiburan dan disaksikan penonton, wacana tersebut sedang dipakai untuk melucu seperti yang telah lazim ada dalam acara-acara televisi di atas. Dengan demikian, WG telah menjadi gejala bahasa yang berkembang dan mempublik sehingga menarik untuk diteliti. Di samping itu, WG merupakan bagian dari budaya pop yang bersifat sementara sehingga kajian tentang WG menjadi perlu untuk mendokumentasikan salah satu fenomena bahasa yang pernah berkembang ini.

Seperti yang telah ditulis di bagian awal, hal yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah mengkaji WG secara struktural, pragmatis, dan kultural. WG sebagai sebuah satuan kebahasaan berupa wacana tentu memiliki struktur yang membangunnya. Oleh karena itu, kajian terhadap stuktur WG menjadi perlu untuk menentukan tipe-tipenya dan mendasari kajian pragmatis. Perhatikan dua contoh WG di bawah ini

(5) O1 : Aku nggak pernah dengar tentang belahan jiwa. Aku nggak pernah percaya sampai aku ketemu dirimu. O2 : Makasi sayank.

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hal. 42) (6) O1 : Aku didiagnosa sakit jantung.

O2 : Hah, kok bisa?

O1 : Iya, jantungku selalu berdegup kencang saat dekat denganmu.


(20)

Wacana (5) dan (6) sama-sama memiliki bagian awal, isi, dan akhir. Namun, wacana (5) lebih sederhana daripada wacana (6) karena hanya memiliki dua tuturan dari O1 dan O2. Adapun wacana (6) bersifat lebih kompleks karena baik O1 maupun O2 mengemukakan lebih dari satu tuturan.

WG dalam praktiknya digunakan untuk berkomunikasi dan memiliki maksud tertentu sehingga dapat dikaji secara pragmatis. Sebagai alat berkomunikasi, WG tidak dapat lepas dari prinsip kerja sama. Hal kedua yang akan dibahas adalah kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice. WG memiliki ciri-ciri pragmatik yang membedakannya dari bentuk wacana-wacana yang lain. WG memiliki sebuah efek rasa yang sulit didefinisikan yang membuat mitra bicara merasa tersanjung karena pujian dari penutur. Efek rasa tersebut penulis sebut dengan wacana yang memiliki ―nilai rasa gombal‖. Untuk menciptakan ―nilai rasa gombal‖ tersebut penutur WG menciptakan tuturan yang tidak sesuai dengan prinsip kerja sama Grice. Perhatikan contoh berikut.

(7) O1 : Neng, punya dua ribu nggak? O2 : Nggak Bang, emang untuk apa? O1 : Parkir di hatimu.

(Si Raja Gombal, hal. 15) Tuturan O1 di atas kurang sesuai dengan maksim kualitas. Uang dua ribu rupiah memang sesuai jika digunakan untuk membayar tarif parkir. Yang diparkir adalah kendaraan dan tempat parkir yang tepat adalah area parkir. Namun, ternyata O1 menyimpangkan tuturannya dengan mengatakan bahwa yang diparkir justru O1 itu sendiri, dan tempatnya di hati O2.


(21)

Berkembangnya WG bukan tanpa sebab. Terkait dengan sebab terjadinya fenomena nggombal, penelitian ini akan mengaitkan WG dengan budaya populer. WG dipopulerkan oleh media-media massa sehingga WG dapat dikatakan merupakan bagian dari budaya populer. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya mencakup kajian bahasa baik secara struktural maupun pragmatis, tetapi juga kajian budaya.

Dalam berbagai acara televisi seperti ―Comedy Project‖, ―Opera van Java‖, dan ―Raja Gombal‖, wacana ―bernilai gombal‖ tersebut dapat menjadi humor bagi penontonnya karena wacana tersebut mengandung permainan bahasa. Permainan bahasa dalam WG mencakup penggunaan tuturan yang kurang sesuai dengan aspek-aspek pragmatik dan gaya bahasa. Hal tersebut membuat permainan bahasa dalam WG mendukung penciptaan humor. Aspek-aspek pragmatik meliputi prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Namun, dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah tuturan-tuturan dalam WG yang tidak sesuai dengan prinsip kerja sama. Dengan demikian akan dilihat bagaimana kesesuaian tuturan-tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama. Hal tersebut tersebut tentunya tidak bisa lepas dari penerapan implikatur dan entailmen dalam WG. Permainan bahasa juga mencakup pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, seperti ketaksaan, gaya bahasa, pertalian antarklausa, dan sebagainya. Pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan tersebut menciptakan fenomena-fenomena lingual yang dapat dijadikan prinsip menciptakan tuturan yang bersifat gombal.


(22)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas masalah-masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana strukur WG?

2. Bagaimana kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama Grice?

3. Mengapa WG muncul serta berkembang?

4. Fenomena lingual apa saja yang terdapat dalam WG?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan stuktur WG.

2. Mendeskripsikan kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama Grice.

3. Mendeskripsikan kemunculan dan perkembangan WG. 4. Mendeskripsikan fenomena lingual yang terdapat dalam WG.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi struktur dan tipe-tipe WG, deskripsi kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama, penyebab terjadinya fenomena nggombal, dan fenomena lingual dalam WG. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan wawasan dalam khazanah linguistik—khususnya kajian wacana dan pragmatik—dan kajian budaya populer.


(23)

Penelitian ini menghasilkan deskripsi prinsip-prinsip pembentukan tuturan yang menurut Grice tidak logic atau tidak konvensional. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai dokumentasi WG sebagai salah satu gejala bahasa yang sempat populer dan hanya bersifat sementara.

Sementara itu, secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan pembaca untuk mengetahui jenis-jenis WG serta cara menilai dan membuat WG yang menarik sebagai sebuah hiburan dan humor. Hasil penelitian ini memaparkan bagaimana penciptaan humor terjadi dalam WG dan apa saja tipe-tipe WG. Dengan mengetahui tipe-tipe-tipe-tipe WG, seseorang dapat membuat WG yang bervariasi sehingga tidak membosankan. Sementara itu, dengan mengetahui kriteria WG yang bernilai gombal, seseorang dapat membuat WG yang menarik dan menghibur bagi mitra tuturnya. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi retorika yang mengembangkan sisi kreativitas orang dalam bertutur.

1.5Tinjauan Pustaka

Sejauh ini belum ada pustaka yang membahas WG dari segi kebahasaan. Buku-buku tentang WG yang ada hanya memuat kumpulan-kumpulan WG, seperti dalam Antakutsuka (2012), Hape Hang (2011), Deny Ale-Ale (2012), dan Irvan Bachsim (2012). Setiap buku tersebut hanya memuat kumpulan WG dari berbagai sumber tanpa ada analisis terhadapnya. Meskipun demikian, Bachsim dalam Rayuan Gombal Ala Denny Cagur pada bagian Kata Pengantar mengatakan bahwa rayuan gombal yang romantis bahkan menyentuh hati selalu bisa membuat orang merasa ―melayang‖, atau bahkan terharu, tetapi juga bisa membuat orang


(24)

tertawa jika rayuan gombal tersebut lucu dan jenaka (Bachsim, 2012: 3). Oleh karena itu, perlu ditinjau pustaka yang membahasa humor dari segi kebahasaan.

Kajian tentang humor yang berkaitan dengan bahasa pernah dibahas dalam Rahardi (2011). Dalam buku Humor Ada Teorinya: Bahasa dan Gaya Melawak (Rahardi, 2011: 49-92) humor diklasifikasikan menjadi (a) humor plesetan, (b) humor malapropis, (c) humor silap lidah, (d) humor jargon, (e) humor estetis, dan (f) humor konatif.

Humor plesetan merupakan jenis humor yang paling umum ditemui. Kejenakaan dalam humor plesetan muncul karena ketidakjelasan dan keambiguan dengan sengaja direkayasa sedemikian rupa dengan cara kata-katanya diplesetkan (Ibid., hlm. 49). Humor malapropis biasanya dibuat dengan cara menyelipkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan tertentu di tengah-tengah susunan atau formula bahasa yang sudah mapan keberadaannya. Dengan menyelipkan kata-kata tertentu yang dijenakakan itu, formula atau struktur yang sudah ada dapat menjadi cukup membingungkan dan membuat orang-orang menjadi terpana. Keterpanaan inilah letak dari sasaran lawakan itu. Begitu kebingunan dan ketidaktahuan itu mencair, meledaklah tawakan didalam lawakan jenaka itu (Rahardi, 2011: 60).

Bentuk humor yang disusun dengan mempermainkan urutan kata-kata disebut silap lidah. Fenomena kebahasaan yang demikian ini mempermainkan urutan kata-kata yang lazimnya melibatkan bentuk kebahasaan yang mirip-mirip sekali bunyinya (Ibid., hlm. 67). Humor juga banyak dilakukan warga masyarakat Indonesia melalui pemanfaatan jargon-jargon bahasa. Dapat juga hal ini dilakukan lewat bahasa yang khas digunakan di dalam kelompok sosial tertentu. Humor


(25)

model ini juga banyak digunakan dengan cara memanfaatkan kata-kata dari bahasa daerah tertentu (Ibid., hlm. 71).

Wacana humor estetis dapat disusun dengan memakai bentuk-bentuk yang khusus yang memiliki persamaan bunyi atau mungkin memiliki persajakan akhir tertentu yang memang indah didengar lantaran bunyinya yang memang ritmis (Ibid., hlm. 77). Humor konatif berkenaan dengan salah satu fungsi bahasa yaitu fungsi memerintah dan menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu. Kreativitas berbahasa dengan memanfaatkan piranti-piranti wacana konatif juga muncul dalam aneka bentuk ketidaklangsungan pemyampaian maksud imperatif (Ibid., hlm. 87).

Kajian permainan bahasa dilihat dari sudut pandang pragmatik juga pernah dilakukan Wijana (2004) serta Wijana dan Rohmadi (2009). Wijana dalam disertasi S3-nya yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa melihat proses terjadinya humor melalui pematuhan dan pelanggaran prinsip-prinsip pragmatik, yaitu prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan paremeter pragmatik.

Sementara itu, Wijana dan Rohmadi (2009: 143-144) dalam makalah berjudul ―Teori Kesantunan dan Humor‖ yang kemudian dimasukkan sebagai contoh analisis dalam buku Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis, mengatakan bahwa berhumor adalah salah satu bentuk aktivitas yang sering kali dicapai dengan penyimpangan prinsip-prinsip kesopanan. Kelucuan sebuah wacana sering kali terbentuk karena adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kesopanan. Dengan demikian, pemahaman dan penguasaan terhadap teori


(26)

kesopanan merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai di dalam upaya memahami wacana humor.

Dibahas pula kaitan permainan bahasa dengan budaya melalui makalah berjudul ―Wacana Dagadu: Kreativitas yang Berakar dari Kearifan Lokal‖ (Ibid., hlm. 77—94). Dalam makalah tersebut disebutkan bahwa permainan bahasa berupa plesetan merupakan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta yang keberadaan dan peranannya di tengah masyarakat sangat sentral. Salah satu peranan itu menjadi alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

Masalah media massa, khususnya televisi, juga pernah dibahas Baudrillard (1983) dalam bukunya Simulations. Baudrillard menyebut kehidupan di zaman postmodern ini sebagai hiper-realitas. Hal ini ditandai oleh simulasi. Proses simulasi mengarah kepada penciptaan simulakra. Perbedaan antara tanda dan kenyataan semakin menipis. Yang ada hanyalah simulasi dan simulakra.

1.6Landasan Teori

Pada landasan teori ini akan dipaparkan (a) pengertian dan struktur wacana, (b) wacana dialog, (c) wacana gombal, wacana humor, dan budaya populer, (d) prinsip kerja sama, serta (e) humor dan penciptaan humor. Landasan teori poin (a) dan (b) digunakan sebagai dasar analisis kajian struktural terhadap WG. Sementara itu, landasan teori butir (c) s.d. (e) menjadi dasar dalam mengkaji kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama Grice, penyebab


(27)

terjadinya fenomena nggombal, dan jenis-jenis fenomena lingual yang terdapat dalam WG.

1.6.1 Pengertian dan Struktur Wacana

Baryadi dalam Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa (2002) menjelaskan hakikat wacana secara etimologis. Wacana berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta vacana yang berarti ‗bacaan‘ yang kemudian masuk ke dalam kosakata bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana yang memiliki makna ‗bicara, kata, ucapan‘. Kata wacana dalam bahasa Jawa Baru tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana yang bermakna ‗ucapan, percakapan, tutur yang merupakan suatu kesatuan (Tim Penyusun Kamus, 2008: 1612). Kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan sebagai padanan kata discourse dalam bahasa Inggris (Baryadi, 2002: 1). Menurut Kamus Linguistik, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Kridalaksana, 2008: 231).

Wacana dihasilkan oleh proses komunikasi verbal yang berkesinambungan, yaitu dari titik mula, tengah berlangsung, sampai titik akhir. Tahap-tahap komunikasi itu menentukan struktur wacana yang dihasilkannya. Sesuai dengan tahap-tahap komunikasi itu, wacana memiliki bagian-bagian, yaitu bagian awal wacana, bagian tubuh wacana, dan bagian penutup (Luxemburg 1984: 100). Sebagai sebuah struktur, setiap bagian wacana memiliki fungsi tersendiri. Bagian awal wacana berfungsi sebagai pembuka wacana, bagian tubuh wacana berfungsi sebagai pemapar isi wacana, dan bagian penutup berfungsi


(28)

sebagai penanda akhir wacana. Dari ketiga bagian itu, bagian yang wajib ada adalah tubuh wacana. Dua bagian yang lain tidak selalu ada dalam setiap wacana (Baryadi, 2002: 14).

1.6.2 Wacana Dialog

Berdasarkan keaktifan partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) wacana monolog, (ii) wacana dialog, dan (iii) wacana polilog. Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya melibatkan pihak pembicara. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana dialog adalah sapa-menyapa, tanya jawab, peristiwa tawar-menawar dalam jual beli. Wacana polilog adalah wacana yang diproduksi melalui pertukaran tiga jalur yang lebih. Pemproduksian wacana polilog pada dasarnya sama dengan wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog adalah percakapan, diskusi, rapat, dan musyawarah (Baryadi, 2002: 11—12).

WG termasuk dalam jenis wacana dialog. Menurut Wijana (2003:278), berdasarkan elemen-elemen pembentuknya, wacana dialog dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (i) wacana dialog sederhana dan (ii) wacana dialog kompleks. Wacana dialog sederhana adalah wacana dialog yang memiliki struktur elemen minimal, yaitu terdiri dari unsur inisiasi (I) dan responss (R). Inisiasi adalah elemen dialog yang dipergunakan oleh seorang penutur untuk memberikan


(29)

informasi, perintah atau memancing reaksi dari lawan tuturnya. Sementara itu responss adalah reaksi verbal mitra tutur terhadap inisiasi itu. Bila batas transaksi dilambangkan dengan [ ], dan elemen wacana yang memprediksikan dilambangkan dengan , serta elemen yang diprediksi dengan , maka struktur minimal dialog sederhana dapat diformulasikan sebagai berikut.

[I R]  Contoh:

(8) O1 : Nama kamu siapa? (I)

O2 : Sony. (R)

Sementara itu, wacana kompleks adalah wacana yang sekurang-kurangnya terdiri dari elemen inisiasi dan responss ditambah satu atau lebih unsur-unsur yang lain, seperti responss inisiasi (R/I), dan feed back (F). Responss inisiasi adalah elemen wacana yang diutarakan oleh partisipan dialog sebagai responss/inisiasi awal terhadap elemen inisiasi. Responss/inisiasi terprediksi oleh inisiasi dan memprediksi responss secara langsung mengikutinya. Bila sebuah dialog memiliki elemen inisiasi, respons inisiasi, dan respons maka formulasi elemennya adalah sebagai berikut ini:

 [I R/I R] Contoh:

(9) O1 : Son, masih ada saldo deposit nggak? I

O2 : Ada, mau beli berapa? R/I


(30)

Wacana dialog kompleks yang terdiri dari tiga elemen dapat juga memiliki struktur elemen inisiasi, respons, dan feed back. Elemen yang terakhir ini bersifat opsional. Kehadirannya hanya sebagai kelanjutan dari respons yang diberikan oleh lawan tutur. Karena kehadirannya yang bersifat terprediksi, atau memprediksi ujaran sebelum dan sesudahnya, formulasi wacana yang berelemen inisiasi, respons, dan feed back dapat digambarkan sebagai berikut ini (Wijana, 2003: 283—285):

 [I R (F) ] Contoh:

(10) O1 : Apa yang akan kamu lakukan setelah lulus kuliah? I

O2 : Bekerja, Bu. R

O1 : Okelah kalo begitu. F

Tuturan terakhir dari O1 disebut F karena apabila tuturan tersebut dihilangkan, wacana dialog (11) tidak mempengarui keutuhan wacana. Perhatikan contoh berikut.

(11) O1 : Apa yang akan kamu lakukan setelah lulus kuliah? I

O2 : Bekerja, Bu. R

1.6.3 Wacana Gombal, Wacana Humor, dan Budaya Populer

Sebelum memahami apa itu WG, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari gombal. Gombal dalam KBBI (Tim Penyusun Kamus, 2008: 458) menjadi dua lema yang berbeda. Lema pertama memaknai gombal sebagai ‗kain tua yang sudah sobek-sobek‘, sementara lema kedua memaknai gombal sebagai ‗bohong, omong kosong, rayuan‘. Kata gombal pada lema kedua dapat diturunkan


(31)

menjadi bentuk yang lebih kompleks menjadi gombalan yang berarti ‗ucapan yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, dan omongan bohong. Kata benda gombal bila mendapatkan imbuhan me(N)- menjadi menggombal dapat diartikan sebagai ‗melakukan aktivitas menggunakan gombal yang berarti bohong, omong kosong, dan rayuan‘.

Berbagai artikel online mendefinisikan pengertian gombal dan nggombal. Gombal adalah kata dari bahasa Indonesia yang mengekspresikan sesuatu yang tidak berguna atau tidak berarti. Dalam bahasa Inggris, artinya hampir sama dengan arti kata shit atau bullshit. Kata-kata gombal digunakan oleh seseorang (biasanya pria) untuk merayu, menggoda, dan atau mencari perhatian orang lain terutama lawan jenis. Namun, saat sekarang ini juga banyak digunakan hanya untuk hiburan (http://id.wikipedia.org/wiki/Gombal).

WG termasuk bagian dari wacana humor. Berbicara tentang humor sebagai wacana, Raskin (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 139) membedakan wacana biasa dengan wacana humor. Wacana biasa terbentuk dari proses komunikasi yang bonafid (bonafide process of communication), sedangkan wacana humor terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non-bonafide process of communication). Oleh karena itu, wacana humor sering kali menyimpang dari aturan-aturan berkomunikasi yang digariskan oleh prinsip-prinsip pragmatik, baik yang bersifat tekstual maupun interpersonal (Nelson dikutip Wijana dan Rohmadi, 2009: 139)

WG akhirnya menjadi suatu hiburan ringan yang mempublik. Bergesernya fungsi WG tersebut tak lepas dari peran media massa, khususnya televisi dan


(32)

media online yang memberikan banyak ruang bagi WG sebagai hiburan. Seiring berkembangnya WG sebagai hiburan, WG pun menjadi apa yang disebut trend center dan menjadikannya bagian dari budaya populer.

Frasa budaya populer terdiri dari dua kata yaitu budaya dan populer. Dalam KBBI, budaya diartikan sebagai ‗pikiran‘ atau ‗akal budi‘ (Tim Penyusun Kamus, 2008: 226). Sementara itu kata populer memiliki makna (i) ‗dikenal dan disukai orang banyak (umum)‘; (ii) ‗sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya; mudah dipahami orang banyak‘; (iii) disukai dan dikagumi orang banyak (Ibid., hlm. 1120). Adapun budaya populer adalah ‗budaya yang diproduksi secara komersial, massal, dan menjadi ikon budaya massa‘ (Ibid., hlm. 226).

Menurut Williams (1983: 237) dalam bukunya Keywords: A Vocabulary of Culture and Society, budaya populer memiliki ciri-ciri (i) disukai banyak orang; (ii) jenis kerja rendahan; (iii) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (iv) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Meminjam dikotomi dalam dunia sastra, dikenal pembedaan sastra serius dan sastra populer seperti yang dibahas oleh Nurgiyantoro (2007). Ciri-ciri sastra populer memiliki kemiripan dengan ciri-ciri budaya populer yang diutarakan oleh Williams di atas. Mengutip pendapat Umar Kayam, Nurgiyantoro menyatakan beberapa ciri-ciri sastra populer, antara lain (i) mengikuti ―selera populer‖ atau selera orang banyak, (ii) diproduksi untuk dijadikan ―barang dagangan populer‖ atau bersifat komersial, (iii) menampilkan masalah yang aktual namun hanya


(33)

sebatas pada tingkat permukaan, (iv) bersifat sementara, (v) memberikan hiburan semata.

1.6.4 Prinsip Kerja Sama

Tuturan digunakan dalam komunikasi dengan bahasa. Berkomunikasi merupakan proses pertukaran informasi antara penutur dan mitra tutur. Proses komunikasi antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik jika terjalin kerja sama. Kerja sama dalam komunikasi akan berjalan baik jika setiap penutur memberikan kontribusi yang cukup, logis, sesuai dengan konteks, serta runtut dan tidak taksa. Oleh karena itu, komunikasi dengan bahasa perlu mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama merupakan kaidah penggunaan bahasa dalam komunikasi supaya pertukaran informasi antara penutur dan mitra tutur bersifat kooperatif. Menurut Grice (1975: 45), untuk melaksanakan prinsip kerja sama, seseorang harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

1.6.4.1 Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menuntut setiap peserta tutur memberikan pernyataan yang sesuai dengan kebutuhan. Yang dimaksud sesuai dengan kebutuhan adalah kontribusi yang diberikan sebanyak yang dibutuhkan mitra tuturnya, tidak kurang dan tidak lebih.

Grice (1975: 45-46) menyatakan bahwa ada dua aturan khusus dalam maksim kuantitas yaitu pertama, buatlah sumbangan seinformatif yang diperlukan dan kedua, jangan membuat sumbangan yang lebih informatif daripada yang


(34)

diperlukan. Informasi yang berlebih membuang atau rugi waktu. Kelebihan informasi mungkin akan dianggap disengaja untuk menciptakan efek tertentu sehingga dapat menimbulkan salah pengertian. Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (12) daripada (13) (Wijana, 1996: 46).

(12) Tetangga saya hamil.

(13) Tetangga saya yang perempuan hamil.

Ujaran (14) di samping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya wanitalah yang hamil. Dengan demikian elemen yang perempuan dalam tuturan (13) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (13) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.

1.6.4.2 Maksim Kualitas

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta tutur memberikan pernyataan yang benar, dapat dipercaya, dan didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah Jakarta, bukan kota-kota lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.

Grice (1975: 46) juga menyatakan dua aturan khusus dalam maksim kualitas yaitu (a) jangan mengatakan apa yang dianggap salah, dan (b) jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup.

Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibukota Indonesia adalah Jakarta dan bukan kota-kota lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan


(35)

tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya tentu ada alasan mengapa hal demikian bisa terjadi. Untuk ini dapat diperhatikan wacana (14) berikut ini (Wijana, 1996: 48).

(14) Guru : Coba kamu Andi, apa ibukota Bali? Andi : Surabaya, Pak Guru.

Guru : Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar ya? Dari wacana (14) di atas tampak Guru memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibu kota Jawa Timur Denpasar bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim ini diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah/dengan jawaban ini sang murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence) kemudian secara serta-merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah. Mengapa kalimat Bapak Guru diutarakan dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-bukti yang memadai akhirnya Andi mengetahui bahwa jawabannya terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang diucapkan gurunya tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek. Jadi, ada alasan-alasan pragmatis mengapa Guru dalam (14) memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas.

1.6.4.3 Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan yang sedang dipertuturkan. Maksim relevansi menuntut kesesuaian tuturan dengan yang dibicarakan yang


(36)

terwujud dalam suatu implikatur (Wijana, 1996: 49). Perhatikan contoh berikut (Wijana, 1996: 50).

(15) Ibu : Ani, ada telepon untuk kamu. Ani : Saya lagi di belakang, Bu.

Jawaban Ani pada wacana (15) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban Ani pada (15) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu secara langsung. Ia secara tidak langsung meminta tolong Ibu menerima telepon itu.

1.6.4.4 Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan menuntut setiap pesrta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut (Wijana, 1996: 50). Grice (1975: 46) mengatakan bahwa maksim pelaksanaan berkenaan dengan bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana tuturan itu diungkapkan. Perhatikan contoh berikut (Wijana, 1996: 51).

(16) Ayah : Mari kita berhenti dan membeli makanan. Ibu : Oke, tapi tidak M-C-D-O-N-A-L-D.

Dalam (16) Ibu menjawab ajakan Ayah secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc Donald. Penyimpangan ini dilakukan karna ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas-batas umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu mengangkap makna kata yang dieja hurufnya satu per satu.


(37)

1.6.5 Humor dan Penciptaan Humor

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 533) humor berarti (a) ‗kemampuan merasai sesuatu yang lucu atau yang menyenangkan‘, dan (b) ‗keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan. Menurut Arwah Setiawan (dikutip Suhadi, 1989: 28), humor merupakan rasa atau gejala yang merangsang orang secara mental untuk tertawa atau cenderung tertawa. Jadi, humor bisa berupa rasa atau kesadaran di dalam diri dan bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun luar diri manusia. Ketika dihadapkan pada humor, orang bisa langsung tertawa lepas atau cenderung tertawa saja, misalnya tersenyum atau merasa tergelitik di dalam batin saja. Rangsangan yang ditimbulkan haruslah rangsangan mental untuk tertawa, bukan rangsangan fisik seperti misalnya dikili-kili yang mendatangkan rasa geli dan akhirnya membuat orang yang bersangkutan tertawa.

Permainan bahasa dalam wacana humor memuat ketidakterdugaan. Unsur ketidakterdugaan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan di dalam penciptaan humor (Wijana, 2004: 280). Penciptaan ketidakterdugaan dalam wacana humor terbentuk lewat pemanfaatan berbagai aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya. Sehubungan dengan ini, ragam bahasa informal cenderung lebih banyak digunakan sebagai sarana berhumor sehubungan dengan sifat-sifatnya yang tidak terikat pada kaidah kebakuan sehingga ketaksaan yang merupakan aspek penting dalam humor mudah dimunculkan (Ibid., hlm. 33-34).


(38)

1.7Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan dijelaskan masing-masing tahap dalam penelitian ini.

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah WG. Wacana ini berada dalam data yang berupa wacana berbentuk dialog atau percakapan. Data diperoleh dari sumber-sumber tertulis dari buku-buku kumpulan kata-kata gombal maupun lisan dari percakapan dalam program-program televisi yang memuat acara WG maupun hasil percakapan sehari-hari yang memuat WG. Sumber buku kumpulan kata-kata gombal yang dipilih adalah Rayuan Gombal Andre Vs Jessica karya Tauwa Antakutsuka (2012), Si Raja Gombal: Rayuan Gombal Ala Andre OVJ karya Hape Hang (2011), Makhluk Tuhan Paling Gombal: Kata Gombal Rayuan Maut dan Lucu Ala Deny Cagur Comedy Project karya Deny Ale-Ale (2012), dan Rayuan Gombal Ala Denny Cagur karya Irvan Bachsim (2012). Acara ―Comedy Project‖ di Trans TV menjadi sumber data berwujud audio visual.

Data yang dikumpulkan berupa tuturan yang mengandung nilai rasa gombal. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan menyimak langsung penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133).

Adapun teknik yang digunakan dalam metode simak ada dua tahapan, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan (Ibid., hlm. 133-135). Teknik dasar pada


(39)

metode simak adalah teknik sadap. Teknik sadap dilakukan dengan cara menyadap pembicaraan (baca: menyadap penggunaan bahasa) seseorang atau beberapa orang (Ibid., hlm. 133).

Teknik lanjutan dari metode simak yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik catat. Teknik catat dilakukan dengan cara mencatat pembicaraan atau penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang secara lisan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam acara televisi yang memuat WG. Teknik catat juga digunakan untuk mencatat kembali WG yang telah diterbitkan dalam buku-buku populer maupun yang diunggah ke media online.

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, langkah berikutnya adalah analisis data. Metode yang digunakan pada tahap ini antara lain metode padan dan metode agih. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto: 1993: 15). Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik bagi unsur langsung. Cara kerja teknik bagi unsur langsung adalah membagi satuan lingual data menjadi beberapa bagian atau unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Metode dan teknik ini digunakan untuk mengkaji permasalahan tentang struktur dan tipe WG dengan menggunakan teori strukur wacana dialog.

Berikut merupakan contoh penerapan metode agih dengan teknik bagi unsur langsung.


(40)

(17) O1 : Eh, kamu suka makan permen ya? I

O2 : Lho kok tau? R/I

O1 : Habis senyum kamu manis sich. R

(Rayuan Gombal Ala Deni Cagur, hlm. 51) WG di atas berstruktur I-R/I-R. Dialog O1 yang pertama memiliki fungsi I karena memiliki sifat memprediksi dialog selanjutnya yang dituturkan oleh O2. Tuturan O2 sendiri memiliki fungsi R/I karena menjadi antisipasi awal atas I dari O1 dan memprediksi sebuah R dari O1.

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yang digunakan adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis adalah metode analisis data yang alat penentunya adalah mitra tutur (Sudaryanto, 1993: 15). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra tutur ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk mengkaji permasalahan kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama dan fenomena lingual dalam WG dengan teori prinsip kerja sama dan penciptaan humor.

(18) O1 : Kamu tau ga apa bedanya Gery Chocolatos sama hati aku?

O2 : Hmhmhm…. Ga tau, emang apa sich?

O1 : Gery Chocolatos ada coklat di dalamnya, tapi kalo hati aku ada kamu di dalamnya.

(Rayuan Gombal Andre Vs Jessica, hlm. 19)

Penciptaan humor dalam wacana (18) terletak pada dialog kedua O1. Tuturan tersebut memiliki hubungan perlawanan. Klausa pertama berlawanan dengan klausa kedua. Keduanya dipisahkan dengan kata hubung tapi. Efek jenaka


(41)

muncul ketika klausa pertama dilawankan dengan klausa kedua yang mana klausa kedua tidak memiliki hubungan langsung dan logis dengan klausa pertama.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal. Penyajian dengan metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Pada metode informal hasil penelitian disajikan menggunakan kata-kata biasa yang dapat langsung dipahami secara mudah oleh pembacanya (Sudaryanto, 1993: 145).

1.8Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Bab Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II memuat kajian struktural WG yang mencakup unsur-unsur pembangun WG dan fungsinya serta tipe-tipe WG. Bab III membahas kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama. Bab IV berisikan penyebab terjadinya fenomena nggombal. Bab V berisikan fenomena-fenomena lingual dalam WG. Bab VI memuat kesimpulan dan saran.


(42)

26 BAB II

STRUKTUR WACANA GOMBAL

2.1 Pengantar

WG sebagai sebuah satuan kebahasaan tingkat wacana memiliki struktur pembangunnya. Dari analisis struktural, bentuk-bentuk WG dapat diklasifikasikan menurut ciri-cirinya menjadi beberapa tipe. Setiap tipe memiliki keunikannya sendiri. Mengkaji WG secara struktural menjadi dasar penelitian sebelum mengkajinya secara pragmatis. Berikut dipaparkan deskripsi struktur dan tipe-tipe WG.

2.2 Struktur WG

WG merupakan wacana berbentuk dialog. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar (Baryadi, 2002: 11). Dalam wacana dialog, terdapat dua elemen utama, yaitu inisiasi (I) dan respons (R). Inisiasi adalah elemen dialog yang dipergunakan oleh seorang penutur untuk memberikan informasi, perintah atau memancing reaksi dari lawan tuturnya. Sementara itu, respons adalah reaksi verbal mitra tutur terhadap inisiasi itu. Selain I dan R, masih ada dua elemen tambahan lain yaitu respons/inisiasi (R/I) dan feed back (F). Respons/inisiasi adalah elemen wacana yang diutarakan oleh partisipan dialog sebagai respons/inisiasi awal terhadap elemen inisiasi. Respons/inisiasi terprediksi oleh inisiasi dan memprediksi respons secara langsung mengikutinya. Feed back


(43)

bersifat opsional. Kehadirannya hanya sebagai kelanjutan dari respons yang diberikan oleh lawan tutur.

Sebagai wacana yang berbentuk dialog, WG memiliki bagian-bagian utama tersebut. Struktur WG yang paling umum terdiri dari bagian dialog yang berfungsi sebagai I, R/I, R, dan kadang-kadang disertai F seperti pada contoh berikut.

(19) O1 : Sayang, tau ga di mana tempat beli piala? I

O2 : Tau, emang buat apa Yank? R/I

O1 : Buat beliin kamu piala sebab kamu juara di hati aku R

O2 : Wooo, gombal!!! F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 13)

(20) O1 : Yang, coba deh balik badan kamu… I

O2 : Buat apaan sih beb? R/I

O1 : Subhanallah, kok ada ya bidadari

yang ga punya sayap. R

O2 : Ah kamu beb. F

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 20) Unsur I memiliki fungsi sebagai pembuka wacana (19) yang membuat O2 merasa penasaran dan kemudian ditanggapi dengan R/I berupa pertanyaan tentang I. Kemudian, O1 pun menyampaikan R berupa jawaban yang bersifat tidak terduga oleh O2. Respons yang bersifat tidak terduga oleh O2 ini menjadi ciri khas WG yang memiliki ―nilai rasa gombal‖. Sering kali O2 masih akan memberikan F walaupun hal tersebut tak wajib ada seperti pada contoh berikut.

(21) O1 : Bapak kamu tukang ketoprak ya? I

O2 : Kok tau? R/I

O1 : Habis kamu telah mengulek-ulek hatiku. R


(44)

(22) O1 : Dek, bisa tunjukin kakak jalan ga? I

O2 : Jalan kemana Kak? R/I

O1 : Ke hati Adek. R

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 20)

Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa struktur WG terdiri dari dua elemen pokok, yaitu pengantar dan ketidakterdugaan. Pengantar merupakan bagian WG yang berfungsi sebagai pembangun persepsi tentang sesuatu. Ketika masuk ke WG, bagian pengantar membuat mitra tutur merasa penasaran; rasa keingintahuannya terpancing. Sementara itu, ketidakterdugaan merupakan bagian WG yang berfungsi membelokkan persepsi yang telah dibangun di bagian pengantar untuk menghasilan ―nilai rasa gombal‖ dan efek jenaka.

2.3 Tipe-Tipe WG

WG dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan kelengkapan dan jumlah elemen-elemen sebuah wacana dialog. Ada dua jenis wacana dialog, yaitu wacana dialog sederhana dan wacana dialog kompleks. Wacana dialog sederhana hanya memiliki unsur I dan R, sedangkan wacana dialog kompleks memiliki elemen I, R/I, R, dan kadang F. Berikut dipaparkan tipe-tipe WG.

2.3.1 Tipe WG Dialog Sederhana

Menurut Wijana (2004: 278), wacana dialog sederhana hanya memiliki elemen I dan R. Namun, sepertinya hal tersebut tidak sepenuhnya tepat bagi WG tipe ini. WG berupa wacana dialog sederhana memiliki elemen I dan dan F karena


(45)

respons dari mitra tutur hanya berupa ungkapan ekspresi perasaan semata. Perhatikan contoh berikut.

(23) O1 : Butuh tiga detik untuk bilang aku cinta kamu. Tiga jam untuk ngejelasin.

Dan tiga abad untuk ngebuktiinnya.. I

O2 : Gitu ya? Makasi Sayank…. F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 21) (24) O1 : Kalau aku harus memilih,

antara bernafas dan mencintaimu,

aku akan menggunakan nafas terakhirku untuk bilang

―Aku cinta kamu‖ I

O2 : Oya? So sweet… Jadi terharu… F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 22) (25) O1 : Jatuh cinta denganmu bikin aku semangat kerja di kantor,

bikin aku menari tiap kali mendengar suara mesin fotokopi,

bikin aku tersenyum saat dimarahin bos.

Dan bikin hari Sabtu jadi hari yang paling

kutunggu-tunggu.. I

O2 : Makasii… F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 15)

Respons dari O2 pada ketiga wacana di atas lebih bersifat F daripada R karena I yang diutarakan O1 memang tidak wajib menuntut adanya R. Inisiasi pada ketiga wacana di atas berupa pujian yang bersifat berlebihan kepada O2 sehingga O2 merasa tersanjung dan kemudian memberikan tanggapan berupa ungkapan ekspresif atas perasaannya.

Selain itu, terdapat pula WG bertipe wacana dialog sederhana yang O2-nya tidak sekadar memberikan tanggapan berupa ungkapan ekspresif, tetapi juga memberikan F berupa pertanyaan retoris seperti pada contoh berikut.


(46)

(26) O1 : Cintaku untuk kamu seperti angin. Kamu ga akan pernah bisa lihat,

tapi kamu bisa selalu merasakannya I

O2 : Tapi bukan kentut kan? F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 27) (27) O1 : Hari di mana aku jatuh cinta sama

kamu adalah hari di mana aku mulai hidup. I

O2 : Kemaren ngapain? F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 27) (28) O1 : Kamu adalah hal pertama yang ada di

pikiranku saat aku bangun, dan hal terakhir

di hatiku saat aku tidur I

O2 : Bantal apa guling ya? F

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 27) Tanggapan O2 pada ketiga wacana di atas tetap disebut F karena keberadaannya tidak wajib. Hal yang paling pokok hanya terdapat pada elemen I.

Ketidakterdugaan dalam WG yang berupa dialog sederhana terletak pada dialog yang memiliki fungsi I. Jadi, baik pengantar maupun ketidakterdugaannya berada di dialog pertama. Dalam wacana (21) misalnya, dialog yang memiliki fungsi I terdiri dari tiga bagian, yaitu (a) Butuh tiga detik untuk bilang aku cinta kamu, (b) Tiga jam untuk ngejelasin, (c) Dan tiga abad untuk ngebuktiinnya.

Dua kalimat pertama berfungsi sebagai pengantar, sedangkan kalimat ketiga memiliki fungsi memunculkan ketidakterdugaan. Ketiga kalimat ini memiliki unsur kata tiga dengan satuan yang berbeda: tiga detik, tiga jam, dan tiga abad; serta kata kerja yang berbeda: cinta, ngejelasin, ngebuktiin. Selisih tiga detik dan tiga jam pada kalimat pertama dan kedua tidak terlalu jauh, tetapi selisih kalimat ketiga sangat jauh dibandingkan dua kalimat sebelumnnya, yaitu


(47)

tiga abad. Hal inilah yang menciptakan ketidakterdugaan. Ternyata, ngebuktiin membutuhkan waktu yang lebih lama daripada cinta dan ngejelasin. Ketidakterdugaan muncul ketika O2 mengetahui perbedaan waktu yang dibutuhkan sangat jauh.

2.3.2 Tipe WG Dialog Kompleks

WG yang bertipe wacana dialog kompleks sekurang-kurangnya memiliki elemen I, R/I, dan R, serta kadang diikuti F seperti yang telah dicontohkan pada bagian sturktur WG di atas. Namun, tidak jarang para peserta tutur memiliki kemungkinan besar untuk mengutarakan elemen-elemen wacana (I, R/I, R, dan [F]) lebih dari sekali. Sehubungan dengan ini, perulangan R/I dan F dimarkahi dengan simbol (..n) sehingga secara lebih kompleks didapatkan formulasi berikut

    [I R/In R (Fn) ]

Inisiasi juga dapat diulang kembali dalam sebuah wacana dialog dan ditandai dengan Ir (Reinisiasi). Dengan demikian tipe wacana dialog kempleks menjadi lebih beragam. Perhatikan contoh berikut.

(29) O1 : Neng, boleh liat tangannya ga? I

O2 : Boleh Bang… R

O1 : Kok tangan Neng kasar banget sich? Ir

O2 : Ah masa sich? R/I

O1 : Pasti Neng sering nyuci hati aku ya? R

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 22)

(30) O1 : Say, 1 + 1 berapa? I

O2 : 2 Say. R

O1 : Salah, mustinya itu 1 Ir


(48)

O1 : Karena nanti cintamu dan cintaku

akan melebur jadi satu. R

O2 : Ah Say bisa aja dech.. F

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 24) (31) O1 : Halo, bisa bicara dengan Dita? I

O2 : Ya, saya sendiri, dari mana ya? R/I O1 : Oh, kebetulan, ini dari kepolisian mbak.

Mbak ditangkap atas tuduhan pencurian Ir O2 : Hah! Pencurian? Pencuri apa?

Saya ga ngerasa mencuri R/I2

O1 : Pencuri hatiku…. R

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 25) Berbeda dengan tipe wacana dialog sederhana, ketidakterdugaan dalam tipe wacana dialog kompleks terletak pada fungsi R yang terakhir. Semua fungsi sebelum R yang terakhir pada contoh-contoh di atas memiliki fungsi sebagai pengantar yang membangun sebuah persepsi yang nantinya akan dibelokkan oleh O1 di bagian R terakhir. Dalam wacana (29) misalnya, O1 berhasil membangun persepsi O2 tentang pencurian dalam arti denotatifnya. Ketidakterdugaan tercipta ketika O1 membelokkan persepsi tersebut dengan R terakhir: Pencuri hatiku yang memiliki makna kiasan.

2.4 Rangkuman

Struktur WG terdiri dari dua unsur, yaitu pengantar dan ketidakterdugaan. Pengantar merupakan bagian WG yang berfungsi sebagai pembangun persepsi tentang sesuatu. Sementara itu, ketidakterdugaan merupakan bagian WG yang berfungsi membelokkan persepsi yang telah dibangun di bagian pengantar untuk menghasilan ―nilai rasa gombal‖ dan efek jenaka.


(49)

Berdasarkan letak unsur pengantar dan ketidakterdugaannya, WG dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe wacana dialog sederhana dan tipe wacana dialog kompleks. WG yang bertipe wacana dialog sederhana memiliki fungsi I dan F. Unsur pengatar dan ketidakterdugaan dalam WG terletak pada fungsi I. WG yang bertipe wacana dialog kompleks sekurang-kurangnya memiliki fungsi I, R/I, R, dan kadang-kadang F. Unsur ketidakterdugaan terletak di fungsi R yang terakhir, sedangkan fungsi-fungsi sebelumnya merupakan unsur pengantar yang membangun sebuah persepsi.


(50)

34 BAB III

WACANA GOMBAL DAN PRINSIP KERJA SAMA

3.1 Pengantar

Dalam sebuah komunikasi verbal yang wajar menurut kacamata pragmatik, baik penutur maupun mitra tutur selalu memberikan sumbangan informasi yang patuh terhadap prinsip kerja sama supaya komunikasi dapat berjalan lancar. Yang dimaksud dengan patuh terhadap prinsip kerja sama adalah ketika para partisipan berbicara seinformatif mungkin, mengatakan sesuatu dengan bukti-bukti yang memadai, mempertimbangkan secara seksama konteks pembicaraan, senantiasa berusaha agar tuturan yang dihasilkan ringkas, dan tidak taksa sehingga tidak menyesatkan mitra tuturnya. Jenis komunikasi verbal yang demikian disebut komunikasi yang bonafid (Wijana, 2004: 78). WG berbeda dengan wacana komunikasi yang bonafid. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk berkomunikasi, tetapi jenis tujuan yang diinginkan berbeda. Kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama akan dibahas di bab ini.

3.2 Kesesuaian Tuturan dalam WG dengan Prinsip Kerja Sama

Komunikasi yang bonafid digunakan untuk saling bertukar informasi secara wajar tanpa ada nilai rasa tambahan. Komunikasi yang bonafid bersifat denotatif. Sementara itu, WG memiliki nilai rasa tambahan yang pada penelitian ini disebut ―nilai rasa gombal‖. Untuk menimbulkan nilai rasa tersebut, penutur WG menciptakan tuturan yang membelok dari prinsip kerja sama. Berikut


(51)

merupakan paparan tuturan-tuturan dalam WG yang mengalami pembelokan prinsip kerja sama.

3.2.1 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menuntut setiap partisipan tutur memberikan sumbangan yang memadai dan sebanyak yang dibutuhkan. Namun, dalam WG, seorang penutur justru memberikan sumbangan yang kurang memadai dari apa yang dibutuhkan. Perhatikan wacana di bawah ini.

(32) O1 : Hei, punya korek ga? O2 : Ga punya

O1 : Kalo nama punya kan?

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm 51) (33) O1 : Kamu tau kan, makanan itu ada tanda kadaluarsanya.

O2 : Iya, terus?

O1 : Sama kaya cinta aku ke kamu ada tanda kadaluarsanya juga.

O2 : Loh, kok bisa? Emang di mana?

O1 : Ya bisalah, tanda kadaluarsanya ada di batu nisanku karena aku akan mencintaimu sampai mati....

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm 48) Orang pertama pada wacana (30) memiliki maksud hendak mengajak berkenalan dengan O2. Cara yang dilakukan O1 ternyata menggunakan sumbangan komunikasi yang kurang memadai. Untuk mengajak berkenalan saja O1 justru bertanya apakah O2 memiliki korek atau tidak. Dialog kedua dari O1 juga bersifat berlebihan. Secara wajar, O2 pasti memiliki nama. Untuk apa O1 harus bertanya apakah O2 memiliki nama atau tidak. Namun, bila O1 hanya menggunakan wacana komunikasi yang bonafid dengan maksud yang sama, yaitu berkenalan, nilai rasa gombal tidak akan terasa dalam wacana (30). Dengan


(52)

demikian dapat disimpulkan O1 dalam wacana (30) membelokkan maksim kuantitas. Sebagai pembanding perhatikan wacana (a) berikut.

(30a) O1 : Namamu siapa? O2 : Dita

Tidak jauh berbeda dengan wacana (30), O1 dalam (31) juga memberikan sumbangan tuturan yang bersifat berlebihan. Untuk mengungkapkan janji mencintai O2 seumur hidup, O1 justru berputar-putar dengan mengungkapkan tanggal kadaluarsa cintanya berada di batu nisannya nanti.

3.2.2 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kualitas

Ciri-ciri sebuah wacana yang sesuai dengan maksim kuantitas antara lain mengatakan sesuatu yang sebenarnya dan logis. Hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk WG. Dilihat dari pengertian awalnya saja, WG merupakan wacana yang bersifat bohong atau omong kosong. Perhatikan contoh WG berikut.

(34) O1 : Aduh, hati aku sakit banget nich…. Aduh….

O2 : Kenapa? Kamu liver??

O1 : Bukan, ada yang mengukir nama kamu di hati aku….

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 33) (35) O1 : Hai cewek, lagi di mana nich?

O2 : Lagi di rumah. Mau di mana lagi? O1 : Lho, kok bisa?

O2 : Ya bisalah, emang kenapa?

O1 : Kamu bohong, kamu kan ada di hatiku.

(Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 24) (36) O1 : Tiap malem, aku jalan-jalan.

O2 : Malem-malem? Jalan-jalan ke mana kamu malem-malem gitu?

O1 : Di hatimu….


(53)

Wacana (32), (33), dan (34) mengandung tuturan-tuturan yang tidak logis. Tuturan-tuturan yang tidak logis tersebut dikatakan oleh O1. O1 dalam (32) mengatakan bahwa hatinya sedang diukir dengan nama O2, O1 dalam (33) menyatakan bahwa O2 sedang berada di dalam hatinya, dan O1 dalam (34) mengatakan bahwa ia berjalan-jalan di hati O2. Semua itu tidak logis dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Seperti pada maksim kuantitas, pembelokan maksim kualitas juga berfungsi menimbulkan ―nilai rasa gombal‖. Ketiga wacana di atas memiliki maksud yang sama, yaitu memuji O2 dengan ungkapan-ungkapan bernilai rasa positif yang sebenarnya tidak logis namun justru dapat diterima oleh O2.

3.2.3 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Relevansi

Maksim relevansi menuntut para peserta tutur untuk memberikan sumbangan informasi yang harus berkaitan dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Tuturan yang disampaikan hendaknya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Yang dimaksud dengan konteks adalah asumsi-asumsi yang dimiliki oleh pendengar mengenai ―dunia‖ (Wijana, 2004: 85).

WG justru banyak mempermainkan maksim ini. Sebenarnya maksim relevansi tak sepenuhnya dilanggar dalam WG. Justru sumbangan informasi yang diberikan terlihat tetap berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan, namun sumbangan tersebut dibelokkan sedemikian rupa sehingga memiliki ―nilai rasa gombal‖. Perhatikan contoh berikut.


(54)

(37) O1 : Neng, Bapak Neng pasti asli Jakarta kan? O2 : Ih kok Abang bisa tau sich?

O1 : Soalnya Eneng telah memonaskan hati Abang

(Si Raja Gombal, hlm. 11) (38) O1 : Kamu pasti suka gaya Briptu Norman ya?

O2 : Kok tau?

O1 : Soalnya kamu udah men-chaiyya-chaiyyakan hatiku. (Si Raja Gombal, hlm. 10) (39) O1 : Neng, Bapakmu orang Garut ya

O2 : Emang kenape Bang?

O1 : Karena kamu telah mendodolkan hatiku.

(Si Raja Gombal, hlm. 10) Di ketiga wacana di atas, O1 membangun sebuah konteks pada dialog yang pertama. Dalam (35), (36), (37) secara berurutan O1 membentuk persepsi tentang Jakarta, Briptu Norman, dan Garut. Pada dialog yang kedua, O1 tetap menjaga konteks pembicaraan dengan memberikan sumbangan informasi yang tetap berkaitan dengan Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan kata kunci monas, chaiyya-chaiyya, dan dodol. Namun informasi pada dialog yang kedua dipermainkan dengan menambahkan konteks yang berbeda, yaitu tentang hati O1 terhadap O2. Di situlah letak pembelokan maksim relevansi. Tentu tidak ada hubungan yang relevan antara Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan hati O1, namun oleh O1 hal tersebut dijadikan alat pembuat ―nilai rasa gombal‖.

3.2.4 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Pelaksanaan

Selain bersifat logis dan relevan, sumbangan informasi para peserta tutur dalam wacana komunikasi yang bonafid juga harus bersifat mudah dipahami dengan menghindari kekaburan dan ketaksaan, bersifat padat, langsung, serta


(55)

runtut (Wijana, 2004: 89). Sementara itu, WG justru membelokkan maksim pelaksanaan dengan sumbangan-sumbangan yang taksa seperti dalam contoh berikut.

(40) O1 : Kalo deket kamu kok aku jadi males ya Yank? O2 : Kok gitu sich? Udah bosen ya?

O1 : Males untuk jauh lagi darimu.

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 32) (41) O1 : Aku udah pernah jatuh dari jembatan, aku udah pernah

jatuh dari tangga. Semuanya ga enak. O2 : Emangnya ada jatuh yang enak?

O1 : Ada satu jatuh yang paling enak, yaitu jatuh cinta sama kamu.

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 19) (42) O1 : Kalo IPS apa artinya?

O2 : Ilmu Pengetahuan Sosial. O1 : Kalo IPA?

O2 : Ilmu Pengetahuan Alam. O1 : Kalo KPK?

O2 : Komisi Pemeberantasan Korupsi O1 : Salah, tapi artinya Kamu Punya Ku

(Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm.81) Dalam wacana (38) O1 tidak langsung mengatakan malas berjauhan dengan O2 sehingga sempat menimbulkan penafsiran yang berbeda pada O2. Dalam wacana (39) O1 memanfaatkan kepolisemian kata jatuh dengan mengatakan ada jatuh yang enak, yaitu jatuh cinta pada O2. Dalam (40) O1 menyimpangkan kepanjangan dari KPK pada umumnya yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Kamu Punya Ku. Ketiga WG di atas tidak sepenuhnya mematuhi maksim pelaksanaan karena membuat sebuah pernyataan yang ambigu. Namun justru pembelokan maksim pelaksanaan tersebut menciptakan ―nilai rasa gombal‖ bagi O2 karena merasa dipuji.


(56)

3.3. Rangkuman

WG berbeda dengan wacana komunikasi yang bonafid yang hanya sekadar bertukar informasi secara wajar. WG memiliki tujuan merayu untuk mendapatkan hati mitra tutur. Penutur dalam WG berusaha membesarkan hati mitra tuturnya dengan menciptakan tuturan-tuturan yang membelok dari prinsip kerja sama dengan keempat maksimnya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Tutran WG memberikan sumbangan informasi yang berlebihan, tidak logis, menyimpang dari konteks, dan ambigu.


(1)

van Luxemburg, Jan dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Yule, George. 2006. Pragmatik. Diterjemahkan oleh Indah Fajar Wahyuni dari judul asli Pragmatics. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(2)

84

SUMBER DATA

Ale-ale, Deny. 2012. Makhluk Tuhan Paling Gombal: Kata Gombal Rayuan Mau dan Lucu Ala Deny Cagur Comedy Project. Yogyakarta: Maher Publishing.

Antakutsuka, Tauwa. 2012. Rayuan Gombal Andre vs Jessica. Yogyakarta: Syura Media Utama.

Bachsim, Irvan. 2012. Rayuan Gombal Ala Denny Cagur. Yogyakarta: Akmal Publishing.

Hang, Hape. 2011. Si Raja Gombal: Rayuan Gombal Ala Andre OVJ. Klaten: Galmas Publisher.


(3)

ix

ABSTRAK

Sudarsono, Sony Christian. 2013. ―Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural‖. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas wacana gombal (WG). Gombal adalah kata dalam bahasa Indonesia yang mengekspresikan sesuatu yang tidak berguna dan tidak berarti. WG digunakan oleh seseorang (biasanya pria) untuk merayu, menggoda, dan atau mencari perhatian orang lain terutama lawan jenis. Sekarang, WG banyak digunakan untuk hiburan sebagai bagian dari wacana humor. Kajian atas WG ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur WG, kesesuaian WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan fenomena-fenomena lingual dalam WG.

Teori yang digunakan untuk mengkaji WG meliputi (a) pengertian dan struktur wacana, (b) wacana dialog, (c) wacana gombal, wacana humor, dan budaya populer, (d) prinsip kerja sama, serta (e) humor dan penciptaan humor. Landasan teori poin (a) dan (b) digunakan sebagai dasar analisis kajian struktural terhadap WG. Sementara itu, landasan teori butir (c) s.d. (e) menjadi dasar dalam mengkaji kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan jenis-jenis fenomena lingual yang terdapat dalam WG.

Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan data dari buku-buku kumpulan WG dan dari video-video acara televisi yang memuat WG. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa dalam sumber-sumber data tersebut dan mencatatnya dalam kartu data. Kedua, data dianalisis dengan metode agih dan metode padan. Teknik yang digunakan dalam metode agih adalah teknik bagi unsur langsung. Metode padan yang digunakan adalah metode padan pragmatis. Terakhir, hasil analisis data disajikan dengan teknik informal dan formal. Dengan teknik informal, hasil analisis data disajikan dengan kata-kata biasa yang bersifat denotatif, bukan konotatif. Dengan teknik formal, hasil analisis data disajikan dengan tabel ataupun rumus tertentu (Sudaryanto, 1993: 145).

Hasil dari penelitian ini meliputi empat hal yaitu struktur WG, kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama, penyebab muncul dan berkembangnya WG, dan fenomena lingual dalam WG. Struktur WG terdiri dari dua unsur, yaitu pengantar dan ketidakterdugaan. Pengantar merupakan bagian WG yang berfungsi sebagai pembangun persepsi tentang sesuatu. Sementara itu, ketidakterdugaan merupakan bagian WG yang berfungsi membelokkan persepsi yang telah dibangun di bagian pengantar untuk menghasilan ―nilai rasa gombal‖ dan efek jenaka.

Berdasarkan letak unsur pengantar dan ketidakterdugaannya, WG dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe wacana dialog sederhana dan tipe wacana dialog kompleks. WG yang bertipe wacana dialog sederhana memiliki fungsi I dan F. Unsur pengatar dan ketidakterdugaan dalam WG terletak pada fungsi I. WG yang bertipe wacana dialog kompleks sekurang-kurangnya memiliki fungsi I, R/I, R, dan kadang-kadang F. Unsur ketidakterdugaan terletak di fungsi R yang terakhir,


(4)

x

sedangkan fungsi-fungsi sebelumnya merupakan unsur pengantar yang membangun sebuah persepsi.

Tuturan dalam WG membelok dari prinsip kerja sama untuk menghasilkan ―nilai rasa gombal‖. WG memuat sumbangan informasi yang bersifat berlebihan, kurang logis, keluar dari konteks, dan ambigu. Penyebab terjadinya fenomena nggombal dimulai dari media massa, terutama televisi. Media massa melalui acara-acara televisi mempublikasikan WG sehingga populer di kalangan masyarakat. WG pun menjadi trend center dalam dunia humor dan trend setter dalam pergaulan sehari-hari.

Fenomena-fenomena lingual dalam WG meliputi pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, yaitu (a) aspek-aspek fonologis yang meliputi (i) subtitusi fonem, (ii) permainan fonem, dan (ii) penambahan suku kata; (b) aspek ketaksaan yang meliputi (i) ketaksaan leksikal: polisemi dan homonimi, dan (ii) ketaksaan gramatikal: idiom dan peribahasa; (c) gaya bahasa yang meliputi (i) hiperbola, (ii) elipsis, (iii) metafora, dan (iv) personifikasi; (d) pantun; (e) nama; (f) pertalian kata dalam frasa, (g) pertalian antarklausa yang meliputi (i) hubungan perlawanan, (ii) hubungan sebab, (iii) hubungan pengandaian, (iv) hubungan syarat, (v) hubungan tujuan, dan (vi) hubungan kegunaan; serta (i) pertalian antarproposisi yang meliputi (i) silogisme dan (ii) entailmen.


(5)

xi

ABSTRACT

Sudarsono, Sony Christian. 2013. ―Wacana Gombal in Indonesian Language: Structural, Pragmatics, and Cultural Study‖. Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.

This thesis discusses wacana gombal (―gombal discourse‖, abbreviated as WG). Gombal is a word in Indonesian language that describes something that is useless and invaluable. Someone (usually a man) use WG to attempt to persuade someone else, especially a woman. Now, WG is used as an entertainment so WG is a part of humor discourse. This study on WG aims to describe the structure of WG, the expediency of WG with cooperative principles, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenon in the WG.

The teories that be used in this studying are (a) the definition and structure of discoures, (b) the dialogue discourse, (c) the WG, humor discoures and popular culture, (d) the cooperative principles, and (e) the humor and the humor creating. Teories in point (a) and (b) are used to analyse the structure of WG. Point (c) to (e) become the basis to analyse the expediency of WG with the cooperative principle, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenons in the WG.

The steps of the study are as follows. First, collect the data from the books that and videos TV programs that contain WG with simak methods or observe attentively the using of its langue and wrote it in the data card. Second, the data is analyzed with the method of agih and padan. The agih method is applied through the bagi unsur langsung technique (direct dividing element). The padan method (equal method) that is used is pragmatics padan. Finally, the analytical result from the data is served with informal and formal method. By informal method means that the analytical data are presented by way of ordinary words that is words that has its denotative character not it‘s connotative. Using formal method means that the analytical data are presented by table or a certain formula (Sudaryanto, 1993: 145).

The result of this research are the structure of WG, the expediency of WG with cooperative principles, the reason WG can be popular, and the lingual phenomenon in the WG. The structure of WG is composed of the introduction and unexpectedness. The function of introduction is to make a perception about something. In the mean time, the unexpectedness functions to split the perception that be made in the introduction to produce ―gombal effect‖ and humor.

WG can be divided to two types, which are simple conversation and complicated conversation. Simple conversation has I and F. The introduction and unexpectedness are in I. Complicated conversation has I, R/I, R, and sometimes F. The unexpectedness is in the last R. the introduction is the part before the latest R. The speech in WG is not appropriate with cooperative principles to produce ―gombal effect‖. WG give the contribution as uninformative as is required or more informative than is required, not logic, out of context, and


(6)

xii

ambiguous. The reason WG can be popular is started from the mass-media. It through the TV programs publishes WG so that be popular in the public. WG become trend center in entertainment world and trend setter in the daily life.

The lingual phenomenon in WG cover the utilization of lingual aspects, that are (a) phonological aspects: (i) phonemic play and (ii) syllabic adding; (b) equivocal aspects: (i) lexically equivocal and (ii) grammatically equivocal; (c) figure of a speech: (i) hyperbola, (ii) ellipsis, (iii) metaphor, and (iv) personification; (d) limerick; (e) name; (f) the relation of words in the phrase; (g) the relation inter clauses: (i) paradox relations, (ii) reason relations, (iii) assumption relations, (iv) conditional relations, (v) aim relations, and (vi) useless relations; and (i) inter proposition relations: (i) syllogism and (ii) entailment.