Pengantar Rangkuman WACANA GOMBAL DAN PRINSIP KERJA SAMA

34

BAB III WACANA GOMBAL DAN PRINSIP KERJA SAMA

3.1 Pengantar

Dalam sebuah komunikasi verbal yang wajar menurut kacamata pragmatik, baik penutur maupun mitra tutur selalu memberikan sumbangan informasi yang patuh terhadap prinsip kerja sama supaya komunikasi dapat berjalan lancar. Yang dimaksud dengan patuh terhadap prinsip kerja sama adalah ketika para partisipan berbicara seinformatif mungkin, mengatakan sesuatu dengan bukti-bukti yang memadai, mempertimbangkan secara seksama konteks pembicaraan, senantiasa berusaha agar tuturan yang dihasilkan ringkas, dan tidak taksa sehingga tidak menyesatkan mitra tuturnya. Jenis komunikasi verbal yang demikian disebut komunikasi yang bonafid Wijana, 2004: 78. WG berbeda dengan wacana komunikasi yang bonafid. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk berkomunikasi, tetapi jenis tujuan yang diinginkan berbeda. Kesesuaian tuturan dalam WG dengan prinsip kerja sama akan dibahas di bab ini.

3.2 Kesesuaian Tuturan dalam WG dengan Prinsip Kerja Sama

Komunikasi yang bonafid digunakan untuk saling bertukar informasi secara wajar tanpa ada nilai rasa tambahan. Komunikasi yang bonafid bersifat denotatif. Sementara itu, WG memiliki nilai rasa tambahan yang pada penelitian ini disebut ―nilai rasa gombal‖. Untuk menimbulkan nilai rasa tersebut, penutur WG menciptakan tuturan yang membelok dari prinsip kerja sama. Berikut merupakan paparan tuturan-tuturan dalam WG yang mengalami pembelokan prinsip kerja sama.

3.2.1 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menuntut setiap partisipan tutur memberikan sumbangan yang memadai dan sebanyak yang dibutuhkan. Namun, dalam WG, seorang penutur justru memberikan sumbangan yang kurang memadai dari apa yang dibutuhkan. Perhatikan wacana di bawah ini. 32 O1 : Hei, punya korek ga? O2 : Ga punya O1 : Kalo nama punya kan? Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm 51 33 O1 : Kamu tau kan, makanan itu ada tanda kadaluarsanya. O2 : Iya, terus? O1 : Sama kaya cinta aku ke kamu ada tanda kadaluarsanya juga. O2 : Loh, kok bisa? Emang di mana? O1 : Ya bisalah, tanda kadaluarsanya ada di batu nisanku karena aku akan mencintaimu sampai mati.... Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm 48 Orang pertama pada wacana 30 memiliki maksud hendak mengajak berkenalan dengan O2. Cara yang dilakukan O1 ternyata menggunakan sumbangan komunikasi yang kurang memadai. Untuk mengajak berkenalan saja O1 justru bertanya apakah O2 memiliki korek atau tidak. Dialog kedua dari O1 juga bersifat berlebihan. Secara wajar, O2 pasti memiliki nama. Untuk apa O1 harus bertanya apakah O2 memiliki nama atau tidak. Namun, bila O1 hanya menggunakan wacana komunikasi yang bonafid dengan maksud yang sama, yaitu berkenalan, nilai rasa gombal tidak akan terasa dalam wacana 30. Dengan demikian dapat disimpulkan O1 dalam wacana 30 membelokkan maksim kuantitas. Sebagai pembanding perhatikan wacana a berikut. 30a O1 : Namamu siapa? O2 : Dita Tidak jauh berbeda dengan wacana 30, O1 dalam 31 juga memberikan sumbangan tuturan yang bersifat berlebihan. Untuk mengungkapkan janji mencintai O2 seumur hidup, O1 justru berputar-putar dengan mengungkapkan tanggal kadaluarsa cintanya berada di batu nisannya nanti.

3.2.2 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Kualitas

Ciri-ciri sebuah wacana yang sesuai dengan maksim kuantitas antara lain mengatakan sesuatu yang sebenarnya dan logis. Hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk WG. Dilihat dari pengertian awalnya saja, WG merupakan wacana yang bersifat bohong atau omong kosong. Perhatikan contoh WG berikut. 34 O1 : Aduh, hati aku sakit banget nich…. Aduh…. O2 : Kenapa? Kamu liver?? O1 : Bukan, ada yang mengukir nama kamu di hati aku…. Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 33 35 O1 : Hai cewek, lagi di mana nich? O2 : Lagi di rumah. Mau di mana lagi? O1 : Lho, kok bisa? O2 : Ya bisalah, emang kenapa? O1 : Kamu bohong, kamu kan ada di hatiku. Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 24 36 O1 : Tiap malem, aku jalan-jalan. O2 : Malem-malem? Jalan-jalan ke mana kamu malem-malem gitu? O1 : D i hatimu…. Makhluk Tuhan Paling Gombal, hlm. 26 Wacana 32, 33, dan 34 mengandung tuturan-tuturan yang tidak logis. Tuturan-tuturan yang tidak logis tersebut dikatakan oleh O1. O1 dalam 32 mengatakan bahwa hatinya sedang diukir dengan nama O2, O1 dalam 33 menyatakan bahwa O2 sedang berada di dalam hatinya, dan O1 dalam 34 mengatakan bahwa ia berjalan-jalan di hati O2. Semua itu tidak logis dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Seperti pada maksim kuantitas, pembelokan maksim kualitas juga berfungsi menimbulkan ―nilai rasa gombal‖. Ketiga wacana di atas memiliki maksud yang sama, yaitu memuji O2 dengan ungkapan- ungkapan bernilai rasa positif yang sebenarnya tidak logis namun justru dapat diterima oleh O2.

3.2.3 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Relevansi

Maksim relevansi menuntut para peserta tutur untuk memberikan sumbangan informasi yang harus berkaitan dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Tuturan yang disampaikan hendaknya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Yang dimaksud dengan konteks adalah asumsi-asumsi yang dimiliki oleh pendenga r mengenai ―dunia‖ Wijana, 2004: 85. WG justru banyak mempermainkan maksim ini. Sebenarnya maksim relevansi tak sepenuhnya dilanggar dalam WG. Justru sumbangan informasi yang diberikan terlihat tetap berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan, namun sumbangan tersebut dibelokkan sedemikian rupa sehingga memiliki ―nilai rasa gombal‖. Perhatikan contoh berikut. 37 O1 : Neng, Bapak Neng pasti asli Jakarta kan? O2 : Ih kok Abang bisa tau sich? O1 : Soalnya Eneng telah memonaskan hati Abang Si Raja Gombal, hlm. 11 38 O1 : Kamu pasti suka gaya Briptu Norman ya? O2 : Kok tau? O1 : Soalnya kamu udah men-chaiyya-chaiyyakan hatiku. Si Raja Gombal, hlm. 10 39 O1 : Neng, Bapakmu orang Garut ya O2 : Emang kenape Bang? O1 : Karena kamu telah mendodolkan hatiku. Si Raja Gombal, hlm. 10 Di ketiga wacana di atas, O1 membangun sebuah konteks pada dialog yang pertama. Dalam 35, 36, 37 secara berurutan O1 membentuk persepsi tentang Jakarta, Briptu Norman, dan Garut. Pada dialog yang kedua, O1 tetap menjaga konteks pembicaraan dengan memberikan sumbangan informasi yang tetap berkaitan dengan Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan kata kunci monas, chaiyya-chaiyya, dan dodol. Namun informasi pada dialog yang kedua dipermainkan dengan menambahkan konteks yang berbeda, yaitu tentang hati O1 terhadap O2. Di situlah letak pembelokan maksim relevansi. Tentu tidak ada hubungan yang relevan antara Jakarta, Briptu Norman, dan Garut dengan hati O1, namun oleh O1 hal tersebut dijadikan alat pembuat ―nilai rasa gombal‖.

3.2.4 Tuturan dalam WG yang Membelok dari Maksim Pelaksanaan

Selain bersifat logis dan relevan, sumbangan informasi para peserta tutur dalam wacana komunikasi yang bonafid juga harus bersifat mudah dipahami dengan menghindari kekaburan dan ketaksaan, bersifat padat, langsung, serta runtut Wijana, 2004: 89. Sementara itu, WG justru membelokkan maksim pelaksanaan dengan sumbangan-sumbangan yang taksa seperti dalam contoh berikut. 40 O1 : Kalo deket kamu kok aku jadi males ya Yank? O2 : Kok gitu sich? Udah bosen ya? O1 : Males untuk jauh lagi darimu. Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 32 41 O1 : Aku udah pernah jatuh dari jembatan, aku udah pernah jatuh dari tangga. Semuanya ga enak. O2 : Emangnya ada jatuh yang enak? O1 : Ada satu jatuh yang paling enak, yaitu jatuh cinta sama kamu. Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm. 19 42 O1 : Kalo IPS apa artinya? O2 : Ilmu Pengetahuan Sosial. O1 : Kalo IPA? O2 : Ilmu Pengetahuan Alam. O1 : Kalo KPK? O2 : Komisi Pemeberantasan Korupsi O1 : Salah, tapi artinya Kamu Punya Ku Rayuan Gombal Ala Denny Cagur, hlm.81 Dalam wacana 38 O1 tidak langsung mengatakan malas berjauhan dengan O2 sehingga sempat menimbulkan penafsiran yang berbeda pada O2. Dalam wacana 39 O1 memanfaatkan kepolisemian kata jatuh dengan mengatakan ada jatuh yang enak, yaitu jatuh cinta pada O2. Dalam 40 O1 menyimpangkan kepanjangan dari KPK pada umumnya yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Kamu Punya Ku. Ketiga WG di atas tidak sepenuhnya mematuhi maksim pelaksanaan karena membuat sebuah pernyataan yang ambigu. Namun justru pembelokan maksim pelaksanaan tersebut menciptakan ―nilai rasa gombal‖ bagi O2 karena merasa dipuji.

3.3. Rangkuman

WG berbeda dengan wacana komunikasi yang bonafid yang hanya sekadar bertukar informasi secara wajar. WG memiliki tujuan merayu untuk mendapatkan hati mitra tutur. Penutur dalam WG berusaha membesarkan hati mitra tuturnya dengan menciptakan tuturan-tuturan yang membelok dari prinsip kerja sama dengan keempat maksimnya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Tutran WG memberikan sumbangan informasi yang berlebihan, tidak logis, menyimpang dari konteks, dan ambigu. 41

BAB IV WACANA GOMBAL DAN BUDAYA POPULER

4.1 Pengantar Seperti yang telah dijelaskan di bagian latar belakang, WG pada mulanya

hanya digunakan untuk menggoda, memuji, dan merayu mitra tutur. Biasanya penuturnya adalah seorang pria dan mitra tuturnya adalah seorang wanita. Hal tersebut wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah interaksi sosial antara pria dengan wanita. Pada awalnya nggombal bersifat privat, namun kini perlahan bergeser ke ruang publik.

4.2 Penyebab Terjadinya Fenomena Nggombal

Media massa membawa WG sebagai hiburan. Trans TV dan Trans7, dua stasiun televisi milik Trans Corporation, menjadi pelopor pembawa WG masuk ke panggung hiburan Indonesia. Kedua stasiun televisi tersebut memang mengakui diri sebagai stasiun televisi hiburan. Hampir semua program yang dibawakan dikemas sedemikian rupa menjadi hiburan bagi pemirsanya. Karena berorientasi sebagai televisi hiburan, Trans TV dan Trans7 harus kreatif saat menyuguhkan sebuah tontonan yang menghibur. Tontonan menghibur yang paling umum adalah humor. Kedua stasiun televisi tersebut banyak memuat program-program bergenre humor. Salah satu tontonan humor yang ditawarkan kepada pemirsa adalah WG.