13
mendefinisikan margin tata niaga sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen
untuk produk yang sama. Tomek dan Robinson 1977 mendefinisikan margin tataniaga sebagai berikut : 1 perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan
harga yang diterima produsen, 2 kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.
Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk melihat seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga
tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode
Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion 1986 dan
Heytens 1986.
2.1.5 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis Geographic Information SystemGIS yang selanjutnya akan disebut SIG Sistem Informasi Geografis merupakan sistem
informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis Aronoff, 1989. SIG memungkinkan pengguna
untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu, dengan Sistem Informasi Geografis
pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah model representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi,
dimodelkan atau dianalisis baik secara teksdtual, secara spasial maupun kombinasinya analisis melalui query atribut dan spasial, hingga akhirnya
disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna Prahasta, 2005 Beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam Sistem
Informasi Geografis menjadi tiga tahapan. Tahap pertama kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam
Sistem Informasi Geografis dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit yang sudah memberikan kenampakan informasi yang
dibutuhkan Robinson et al., 1995. Tahap kedua kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah penambahan operasional analisis pada tahap pertama. Pada
tahapan ini, bentuk data diberikan kedalam data dengan menggunakan data
14
statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut
sama atau serupa Robinson et al., 1995. Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun overlay. Tumpang
susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjtnya kalkulasi dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi
untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian
antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu. Tahapan terakhir kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah
pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time, kemudian hasil yang didapatkan dari
permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan Robinson et al., 1995. Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru
yang perlu disajikan dalam bentuk tercetak hard copy supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional Danoedoro, 1996.
Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk membangun suatu model pemetaan kesesuaian lahan di suatu wilayah dengan menggabungkan
prosedur evaluasi lahan dengan pilihan-pilihan pengambilan keputusan dalam suatu Sistem Informasi Geografis SIG. Prosedur ini mencakup 5 tahapan yaitu:
1 mendisain unit pemetaan lahan; 2 mendiagnosa tipe-tipe penggunaan lahan yang ada dan keperluan-keperluannya; 3 menganalisis kesesuaian lahan melalui
“matching” antara unit pemetaan lahan dengan tipe penggunaan lahan; 4 mengintegrasikan data ke basis data relasional sosial-ekonomi; 5 penyajian
peta kesesuaian lahan melalui proses “join table” antara hasil kesesuaian lahan dengan unit pemetaan lahan dalam Sistem Informasi Geografis Hashim I, 2002
2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan
luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih
15
menghadapi beberapa kendala yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan
yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah crumb rubber. Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal
tanaman tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang tidak terawat, sehingga perlu upaya percepatan peremajaan
karet rakyat dan pengembangan industri hilir Balitbang Pertanian, 2009. Perkebunan karet rakyat dicirikan oleh pemilikan lahan yang sempit,
tersebar serta produktivitas mutu hasil yang rendah. Produksi karet berupa sleb, lump
, SIT angin dan jenis mutu lainnya yang dikenal dengan bokar bahan olah karet rakyat dari usahatani kecil kemudian diolah oleh perusahaan pengolah
processor yang pada umumnya berada di dekat kota, menjadi bentuk karet remah crumb rubber. Proses sampai ke pabrik pengolahan, produksi karet dari
petani kecil tersebut harus melalui rantai tataniaga yang panjang menggunkan bentuk-bentuk kelembagaan yang telah berkembang, sehingga petani seringkali
menerima bagian harga yang relatif rendah. Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh
rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58tahun, sedangkan areal perkebunan
negara dan swasta sama-sama menurun 0,15tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal kebun
rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana
yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan
investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan
meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan
upaya untuk pemanfaatan yang lebih lanjut Balitbang Pertanian, 2009. Pengembangan tanaman karet dan pengolahannya di masa mendatang tetap
menjadi salah satu prioritas pengembangan di sub sektor perkebunan. Hal ini