Arahan Kebijakan Pengembangan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal

Di sisi lain, dalam keadaan normalpun, tidak semua petani mampu untuk membeli sarana prasarana yang diperlukan, karena harga yang tidak terjangkau. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kelangkaan pupuk dan memberikan insentif agar harga sarana produksi dapat murah diterima petani. Secara umum dalam rangka peningkatan kinerja pengusahaan kebun karet rakyat maka usaha peningkatan sarana prasarana pertanian merupakan suatu yang sangat diperlukan, disamping kebijakan pemberian insentif harga. Lateks karet masyarakat dijual dalam bentuk cup lump sehingga belum memberikan nilai tambah bagi kegiatan ekonomi daerah. Belum adanya industri pengolahan bahan setengah jadi ataupun bahan jadi karet membuat belum adanya spread effect dari perkebunan karet rakyat terhadap masyarakat diluar petani karet. Tacoli 1998 menyatakan bahwa program pembangunan pedesaan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian tanpa diikuti dengan kegiatan non pertanian seperti pemprosesan bahan mentah dan aktifitas pabrik sarana pertanian seperti alat-alat pertanian dan input-input pertanian lainnya, akan menyebabkan marginalisasi daerah pedesaan. Keberadaan aktifitas pendukung diluar kegiatan on farm merupakan hal penting dalam mendukung pembangunan pedesaan. Dengan adanya industri pengolahan karet disentra-sentra produksi akan menyebabkan terbukanya lapangan pekerjaan sehingga akan terjadi distribusi pendapatan ke masyarakat diluar petani karet. Kedua, barang-barang modal yang digunakan dalam pemeliharaan kebun maupun dalam pembukaan kebun seperti pupuk, pestisida, alat-alat pertanian dan lain sebagainya, umumnya barang-barang yang di impor dari luar daerah. Hal ini membuat sedikitnya pengaruh yang ditimbulkan pengusahaan kebun karet rakyat terhadap perekonomian daerah. Idealnya, dengan adanya suatu kegiatan ekonomi masyarakat, maka kegiatan itu dapat menjadi perangsang tumbuhnya kegiatan-kegiatan lain baik dari sektor hulu maupun hilirnya. Ketiga, pajak dan restribusi dari cup lump karet tidak masuk ke kas daerah. cup lump karet masyarakat umumnya langsung dijual ke pedagang pengumpul dan ke pabrik karet di luar Kabupaten Mandailing Natal. Akibatnya Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal hanya mendapatkan retribusi kendaraan pengangkut cup lump karet yang nilainya relatif kecil, sedangkan pajak yang terbesar, yaitu pada level pabrik, justru dinikmati pemerintah daerah lain. Dalam rangka pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, beberapa aspek penting yang perlu menjadi perhatian dalam rangka keberhasilan program adalah adanya peran penyuluh, kelembagaan petani, dan sarana prasarana pertanian. Ketiga aspek tersebut memiliki keterkaitan yang nyata terhadap peningkatan produktifitas perkebunan karet rakyat yang telah ada. Dari beberapa hal diatas dapat dijadikan sebagai saran pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal dan beberapa sebagai arahan kebijakan pengembangan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka masukan yang diberikan kepada pemerintah sebagai arahan kebijakan pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan tanaman karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal dapat diarahkan ke lahan arahan pengembangan yang telah dibuat seluas 201.875 ha dengan prioritas pengembangan seperti pada Tabel 19 yang secara spasial ditunjukkan pada Gambar 12. Untuk itu diperlukan sosialisasi oleh pemerintah agar masyarakat mengetahui lokasi arahan pengembangan tersebut. 2. Pemerintah perlu membuat kebijakan berupa program percepatan peremajaan karet dengan teknologi budidaya yang dianjurkan. 3. Pemerintah perlu menyusun kebijakan untuk membangun pusat informasi harga karet di tingkat regional yang diharapkan dapat memberikan informasi perkembangan harga karet secara cepat, akurat dan rutin kepada petani sehingga mengurangi senjang informasi harga di petani.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian ini sebagai berikut : 1. Sebagian besar lahan di Kabupaten Mandailing Natal sesuai untuk budidaya tanaman karet yaitu seluas 460.849 ha 70,41, sedangkan lahan yang tidak sesuai hanya seluas 193.693 ha 29,59. 2. Kelayakan investasi usahatani karet pada tiap kelas kesesuaian lahan yang ada di Kabupaten Mandailing Natal S1, S2 dan S3 menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari nilai NPV antara Rp93.052.838 –Rp37.838.270, nilai BCR antara 2,10 –1,48 dan nilai IRR antara 20,20-29,45, keseluruhan parameter tersebut dihitung berdasarkan discount faktor 12, payback period 7-11 tahun. 3. Hasil analisis sensitivitas yang dilakukan pada kegiatan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, pada skenario menaikkan nilai input dengan asumsi yang lain ceteris paribus diperoleh bahwa pada tingkat kenaikan biaya input sebesar 40 untuk lahan S3 sudah tidak layak lagi sedangkan untuk lahan S1 kenaikan biaya input hingga sebesar 110,30 baru menjadikan kegiatan tersebut tidak layak. Pada skenario menaikkan tingkat suku bunga dengan asumsi yang lain ceteris paribus, ketidaklayakan usaha perkebunan rakyat pada kelas kesesuaian lahan S3 terjadi pada tingkat suku bunga 20,3 dan pada kelas kesesuaian lahan S1 pada saat tingkat suku bunga 29,5. Nilai BEP Break Event Point volume produksi sebesar 1.392 kghatahun-1.679 kghatahun dan nilai BEP harga sebesar Rp6.803 –Rp8.846. 4. Kinerja pemasaran karet di Kabupaten Mandailing Natal cenderung belum efisien yang ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat 20,88 dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat pabrik, akibat panjangnya rantai pemasaran dan senjang informasi harga yang terjadi. 5. Belum tersedianya industri pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal membuat cup lump karet yang dihasilkan di jual ke luar daerah, padahal bahan baku cukup banyak tersedia, sehingga perkebunan karet rakyat belum memberikan nilai tambah bagi pembangunan daerah. 6. Pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal dapat diarahkan pada lahan seluas 201.875 ha 30,84. Arahan pengembangan ini bukan berarti menekankan agar keseluruhan luasan tersebut hanya sesuai untuk pengembangan tanaman karet, namun hanya bersifat arahan agar masyarakat yang berminat untuk mengembangkan tanaman karet dapat menanamnya di areal arahan ini.

6.2 Saran

1. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal perlu segera merealisasikan rencana pembangunan pabrik pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup besar dan hal ini akan berimplikasi pada peningkatan perekonomian daerah. 2. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal agar lebih meningkatkan peran para penyuluh dan pembentukan kelompok-kelompok tani di masyarakat untuk meningkatkan mutu karet yang dihasilkan dan meningkatkan bargaining position petani dalam pemasaran karet dan mengarahkan petani pada penggunaan klon karet unggul dengan produktivitas tinggi dan teknik budidaya sesuai anjuran. 3. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk dan pestisida untuk petani. DAFTAR PUSTAKA Azzaino Z. 1983. Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aronoff S. 1989. Geographic Information System : Management Perspective. Ottawa. Canada. WDL Publiation. Azwar R, Alwi N, Sunarwidi. 1989. Kajian komoditas dalam pembangunan hutan tanaman industri. Prosiding Lokarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. hlm. 131−155. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Arsyad L.1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE. Jakarta. Anwar A. 2001. Usaha Membangun Aset-aset Alami dan Lingkungan Hidup Pada Umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan Ekonomi Masyarakat Ke Arah Keberlanjutan. Bahan Diskusi Serial di Lembaga Alam Tropika LATIN. Bogor. Boerhendhy I, Nancy C, Gunawan A. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. J. Ilmu Teknologi Kayu Tropis. 01 01 : 35-46 Boerhendhy I. 2006. Rubberwood Potency In Supporting Replanting Of Rubber Smallholdings . Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 252: 61-67 [BPS] Badan Pusat Statistik Mandailing Natal. 2009. Mandailing Natal dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal. Panyabungan. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. http:www.litbang.deptan.go.id [17 Oktober 2009]. Danoedoro P. 1996. Pengelolaan Data Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Damanik S. 2000. Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Sosial Ekonomi 01 01 : 3-4. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.44Menhut-II2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 3.742.120 Tiga Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Dua Ribu Seratus Dua Puluh Hektar. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007b. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P. 37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.49Menhut-II2008 tentang Hutan Desa. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008c. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor : SK.113Menhut-II2008 tentang Pencadangan Areal Hutan untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas + 9.815 Ha di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.14Menhut-II2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49Menhut-Ii2008 Tentang Hutan Desa. Jakarta : Dephut. [Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 33PermentanOT.14072006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Jakarta : Deptan. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Umum Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit, Karet dan Kakao. httpwww.ditjenbun.deptan.go.id [3 Maret 2007] [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia. httpwww.ditjenbun.deptan.go.id [14 Januari 2010] Drajat, T.S.B., Darmawan, D.A. 1991. Total Elasticity Of Demand For Indonesian Natural Rubber: The Use Of Extended Armington Model . Jurnal Agro Ekonomi 9 1 : 31-47. Drajat B. 2009. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Perkebunan Utama pada Berbagai Rezim Nilai Tukar Rupiah 1979-2005. Jurnal Agro Ekonomi 27 1 : 3-5. Drajat B, Hendratno S. 2009. Strategi Pengembangan Karet Indonesia. Jurnal Penelitian Karet. 27 1 : 13-28. [FAO] Food and Agriculture Organization.1976. A Framework for Land Evaluation . Soil Bull.No.32.FAO.Rome. Faturuhu F. 2009. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Evaluasi Penggunaan Lahan Terhadap Arahan Pemanfaatannya di DAS Waijari. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 9 1 : 13-19. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian Terjemahan. Universitas Indonesia. Press, Jakarta. Goswami SN, Challa O. 2007. Economic Analysis of Smallholder Rubber Plantations in West Garo Hills District of Meghalay . Indian Journal of Agricultural Economics. 62 4 : 649. Heyten PJ. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies. XX. 1 : 3-4. Hubeis AVS. 1992. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Hutagalung JW. 1993. Beberapa Masalah Tata Produksi dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padangsidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan skripsi. Medan : Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Hashim I. 2002. Evaluation of Land Suitability for Selected Land Utilization Types Using Geographic Information System Technology: Case Study In Bandung Basin West Java. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 8 2 : 11-26. Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Pedesaan. Dalam Rustiadi E, Hadi S, Ahmad WM. Editor. Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Bogor: Crestpent Press. Hlm. 68-72. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian – IPB, Bogor. Haryono BS. 2008. Kebijakan Pemerintah Daerah untuk Pemberdayaan Petani Karet Rakyat : kasus Kecamatan Pangean, Kabupaten Singingi, Provinsi Riau Tesis. Malang : Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya. Indraty, IS. 2005. Tanaman karet menyelamatkan kehidupan dari ancaman karbondioksida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27 4 : 10−12. Kilmanun JC. 2005. Dampak Penerapan Teknologi Terhadap Pendapatan dan Produktivitas Petani Karet Di Lahan Kering Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Karet. 23 2 : 53-70. Liu W, Hu H, Ma Y, Li H. 2006. Environmental And Socioeconomic Impacts Of Increasing Rubber Plantations In Menglun Township, Southwest China . Mountain Research and Development. 26 3 : 245 –253. Myria A . 2002. Kajian Strategi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan : kasus Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan TengahTesis. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miraza BH. 2005. Peran Kebijakan Publik Dalam Perencanaan Wilayah. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU. 2 1 : 45-49 Nancy C, Supriadi M. 2005. Socio-economic characterization of participatory rubber replanting and development of smallholders in Ogan Komering Ulu District, South Sumatra Province . Jurnal Penelitian Karet. 23 2 : 87-113. Nasution A. 2009. Pengaruh Pengembangan Wilayah Aspek Ekonomi Sosial Dan Budaya Terhadap Pertahanan Negara Di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU. 3 4 : 117-130 Pangihutan JJ. 2003. Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat : kasus Desa Langkap, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Tesis. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prahasta E. 2005. Sistem Informasi Geografis. Tutorial Arcview. Bandung. Informatika Bandung. Parhusip AB. 2008. Potret Karet Alam Indonesia. Economic Review. 213 1 : 5-6. Penebar Swadaya. 2009. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agriculture Economic. 68 1: 2-3. American Agriculture Economics Associaton. Robinson AH, Morisson JL, Muehrcke PC, Kiwerlig AJ, Giptil SC. 1995. Element of Cartography . Canada. Rahman N. 2002. Keragaman Produksi Tanaman Karet Menurut Umut Tanaman. Jurnal Penelitian Karet. 20 1 : 1-10.