17
dan  hasil  kayu  minimal  300  m3hasiklus;  3  penggunaan  klon  unggul  55; 4  pendapatan  petani  menjadi  US1.500KKth  dengan  tingkat  harga  75  dari
harga  FOB;  dan  5  berkembangnya  industri  hilir  berbasis  karet  di  sentra-sentra produksi karet Balitbang Pertanian, 2009
Kebijakan  operasional  di  tingkat  on  farm  yang  diperlukan  bagi pengembangan  agribisnis  karet  adalah:  1  penggunaan  klon  unggul  dengan
produktivitas  tinggi  3.000  kghatahun;  2  percepatan  peremajaan  karet  tua seluas  400.000  ha  sampai  dengan  2009  dan  1,2  juta  ha  sampai  dengan  2025;
3 diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan ternak;  dan  4  peningkatan  efisiensi  usahatani.  Di  tingkat  off  farm  kebijakan
operasional  yang  dikembangkan  adalah:  1  peningkatan  kualitas  bokar  bahan olah  karet  berdasarkan  SNI;  2  peningkatan  efisiensi  pemasaran  untuk
meningkatkan  marjin  harga  petani;  3  penyediaan  kredit  usaha  mikro,  kecil  dan menengah  untuk  peremajaan,  pengolahan  dan  pemasaran  karet  bersama;
4  pengembangan  infrastruktur;  5  peningkatan  nilai  tambah  melalui pengembangan  industri  hilir;  dan  6  peningkatan  pendapatan  petani  melalui
perbaikan sistem pemasaran dan lain-lain Balitbang Pertanian, 2009 Kebutuhan  investasi  untuk  peremajaan  selama  2005-2015  untuk  seluas
336.000  ha  adalah  sekitar  Rp2,41  trilyun,  sedangkan  selama  2005-2025  untuk seluas  1,2  juta  ha  adalah  Rp8,62  trilyun.  Kebutuhan  dana  untuk  investasi  pada
pabrik  karet  remah  dengan  kapasitas  70  tonhari  adalah  Rp25,6  milyar,  namun belum  perlu  segera  penambahan  pabrik  baru.  Untuk  kayu  karet,  diperlukan  dana
sekitar Rp2,12 milyar untuk menghasilkan treated sawn timber dengan kapasitas 20 m
3
hari Balitbang Pertanian, 2009. Kebijakan yang diperlukan untuk percepatan investasi tanaman karet adalah:
1 penciptaan iklim investasi yang makin kondusif seperti pemberian kemudahan dalam  proses  perijinan,  pembebasan  pajak  tax  holiday  selama  tanaman  atau
pabrik  belum  berproduksi,  pemberian  rangsangan  kepada  pengusaha  untuk menghasilkan  produk  akhir  bernilai  tambah  tinggi  yang  non-ban,  yang  prospek
pasarnya  di  dalam  negeri  cerah,  adanya  kepastian  hukum  dan  keamanan  baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan, dan penghapusan berbagai pungutan
dan  beban  yang  memberatkan  iklim  usaha;  2  pengembangan  sarana  dan
18
prasarana  berupa  jalan,  jembatan,  pelabuhan,  alat  transportasi,  komunikasi,  dan sumber  energi  tenaga  listrik;  3  penyediaan  dana  dengan  menghidupkan
kembali pungutan dari hasil produksiekspor karet semacam  CESS  yang sangat diperlukan  untuk  membiayai  pengembangan  industri  hilir,  peremajaan,  promosi
dan peningkatan kapasitas SDM karet; 4 pengembangan sistem kemitraan antara petani  dan  perusahaan,  misalnya  dengan  pola  ”PIR  Plus”,  dimana  petani  tetap
memiliki  kebun  beserta  pohon  karetnya,  dan  ikut  sebagai  pemegang  saham perusahaan yang menjadi mitranya Balitbang Pertanian, 2009
Kebijaksanaan  pemerintah  dalam  pengembangan  komoditas  karet,  selain ditekankan  pada  peningkatan  penerimaan  devisa  negara,  juga  diarahkan  pada
upaya  peningkatan  pendapatan  petani.  Pendapatan  petani  sendiri  merupakan refleksi,  produktivitas  kebun  dan  mutu  bahan  olah  yang  dihasilkan  serta
tataniaganya  yang  menentukan  bagian  harga  bersih  yang  diterima  petani. Sebagian  besar  lahan  perkebunan  rakyat  terletak  di  daerah  dengan  sarana
transportasi  dan  sumberdaya  ekonomi  yang  relatif  terbatas.  Selain  itu  skala usahatani karet rakyat umumnya kecil dengan hasil produksi berupa sleb dengan
mutu  yang  belum  baku.  Sementara  dengan  program  crumb  rubberisasi,  ternyata pusat-pusat  pengolahan  karet  remah  pada  umumnya  berlokasi  di  sekitar  ibukota
propinsi  atau  kota-kota  lainnya  yang  dekat  dengan  fasilitas  pelabuhan  ekspor, sehingga  terdapat  jarak  secara  spasial  yang  cukup  besar  antara  pusat-pusat
produksi  karet  rakyat  dengan  pusat-pusat  pengolahannya.  Keadaan  demikian menyebabkan  bertambahnya  permasalahan  tataniaga  menjadi  semakin  panjang,
yang ada pada gilirannya cenderung meningkatkan biaya tata niaga. Kebijakan  strategis  pembangunan  perkebunan  secara  nasional  meliputi
kebijakan  umum  dan  kebijakan  teknis.  Kebijakan  umum  adalah  membangun perkebunan  yang  berorientasi  kepada  pasar  melalui  peningkatan  inisiatif  dan
partisipasi  masyarakat  sehingga  peran  pemerintah  hanya  menyediakan  fasilitas umum,  seperti  sarana  dan  prasarana,  iptek  dan  regulasi  yang  didasarkan  kepada
mekanisme  insentif  dan  disentif.  Kebijakan  teknis  mencakup:  1  kebijakan pemberdayaan  masyarakat  perkebunan  yang  dioperasionalisasikan  melalui  upaya
pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan iptek dengan meningkatkan kegiatan  pendidikan,  pelatihan  dan  penilaian  kinerja  serta  pengembangan  karier;
19
2  kebijakan  peningkatan  daya  saing  dioperasionalisasikan  melalui  peningkatan produksi  dan  produktivitas,  efisiensi,  mutu  dan  promosi;  3  kebijakan  investasi
melalui  upaya  regionalisasi,  penataan  kembali  kepemilikan,  optimalisasi  lahan Hak  Guna  Usaha  HGU,  pemanfaatan  iptek  hasil  litbang,  diversifikasi  usaha
tanaman  dan  jaminan  keamanan  berusaha,  dan  4  kebijakan  restrukturisasi  dan renovasi kelembagaan dioperasionalisasikan melalui upaya pembentukan lembaga
keuangan  alternatif,  restrukturisasi,  renovasi  dan  pengembangan  lembaga penyuluhan,  lembaga  petani,  lembaga  pemasaran,  lembaga  usaha  dan
pengembangan jejaring kerja. Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan momentum, Pemerintah
Republik  Indonesia    telah  menerbitkan  Peraturan  Menteri  Pertanian  Nomor: 33PermentanPT.14072006  tentang  Kebijakan  Pengembangan  Komoditi
Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi yang  dikembangkan  adalah  karet.  Pengembangan  agribisnis  karet  Indonesia  ke
depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang lebih  jelas  serta  mempertimbangkan  berbagai  permasalahan,  peluang  dan
tantangan  yang  sudah  ada  serta  yang  diperkirakan  akan  ada  sehingga  pada gilirannya  akan  dapat  diwujudkan  agribisnis  karet  yang  berdaya  saing  dan
berkelanjutan  serta  memberi  manfaat  optimal  bagi  para  pelaku  usahanya  secara berkeadilan Drajat dan Hendratno, 2009.
2.3 Penelitian Terdahulu
Hutagalung 1993 yang melakukan penelitian berjudul “Beberapa Masalah
Tata  Produksi  dan  Pemasaran  Karet  Rakyat  di  Kecamatan  Padangsidempuan Kabupaten  Tapanuli  Selatan”  menunjukkan  bahwa  penambahan  luas  tanah
garapan  dan  penggunaan  input  biaya  produksi  dalam  usaha  petani  karet  masih dapat  menaikkan  produksi  dan  pendapatan  petani.  Penelitian  ini  juga
menyimpulkan  bahwa  pendapatan  petani  Karet  masih  dapat  ditingkatkan  lagi dengan  pendayagunaan  seluruh  potensi  sumberdaya  yang  mereka  miliki  baik
sumberdaya  alam  maupun  sumberdaya  manusia.  Pemerintah  perlu  mengadakan perbaikan  sistem  pemasaran  berupa  mempersingkat  saluran  tata  niaga  yaitu
dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan lain-
20
lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan petani menurun.
Damanik  2000  melakukan  penelitian  dengan  judul  “Analisis  Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi
Sumtera  Utara”  menyatakan  komoditas  perkebunan  di  Propinsi  Sumatera  Utara merupakan  komoditas  ekspor.  Oleh  karena  pemasukan  devisa  negara  melalui
ekspor  adalah  hal  yang  sangat  penting  untuk  membantu  pemerintah  dalam mengurangi  defisit  neraca  pembayaran.  Komoditas  perkebunan  tetap  perlu
dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan  kesempatan  kerja  yang  tinggi  dibanding  wilayah  lainnya,  sehingga  dengan
cara  demikian  selain  ada  pemasukan  devisa  untuk  negara  juga  dapat  dijadikan instrumen  dalam  mengurangi  kesenjangan  ekonomi  antar  wilayah  di  Proinsi
Sumatera Utara. Myria
2002 melakukan
penelitian berjudul
“Kajian  Strategi Pengembangan  Perkebunan  Karet  Rakyat  sebagai  komoditi  Unggulan  di
Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah ” dengan menggunakan perangkat
analisis  Matriks  IFE  dan  EFE,  Matriks  TOWS  dan  Matriks  QSPM.  Melalui penelitian  tersebut  diidentifikasi  faktor  strategis  internal  yang  mempengaruhi
pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kapuas  Propinsi  Kalimantan  Tengah  adalah:  1  kelompok  fungsional,  2
program  kerja  Dinas  Perkebunan,  3  struktur  organisasi  Dinas  Perkebunan,  4 koordinasi dengan instansi terkait, 5 kualitas SDM Dinas Perkebunan, 6 sarana
dan  prasarana,  7  penguasaan  teknologi  karet  oleh  petugas,  8  kurangnya ketersediaan  bibit,  9  manajemen  organisasi,  10  kerja  sama  dengan  pabrik
crumb  rubber .  Faktor  strategis  eksternalnya  adalah:  1  adanya  pabrik  crumb
rubber , 2 karet merupakan komoditi ekspor, 3 menyerap tenaga kerja, 4 karet
telah lama dikenal secara turun temurun, dan 5 pemanfaatan kayu karet sebagai bahan  baku  industri,  6  perkembangan  harga  karet  dunia,  7  tingginya  tingkat
suku bunga kredit komersil, 8 pertikaian antar etnis, 9 sarana transportasi darat dan 10 beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.
Pangihutan 2003 melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Finansial
dan  Ekonomi  Pengelolaan  Kebun  dan  Hutan  Karet  Rakyat  di  Desa  Langkap,
21
Kecamatan  Sungai  Lilin,  Kabupaten  Musi  Banyuasin,  Sumatera  Selatan ”
menyatakan  bahwa  analisis  kelayakan  yang  dilakukan  dengan  menggunakan tingkat faktor diskonto 18 dengan jangka waktu analisis 25 tahun untuk kebun
karet  dan  42  tahun  untuk  hutan  karet  ternyata  kelayakan  finansial  karet  maupun ekonomi  kabun  karet  lebih  baik  dari  hutan  karet.  Nilai  finansial  kebun  karet
diperoleh NPV sebesar  Rp5.577.963,  IRR 30,93 dan rasio BC 1,50 sementara nilai  finansial  hutan  karet  adalah  NPV  Rp543.654,  IRR  37,09  dan  rasio  BC
1,08. Sadikin,  et  al.  2005    yang
melakukan  penelitian  dengan  judul  “Dampak Pembangun
an  Perkebunan  Karet  Rakyat  Terhadap  Kehidupan  Petani  di  Riau” menyatakan  bahwa  sejauh  ini  strategi  dan  langkah  kebijakan  yang  dilakukan
pemerintah  untuk  membangun  dan  mengembangkan  perkebunan  karet  rakyat telah  dilaksanakan  seperti:  1  pembentukan  pusat-pusat  pengolahan  karet  di
beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks dari  hasil  perkebunan  karet  rakyat  dan  untuk  memperbaiki  mutu  olahannya,
2  melakukan  pembinaan  perkebunan  rakyat  dengan  membentuk  unit  pelaksana proyek UPP yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP.
Meskipun  program  ini  berfungsi  sebagai  pembinaan  petani  karet  secara menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran, namun dalam
perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah
strategi pembangunan perkebunan lebih berorientasi kepada peningkatan produksi untuk  mempercepat  laju  pertumbuhan  ekonomi  dan  memperbesar  devisa  negara.
Sementara aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya
peningkatan taraf kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan. Liu,  et  al.  2006  dalam  penelitiannya  yang  berjudul
“Environmental  And Socioeconomic  Impacts  of  Increasing Rubber Plantations  In Menglun  Township,
Southwest  China”  menyatakan  bahwa  perubahan  yang  signifikan  dalam
penggunaan  lahan  dan  tutupan  lahan  telah  terjadi  di  Kecamatan  Menglun,  Cina Barat  Daya  yang  merupakan  wilayah  yang  memiliki  keanekaragaman  agro-
ekologi  yang  tinggi.  Analisis  citra  satelit  menunjukkan  bahwa  pada  tahun  1988-
22
2003, luas perkebunan karet di wilayah ini meningkat sebesar 324. Ekspansi ini umumnya  terjadi  pada  hutan  dan  pertanian  berpindah.  Kebanyakan  perluasan
karet  berada  di  daerah  dataran  rendah,  di  mana  kesesuaian  iklim  mikro  dan kedekatan dengan jalan lebih dipilih untuk pengembangan industri karet. Pesatnya
perkembangan karet sebagai tanaman komersial dengan mengorbankan pertanian tradisional ditandai dengan hilangnya lahan pertanian tradisional dan peningkatan
urbanisasi dan perkembangan tanaman komersial. Secara ekonomi, perubahan ini menunjukkan  standar  hidup  masyarakat  lokal  yang  lebih  baik  dimana  dari  tahun
1988-2003,  total  pendapatan  bersih  kecamatan  meningkat  dari  CNY4.000.000 US0,490  menjadi  CNY44.000.000  US5,490.  Peningkatan  jumlah  populasi
dan standar hidup dari daerah tersebut memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan sumberdaya lahan yang tersedia. Meskipun pemerintah menganggap karet dan
perkebunan lain seperti teh dan gula menjadi „Green Industry‟, hilangnya hutan hujan  tropis  dan  lahan  pertanian  termasuk  kegiatan  pertanian  berpindah
menunjukkan  bahwa  potensi  dampak  kebijakan  untuk  mempromosikan  Green Industry
harus  dipertimbangkan  dengan  hati-hati,  karena  ada  risiko  yang  terlalu berat pada 1 atau 2 tanaman, terutama sekarang, di era pasar bebas yang sebagian
besar  tanaman  tidak  dilindungi.  Hilangnya  sistem  pertanian  tradisional  yang fleksibel  adalah  sesuatu  yang  harus  dimonitor  dengan  baik.  Demikian  pula,
hilangnya  keanekaragaman  hayati  juga  harus  menjadi  perhatian  besar,  terutama dikarenakan sistem perkebunan karet yang dilaksanakan di Cina umumnya sistem
monokultur dan dengan pembersihan lahan serta mengorbankan areal-areal hutan yang ada.
Sitepu 2007 melakukan penelitian  dengan judul “Analisis Produksi Karet
Alam  Hevea  Brasiliensis  Kaitannya  dengan  Pengemba ngan  Wilayah”
menyatakan  bahwa  karet  merupakan  komoditi  yang  memiliki  pasar  yang  cukup besar,  baik  dalam  negeri  maupun  luar  negeri.  Produksi  Indonesia  banyak
ditunjang  oleh  adanya  perkebunan  karet  rakyat  akan  memiliki  arti  yang  penting sekali  dalam  upaya  peningkatan  pendapatan  kesejahteraan  petani  serta  upaya
peningkatan  devisa  serta  perekonomian  Indonesia  pada  umumnya.  Berkaitan dengan  pengembangan  budidaya  tanaman  karet  di  Propinsi  Sumatera  Utara,
penelitian ini difokuskan pada pengeruh permintaan pasar, harga karet dan tenaga