Analisis Pencapaian Stabilitas Inflasi Dengan Pendekatan Harga Di Indonesia

(1)

ANALISIS PENCAPAIAN STABILITAS INFLASI DENGAN

PENDEKATAN HARGA DI INDONESIA

TESIS

Oleh

H A M D I

087018025/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA


(2)

ANALISIS PENCAPAIAN STABILITAS INFLASI DENGAN

PENDEKATAN HARGA DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

H A M D I

087018025/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENCAPAIAN STABILITAS INFLASI DENGAN PENDEKATAN HARGA DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Hamdi

Nomor Pokok : 087018025

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Jonni Manurung, M.Si) (Dr. Murni Daulay, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 12 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Jonni Manurung, M.Si Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si

2. Dr. Rahmanta, M.Si

3. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 4. Drs. Iskandar Syarief, MA


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun. Sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Dan apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman / sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2010 Penulis


(6)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kontribusi tingkat bunga BI (BIR), suku bunga pasar uang (SBPU), permintaan domestik (DD), permintaan eksternal neto (NED), indeks harga ekspor (IHE) dan indeks harga impor (IHI) terhadap inflasi (INF) di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia. Data yang digunakan adalah data kwartal dalam kurun waktu 2001-2009.

Metode analisis yang dipergunakan adalah metode Vector Autoregression

(VAR), dengan terlebih dahulu menggunakan uji unit root dan kointegrasi dan pada akhirnya akan menghasilkan Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain dari inflasi itu sendiri terdapat tiga variabel penelitian yang mempunyai pengaruh besar terhadap inflasi. Variabel tersebut adalah suku bunga pasar uang (SBPU), indeks harga ekspor (IHE) dan permintaan eksternal neto (NED).

Kata kunci : Inflasi (INF), tingkat bunga BI (BIR), suku bunga pasar uang (SBPU), permintaan domestik (DD), permintaan eksternal neto (NED), indeks harga ekspor (IHE), indeks harga impor (IHI).


(7)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the contribution of the BI rate (BIR), money market rates (money market securities), domestic demand (DD), net external demand (NED), the export price index (IHE) and the import price index (IHI) to the inflation (INF) in Indonesia. Data used in this research is secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and Bank Indonesia. The data used are quarterly data in the period 2001-2009.

The analytical method used is the method of Vector Autoregression (VAR), with first using the unit root and cointegration test and will ultimately produce Impulse Response Function (IRF) and Forecast error variance decomposition (FEVD).

Results showed that apart from inflation itself, there are three variables that research has a major influence on inflation. The variables are money market rates (SBPU), the export price index (IHE) and net external demand(NED).

Keywords : Inflation (INF), the BI rate (BIR), money market rates (SBPU), domestic demand (DD), net external demand (NED), the export price index (IHE), the import price index (IHI).


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan hikmat dan hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

Analisis Pencapaian Stabilitas Inflasi Dengan Pendekatan Harga di Indonesia”

sebagai tugas akhir pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, sebagai Pembimbing I, dan Dr. Murni Daulay, M.Si, sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai.

2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dengan arif dan bijaksana dapat mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 15 yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.


(9)

5. Kedua orang tuaku Ayahanda alm Helmi dan Ibunda Yusnibar, serta seluruh keluarga besarku yang ada di Sumani dan di Padang yang selama ini turut memberikan dorongan moril dan materil hingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, Juni 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hamdi

Tempat dan Tanggal Lahir : Sumani, 14 Agustus 1984 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Nama Orang Tua

Ayah : Helmi

Ibu : Yusnibar

Alamat Rumah : JL. Jamin Ginting GG Aman No 16 A Medan

Pendidikan

1. Tahun 1991-1997 : SDN 06 Balerong Sumani 2. Tahun 1997-2000 : SMPN 1 X Koto Singkarak 3. Tahun 2000-2003 : SMUN 1 Kota Solok 4. Tahun 2003-2007 : Universitas Sumatera Utara

Jurusan Ekonomi Pembangunan

5. Tahun 2008-2010 : Sekolah Pascasarjana Program Studi Ekonomi Pembangunan USU-Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kebijakan Moneter... 11

2.1.1 Konsep Kebijakan Moneter ... 11

2.1.2 Inflation Targeting Framework (ITF) ... 12

2.1.2.1 Pendekatan Harga ... 16

2.1.3 Indikator dan Respon Kebijakan Moneter ... 19

2.1.4 Operasi Pengendalian Moneter ... 22

2.1.5 Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga dan Harga ... 23

2.2 Inflasi dan Jenis Inflasi ... 27

2.2.1 Model Inflasi Statis Klasik... 30

2.3 Teori Suku Bunga ... 31

2.4 Produk Domestik Bruto dan Inflasi ... 33


(12)

2.6 Kerangka Pemikiran... 38

2.7 Hipotesis Penelitian... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 40

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3. Uji Asumsi ... 41

3.3.1 Uji Unit Root Test... 41

3.3.2 Uji Kointegrasi ... 43

3.4. Model Analisis ... 46

3.4.1 Vector Autoregression (VAR) ... 46

3.4.2 Impulse Response Function (IRF)... 48

3.4.3 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ... 49

3.5. Definisi Operasional ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

4.1 Indikator Ekonomi dan Stabilitas Inflasi ... 51

4.2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 55

4.2.1 Perkembangan Tingkat Bunga BI ... 55

4.2.2 Perkembangan Permintaan Domestik ... 57

4.2.3 Perkembangan Permintaan Eksternal Neto... 59

4.2.4 Perkembangan Indeks Harga Ekspor .... ... 60

4.2.5 Perkembangan Indeks Harga Impor... 62

4.2.6 Perkembangan Suku Bunga Pasar Uang ... 63

4.2.7 Perkembangan Inflasi... 65

4.3 Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi ... 66

4.4.Uji Kointegrasi Johansen ... 68

4.5 Vector Autoregression... 70

4.6. Impulse Response Function... 75

4.6.1 Impulse Response Function Tingkat Bunga BI... 76


(13)

4.6.3 Impulse Response Function Permintaan Eksternal Neto ... 82

4.6.4 Impulse Response Function Indeks Harga Ekspor... 84

4.6.5 Impulse Response Function Indeks Harga Impor ... 87

4.6.6 Impulse Response Function Suku Bunga Pasar Uang... 90

4.6.7 Impulse Response Function Inflasi ... 92

4.7. Variance Decomposition... 95

4.7.1 Variance Decomposition Tingkat Bunga BI ... 96

4.7.2 Variance Decomposition Permintaan Domestik ... 97

4.7.3 Variance Decomposition Permintaan Eksternal Neto... 99

4.7.4 Variance Decomposition Indeks Harga Ekspor (IHE)... 101

4.7.5 Variance Decomposition Indeks Harga Impor (IHI) ... 102

4.7.6 Variance Decomposition Suku Bunga Pasar Uang... 104

4.7.7 Variance Decomposition Inflasi... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

5.1 Kesimpulan ... 109

5.2. Saran ... 110


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008... 5

4.1. Perkembangan Tingkat Bunga BI ... 56

4.2. Perkembangan Permintaan Domestik ... 57

4.3. Perkembangan Permintaan Eksternal Neto... 59

4.4. Perkembangan Indeks Harga Ekspor ... 61

4.5. Perkembangan Indeks Harga Impor... 62

4.6. Perkembangan Suku Bunga Pasar Uang ... 64

4.7. Perkembangan Inflasi... 65

4.8. Hasil pengujian akar-akar unit pada tingkat level... 67

4.9. Hasil pengujian akar-akar unit pada first difference ... 68

4.10. UjiKointegrasi Johansen ... 69

4.11. Penentuan Panjang Lag ... 70

4.13. Roots of Characteristic Polynomial... 74

4.14. Impulse Response Function Tingkat Bunga BI... 77

4.15. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Tingkat Bunga BI.. 78

4.16. Impulse Response Function Permintaan Domestik... 80

4.17. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Permintaan Domestik.. 81

4.18. Impulse Response Function Permintaan Eksternal Neto ... 83

4.19. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Permintaan Eksternal Neto ……… 84

4.20. Impulse Response Function Indeks Harga Ekspor... 86

4.21. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Indeks Harga Ekspor.. 87

4.22. Impulse Response Function Indeks Harga Impor ... 88

4.23. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Indeks Harga Impor.. 90


(15)

4.25. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Suku Bunga Pasar

Uang ... 92

4.26. Impulse Response Function Inflasi ... 94

4.27. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Inflasi. ... 95

4.28. Variance Decomposition Tingkat Bunga BI ... 96

4.29. Variance Decomposition Permintaan Domestik ... 97

4.30. Variance Decomposition Permintaan Eksternal Neto... 99

4.31. Variance Decomposition Indeks Harga Ekspor ... 101

4.32. Variance Decomposition Indeks Harga Impor... 102

4.33. Variance Decomposition Suku Bunga Pasar Uang... 104

4.34. Variance Decomposition Inflasi... 106


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Kerangka Kerja Inflation Targeting Framework... 3

1.2. Perkembangan Inflasi Januari 2007 s/d Oktober 2008 ... 6

2.1. Kerangka Kerja Pendekatan Harga ... 17

2.2. Hubungan Tingkat Bunga dan Tabungan ... 32

2.3. Kerangka Pemikiran... 38

4.1. Perkembangan BI Rate 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4 ... 57

4.2. Perkembangan Permintaan Domestik (DD) 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4... 58

4.3. Perkembangan NED 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4 ... 60

4.4. Perkembangan IEH 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4 ... 61

4.5. Perkembangan IHI 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4... 63

4.6. Perkembangan SBPU 2001 Kwartal 1 Sampai 2009 Kwartal 4 ... 64

4.7. Perkembangan Inflasi 2001 Kwartal 1 2009 Kwartal 4 ... 66

4.8. Stabilitas Struktur Model ... 75

4.9. Impulse Response Function dari Tingkat Bunga Bank Indonesia (BIR) ... 78

4.10. Impulse Response Function dari Permintaan Domestik (DD) ... 81

4.11. Impulse Response Function dari Permintaan Eksternal Neto (NED) 84 4.12. Impulse Response Function dari Indeks Harga Ekspor (IHE) ... 86

4.13. Impulse Response Function dari Indeks Harga Impor (IHI)... 89

4.14. Impulse Response Function dari Suku Bunga Pasar Uang (SBPU).. 92


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Variabel ... 115

2. Uji Stasioneritas pada Level... 116

3. Uji Stasioneritas 1stDifference ... 123

4. Uji Kointegrasi Johansen ... 130

5. Stabilitas Lag Struktur ... 131

6. Hasil Estimasi Var ... 132

7. Impulse Response Function... 134

8. Variance Decomposition... 150


(18)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kontribusi tingkat bunga BI (BIR), suku bunga pasar uang (SBPU), permintaan domestik (DD), permintaan eksternal neto (NED), indeks harga ekspor (IHE) dan indeks harga impor (IHI) terhadap inflasi (INF) di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia. Data yang digunakan adalah data kwartal dalam kurun waktu 2001-2009.

Metode analisis yang dipergunakan adalah metode Vector Autoregression

(VAR), dengan terlebih dahulu menggunakan uji unit root dan kointegrasi dan pada akhirnya akan menghasilkan Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain dari inflasi itu sendiri terdapat tiga variabel penelitian yang mempunyai pengaruh besar terhadap inflasi. Variabel tersebut adalah suku bunga pasar uang (SBPU), indeks harga ekspor (IHE) dan permintaan eksternal neto (NED).

Kata kunci : Inflasi (INF), tingkat bunga BI (BIR), suku bunga pasar uang (SBPU), permintaan domestik (DD), permintaan eksternal neto (NED), indeks harga ekspor (IHE), indeks harga impor (IHI).


(19)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the contribution of the BI rate (BIR), money market rates (money market securities), domestic demand (DD), net external demand (NED), the export price index (IHE) and the import price index (IHI) to the inflation (INF) in Indonesia. Data used in this research is secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and Bank Indonesia. The data used are quarterly data in the period 2001-2009.

The analytical method used is the method of Vector Autoregression (VAR), with first using the unit root and cointegration test and will ultimately produce Impulse Response Function (IRF) and Forecast error variance decomposition (FEVD).

Results showed that apart from inflation itself, there are three variables that research has a major influence on inflation. The variables are money market rates (SBPU), the export price index (IHE) and net external demand(NED).

Keywords : Inflation (INF), the BI rate (BIR), money market rates (SBPU), domestic demand (DD), net external demand (NED), the export price index (IHE), the import price index (IHI).


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang ekonomi dunia, dia selalu menjadi buah bibir. Berbagai studi dan riset dilakukan untuk mengungkap apa sebenarnya di balik fenomena ekonomi yang satu ini, dan bagaimana pula cara menanggulanginya. Berbagai teori telah berkembang, namun sepertinya fenomena ini masih menjadi misteri yang sulit dipecahkan, pasalnya hingga saat ini belum ada teori yang benar-benar komprehensif untuk menduga penyebab dari inflasi ini, dan juga belum ada yang mampu untuk merumuskan formula yang benar-benar jitu untuk menanggulanginya. Inflasi menjadi pembahasan yang krusial karena mempunyai dampak yang amat luas dalam perekonomian makro. Inflasi mempunyai tangan-tangan gurita yang mampu menyebarkan ‘tinta’ pengaruhnya kepada perekonomian secara makro. Bahkan Hera Susanti, M. Ikhsan dan Widyanti (2000) menyatakan bahwa inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan yang artinya juga menambah angka kemiskinan, mengurangi tabungan domestik yang merupakan sumber investasi negara berkembang, menyebabkan defisit neraca perdagangan, menggelembungkan besaran utang luar negeri serta menimbulkan ketidakstabilan politik. Mengingat begitu krusialnya pembahasan mengenai inflasi ini, maka tidak heran kalau Bank Indonesia (BI) menetapkannya sebagai tujuan dalam pelaksanaan kebijakan moneternya.


(21)

Untuk kasus Indonesia, berdasarkan hasil studi penyebab inflasi yang dilakukan oleh beberapa orang ekonom Indonesia, ada dua penyebab utama inflasi, yaitu imported inflation dan defisit APBN (Hera S., M. Ikhsan dan Widyanti, 2000: 53-54). Selanjutnya, diterangkan bahwa berdasarkan hasil penelitian LPEM tahun 1995, terungkap bahwa imported inflation merupakan faktor utama penyebab inflasi di Indonesia dari sisi penawaran, yaitu sekitar 51% dari variasi inflasi. Depresiasi nilai tukar juga akan menyebabkan kenaikan harga secara langsung (pass-through) walaupun memerlukan lag waktu 1-2 kuartal. Harga pangan merupakan variabel dominan kedua penyumbang inflasi dari sisi penawaran. Sedangkan output gap

merupakan variabel yang ketiga. Sedangkan dari sisi permintaan, penyebab inflasi berkaitan dengan anggaran, ekspansi kredit program dan distribusi kredit.

Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di Indonesia mempunyai tugas yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas ekonomi. Setidaknya ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam konsep stabilitas ekonomi ini yaitu mengenai inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Suatu perekonomian dapat dikatakan stabil apabila kedua indikator ini dapat dikendalikan dalam range yang moderat. Dan bila hal itu tercapai maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga pemegang otoritas moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh dan mencapai kemapanan apabila kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita memang tidak bisa ‘secara tidak bertanggungjawab’ melimpahkan semua masalah stabilisasi ekonomi ini kepada bank sentral, namun setidaknya dengan berbagai power dan


(22)

kewenangan yang dimilikinya, Bank Indonesia seyogyanya mampu berbuat banyak untuk menjalankan fungsi stabilisasi yang amat krusial bagi pembangunan ini.

Gambar 1.1 Kerangka Kerja Inflation Targeting Framework

Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia telah menyusun berbagai kerangka kebijakan moneter yang akan menjadi pedoman dalam langkah usaha stabilisasi ini. Kebijakan ini tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan dinamika ekonomi nasional dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi nasional dan global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian Bank Indonesia (BI) kepada masalah pengendalian inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah panjang hanya berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin,2004). Rancangan


(23)

rencana stRategis dalam pengendalian inflasi yang telah dirancang oleh Bank Indonesia ini lebih popular disebut dengan Inflation Targeting Framework (ITF).

Dalam hal ini, sebagai implementasi dari kerangka kerja ITF tersebut, sejak tahun 2000 Bank Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Kebijakan ini dituangkan dalam kerangka kebijakan yang dilakukan dengan menggunakan uang primer sebagai sasaran antaranya. Kebijakan semacam ini popular disebut kerangka kebijakan dengan pendekatan kuantitas (quantity based approach). Namun sejak tahun 2004, Bank Indonesia mengubah pendekatan yang digunakannya menjadi kerangka kebijakan dengan pendekatan harga. Salah satu sebab mengapa Bank Indonesia mengubah pendekatannya ini adalah kesulitan yang dihadapi Bank Indonesia dalam mengendalikan varibel uang primer yang merupakan sasaran primer dalam quantity based approach. “70% dari komponen M0 adalah uang kartal yang merupakan

kebutuhan masyarakat akan alat pembayaran (pada dasarnya tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh Bank Indonesia)” (Iskandar Simorangkir,2005). Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa Bank Indonesia hanya bertumpu pada pengendalian cadangan/giro bank di Bank Indonesia, yang nilainya mendekati 30% dari M0 (uang

primer).

Inflation targeting framework (ITF) merupakan strategi yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka mengendalikan inflasi. Namun, pendekatan kuantitas yang telah diberlakukan lebih awal dipandang tidak efektif. Kemudian pendekatan


(24)

baru yaitu pendekatan harga digunakan. Namun belum ada bukti mengenai keefektifannya.

Pada Tabel 1.1 diketahui perkembangan inflasi dari Janurai 2001 sampai dengan Oktober 2008. Inflasi dalam perkembangannya menunjukkan angka yang meningkat mencapai 12,14% pada akhir tahun 2008. Peningkatan inflasi terjadi akibat kenaikkan harga-harga yang disebabkan adanya fenomena hari besar dan tahun baru khususnya terhadap permintaan bahan makanan.

Tabel 1.1 Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008

Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi

Jan-04 4.82 Jan-05 7.32 Jan-06 17.03 Jan-07 6.52 Jan-08 7.36 Feb-04 4.60 Feb-05 7.15 Feb-06 17.92 Feb-07 6.30 Feb-08 7.40 Mar-04 5.11 Mar-05 8.81 Mar-06 15.74 Mar-07 6.52 Mar-08 8.17 Apr-04 5.92 Apr-05 8.12 Apr-06 15.40 Apr-07 6.29 Apr-08 8.96 May-04 6.47 May-05 7.40 May-06 15.60 May-07 6.01 May-08 10.38 Jun-04 6.83 Jun-05 7.42 Jun-06 15.53 Jun-07 5.77 Jun-08 11.03 Jul-04 7.20 Jul-05 7.84 Jul-06 15.15 Jul-07 6.06 Jul-08 11.90 Aug-04 6.67 Aug-05 8.33 Aug-06 14.90 Aug-07 6.51 Aug-08 11.85 Sep-04 6.27 Sep-05 9.06 Sep-06 14.55 Sep-07 6.95 Sep-08 12.14 Oct-04 6.22 Oct-05 18.89 Oct-06 6.29 Oct-07 6.88 Oct-08 11.77 Nov-04 6.18 Nov-05 18.38 Nov-06 5.27 Nov-07 6.71

Dec-04 6.40 Dec-05 17.11 Dec-06 6.60 Dec-07 6.59 Sumber :

Pada gambar 1.2 diketahui seiring dengan kenaikan inflasi atas bahan makanan yang merangkak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat bunga Sertifikat Bank


(25)

Indonesia (SBI) pada Desember 2007, maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar. Hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi.

11.85 12.14 11.77 11.03 11.9 10.38 8.96 8.17 7.36 6.59 6.71 6.88 6.01 6.29 6.52 6.3 6.25 5.77 6.06 6.51 6.95 7.4 0 2 4 6 8 10 12 14 Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08

Gambar 1.2 Perkembangan Inflasi Januari 2007 s/d Oktober 2008

Selain itu, terlihat pula gejala merenggangnya hubungan antar variabel makro ekonomi. Kondisi ini pada akhirnya akan mempersulit otoritas moneter untuk mengambil keputusan dalam manajemen moneternya. Di Indonesia, kebijakan moneter sepenuhnya diserahkan kepada otoritas moneter yaitu Bank Indonesia.

Dalam hal ini, jumlah uang beredar merupakan alat yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter. Jumlah permintaan uang di suatu negara dipengaruhi banyaknya faktor-faktor antara lain kebijakan pemerintah,


(26)

politik dan keamanan. Berdasarkan data statistik jumlah perkembangan uang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup bervariasi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan keeratan hubungan antar variabel yang digunakan dalam kerangka kebijakan price based approach. Untuk kemudian bisa menentukan variabel/teknik manakah yang lebih efektif untuk digunakan dalam pengendalian laju inflasi di Indonesia. Membuat sebuah analisa empiris mengenai perubahan dalam pendekatan Inflation Targetting Framework

(ITF) yang digunakan Bank Indonesia tersebut. Jika analisa empiris tersebut bersifat positif, maka hal itu bisa menjadi salah satu ‘empirical support’ bagi kebijakan yang baru tersebut. Analisa ini ingin memberikan pembuktian secara empiris apakah pilihan kebijakan yang baru itu tepat atau tidak. Memberikan sumbangan pemikiran serta dukungan kepada Bank Indonesia dalam melaksanankan kebijakan moneter melalui pendekatan baru yaitu Inflation Targetting Framework (ITF).

Penggunaan variabel informasi pada pendekatan harga berperan sebagai

indicator leading pencapaian sasaran akhir inflasi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2004:85). Keberadaan indikator leading ini penting karena dapat menjadi acuan bagi otoritas moneter untuk mengevaluasi keberhasilan pencapaian sasaran operasional untuk mengendalikan inflasi. Namun berdasarkan hasil pengujian di atas, keberadaan variabel informasi patut ditinjau kembali karena ternyata variabel ini tidak berpengaruh terhadap inflasi. Tanpa variabel informasi pun, suku bunga jangka pendek telah mampu memberikan gambaran pencapaian sasaran inflasi.


(27)

Keadaan-keadaan tersebut diatas menggugah rasa ingin tahu penulis untuk mencoba menganalisis dan mempelajari serta menulisnya dalam bentuk tesis yang berjudul:“Analisis Pencapaian Stabilitas Inflasi Dengan Pendekatan Harga di Indonesia”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan beberapa fenomena masalah dapat diuraikan pokok-pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu :

1. Apakah BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor dan Indeks Harga Impor berkontribusi terhadap Inflasi di Indonesia.

2. Apakah SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap BI Rate di Indonesia.

3. Apakah BI Rate, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap SBPU di Indonesia.

4. Apakah BI Rate, SBPU, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Domestik di Indonesia.


(28)

5. Apakah BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Eksternal Neto di Indonesia.

6. Apakah BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Indeks Harga Ekspor di Indonesia.

7. Apakah BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor dan Inflasi berkontribusi terhadap Indeks Harga Impor di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor dan Indeks Harga Impor terhadap Inflasi di Indonesia.

2. Untuk menganalisis kontribusi SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi terhadap BI

Rate di Indonesia.

3. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi terhadap SBPU di Indonesia.


(29)

4. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, SBPU, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi terhadap Permintaan Domestik di Indonesia.

5. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi terhadap Permintaan Eksternal Neto di Indonesia.

6. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Impor dan Inflasi terhadap Indeks Harga Ekspor di Indonesia.

7. Untuk menganalisis kontribusi BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor dan Inflasi terhadap Indeks Harga Impor di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu :

1. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam pengendalian inflasi melalui penyusunan program Inflation Targeting Framework (ITF).

2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis tentang inflasi.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan pengendalian inflasi.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Moneter

2.1.1 Konsep Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indoensia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting, Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan Solikin, 2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. Untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.


(31)

Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan. Landasan hukum kebijakan Bank Indonesia ini adalah UU no 23 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran laju inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia. Pola kebijakan ini dikenal juga dengan nama Inflation Targeting Framework.

2.1.2 Inflation Targeting Framework (ITF)

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Warjiyo dan Solikin, 2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Inflation Targeting Framework merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi


(32)

yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Alasan pemilihan Inflation Targeting Framework sebagai berikut :

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a.Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).

b.Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.

c.Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.

d.Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan

Inflation Targeting Framework berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.

e.Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.

2. Penerapan Inflation Targeting Framework bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Inflation Targeting Framework bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan


(33)

dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). 3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Enam elemen mendasar dalam langkah-langkah penguatan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru mulai Juli 2005 agar konsisten dengan penerapan

Inflation Targeting Framework (ITF):

1. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference Rate dalam pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.

2. Penguatan proses perumusan kebijakan moneter dengan strategi antisipatif (forward looking strategi) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.


(34)

3. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi.

4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi kebijakan ekonomi secara keseluruhan.

5. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework

(ITF) sebagai kerangka kebijakan Moneter.

6. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan. Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan Inflation Targeting Framework (ITF) :

1. Memiliki sasaran utama yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai prioritas pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter. 2. Bersifat antisipatif (preventive atau forward looking) dengan mengarahkan respon

kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.

3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion). 4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu


(35)

2.1.2.1 Pendekatan Harga

Sejak tahun 2000, dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 BI telah menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan amandemen UU Bank Indonesia No. 3 Tahun 2004, Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2005, 2006, dan 2007. BI telah menempuh sejumlah langkah dalam memperkuat persyaratan untuk penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), termasuk: Pengembangan indikator, riset, pemodelan ekonomi untuk dasar analisis, prakiraan, dan perumusan kebijakan. Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai proses perumusan kebijakan moneter. Pengembangan laporan dan strategi komunikasi untuk transparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter kepada publik. Dalam hal ini BI menggunakan pendekatan harga untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.


(36)

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Pendekatan Harga

Berdasarkan kerangka kerja pendekatan harga, instrumen-instrumen kebijakan moneter seperti operasi pasar terbuka (open market operation), fasilitas diskonto (discount facility), cadangan minimum (reserve requirement), intervensi nilai tukar (foreign exchange intervension) akan mempengaruhi tingkat bunga (interes Rate) sebagai target operasionalnya. Setelah target operasional tercapai maka akan mempengaruhi kapasitas dan aktivitas perekonomian yang pada akhirnya akan berdampak terhadap perubahan inflasi.


(37)

Sebelum Juli 2005, operasi moneter masih menggunakan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional. Cara ini dirasakan semakin tidak sejalan dengan penerapan kebijakan moneter dengan Inflation Targetting Framework (ITF), terutama karena:

1. Hubungan antara uang primer dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semakin tidak stabil dan mengalami hubungan terbalik.

2. Sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan masyarakat kurang efektif,

3. Respon kebijakan moneter cenderung mengarah ke belakang (backward looking) dan lebih sulit dilakukan.

4. Uang primer lebih sulit dikendalikan oleh bank sentral karena perilaku permintaan uang kartal masyarakat di Indonesia.

5. Sejak 1999-sebelum Juli 2005, dalam literature, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menerapkan InflationTargetting Lite.

Dengan melihat perbandingan pendekatan dalam pengendalian inflasi, bisa disimpulkan bahwa pendekatan price based approach secara empiris lebih efektif digunakan untuk mengendalikan inflasi dari pada metode metode pendekatan kuantitas. Hal ini, menurut hemat penulis bisa dijadikan sebagai pendukung empiris dari pemilihan pendekatan ini dalam kerangka kebijakan moneter untuk pengendalian inflasi (Inflation Targetting Framework). Namun, yang perlu dijadikan pertimbangan adalah instrumen-instrumen kebijakan moneter yang dipilih untuk mempengaruhi sasaran operasionalnya. Tampaknya, BI patut mengembangkan instrumen-instrumen yang memberikan pengaruh yang lebih efektif untuk keberhasilan transmisi efek yang


(38)

diinginkan. Sehingga akhirnya akan terbentuk sebuah kerangka kebijakan yang efektif dalam rangka mencapai sasaran akhir pengendalian inflasi menuju stabilitas moneter dalam perekonomian nasional.

2.1.3 Indikator dan Respon Kebijakan Moneter

Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut :

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah. Langkah-langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut :


(39)

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:

a.Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

b.Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.

c.Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan yaitu :

a.BI Rate adalah suku bunga instrument signaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rata-rata tertimbang hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

b.BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

c.BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity


(40)

adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga pasar uang (SBPU) dan suku bunga jangka panjang.

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter sebagai berikut :

a.Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulanan.

b.Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan. c.Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek

tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

d.Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

a.BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:

1) Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan


(41)

2) Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, assesmen faktor risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.

5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

2.1.4 Operasi Pengendalian Moneter

Operasional pengendalian moneter memiliki 3 prinsip dasar sebagai berikut : Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kemudian pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga pasar uang (PUAB) berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan


(42)

efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

2.1.5 Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga dan Harga

Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau interest rate channel dan alur harga aktiva atau asset price channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi dan penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan meningkatkan investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi sehingga output agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi, nilai perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi inflasi akan menurunkan tingkat bunga riil sehingga nilai tukar mata uang depresiasi, ekspor neto naik dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang


(43)

sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu :

dimana:

m = stok uang nominal, r = tingkat bunga riil,

p = ekspektasi tingkat harga, i = investasi riil, dan

y = output riil agregat.

Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau

exchange Rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect. Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai

m ↑→ r ↓→ i↑→ y

m ↑→ p ↑→ r ↓→ i ↑→ y

(2.1)


(44)

deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar matauang luar negeri dan depresiasi nilai tukar mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor Neto naik dan akhirnya meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

e = Nilai tukar mata uang, dan x = Ekspor riil neto.

Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi penilaian saham, yang disebut Tobin’s q theory. Tobin mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk peralatan dan pabrik baru atau investasi.

Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:


(45)

dimana:

s = Ekspektasi harga saham, dan

q = Rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal. i = Investasi

Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat. Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses

dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan. Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode jangka panjang. Hal ini terutama disebabkan oleh kekayaan keuangan dari konsumen, seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik. Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumberdaya ekonomi selama hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen c = konsumsi riil rumahtangga

m ↑→ s ↑→ q ↑→ i ↑→ y

m ↑→ s ↑→ w ↑→ c ↑→ y

(2.4)


(46)

2.2 Inflasi dan Jenis Inflasi

Pada dasarya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara umum. Hera, M. Ikhsan dan Widyanti (2000) mendefinisikan inflasi sebagai “kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian.” sedangkan Mankiw (2006) menyatakan ”Economist use the term inflation to describe a situation in which the economy’s overall price level is rising” Sedangkan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indikator (Ikhsan dan Widyanti,2000), yaitu:

1. Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Biaya Hidup (IBH) 2. Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)

3. Perubahan Deflator GDP/GDY.

Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi ini adalah IHK.

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus, Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.

Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan , 2008). Bahkan mungkin


(47)

dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi, (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai Inflasi.

Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebabnya, parah dan tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya (Nopirin, 2000). Menurut sifatnya Inflasi digolongkan dalam tiga kategori yaitu inflasi merayap, inflasi menengah dan inflasi tinggi. Inflasi merayap adalah kenaikan harga terjadi secara lambat, dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10% per tahun). Inflasi menengah adalah kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Inflasi tinggi adalah kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, sehingga harga naik secara akselerasi.


(48)

Menurut sebabnya inflasi digolongkan dalam dua kategori yaitu demand pull inflation dan cost push inflation. Demand pull inflation adalah inflasi yang bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregat demand). Sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan inflasi murni). Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan keseimbangan GNP berada di atas/melebihi GNP pada kesempatan kerja penuh maka akan terdapat adanya inflationary gap. Inflationary gap inilah yang akan menyebabkan inflasi. Cost push inflation, inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Serikat buruh yang menuntut kenaikan upah, manajer dalam pasar monopolistis yang dapat menentukan harga (yang lebih tinggi), atau kenaikan harga bahan baku, misalnya krisis minyak adalah faktor yang dapat menaikkan biaya produksi, atau terjadi penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Jika proses ini berlangsung terus maka timbul cost push inflation.

Berdasarkan parah tidaknya inflasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu, inflasi ringan (dibawah 10% setahun), inflasi sedang (antara 10%-30% setahun), inflasi berat (antara 30%-100% setahun) dan hiperinflasi (diatas 100% setahun).


(49)

2.2.1 Model Inflasi Statis Klasik

Misalkan dalam model klasik pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi tidak ada sehingga pertumbuhan stok uang naik secara konstan sebesar Θ pada periode [t], yaitu:

Θ =

Δln(Mt) (2.6) Netralitas uang dalam model klasik menyatakan bahwa tingkat harga [Pt] juga

naik sebesar pertumbuhan stok uang [Θ]. Penyelesaian model klasik akan menghasilkan tingkat bunga nominal [R], dimana tingkat bunga nominal merupakan fungsi dari output agregat ditambah tingkat inflasi, yaitu:

t t t y

R =Ω( )+π (2.7) Persamaan (2.7) menjelaskan bahwa tingkat bunga nominal adalah tingkat inflasi ditambah dengan output riil agregat. Berdasarkan persamaan 2.7 maka suku bunga nominal mempunyai hubungan positif dengan inflasi. Apabila inflasi meningkat maka suku bunga nominal juga akan mengalami peningkatan.

Konsekuensinya, keseimbangan pada kondisi steady-state adalah π = Θ atau pertumbuhan output agregat tidak ada. Nilai Rt ditentukan oleh perpotongan skedul

IS, yaitu Rt = Ω(yt) + πt dan y = y*, sehingga peranan dari skedul LM hanya

menentukan saldo kas riil [M⁄P] pada tingkat y dan R tertentu. Oleh sebab itu tingkat pertumbuhan P adalah konstan sebesar Θ pada keseimbangan steady-state. Dengan kata lain steady-state inflation menjelaskan pertumbuhan harga-harga atau inflasi


(50)

sama dengan pertumbuhan stok uang nominal sehingga semua variabel ekonomi riil tidak berubah.

2.3 Teori Suku Bunga

Menurut teori klasik suku bunga terjadi berdasarkan kekuatan permintaan dana (tabungan) dipasar uang. Timbulnya penawaran dana disebabkan adanya masyarakat yang kelebihan pendapatan untuk dikonsumsi sehingga mereka berhasrat untuk menabung. Dilain pihak terdapat masyarakat yang memerlukan dana untuk kegiatan investasi. Harga yang harus dibayar oleh pihak yang memerlukan dana untuk keperluan investasi yaitu tingkat bunga.

Pada hakekatnya, Suku Bunga adalah pembayaran yang harus dilakukan untuk penggunaan uang. Suku Bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu. Dengan kata lain, masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang. Biaya untuk meminjam uang, diukur dalam rupiah per tahun untuk setiap rupiah yang dipinjam, atau dalam persen pertahun, adalah suku bunga. Masyarakat mau membayar bunga karena dana yang dipinjam membantu mereka untuk membeli barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan konsumsi mereka atau membuat investasi yang menguntungkan.

Makin tinggi tingkat suku bunga, keinginan untuk melakukan investasi juga makin kecil. Alasan seseorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi semakin besar dari tingkat bunga


(51)

yang harus dia bayar untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos-ongkos penggunaan dana (Cost of capital). Makin rendah tingkat bunga, maka pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga makin kecil. Tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan (tidak ada dorongan untuk naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan menabung masyarakat sama dengan keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik keseimbangan tingkat bunga tersebut digambarkan sebagai berikut :

Tingkat Bunga

Tabungan

i1

I1

i0

I0

S0 S1 Loanable Fund

Gambar 2.2 Hubungan Tingkat Bunga dan Tabungan

Dari gambar 2.2 dapat diketahui bahwa keseimbangan tingkat bunga (i) berada pada titik I0dimana jumlah tabungan sama dengan investasi. Apabila tingkat

bunga di atas i0 maka jumlah tabungan melebihi keinginan pengusaha untuk

melakukan investasi. Para penabung akan saling bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat bunga turun ke posisi i0, sebaliknya


(52)

memperoleh dana yang jumlahnya relatif lebih kecil dan persaingan ini akan mendorong tingkat bunga naik lagi ke i0.

Kenaikan efisiensi produksi misalnya, akan mengakibatkan keuntungan yang diharapkan naik, sehingga pada tingkat bunga yang sama pengusaha bersedia meminjam dana lebih besar untuk membiayai investasinya atau untuk dana investasi yang sama jumlahnya, pengusaha bersedia membayar pada tingkat bunga yang lebih tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar di atas, ditunjukkan dengan bergesernya kurva permintaan investasi kekanan atas dan keseimbangan tingkat bunga yang baru pada titik Iı.

2.4 Produk Domestik Bruto dan Inflasi

Produk Domestik Bruto (PDB), adalah pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa dalam periode tertentu. PDB ini dapat mencerminkan kinerja ekonomi, sehingga semakin tinggi PDB sebuah negara, dapat dikatakan semakin bagus pula kinerja ekonomi di negara tersebut. Karena begitu pentingnya peran PDB di dalam suatu perekonomian, maka perlu kiranya untuk menganalisa faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi PDB.

Sebenarnya ada banyak sekali faktor, baik langsung maupun tidak langsung. Menurut teori Keynes, PDB terbentuk dari empat faktor yang secara positif mempengaruhinya, keempat faktor tersebut adalah konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto (NX). Keempat faktor tersebut kembali dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain dipengaruhi oleh


(53)

faktor-faktor seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, suku bunga, tingkat inflasi,

money supply, nilai tukar.

Beberapa ekonom berpendapat bahwa kecenderungan naik bagi output perkapita saja tidak cukup, tetapi kenaikan output harus bersumber dari proses intern perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan ekonomi harus bersifat self generating, yang mengandung arti menghasilkan kekuatan bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan dalam jangka panjang (periode-periode selanjutnya).

Dalam penawaran agregat terdapat tiga model penawaran agregat yaitu model harga kaku, model upah kaku, dan model informasi tak sempurna. Ketiga model ini dapat diringkas kedalam persamaan sebagai berikut :

) ( e

P P Y

Y = + −

α ( 2.8 )

Persamaan ini menyatakan bahwa penyimpangan output dari tingkat alamiah dikaitkan dengan penyimpangan tingkat harga dari tingkat harga yang diharapkan. Jika tingkat harga lebih tinggi dari tingkat harga yang diharapakan, output akan naik melebihi tingkat alamiah. Jika tingkat harga lebih rendah dari tingkat harga yang diharapakan output turun lebih rendah dari tingkat alamiah.

Pada kurva penawaran agregat jangka pendek output menyimpang dari tingkat alamiahnya Y jika tingkat harga P menyimpang dari tingkat harga yang diharapkan. Sementara itu pada kondisi steady-state, tingkat inflasi adalah selisih antara tingkat pertumbuhan uang [Θ] dengan elastisitas permintaan uang terhadap output riil agregat


(54)

[α1] dikali tingkat pertumbuhan output riil agregat [v]. Dengan mengambil logaritme

natural model permintaan uang, model inflasi steady-state adalah ) ln( ) ln( ) ln( )

ln(MtPt01 yt2 Rt ( 2.9 ) ) ln( ) ln( ) ln( )

ln(Mt −Δ Pt = 1Δ yt + 2Δ Rt

Δ α α (2.10)

) ln( )

ln(Pt = 1v+ 2Δ Rt

Δ −

Θ α α (2.11)

) ln( )

ln(Pt =Θ− 1v2Δ Rt

Δ α α (2.12)

Persamaan (2.12) menjelaskan bahwa tingkat inflasi [Δln(Pt)] pada kondisi steady-state adalah Θ - α1 v, dimana pertumbuhan tingkat bunga [Δln(Rt)] sama

dengan nol atau tingkat bunga nominal tidak berubah pada kondisi steady-state. Selama tingkat bunga nominal masih berubah maka kondisi perekonomian belum mencapai steady state.

2.5 Penelitian Terdahulu

Wijoyo dan Santoso (2007) Kebijakan Moneter dengan Inflation Targetting

(Konsiderasi kemungkinan penerapan inflation targeting di Indonesia). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan Inflation Targetting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka Inflation Targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga PUAB overnight


(55)

sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu, masih kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari quantity targetting ke price targetting bukan merupakan substitusi penuh. Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

Darwanto (2007) dengan judul penelitian Kejutan Pertumbuhan Nilai Tukar Riil Terhadap Inflasi, Pertumbuhan Output Dan Pertumbuhan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia. Dengan pendekatan VAR. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pertama kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah memiliki kontribusi dalam menjelaskan variasi fluktuasi variable inflasi dan pertumbuhan output dengan

magnitude yang sangat besar. Kedua sumber kejutan terbesar yang mempengaruhi variasi pertumbuhan nilai tukar riil rupiah bersumber dari kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah itu sendiri. Ketiga respon inflasi dan pertumbuhan output akibat kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah menunjukkan adanya pergerakan yang

konvergen.

Rika Kumala Dewi (2006) dengan judul penelitian Analisa Komparatif Pendekatan Kuantitas dan Pendekatan Harga Dalam Rangka Mencapai Stabilitas Inflasi. Pengujian empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan pendekatan harga (Price Based Approach) dalam implementasi kebijakan operasional


(56)

BI lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan kuantitas (Quantity Based Approach). Karena itu, pilihan yang dijatuhkan BI kepada pendekatan PBA (Price Based Approach) dalam kerangka kebijakan ITF (Inflation Targetting Framework)

diharapkan mampu memberikan kinerja yang lebih baik dari pada metode QBA

(Quantity Based Approach). Variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pengendalian inflasi pada pendekatan harga adalah suku bunga jangka pendek (ovr), sedangkan variabel informasi (IRLR), pengaruhnya terhadap inflasi jauh lebih kecil dari pada pengaruh ovr. Karena berfokus pada pencapaian target inflasi tertentu, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mengembangkan formula yang ampuh untuk dapat memprediksi tingkat inflasi secara tepat.

Akhis R. Hutabarat (2005) dengan judul penelitian Determinan Inflasi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan utama inflasi adalah ekspektasi inflasi yang terkait dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menimbulkan persistensi inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu oleh inflasi cost push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai tukar Rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis, baik secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun perbandingan dengan negara lain. Persistensi inflasi tersebut juga dipengaruhi oleh besarnya tekanan kenaikan harga barang administered khususnya harga BBM dan listrik, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan upah minimum yang bersifat


(57)

over-inflation indexation. Dalam kondisi tersebut maka pada dasarnya inflasi hanya dapat turun jika terjadi favorable supply shocks atau karena pengetatan moneter yang mentolerir dampak resesi ekonomi. Dalam kondisi ekspektasi inflasi yang tinggi dan dengan kebijakan moneter yang belum kredibel, disinflasi akan menghasilkan pengorbanan pertumbuhan ekonomi yang besar.

2.6 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Inflasi

Indeks Harga Ekspor

BIRate Suku Bunga

Pasar Uang

Domestik Demand

Indeks Harga Impor

Net Eksternal Demand


(58)

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik hipotesis yaitu :

1. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor dan Indeks Harga Impor berkontribusi terhadap Inflasi di Indonesia. 2. SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor,

Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap BI Rate di Indonesia. 3. BI Rate, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor,

Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap SBPU di Indonesia.

4. BI Rate, SBPU, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Domestik di Indonesia. 5. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor

dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Eksternal Neto di Indonesia.

6. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Indeks Harga Ekspor di Indonesia. 7. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga


(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk itu dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik analisa VAR untuk melihat hubungan antar variabel-variabel yang menjadi pilihan dalam penentuan sarana operasional dalam usaha pengendalian tingkat inflasi ini. Dan setelah itu, kita akan bisa melihat variabel-variabel mana yang mempunyai peran besar dalam pengendalian inflasi. Idealnya, variabel yang mempunyai keeratan hubungan yang lebih dekat yang seharusnya dipilih oleh otoritas moneter untuk dijadikan sebagai alat instrumen pengendali yang lebih efektif. Dengan begitu kita bisa menentukan apakah pilihan variabel yang diambil saat ini sudah tepat atau sebaliknya.

Sedangkan teknik penulisan tesis ini adalah menggunakan teknik studi literature, yaitu menggali dan menganalisis pelbagai informasi yang terkait dalam berbagai buku dan bahan pustaka yang lain. Sedangkan untuk data-data moneter, penulis olah dari data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia dan BPS.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) selama kurun waktu Januari 2001 sampai dengan Desember 2009


(60)

(kwartal). Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari beberapa sumber antara lain : Bank Indonesia dan BPS.

3.3. Uji Asumsi

3.3.1. Uji Unit Root test

Sekumpulan data dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varian dari data time series tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu atau rata-rata variansnya konstan Nachrowi (2006).

Data tidak stationer dapat dijadikan menjadi data stationer. Caranya dengan melakukan uji stationeritas data pada tingkat diferensi data yang disebut juga dengan uji derajat integrasi. Jadi data yang tidak stasioner pada tingkat level akan diuji lagi pada tingkat diferen sampai menghasilkan data yang stasioner. Didalam menguji apakah data mengandung akar unit atau tidak, Dickey-Fuller menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini: Dickey-Fuller menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini :

t t

t

Y

e

Y

=

+

Δ

θ

−1 (3.1)

t t t

Y

e

Y

=

+

+

Δ

β

1

θ

−1 (3.2)

t t t

t

Y

e

Y

=

+

+

+

Δ

β

1

β

2

θ

−1 (3.3)

Dimana : t adalah variabel trend waktu.

Perbedaan persamaan (3.1) dengan dua regresi lainnya adalah memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Dalam setiap model, jika data time series


(61)

mengandung unit root yang berarti data tidak stasioner hipotesis nulnya adalah Ø = 0, sedangkan hipotesis alternatifnya Ø<0 yang berarti data stasioner. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai DF statistik dengan nilai kritisnya yakni distribusi statistik τ. Nilai DF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien ØYt-1. Jika nilai absolut statistik DF lebih

besar dari nilai kritisnya maka kita menolak hipotesis nul sehingga data yang diamati stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai statistik DF lebih kecil dari nilai kritis distribusi statistik τ.

Salah satu asumsi dari persamaan (3.1) dan (3.2) adalah bahwa residual et

tidak saling berhubungan. Dalam banyak kasus residual et seringkali berhubungan dan mengandung unsur autokorelasi. Dickey fuller kemudian mengembangkan uji akar unit dengan memasukkan unsur autokorelasi dalam modelnya yang kemudian dikenal dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Dalam prakteknya uji ADF inilah yang digunakan untuk mendeteksi apakah data stasioner atau tidak. Adapun formulasi uji ADF sebagai berikut :

t n

t

t t

t

Y

Y

e

Y

= − +

+

Δ

+

=

Δ

1 1 1 1

β

γ

(3.4)

t n

t

t t

t

Y

Y

e

Y

= − +

+

Δ

+

+

=

Δ

1 1 1 1

0

γ

β

α

(3.5)

t n

t

t t

t

T

Y

Y

e

Y

= −+

+

Δ

+

+

+

=

Δ

1 1 1 1 1

0

α

γ

β


(62)

dimana

Y : Variabel yang diamati Yt : Yt – Yt-1

T : Trend waktu n : Lag

Prosedur untuk mengetahui data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF dengan nilai kritis distribusi MacKinnon. Nilai statistik ADF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien Yt-1 pada persamaan (4

s/d 6). Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nila kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Hal penting dalam uji ADF adalah menentukan panjangnya kelambanan. Panjangnya kelambanan bisa ditentukan berdasarkan kriteria AIC (Akaike Information Criterion) ataupun SIC (Schwarz Information Criterion). Nilai AIC dan SIC yang paling rendah dari sebuah model akan menunjukkan model tersebut yang paling tepat (Pratomo dan Hidayat,2007).

3.3.2. Uji Kointegrasi

Regresi yang menggunakan data time series yang tidak stasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi jika koefisien determinasi cukup tinggi tapi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen tidak mempunyai makna. Hal ini terjadi karena hubungan keduanya yang merupakan data time series hanya menunjukkan tren saja. Secara


(63)

umum bisa dikatakan bahwa jika data time series Y dan X tidak stasioner pada tingkat level tetapi menjadi stasioner pada diferensi (difference) yang sama yaitu Y adalah I(d) dan X adalah I(d) dimana d tingkat diferensi yang sama maka kedua data adalah terkointegrasi (mempunyai hubungan dalam jangka panjang). Uji kointegrasi ada berbagai macam namun untuk uji dengan beberapa vektor uji yang sering digunakan adalah uji Johansen.

Setelah diketahui bahwa baik data inflasi dan pertumbuhan ekonomi keduanya stasioner, maka selanjutnya akan diuji apakah ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara dua variabel tersebut. Granger (1988) menjelaskan bahwa jika dua variabel berintegrasi pada derajat satu, I (1) dan berkointegrasi maka paling tidak pasti ada satu arah kausalitas Granger. Berdasarkan teorema representasi Granger

(Engle, Granger, 1987), dinyatakan bahwa jika suatu vektor n I (1) dari data runtut waktu Xt berkointegrasi dengan vektor kointegrasi, maka ada representasi koreksi kesalahan atau secara matematis dapat dinyatakan dengan:

A (L) .Xt = - αXt-1+ (L) εt ( 3.7)

Dimana: A (L) adalah matrik polinomial dalam lag operator dengan A(0) = I; adalah (nx1) vektor konstanta yang tidak sama dengan nol; (L) adalah skalar

polinomial dalam L; dan εt adalah vektor dari variabel kesalahan (error) yang bersuara resik (white noise). Dalam jangka pendek adanya penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang (α’X=0) akan berpengaruh terhadap perubahan Xt dan akan menyesuaikan kembali menuju keseimbangan. Uji kointegrasi yang akan digunakan disini menggunakan prosedur uji kointegrasi Johansen-Juselius (1990).


(64)

Dalam tulisan ini, prosedur Johansen-Juselius diaplikasikan untuk sistem persamaan

bivariat dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen dalam bentuk vector autoregressive (AR) yang meliput sampai ρ lag dari variabel Xt :

Xt : Π1Xt-1+ Π2Xt-2+.... ΠpXt-p +εt (3.8)

Dimana : Xt adalah vektor (2X1) dari I(1); Πt adalah (2x2) matrik parameter dan εt~I N(0, ε). Keseimbangan jangka panjangnya ditentukan oleh:

Π*X = 0 (3.9) Dimana Π* adalah matrik koefisien jangka panjang yang ditentukan oleh: I – Π1 – Π2 - ...- Πp = Π* (3.10)

Rank (r) dari Π* menentukan banyaknya vektor kointegrasi yang ada antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus bivariate kointegrasi ada jika r sama dengan 1. Jika matrik Π adalah hasil dari dua matrik (2X1), atau : Π = α’. Kemudian, jika inflasi dan pertumbuhan ekonomi berkointegrasi maka vektor kointegrasi yang unik adalah α dan koefisien menunjukkan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan.

Hipotesis yang akan diuji adalah dalam sistem persamaan paling sedikit satu vektor kointegrasi antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi Johansen menyarankan dua pengujian untuk menentukan banyaknya vektor kointegrasi. Dua uji tersebut adalah trace test dan maximum eigenvalue statistic. Johansen trace statistic atau juga dikenal sebagai test statistik LR (Likelihood Ratio) untuk menguji hipotesis Ho: r<1 terhadap Ha: r=0, yang dirumuskan dalam persamaan :


(65)

Trace test (Qr) = -nεln(1-λi) ( 3.11)

Dimana λi adalah korelasi kuadrat antara Xt-p dan Xt yang merupakan koreksi terhadap pengaruh proses lagged differences variabel X. Alternatif uji kointegrasi dari Johansen adalah dengan menggunakan maximum eigenvalue statistic

yang dapat dihitung dari trace statistic, yaitu :

Qmax = -nln(1 – λi) = Qr – Qr+1

(3.12)

Ada tidaknya kointegrasi didasarkan pada uji Trace Statistic dan Maksimum

Eigenvalue. Apabila nilai hitung Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih besar daripada nilai kritisnya, maka terdapat kointegrasi pada sejumlah variabel, sebaliknya jika nilai hitung Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih kecil daripada nilai kritisnya maka tidak terdapat kointegrasi. Nilai kritis yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Osterwald-Lenum.

3.4. Model Analisis

3.4.1. Vector Autoregression (VAR)

Menurut Sims (Manurung,2005) jika simultanitas antara beberapa variabel benar maka dapat dikatakan bahwa variabel tidak dapat dibedakan mana variabel endogen dan mana variabel eksogen. Pengujian hubungan simultan dan derajat integrasi antar variabel dalam jangka panjang variabel yang mempengaruhi inflasi menggunakan metode Vector Autoregression (VAR). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan simultan (saling terkait) antara variabel tingkat


(1)

LAMPIRAN 9

VARIABEL

0 4 8 12 16 20

01 02 03 04 05 06 07 08 09

BIR


(2)

300000

350000

400000

450000

500000

550000

600000

650000

01

02

03

04

05

06

07

08

09

DD


(3)

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

01

02

03

04

05

06

07

08

09

ED


(4)

100

200

300

400

500

600

700

800

01

02

03

04

05

06

07

08

09

IHE


(5)

100

150

200

250

300

350

400

450

01

02

03

04

05

06

07

08

09

IHI


(6)

0

4

8

12

16

20

01

02

03

04

05

06

07

08

09

INF