Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRI

DENGAN LETAK DAN STADIUM TUMOR PADA

PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

DI DEPARTEMEN THT-KL

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh :

Benny Hidayat

NIM : 17897

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur

kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini saya tulis dalam bentuk tesis dengan judul: Hubungan antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan. Rancangan penelitian ini menggunakan studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Dengan semua keterbatasan tersebut, saya berharap mendapat masukan yang berharga dan kritik yang bermanfaat dari para ahli dan pembaca, demi kesempurnaan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, maka pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter


(3)

Spesialis di Departemen THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas ini.

Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan petunjuk selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan petunjuk, nasehat, bimbingan dan dorongan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL sebagai pembimbing tesis saya dan yang terhormat Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK sebagai Konsultan Penelitian dan Statistik, dr. Nety D. Lubis, Sp.Rad sebagai Konsultan Radiologi, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu, bimbingan, motivasi, perhatian, koreksi, petunjuk yang berharga dan


(4)

kemudahan yang telah diberikan kepada saya, selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru dijajaran THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang terhormat: dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, Sp.THT-KL, dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, DR. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda Irwani Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, Alm. dr. Ainul Mardhiah, KL, dr. Farhat, KL, dr. Harry A. Asroel, KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-Sp.THT-KL, yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya, baik secara teoritis maupun ketrampilan lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Kepala Departemen dan seluruh Staf Radiologi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan Staf Patologi Anatomi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan Staf Anestesi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah


(5)

memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut.

Yang terhormat Direktur, Kepala SMF KL dan seluruh staf THT-KL di BAPELKES RSU Dr. Pirngadi Medan, Rumkit DAM I / Bukit Barisan Medan, RSUD Lubuk Pakam, RS PTP II Tembakau Deli Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di keempat rumah sakit tersebut.

Yang Mulia Ayahanda dr. H. Azwar Nurdin, Sp.PK(K) dan Ibunda Hj. Aslita Aboet, yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa, agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada kakak dan adik-adik saya, yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.

Yang terhormat kedua Mertua saya, dr. H. Yunir, Sp.THT-KL dan Hj. Erni Burhan, yang memberikan kasih sayang, dorongan semangat, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya. Terima kasih juga saya tujukan kepada adik-adik ipar saya, yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Kepada istri saya tercinta, Eka Adereni Yunir, ST, yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama mengikuti pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan, selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bantuan,


(6)

pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya, sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Ucapan terima kasih kepada teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU Medan, yang telah bersama-sama melewati masa pendidikan, baik suka maupun duka, saling membantu dan mengingatkan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat diantara kita. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan memberkahi kita semua, Amin.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh paramedis dan karyawan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah membantu dan bekerja sama selama saya menjalani program pendidikan ini.

Akhirnya izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini, kiranya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.

Medan, Juli 2009 Penulis


(7)

HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRI DENGAN LETAK DAN STADIUM TUMOR PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang: Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan gangguan pada telinga telah lama diketahui. Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala yang timbul karena letak tumor nasofaring (fossa Rosenmuller) dekat dengan muara tuba Eustachius. Gangguan pada tuba Eustachius akan menyebabkan terganggunya fungsi telinga tengah. Pemeriksaan timpanometri sensitif dalam menilai integritas membran timpani dan fungsi telinga tengah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor pada penderita KNF.

Metode Penelitian: Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross

sectional study) di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik

Medan, secara consecutive sampling mulai Oktober 2008. Terhadap

penderita KNF dilakukan pemeriksaan rutin THT, timpanometri, nasofaringoskopi, biopsi tumor di nasofaring dan CT-Scan nasofaring, kemudian dilakukan penilaian terhadap gambaran timpanogram, letak dan stadium tumor pada penderita KNF. Data dianalisa dengan uji korelasi Spearman dengan batas kebermaknaan p < 0,05.


(8)

Hasil Penelitian: Dari 55 sampel didapatkan 21 sampel (38,2%) dengan timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral pada pada penderita KNF dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius, sebanyak 16 sampel (29,1%) dengan timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral pada pada penderita KNF dengan letak tumor di seluruh rongga nasofaring. Uji korelasi Spearman (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05).

Gambaran timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral yang terbanyak dijumpai pada stadium IV, yaitu pada 15 sampel (27,3%), sedangkan timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral yang terbanyak dijumpai pada

stadium III, yaitu 17 sampel (30,9%). Uji korelasi Spearman (r) = 0,078, p = 0,570 (p > 0,05).

Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri dengan letak tumor pada penderita KNF. Tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri dengan stadium tumor pada penderita KNF.

Kata Kunci: Karsinoma Nasofaring, Timpanometri, Tuba Eustachius, Letak Tumor.


(9)

CORRELATION BETWEEN TYMPANOMETRY RESULT WITH THE SITE AND STADIUM OF TUMOUR IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA PATIENTS IN EAR NOSE AND THROATH - HEAD AND NECK SURGERY

DEPARTMENT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

ABSTRACT

Background: Close correlation between nasopharyngeal carcinoma and disturbance of ear function has been known for long. The disturbance in ear function usually is a symptom of the site of a tumour (fossa Rosenmuller) that is close to tuba Eustachius end. Disturbance in tuba Eustachius would cause disturbance of middle ear function. Tympanometry examination is sensitive to evaluate the integrity of membrane tympany and the function of the middle ear. The purpose of this research is to know the correlation between tympanometry result with the site and stadium of tumour in nasopharyngeal carcinoma patients.

Study Design and Methods: Research was done in cross sectional study in Ear Nose and Throath-Head and Neck Surgery Department Medical Faculty University of North Sumatera / H. Adam Malik General Hospital Medan, with consecutive sampling method, start from October 2008. The nasopharyngeal carcinoma patients was examined for a routine ENT examination, tympanometry, nasopharyngoscopy, biopsy of tumour in nasopharyng and nasopharyng CT-Scan, then tympanogram result, the site and stadium of


(10)

tumour in nasopharyngeal carcinoma patients was evaluated. Data was analyzed using Spearman correlation test with p < 0,05.

Results: Twenty one (21) of 55 sampel was found to have abnormal unilateral tympanogram (type B / C), that is nasopharyngeal carcinoma patients with the site of tumour in fossa Rossenmuller that extend to the roof / posterior wall of nasopharyng and covers the end of tuba Eustachius, 16 patients with abnormal bilateral tympanogram (29,1%), that is nasopharyngeal carcinoma patients with the site of tumour in all part of nasopharyng. Spearman correlation test, (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05). Abnormal unilateral tympanogram result (type B / C) was most found in stadium IV patients, 15 sample (27,3%). Whereas abnormal bilateral tympanogram (type B / C) was most found in stadium III patients, 17 sample (30,9%). Spearman correlation test, (r) = 0,078, p = 0,570 (p > 0,05).

Conclusions: There is a correlation between tympanometry result with the site of tumour in nasopharyngeal carcinoma patients. There is not a correlation between tympanometry result with the stadium of tumour in nasopharyngeal carcinoma patients.

Keywords: Nasopharyngeal Carcinoma, Tympanometry, Tuba Eustachius, The Site of Tumour.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesa Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6

2.1. Karsinoma Nasofaring ... 6

2.1.1. Anatomi Nasofaring ... 6

2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya ... 6

2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring ... 8

2.1.4. Pendarahan Nasofaring ... 9

2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran Tumor ... 9

2.2. Epidemologi ... 11

2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 13

2.4. Gejala Klinis ... 15

2.5. Diagnosis ... 18

2.5.1. Anamnesis ... 18


(12)

2.6. Histopatologi ... 24

2.7. Stadium ... 25

2.8. Terapi ... 27

2.8.1. Radioterapi ... 27

2.8.2. Kemoterapi ... 28

2.8.3. Pembedahan ... 31

2.9. Timpanometri ... 31

2.9.1. Terminologi ... 32

2.9.2. Peralatan ... 33

2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter ... 34

BAB 3. KERANGKA KONSEP ... 41

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 42

4.1. Rancangan Penelitian ... 42

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 42

4.2.1. Populasi ... 42

4.2.2. Sampel ... 42

4.2.3. Besar Sampel ... 43

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

4.3. Variabel Penelitian ... 44

4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian ... 44

4.3.2. Definisi Operasional Variabel ... 44

4.4. Alat Penelitian ... 46

4.5. Pelaksanaan Penelitian ... 46

4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

4.6.1. Lokasi Penelitian ... 47

4.6.2. Waktu Penelitian ... 47


(13)

4.8. Analisa Data ... 48

BAB 5. HASIL PENELITIAN ... 49

BAB 6. PEMBAHASAN ... 57

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

7.1. Kesimpulan ... 69

7.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 76

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ... 76

Lampiran 2. Status Penelitian ... 79

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian ... 83

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 85

Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 86


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan

Timpanometri ... 34

Gambar 2.2. Timpanogram Normal ... 37

Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B ... 38

Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C ... 39

Gambar 2.5. Timpanogram Tipe As ... 39


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Umur ... 49 Tabel 5.2. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50 Tabel 5.3. Distribusi Penderita KNF Menurut Suku Bangsa ... 50 Tabel 5.4. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi

(WHO) ... 51 Tabel 5.5. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Stadium Tumor ... 51 Tabel 5.6. Distribusi Letak Tumor pada Penderita KNF ... 52 Tabel 5.7. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Letak Tumor

pada Penderita KNF ... 53 Tabel 5.8. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Letak Tumor pada

Penderita KNF ... 54 Tabel 5.9. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Stadium

Tumor pada Penderita KNF ... 55 Tabel 5.10. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Stadium Tumor pada Penderita KNF ... 56


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga, hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama (Punagi, 2007). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor ganas nasofaring (Adham & Roezin, 2007). Bentuk paling banyak yang dijumpai pada tumor ganas nasofaring ialah yang berasal dari epitel permukaan rongga nasofaring yang dikenal dengan istilah karsinoma nasofaring / KNF (Punagi, 2007).

Insiden KNF tertinggi di dunia didapatkan di Cina bagian selatan, terutama di propinsi Guang Dong, Guang Xi dan di daerah yang banyak ditempati oleh imigran Cina, seperti di Asia Tenggara, California, Hong Kong dan Taiwan (Aziza et al, 2005). Bangsa yang mempunyai resiko agak tinggi adalah Eskimo, Tunisia, Filipina, Malaysia, Algeria dan juga Indonesia. KNF jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).

Karsinoma nasofaring sering tidak terdiagnosis secara dini karena banyaknya variasi gejala dan tanda serta sulitnya pemeriksaan rongga nasofaring yang merupakan lokasi tumor primer, terutama pada fossa Rosenmuller. Akibatnya angka kematian menjadi tinggi karena pada


(17)

umumnya pasien datang berobat pada stadium III ke atas dengan angka harapan hidup selama 10 tahun berkisar 10% (Punagi, 2007).

Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan telinga telah lama diketahui. Pada penelitian Jackson (1901) didapat gejala telinga tidak kurang dari 43% dari seluruh kasus karsinoma nasofaring. Keluhan telinga yang paling sering pada stadium awal adalah ketulian, biasanya ringan dan unilateral, seringkali disertai tinitus. Menurut Trotter (1911) yang memfokuskan penelitiannya pada “tipe tuba Eustachius” sebagai gejala pertama dari karsinoma nasofaring. Pernyataan Trotter ini menggarisbawahi bahwa pentingnya pemeriksaan nasofaring pada semua kasus ketulian konduktif pada orang dewasa (Gibb & Hasselt, 1999).

Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal tumor nasofaring (fossa Rosenmuller) dekat dengan muara tuba Eustachius (Roezin, 1995; Ahmad, 2002). Keluhan pada telinga yang paling sering adalah keluhan gangguan pendengaran yang unilateral dan bersifat konduktif, karena itu diperlukan pemeriksaan timpanometri dan audiometri untuk menilai gangguan pendengaran pada penderita karsinoma nasofaring (Soetjipto, 1993).

Karya dkk di Makasar (2007) menemukan hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada 40 penderita yang baru didiagnosa sebagai KNF (Karya et al, 2007). Fong dan Low di Singapura (1996) menemukan efusi telinga tengah pada lebih kurang 40% pasien penderita KNF. Efusi berhubungan dengan penyebaran tumor ke


(18)

ruang parafaring dan ditemukan pada 95% kasus. Honjo di Tokyo (1988) menemukan adanya hubungan langsung antara efusi, ukuran dan perluasan tumor yang dikonfirmasikan melalui pemeriksaan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) dan Computed Tomography Scanning (CT-Scan) (Gibb &

Hasselt, 1999).

Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT-Scan atau MRI) (Wei & Sham, 2005). Pemeriksaan CT-Scan mempunyai keuntungan, antara lain kemampuan untuk dapat membedakan berbagai densitas di daerah nasofaring, baik jaringan lunak maupun perubahan pada tulang, selain itu dapat menilai perluasan tumor ke jaringan sekitar, adanya destruksi tulang dan penyebaran ke intrakranial (Aziza et al, 2005).

Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi telinga tengah dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh. Keadaan tekanan udara pada telinga tengah, integritas membran timpani serta mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini. Hasil pemeriksaan timpanometri digambarkan dalam bentuk grafik / timpanogram (Asroel, 2003).

Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi negatif sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan


(19)

timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-tulang pendengaran menurun sedemikian rupa, oleh adanya cairan efusi dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram menjadi landai (Karya et al, 2007).

Letak dan ukuran tumor pada nasofaring erat kaitannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba Eustachius dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Pemeriksaan timpanometri bermanfaat dalam menilai fungsi telinga tengah dan tuba Eustachius. Berdasarkan penelitian Karya dkk di Makasar (2007) yang menemukan hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada penderita KNF, maka peneliti tertarik untuk meneliti pemeriksaan timpanometri pada penderita KNF di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan yang diuraikan dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu bagaimana hubungan antara gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor penderita KNF di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.


(20)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan letak tumor berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan nasofaringoskopi pada penderita KNF.

2. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan nasofaringoskopi pada penderita KNF.

1.4. Hipotesa Penelitian

Ada hubungan antara letak dan stadium tumor dengan gambaran timpanometri pada penderita KNF.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan pendugaan karsinoma nasofaring.

2. Sebagai data dasar gambaran timpanometri pada penderita karsinoma nasofaring.


(21)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung, berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar respiratory-type epithelium dan non-keratinizing stratified squamous

epithelium Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sfenoid, dasar oksiput dan vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole. Di dinding lateral nasofaring terdapat muara tuba Eustachius (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).

2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya a. Atap dan Dinding Posterior Nasofaring

Bagian atap yang melandai menyatu dengan dinding posterior. Kedua struktur ini dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di sisi medial dan fibrokartilago dari foramen laserum di sisi lateral. Sinus kavernosus dengan arteri karotis interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI terletak di atas foramen laserum


(22)

pada kedua sisi. Dinding posterior nasofaring menutupi bagian basilar tulang oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Di bagian atas dinding posterior nasofaring, melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring atau adenoid). Fasia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan tulang vertebra (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

b. Dinding Lateral Nasofaring

Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba dibentuk oleh fasia faringobasilar yang diperkuat oleh otot konstriktor superior di bagian inferiornya. Dilihat dari kavum nasi, bagian anterior dan posterior orifisium tuba Eustachius ditandai dengan elevasi kartilago tuba, dimana di belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di sebelah dalam dinding lateral terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis interna, syaraf kranial IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe retrofaring (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

Fasia faring dan jaringan ikat foramen laserum rentan terhadap invasi langsung tumor ganas nasofaring. Hal ini dan seringnya keterlibatan kelenjar limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial (Cottrill & Nutting, 2003).

c. Dasar Nasofaring

Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle, yang berhubungan dengan spingter palatofaring yang berperan untuk


(23)

menutup ismus faring saat menelan, memisahkan nasofaring dengan orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring

Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan mengandung berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang paling menonjol, terutama pada anak-anak adalah tonsil faringeal (adenoid) yang terletak di garis tengah dan menonjol ke depan dari pertemuan atap dan dinding posterior. Lokasi aliran limfe kelompok pertama adalah kelenjar retrofaring yang terletak di ruang antara dinding nasofaring posterior, fasia faringobasilar dan fasia prevertebra. Kelompok kelenjar Rouviere (node of

Rouviere) membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar tersebut

terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus, sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke rantai jugular interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di ruang kompartemen parafaring retrostiloid di sebelah dalam ujung atas otot sternomastoid. Kelenjar ini kemudian mengalir ke bawah di posterior dari kelompok syaraf aksesorius dan di anterior kelompok jugulodigastrik (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeal media. Pleksus faringeal terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeal (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring


(24)

berasal dari saraf glossofaringeal, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigemius (V1) (Armiyanto, 1993).

2.1.4. Pendarahan Nasofaring

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal asenden, arteri palatina asenden dan descenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina.

Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah (Armiyanto, 1993).

2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran Tumor

Walaupun penyebaran tumor sering ditentukan oleh jalan yang secara anatomis telah terbentuk namun tidak selalu penyebaran tumor ganas mengikuti jalan alamiah tersebut karena tumor ganas mempunyai kemampuan untuk menginvasi dan merusak sistem barier yang ada. Kadang-kadang sulit ditentukan arah penyebaran karena tergantung juga dari besar dan asal lesi primer. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar ke salah satu sisi atau sering bilateral. Selain itu tumor yang tumbuh pada salah satu dinding lateral nasofaring sering melewati garis tengah dan menyebar ke sisi yang lain.


(25)

Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor, yaitu: 1) Ke dalam lumen / ruang nasofaring.

Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus maksila atau orbita tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.

2) Ke dalam ruang retrofaring.

Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikalis pertama (vertebra atlas).

3) Ke dalam ruang parafaring.

a). Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah fosa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat mengenai palatum durum, kelenjar parotis, fisura pterigomaksila dan ke fosa infratemporal. Pada tumor yang sangat besar mungkin dapat menginvasi sinus maksila dan frontalis.

b). Ruang kecil retrostiloid. Ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya, kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (IX, X, XI, XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut


(26)

juga ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis (melalui aliran limfe / retroparotidian), dapat juga akibat lanjutan invasi langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula, tumor dapat menyebabkan erosi dasar tengkorak.

4) Ke intrakranial.

Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri, mengenai saraf kranial otot bolamata (III, IV, VI) (penyebaran secara petrosfenoid) tetapi dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis interna masuk ke dalam sinus kavernosus. Perluasan ke ekstradural selain dari sinus kavernosus juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus sfenoid.

5) Tumor dapat langsung menyebar ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis, maksila dan rongga orbita.

6) Metastasis jauh, dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai hati, tulang atau paru.

(Armiyanto, 1993).

2.2. Epidemologi

Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga, hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor ganas


(27)

nasofaring. Data Departemen Kesehatan tahun 1980 menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi, 2007).

Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang telinga hidung tenggorok yang dikumpulkan antara tahun 1990-2001 di Bagian THT-KL FK-UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma nasofaring sebanyak 1.247 (62,13%) penderita (Munir, 2007). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk (Fachiroh et al, 2004). Dari data laporan profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, periode Januari 2000 sampai dengan Juni 2007, didapatkan 33% dari keganasan di telinga, hidung dan tenggorok. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002-2007, ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring.

Penduduk RRC di propinsi Guang Dong mempunyai insiden tertinggi di dunia, yaitu 40-50 per 100.000 penduduk per tahun (Punagi, 2007). Pada daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden sekitar 0,5/100.000 dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma pada 60% kasus, sementara di Timur Tengah lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3. Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cottrill & Nutting, 2003). KNF jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).


(28)

Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan V. Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan VI tapi masih terdapat insidensi yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia bimodal dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi pasti dari KNF belum diketahui, namun penelitian secara epidemiologi dan laboratorik menunjukkan bahwa penyebab keganasan ini bersifat multi faktor, yaitu:

1. Infeksi virus Epstein Barr.

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein, Barr dan Achong pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit, yaitu mononukleosis infeksiosa, limfoma-Burkitt dan KNF (Armiyanto, 1993). Virus Epstein Barr yang diduga sebagai penyebab terjadinya KNF merupakan virus DNA dari kelompok herpes dimana tubuh manusia akan membentuk reaksi imunologik akibat antigen dari virus yang masuk ke dalam tubuh (Aziza et al, 2005). Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen compleks (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et al, 2001;


(29)

Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting; 2003; Lutzky et al, 2008). Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. Gen-gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent

membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi

gen selular dan pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat invasif serta pertumbuhan yang ganas dari karsinoma (McDermott et al, 2001; Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham, 2005; Lutzky et al, 2008).

2. Faktor genetik.

Diduganya faktor genetik berperan pada KNF berdasarkan atas resiko tinggi yang terdapat pada orang Cina, baik yang tinggal di negaranya sendiri maupun yang telah berpindah ke negara lain atau terdapat pada orang keturunan Cina yang menikah dengan non-Cina. Hubungan Human

Leucocyte Antigen (HLA) ditemukan pada penderita KNF yang telah

berimigrasi ke negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan keturunan Cina di California. Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 di mana alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Delfitri, 2007).


(30)

3. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup.

Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup, yaitu sering memakan ikan asin yang mengandung nitrosamin, yang merupakan suatu zat karsinogenik, adanya asap sejenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, asap dupa dan seringnya kontak dengan zat karsinogen, seperti Benzopyrene, gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk dan asap rokok, merupakan hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya KNF (Aziza et al, 2005).

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa hanya konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Ganguly et al,2003; Wei, 2006).

2.4. Gejala Klinis

Rongga nasofaring sulit dilihat dan karsinoma yang tumbuh sering hanya sedikit memberikan gejala untuk waktu yang lama. Dapat pula ditemukan mukosa nasofaring berpenampakan normal dalam waktu yang lama walaupun telah terjadi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial. Gejala dan tanda yang terjadi sebagai akibat adanya obstruksi oleh tumor, invasi ke rongga tengkorak atau orbita dan metastasis tumor ke kelenjar getah bening


(31)

(Aziza et al, 2005). Gejala yang sering ditemukan, yaitu:

1. Gejala telinga.

Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal tumor nasofaring dekat dengan muara tuba Eustachius (Roezin, 1995). Penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor menimbulkan gejala, berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat, berkurangnya pendengaran dan sering berlanjut menjadi otitis media efusi (Roezin, 1995).

Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien KNF yang didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan keluhan ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006).

2. Gejala hidung.

Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan dapat timbul berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus. Epistaksis biasanya dijumpai pada KNF stadium lanjut. Gejala obstruksi hidung biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang menutupi koana (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Aziza et al, 2005).

3. Pembesaran kelenjar getah bening leher.

Gejala lanjut yang paling sering penyebab penderita datang berobat adalah pembesaran kelenjar getah bening leher karena penyebaran limfogen. Lokasi khas penyebaran KNF ke kelenjar getah bening leher


(32)

adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot sternokleidomastoideus, perabaannya keras, tidak nyeri bila ditekan dan tidak mudah digerakkan jika sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya (Aziza et al, 2005).

4. Gejala neurologis.

Gejala lebih lanjut yang sering ditemukan adalah gejala saraf yang terjadi akibat penjalaran melalui foramen laserum (saraf kranial III, IV, V, VI) dan foramen ovale (IX, X, XI, XII) sepanjang fossa kranii media yang disebut penjalaran petrosfenoid dan mengenai saraf otak anterior. Keluhan saraf yang paling sering ditemukan adalah paresis saraf abdusen (N.VI) dengan keluhan diplopia dan paresis saraf trigeminus (N.V) dengan keluhan baal di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Tumor juga dapat menjalar ke belakang secara ekstrakranial yang disebut penjalaran secara retroparotidian, mengenai saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan gejala sindrom Horner. Sakit kepala hebat merupakan gejala paling berat pada penderita KNF dan biasanya merupakan stadium terminal. Hal ini karena tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya (Aziza et al, 2005).

5. Gejala akibat metastasis jauh.

Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) ataupun bersama aliran limfe (limfogen), mengenai organ tubuh yang letaknya jauh. Organ yang sering dikenai adalah tulang, paru dan hati. Gejala yang timbul sesuai dengan kerusakan organ tersebut.


(33)

2.5. Diagnosis 2.5.1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering yang menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto, 1993; Ahmad, 2002).

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

1. Endoskopi.

Pada kasus yang dicurigai ke arah KNF, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring. Pemeriksaan menggunakan nasofaringoskop kaku atau fleksibel, lebih dianjurkan agar dapat melakukan inspeksi langsung sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas (Soetjipto, 1993).

a) Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy).

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi, yaitu sudut 0, 30 dan 70 derajat dan forsep biopsi. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:

• Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung.

• Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut.


(34)

b) Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy).

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Ujungnya dapat melakukan manuver di belakang septum hingga mencapai sisi yang berlawanan. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskop fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung. Namun meskipun memiliki banyak keunggulan, kualitas gambar yang didapat dengan endoskopi fleksibel masih di bawah kualitas gambar endoskopi kaku, begitu juga ukuran biopsi yang dilakukan dengan endoskopi fleksibel jaringan biopsi yang didapat lebih kecil dan lebih superfisial dibandingkan endoskopi kaku (Wei, 2006).

2. Biopsi nasofaring.

a) Dengan anestesi lokal.

Dengan adanya alat endoskop, biopsi dilakukan dengan tuntunan endoskop. Caranya sebagai berikut; pasien duduk atau setengah duduk, diberi anestesi lokal kemudian endoskop dimasukkan kedalam kavum nasi sisi yang berlawanan dengan perkiraan sisi tumor. Setelah tampak tumor atau tampak daerah yang mencurigakan, cunam biopsi


(35)

yang agak besar dimasukkan melalui kavum nasi sisi lainnya dan dibawah tuntunan endoskop, cunam mengambil jaringan biopsi yang cukup besar dan representatif pada tumor atau daerah yang mencurigakan (Soetjipto, 1993).

b) Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum. Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu:

• Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF.

• Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau

faringnya terlalu sensitif, trismus dan anak-anak.

3. Pemeriksaan radiologi.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001). Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain:

a) Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitomental, oksipitofrontal. b) Foto toraks Posterior-Anterior untuk menilai adanya metastasis paru


(36)

c) CT-Scan Nasofaring mempunyai nilai diagnostik tinggi. Tumor dini di fossa Rosenmuller akan tampak sebagai penebalan otot levator veli palatini dan obliterasi atau penumpulan sudut resesus setempat sehingga tampak gambaran yang asimetri dalam rongga nasofaring (Soetjipto, 1993).

Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT-Scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis dan juga akibat komplikasi paska radioterapi, seperti nekrosis lobus temporal dan atropi kelenjar hipofise (Wei & Sham, 2005).

Pada umumnya peranan CT-Scan dalam pemeriksaan KNF adalah:

o Membantu diagnosis, terutama dalam menentukan suatu proses dini di nasofaring.

o Menentukan penyebaran tumor ke jaringan sekitar.

o Menentukan stadium tumor.

o Membantu tindakan radioterapi.

o Menilai hasil pengobatan dan menentukan kekambuhan dini. (Soetjipto, 1993).


(37)

d) Magnetic Resonance Imaging merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT-Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring baik yang superfisial maupun profunda dan membedakan tumor dari jaringan lunak di sekitarnya. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastasis ke daerah retrofaring, kelenjar getah bening leher yang profunda dan ke sumsum tulang (Wei & Sham, 2005).

e) USG hepar, jika dicurigai metastasis ke hati (Her, 2001).

4. Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan berupa: a) Sitologi.

Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Cara ini sangat mudah, murah dan tidak menimbulkan rasa sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.

b) Biopsi Aspirasi Jarum Halus.

Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikannya merupakan metastasis KNF dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring (Wei & Sham, 2005).


(38)

c) Histopatologi.

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan sub tipe histopalotogi.

d) Pemeriksaan Imunohistokimia.

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul penanda seperti zat fluoresens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e) Pemeriksaan Serologi.

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer immunoglobin A (IgA) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA) sangat sensitif untuk KNF tetapi tingkat spesifitasnya kurang, terutama pada titer yang rendah sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi


(39)

kurang sensitif dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

f) Polimerase Chain Reaction (PCR).

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).

2.6. Histopatologi

Klasifikasi secara histopatologi dari WHO mengkategorikan KNF ke dalam 3 tipe besar sesuai dengan pola dominan yang terlihat secara mikroskopik, yaitu:

Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin, ditandai dengan:

1) Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis).

2) Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik.

3) Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan karena sel mengalami pengerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan.


(40)

Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan:

1) Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur / berjajar.

2) Sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih / terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel.

3) Tak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi, ditandai dengan: 1) Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.

2) Batas sel satu dengan yang lain sulit dibedakan.

3) Sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleous / inti yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.

4) Sel tumor tidak memproduksi musin. (Armiyanto, 1993; Lin, 2006).

2.7. Stadium

Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah menurut UICC ( 2002):

Tumor Primer (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan. T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer.


(41)

posterosuperior / atap).

T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.

̇ T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga nasal tanpa penyebaran sampai daerah parafaringeal.

̇ T2b : Tumor meluas sampai daerah parafaringeal.

T3 : Tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal.

T4 : Tumor mengenai sampai daerah intrakranial dan atau penyebaran tumor di saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruangan mastikator.

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional: N Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan. N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional.

N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fossa supraklavikular.

N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan terbesar terletak di atas fossa supraklavikular.

N3 : Metastasis pada KGB.

̇ N3a : Ukuran KGB > 6 cm.

̇ N3b : KGB terletak pada daerah fossa supraklavikular.

Metastasis jauh (M)


(42)

M0 : Tidak ada metastasis jauh. M1 : Terdapat metastasis jauh.

Stadium

Stadium 0 : Tis-N0-M0. Stadium I : T1-N0-M0. Stadium IIA : T2a-N0-M0. Stadium IIB : T1-N1-M0.

T2b-N0, N1, M0. Stadium III : T1-N2-M0.

T2a, T2b-N2-M0.

T3, N0,1,2-M0.

Stadium IVA : T4-N0,1,2-M0. Stadium IVB : Semua T-N3-M0.

Stadium IVC : Semua T-Semua N-M1. (Aziza et al, 2005; Adham & Roezin, 2007).

2.8. Terapi

2.8.1. Radioterapi

Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF dan kelenjar regional yang membesar (Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham, 2005). KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Guigay et al, 2006; Lin, 2006).


(43)

Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al, 2003; Lin, 2006).

Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan 65-75 Gray (Gy) dan pada kelenjar leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher dengan kelenjar negatif adalah 50-60 Gy (Wei & Sham, 2005). Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000 cGy pada tumor (Marzaini, 2002; Mould & Tai, 2002; Licitra et al, 2003).

Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Lee, 2003; Licitra

et al, 2003; Wei, 2006).

2.8.2. Kemoterapi

Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi


(44)

dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah

(adjuvant) pemberian radioterapi. Regimen kemoterapi aktif, antara lain:

cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Lin, 2006).

Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan tetapi, waktu pemberian, dosis, durasi dan regimen obat kemoterapi yang optimal masih tetap kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik & Siu, 2005; Lin, 2006).

Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvant / induksi kemoterapi dengan radioterapi ada dua, yaitu:

1. Reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol lokoregional.

2. Eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi relaps metastase jauh.

Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concomitant) menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga kemungkinan eradikasi mikrometastase tetapi juga menawarkan peningkatan resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvant yang diberikan setelah radioterapi adalah untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap


(45)

metastase jauh. Tetapi hal ini tidak berperan secara signifikan terhadap kontrol lokoregional (Mould & Tai, 2002; Cottrill & Nutting, 2003).

Berdasarkan berbagai uji random yang telah dipublikasikan dengan tujuan menilai penambahan kemoterapi pada radioterapi pada KNF lokal stadium lanjut, telah diambil persetujuan umum bahwa kemoradioterapi

concurrent sangat berguna, secara konsisten menghasilkan keuntungan

survival dibandingkan pemberian radioterapi saja, mencapai tingkat overall survival (OS) 5 tahun sebesar 70% (Agulnik & Siu, 2005; Guigay et al, 2006; Wei, 2006).

Pemberian kemoterapi lanjutan terhadap kemoradioterapi concurrent, baik sebagai neoadjuvant ataupun adjuvant, diperkirakan akan memperkuat kontrol penyakit. Berdasarkan laporan-laporan terakhir, dipertimbangkan kombinasi kemoterapi induksi / neoadjuvant diikuti terapi concurrent. Penggabungan bahan-bahan anti kanker terbaru yang kurang toksik dan lebih efektif seperti gemcitabine, taxane dan bahan-bahan target molekular sebagai kombinasi regimen modalitas memerlukan eksplorasi lebih lanjut dalam terapi KNF lokal stadium lanjut (Agulnik & Siu, 2005).

Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase dan terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai ratio respon 66%-76% (Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Kombinasi platinum dengan bahan baru, seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjukkan respon yang baik (Guigay et al, 2006).


(46)

2.8.3. Pembedahan

Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2006; Lutzky et al, 2008).

2.9. Timpanometri

Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik imitans dari telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan jelas perubahan-perubahan akustik imitans yang dihubungkan dengan gangguan-gangguan di telinga tengah (Katz, 1994; Asroel, 2003). Pengembangan alat elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada tahun 1960 telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini dapat digunakan dengan mudah di klinik (O’Connor, 1997; Asroel, 2003). Selanjutnya pada awal 1970, pengukuran imitans mulai dimasukkan ke dalam rangkaian tes audiometri rutin (Katz, 1994; Asroel, 2003).

Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi telinga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh (Ballenger, 1997; Asroel, 2003). Keadaan tekanan pada telinga tengah, integritas membran


(47)

timpani serta mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini (Ballenger, 1997; Sjarifuddin, Bashiruddin & Purba, 2001; Asroel, 2003).

Menurut definisinya, timpanometri adalah tehnik pemeriksaan yang objektif untuk menilai aliran energi bunyi dalam liang telinga dan telinga tengah, tekanan bervariasi pada telinga tengah serta digambarkan dalam bentuk grafik (timpanogram) (Asroel, 2003). Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari compliance (kelenturan) membran timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau negatif. Timpanogram merupakan suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relatif sistem timpano-osikular. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal akan memperlihatkan sistem timpano-osikular yang normal juga (Greenfield et al, 1996).

2.9.1. Terminologi

Beberapa terminologi atau istilah yang harus diketahui adalah:

1. Imitans : Istilah umum yang menunjukkan penggabungan akustik impedans dan admitans.

2. Impedans: Suatu ukuran, dimana sebuah sistem dapat menahan aliran energi yang melaluinya (tahanan).


(48)

4. Static Acoustic Admittance / SAA (Compliance Peak): Titik pada sumbu Y dalam timpanogram, dimana kurva mencapai maksimum. Pada dasarnya merupakan titik dari kurva, nilai normal anak-anak adalah 0,2-0,9 mmh0;

mean: 0,5 (ASHA) dan dewasa adalah 0,3-1,4 mmh0; mean: 0,8.

5. Tympanometric Peak Pressure (TPP): Titik pada sumbu X dalam

timpanogram, dimana compliance peak berada. Nilai normalnya adalah -150 s.d +100 decaPascals (daPa).

6. Ear Canal Volume (ECV): Nilai normalnya 0,3-1,0 cm3 (anak-anak) dan

0,65-1,75 cm3 (dewasa). Volume pada ワ < ン.

7. DecaPascals (daPa): Satuan unit pengukuran tekanan udara, dimana 1 daPa = 10 Pascals.

8. Millim0 (mmh0): Satuan unit pengukuran imitans, dimana 1 mh0 = 1.000 mmh0.

(Katz, 1994; Stach, 1998; Asroel, 2003).

2.9.2. Peralatan

Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap suara, sebagai berikut:

1) Sebuah alat yang memproduksi nada bolak-balik (oscillator) dengan frekwensi yang tetap (biasanya 220 Hz).

2) Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level dalam liang telinga.


(49)

3) Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air (-600 mmH2O s.d +1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah

dan mengukur tekanan udara dalam liang telinga. (Jerger, 1976; Katz, 1994; Asroel, 2003).

Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan Timpanometri (Dikutip dari Jerger, 1976).

2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter

Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang banyak digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, disamping imitans statik dan ambang refleks akustik (Stach, 1998; Asroel, 2003).

Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan


(50)

frekwensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran timpani terhadap nada tersebut.

Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan

compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah.

Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah. Compliance yang rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani. Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng.

Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal, penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran telinga tengah yang normal akan berada pada puncak optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe

sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah.


(51)

Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum.

Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah (Stach, 1998; Asroel, 2003).

Hasselt dkk di Hongkong (1999) mengemukakan bahwa pemeriksaan timpanometri paling sensitif (96%) dalam mendiagnosis adanya efusi di telinga tengah pada penderita KNF yang belum mendapatkan radioterapi (Hasselt, 1999). Fong dan Low di Singapura (1996) melakukan penelitian tentang gangguan pendengaran pada penderita KNF sebelum mendapatkan radioterapi. Mereka melakukan pemeriksaan adanya efusi pada telinga tengah secara klinis dan dibuktikan dengan pemeriksaan timpanometri (Fong & Low, 1996). Dengan pemeriksaan timpanometri, Low di Singapura (1994) melakukan pengukuran tekanan telinga tengah pada penderita KNF di Rumah Sakit Singapura. Low mendapatkan rata-rata tekanan telinga tengah pada penderita KNF sebesar -55,2 mmH2O (Low, 1995).

Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi


(52)

negatif, sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-tulang pendengaran menurun sedemikian rupa oleh adanya cairan efusi dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram menjadi landai (Asroel, 2003; Karya et al, 2007).

Ada beberapa tipe timpanogram konvensional, sebagai berikut: 1. Tipe A:

• Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.

• Mempunyai bentuk khas, dimana puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif.


(53)

2. Tipe B:

• Terdapat pada kavum timpani yang berisi cairan, misalnya pada otitis media efusi.

• Timpanogram tidak memiliki puncak dan cenderung mendatar atau sedikit membulat. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B (Dikutip dari Asroel, 2003).

3. Tipe C:

• Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari tuba Eustachius.

• Tekanan telinga tengah negatif, titik puncak berada pada titik > -150 daPa.


(54)

Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C (Dikutip dari Asroel, 2003). 4. Tipe As:

• Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang

berparut.

• Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana puncak berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau

shallowness.


(55)

5. Tipe Ad:

• Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau

diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang pendengaran.

• Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti deep atau discontinuity.

(Jerger, 1976; Stach, 1998; Asroel, 2003).


(56)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

Gangguan fungsi tuba Eustachius

Timpanogram abnormal Gangguan pendengaran

KNF Stadium dan letak tumor


(57)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 4.2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita dengan sangkaan suatu KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.

4.2.2. Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh penderita dengan sangkaan suatu KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

Kriteria Inklusi

1. Penderita dengan sangkaan suatu KNF, dimana membran timpani telinga kanan dan kiri utuh, baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok usia.

2. Penderita KNF berdasarkan hasil biopsi histopatologi, baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok usia.


(58)

3. Bersedia diikutkan dalam penelitian.

Kriteria Eksklusi

1. Penderita dengan sangkaan suatu KNF, dimana membran timpani telinga kanan dan kiri tidak utuh.

2. Penderita diduga KNF dengan hasil histopatologi bukan KNF atau meragukan.

3. Tidak bersedia diikutkan dalam penelitian.

4.2.3. Besar Sampel

Penentuan jumlah besar sampel berdasarkan pengamatan

pendahuluan dengan menggunakan rumus :

n = d

Q 2

Ρ α2

Ζ

Keterangan:

n : Jumlah sampel.

Z : Nilai standar distribusi statistik pada kesalahan tertentu α Error 0,05 = 1,96.

P : Proporsi timpanogram abnormal pada penderita KNF = 85% (Karya et al, 2007).

Q : 1 – P = 1 – 0,85 = 0,15.


(59)

n =

d Q 2 2Ρ

Ζα =

( )

( )

0,1 2 15 , 0 85 , 0

1,96 2× ×

= 48,98 = 49 = 50 (dibulatkan

keatas).

+ DO 10% å 50 + (10% x 50) = 50 + 5 = 55 orang.

Jadi besar sampel minimal yang didapat adalah 55 orang.

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive

sampling.

4.3. Variabel Penelitian

4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung (dependent) : Timpanogram.

2. Variabel bebas (independent) : Jenis histopatologi, stadium dan letak tumor, jenis kelamin, usia.

4.3.2. Definisi Operasional Variabel

1. Timpanogram normal: bila fungsi telinga tengah normal, baik mobilitas maupun tekanannya dengan gambaran timpanogram tipe A sedangkan timpanogram abnormal: bila fungsi telinga tengah terganggu, baik mobilitas maupun tekanannya dengan gambaran timpanogram tipe B atau tipe C.


(60)

2. Biopsi nasofaring: tindakan biopsi terhadap massa di nasofaring melalui kavum nasi dengan menggunakan Blakesley nasal forcep lurus / bengkok dengan tuntunan endoskopi kaku, 4 mm, 00.

3. Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring.

4. Bentuk KNF adalah berdasarkan histopatologi biopsi tumor menurut kriteria WHO:

Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi. Tipe 2 : Karsinoma tidak berkeratinisasi.

Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi. 5. Stadium tumor adalah berdasarkan UICC ( 2002):

Stadium 0 : Tis-N0-M0. Stadium I : T1-N0-M0. Stadium IIA : T2a-N0-M0. Stadium IIB : T1-N1-M0.

T2b-N0, N1, M0.

Stadium III : T1-N2-M0.

T2a, T2b-N2-M0.

T3, N0,1,2-M0.

Stadium IVA : T4-N0,1,2-M0. Stadium IVB : Semua T-N3-M0.


(61)

6. Letak tumor adalah berdasarkan hasil pemeriksaan nasofaringoskopi dan CT-Scan nasofaring :

L1 : Terbatas di fossa Rosenmuller.

L2 : Terbatas di atap / dinding posterior nasofaring.

L3 : Fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding posterior nasofaring.

L4 : Fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius.

L5 : Seluruh rongga nasofaring.

4.4. Alat Penelitian

1. Alat pemeriksaan THT rutin.

2. Timpanometer merk Inter Acoustics, tipe AudioTraveller AA222. 3. Nasal endoskop kaku 00, 4 mm merk STORZ.

4. Blakesley nasal forcep lurus.

5. CT-Scan merk Toshiba X Vision SR.

4.5. Pelaksanaan Penelitian

Penderita baru datang dengan sangkaan suatu KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan rutin THT, kemudian dilakukan pemeriksaan timpanometri dan dinilai gambaran timpanogramnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan biopsi dengan tuntunan nasofaringoskop kaku 00 pada tumor di nasofaring yang dicurigai KNF, kemudian dilakukan pemeriksaan CT-Scan


(62)

Nasofaring. Setelah hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan KNF positif, dinilai stadium dan letak tumor di nasofaring.

4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.6.1. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di beberapa lokasi seperti :

1. Poliklinik THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan untuk memeriksa dan mendiagnosis pasien secara klinis.

2. Pemeriksaan Timpanometri dilakukan di KASOEM Hearing Center.

3. Pemeriksaan Histopatologi dari jaringan tumor dilakukan di Departemen Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan.

4. Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dilakukan di Departemen Radiologi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

4.6.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Oktober 2008.


(63)

4.7. Kerangka Kerja

KNF (+) Nasofaringoskopi dan Biopsi

Stadium dan Letak Tumor CT-Scan Nasofaring

Pemeriksaan Timpanometri

KNF (-)

- Tipe A - Tipe B - Tipe C

Stadium I, II, III dan IV

Letak tumor L1, L2, L3, L4, dan L5

Analisis Pasien Baru

dengan Sangkaan KNF

Eksklusi

4.8. Analisa Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisa secara statistik dengan menggunakan program

SPSS versi 15 for Windows. Untuk menilai kebermaknaan digunakan uji


(64)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Oktober 2008 sampai bulan Mei 2009. Sampel dikumpulkan sebanyak 55 orang yang memenuhi kriteria dari penderita Karsinoma Nasofaring yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.

Tabel 5.1. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Umur

Usia (tahun) n %

< 20 2 3,6

20 – 29 4 7,3

30 – 39 11 20

40 – 49 18 32,7

50 – 59 15 27,3

60 – 69 4 7,3

> 69 1 1,8

Total 55 100

Dari tabel di atas didapati penderita KNF terbanyak pada kelompok umur 40-49 tahun, yaitu 18 sampel (32,7%) diikuti kelompok umur 50-59


(65)

tahun, yaitu 15 sampel (27,3%). Penderita KNF termuda berusia 15 tahun dan yang paling tua berusia 82 tahun. Umur rerata 44,7 tahun.

Tabel 5.2. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 37 67,3

Perempuan 18 32,7

Total 55 100

Dari tabel di atas diperoleh penderita KNF terbanyak pada laki-laki, yaitu 37 sampel (67,3%) sementara perempuan sebanyak 18 sampel (32,7%). Perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2,1 : 1.

Tabel 5.3. Distribusi Penderita KNF Menurut Suku Bangsa

Suku Bangsa n %

Batak 26 47,3

Melayu 13 23,6

Jawa 9 16,4

Aceh 7 12,7


(66)

Dari tabel di atas didapati penderita KNF yang paling banyak berasal dari suku Batak, yaitu 26 sampel (47,3%) diikuti suku Melayu sebanyak 13 sampel (23,6%).

Tabel 5.4. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi (WHO)

Jenis Histopatologi n %

WHO Tipe 1 1 1,8

WHO Tipe 2 35 63,6

WHO Tipe 3 19 34,6

Total 55 100

Dari tabel di atas dijumpai jenis histopatologi terbanyak pada penderita KNF adalah WHO tipe 2 (Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin) sebanyak 35 kasus (63,6%).

Tabel 5.5. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Stadium Tumor

Stadium Tumor n %

I 0 0

II 4 7,3

III 27 49,1

IV 24 43,6


(67)

Dari tabel di atas dijumpai bahwa sebagian besar penderita KNF

datang berobat pada stadium lanjut (stadium III dan IV), yaitu sebanyak 51 kasus (92,7%), dimana stadium III paling banyak dijumpai, yaitu 27 kasus

(49,1%). Stadium dini (stadium I dan II) hanya dijumpai 4 kasus (7,3%), seluruhnya pada stadium II. Tidak ada penderita KNF yang datang pada stadium I.

Tabel 5.6. Distribusi Letak Tumor pada Penderita KNF

Letak Tumor n %

Terbatas di fossa Rosenmuller 0 0

Atap / dinding posterior nasofaring 0 0

FR + Atap / dinding posterior nasofaring unilateral 8 14,5

FR + Atap / dinding posterior nasofaring bilateral 10 18,2 FR + Atap / dinding posterior nasofaring +

menutupi muara tuba Eustachius

21 38,2

Seluruh rongga nasofaring 16 29,1

Total 55 100

Dari tabel di atas didapati bahwa letak tumor yang terbanyak terdapat di fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius, yaitu sebanyak 21 kasus (38,2%).


(68)

Tabel 5.7. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Letak Tumor pada Penderita KNF

Timpanogram Abnormal ( Tipe B / C )

Unilat Bilat Letak Tumor

n n

Terbatas di fossa Rosenmuller 0 0

Atap / dinding posterior nasofaring 0 0

FR + Atap / dinding posterior nasofaring unilateral

8 0

FR + Atap / dinding posterior nasofaring bilateral

0 10

FR + Atap / dinding posterior nasofaring + menutupi muara tuba Eustachius

21 0

Seluruh rongga nasofaring 0 16

Total 29 26

Korelasi r* p

Gambaran Timpanogram - Letak Tumor 0,401 0,002

* Spearman’s rho

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai koefisien korelasi (r) = 0,401, dimana nilai p = 0,002 (p < 0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran timpanogram dengan letak tumor.


(69)

Tabel 5.8. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Letak Tumor pada Penderita KNF

Timpanogram Abnormal ( Tipe B / C ) Unilat Bilat Telinga

Kanan

Telinga Kiri Letak Tumor

n % n % n % n % Terbatas di fossa

Rosenmuller

0 0 0 0

Atap / dinding posterior nasofaring

0 0 0 0

FR + Atap / dinding posterior nasofaring

unilateral

8 (14,5) 0 6

(10,9)

2 (3,6)

FR + Atap / dinding posterior nasofaring

bilateral

0 10 (18,2) 10

(18,2)

10 (18,2)

FR + Atap / dinding posterior nasofaring +

menutupi muara tuba Eustachius

21 (38,2) 0 15

(27,3)

6 (10,9)

Seluruh rongga nasofaring 0 16 (29,1) 16

(29,1)

16 (29,1)

Total 29 (52,7) 26 (47,3) 47 (85,5)

34 (61,8)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada pasien KNF yang gambaran timpanogramnya normal (tipe A). Gambaran timpanogram abnormal unilateral yang terbanyak dijumpai pada penderita KNF dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding posterior


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adham M, Roezin A, 2007, ‘Karsinoma Nasofaring’, Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Edisi Keenam, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 182-7

Agulnik M, Siu LL, 2005, ‘State-of-The-Art Management of Nasopharyngeal Carcinoma : Current and Future Directions’, Brit J Cancer, 92, 799-806 Ahmad A, 2002, ‘Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan

Karsinoma Nasofaring, Dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif’, FK-UI, Jakarta, 1-13

Aliandri, 2007, ‘Efek Samping Hematologis Pemberian Kemoterapi pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan’, Tesis, FK-USU, Medan

Armiyanto, 1993, ‘Pemeriksaan Immunoglobulin A Terhadap Virus Epstein-Barr Spesifik Untuk “Viral Capsid Antigen” dan “Early Antigen” pada Karsinoma Nasofaring’, Tesis, FK-UI, Jakarta

Asroel HA, 2003, ‘Pemeriksaan Timpanometri’, Majalah Kedokteran Nusantara, Vol 36, No.2, 83-7

Aziza E, Roezin A, Yudharto MA, 2005, ‘Karsinoma Nasofaring pada Anak’, Otorhinolaryngologica Indonesia, Vol. 35, No.1-2, 37-45

Ballenger JJ, 1997, ‘Audiologi’, Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13, Jilid II, Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT FK-UI / RSCM, Jakarta, Binarupa Aksara, 273-300

Chew CT, 1997, ‘Nasopharynx (The Post Nasal Space)’, Laryngology and Head & Neck Surgery, Dalam Scott-Brown's Otolaryngology, Vol.5, 6th Ed, Butterworth Heinemann, Oxford, 5/13/1-29


(2)

Cottrill CP, Nutting CM, 2003, ‘Tumours of The Nasopharynx’, Dalam Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ (Eds) Principles and Practice of Head and Neck Oncology, Martin-Dunitz, UK, 193-214 & 473-81

Delfitri M, 2007, ‘Asosiasi antara Alel Gen HLA-DRBI dan HLA-DQBI dengan Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak’, Disertasi

Fachiroh J, Hariwiyanto B, Schouten T, 2004, ‘Molecular Diversity of Epstein Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma : A Comparison of Indonesian, Chinese and European Subject’, The Journal of Infectious Diseases, Vol.190(1), 53-62

Fong KW, Low WK, 1996, ‘Hearing Disability Before and After Radiotherapy for Nasopharyngeal Carcinoma, The Journal of Laryngology and Otology, Vol.110, 121-3

Ganguly NK, Satyanarayana K, Srivastava VK, et al, 2003, ‘Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma’, ICMR Bulletin, Vol. 33, No. 9

Gibb AG, Hasselt CA, 1999, ‘Related Ear Problem’, Dalam Nasopharyngeal Carcinoma, The Chinese University Press, Hong Kong, 297-307

Greenfield DG, Lassman FM, Levine SC, 1996, ‘Audiologi’, Dalam Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6, EGC, Jakarta, 55-7

Guigay J, Temam S, Bourhis J, et al, 2006, ‘Nasopharyngeal Carcinoma and Therapeutic Management : The Place of Chemotherapy’, Annals of Oncology, Vol.17, 304-7

Hadi W, Kusuma H, 1999, ‘Aspek Klinis dan Histopatologi Karsinoma Nasofaring’, Kumpulan Naskah Ilmiah Konggres Nasional Perhati, Semarang, 1001-7

Hasselt CAV, Kew J, King AD, 1999, ‘Magnetic Resonance Imaging and Audiologic Assessment of Middle Ear Effusions in Patients with Nasopharyngeal Carcinoma Before Radiation Therapy’, The American Journal of Otology, Vol.20, 74-6


(3)

Henny F, 2006, ‘Ekspresi Protein Mutan p53 pada Karsinoma Nasofaring’, Tesis, FK-USU, Medan

Her C, 2001, ‘Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein-Barr Virus’, Disertasi, Microbiology and Tumor Biology Center (MTC), Karolinska Insitutet, Sweden

Hutagalung M, Tjakra IGM, Dhaeng Y, 1996, ‘Tinjauan Lima Besar Tumor Ganas THT di RSUP dr. Sardjito Selama Lima Tahun (1991-1995)’, Kumpulan Naskah Ilmiah PIT Perhati, Malang, 952-63

Jerger JF, 1976, ’Clinical Experience with Impedance Audiometry’, Dalam Northern JL (Ed) Selected Readings in Impedance Audiometry, American Electromedics, New York, 44-6

Karya I, Djamin R, Makmur H, Pieter NAL, 2007, ‘Hubungan antara Ukuran dan Letak Tumor Terhadap Gambaran Timpanometri Penderita Karsinoma Nasofaring’, Otorhinolaryngologica Indonesia, Vol. 37, No.1-2, 62-7

Katz J, 1994, ‘Handbook of Clinical Audiology’, 4th Ed, Baltimore, William & Wilkins, 283-4

Lee AWM, 2003, ‘Contribution of Radiotherapy to Function Preservation and Cancer Outcome in Primary Treatment of Nasopharyngeal Carcinoma’,

World Journal Of Surgery, 27, 838-43

Licitra L, Bernier J, Cvitkovic E, 2003, ‘Cancer of The Nasopharynx’, Critical Reviews in Oncology / Hematology 45, 199-214

Lin HS, Fee WE, 2006, ‘Malignant Nasopharyngeal Tumors’, Available from URL: http://www.emedicine.com, 1-19

Low WK, 1995, ‘Middle Ear Pressures in Patients with Nasopharyngeal Carcinoma and Their Clinical Significance’, The Journal of Laryngology and Otology, Vol. 109, 390-3

Lutan R, 2003, ‘Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring’, Dalam Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI, Bali, 16


(4)

Lutzky VP, Moss DJ, Chin D, et al, 2008, ‘Biomarkers for Cancers of The Head and Neck’, Clinical Medicine : Ear, Nose and Throat : I, 5-15

Marzaini DS, 2002, ‘Perkembangan Radioterapi dalam Penatalaksanaan Kanker Nasofaring’, Dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif, Jakarta, FK-UI, 1-9

McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001, ‘The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma’, Clin Otolaryngol 26, 82-92

Mould RF, Tai THP, 2002, ‘Nasopharyngeal Carcinoma : Treatments and Outcomes in The 20th Century’, The British Journal of Radiology, 75, 307-39

Munir M, 2007, ‘Keganasan di Bidang Telinga Hidung Tenggorok’, Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Edisi Keenam, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta,162-73

Muyassaroh, Samsudin, Soetedjo, 1999, ‘Kelainan Neurologik pada Karsinoma Nasofaring di SMF Kesehatan THT RSUP dr. Kariadi Semarang Tahun 1996-1998’, Kumpulan Naskah Ilmiah Konggres Nasional Perhati, Semarang, 1132-40

Niedobitek G, 2000, ‘Epstein Barr Virus Infection in The Pathogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma’, J Clin Pathol, Vol.53, 248–54

O’Connor AF, 1997, ‘Examination of The Ear’, Dalam Booth JB. Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th Ed, Vol 3, Butterworth-Heinemann International Edition, 3/1/20-1

Punagi AQ, 2007, ‘Ekspresi Vaskular Endothelial Growth Factor Receptor (VEGER Flt-4) dan Latent Membrane Protein (LMP-1) pada Karsinoma

Nasofaring’, Otorhinolaryngologica Indonesia, Vol. 37, No.3-4, 44-9 Richardson CD, 2005, ‘Viruses and Cancer’, Dalam The Basic Science of


(5)

Roezin A, 1995, ‘Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring’, Dalam Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, 274-88

Roezin A, 1996, Faktor Predisposisi Kanker Nasofaring’, Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI, Malang, 833-9

Samsudin, Wiratno, Wiranto B, 1996, ‘Uji Kepekaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus Dibanding Tang Biopsi Untuk Mendiagnosis Karsinoma Nasofaring’, Kumpulan Naskah Ilmiah PIT Perhati, Malang, 897-910

Sihotang ZB, 2007, ‘Ototoksisitas Cisplatin pada Kemoterapi Tumor Ganas Kepala dan Leher di RSUP H. Adam Malik Medan’, Tesis, FK-USU, Medan

Sjarifuddin, Bashiruddin J, Purba D, 2001, ‘Tuli Koklea dan Tuli Retrokoklea’, Dalam Iskandar N, Soepardi EA, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 5, Jakarta, Balai Penerbit FK-UI, 22-7

Soetjipto D, 1993, ‘Karsinoma Nasofaring, Mungkinkah Melakukan Diagnosis Dini?’ Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI, Bukit Tinggi, 284-96

Stach BA, 1998, ‘Clinical Audiology, An Introduction’, San Diego, Singular Publishing Group Inc, 258-70

Sudiana IK, 2005, ‘Teknologi Ilmu Jaringan dan Immunohistokimia’, Sagung Seto, Jakarta, 36-40

Suhartono, Rahaju P, Kentjono WA, 2007, ‘Hubungan antara Ekspresi Latent Membran Protein-1 dengan Peningkatan Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated’, Otorhinolaryngologica Indonesia, Vol. 37, No.3-4, 1-7

Sukardja IDG, 2000, ‘Onkologi Klinik’, Airlangga University Press, Surabaya, 111-2

Thompson LDR, 2005, ‘Nasopharyngeal Carcinoma’, Ear Nose and Throat Journal, 84, 404-5


(6)

Wei WI, Sham JST, 2005, ‘Nasopharyngeal Carcinoma’, The Lancet, Vol. 365, no.9476, 2041-54

Wei WI, 2006, ‘Nasopharyngeal Cancer’, Dalam Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th Edition, Lippincot Williams and

Wilkins, Philadelphia, 1657-71

Zachreni I, 1999, ‘Hubungan Virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring secara Immunohistokimia’, Tesis, FK-USU, Medan

Zahara D, 2007, ‘Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor pada

Karsinoma Nasofaring’, Tesis, FK-USU, Medan

Zakifman A, Harryanto R, 2002, ‘Perkembangan Kemoterapi dalam Penatalaksanaan Kanker Nasofaring’, Dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif, Jakarta, FK-UI, 1-11