Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Ditinjau Dari Perilaku Religius

(1)

PERBERDAAN KESEHATAN MENTAL PADA GAY

DITINJAU DARI PERILAKU RELIGIUS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DERWIN TAMBUNAN

061301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2010


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Ditinjau Dari Perilaku Religius adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Februari 2010


(3)

Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Ditinjau Dari Perilaku Religius Derwin dan Josetta

ABSTRAK

Kesehatan mental pada gay merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan sebab orientasi seksual menjadi homoseksual adalah salah satu faktor risiko untuk menderita gangguan mental. Masalah kesehatan mental ini adalah sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang itu tinggal. Dengan demikian, kaum gay di Indonesia mengalami lebih banyak tekanan, penolakan, stigma dan diharamkan. Selain itu, kultur di Indonesia khususnya di kota Medan yang masih kental dengan penekanan nilai religius menuntut kaum gay di Medan harus memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius dan seberapa besar pengaruh perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 114 orang yang mengidentifikasi diri sebagai gay dan berdomisili di kota Medan. Adapun teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data penelitian ini adalah dengan menggunakan uji parametrik independent t-test.

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan kesehatan mental yang signifikan pada gay ditinjau dari perilaku religius (t = 17.136) dengan signifikansi 0.000. Hal ini berarti bahwa tingkat kesehatan mental pada gay dari kelompok yang berperilaku religius lebih tinggi daripada kelompok gay yang tidak berperilaku religius. Hal ini terbukti dari mean skor skala kesehatan mental dari kedua kelompok. Untuk kelompok gay yang berperilaku religius memiliki

mean skor 231.22, sementara mean skor untuk kelompok gay yang tidak

berperilaku religius adalah 148.59. Dalam penelitian ini juga dapat diketahui efek atau sumbangsih perilaku religius terhadap kesehatan mental. Dari perhitungan secara manual diperoleh nilai r = 0.96, hal ini berarti bahwa 96% perilaku religius berkontribusi terhadap status kesehatan mental pada gay di kota Medan.


(4)

KATA PENGANTAR

Syukurku kepada Allah Bapaku. Syukurku kepada Yesusku untuk anugerahMu & kebenaranMu. Syukurku kepada Allah Roh Kudus untuk kasih setiaMu. PenyertaanMu dalam hidupku memampukanku menyelesaikan karya skripsiku yang sangat sederhana ini. Aku mengasihiMu.

Penghargaanku yang terdalam kepada orang-orang yang Tuhan percayakan mengisi hidupku. Terima kasih kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(k)

2. Bapak Prof. Dr. Chairul, Sp.A (K) sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Kedua Orang tua saya tercinta, Engkaulah Inspirasiku, kekuatanku, membuat aku merasa memiliki dunia ini, sumber semangatku, membuatku optimis menghadapi gelombang hidupku Papa dan Mamaku. Detak jantungmu, aliran darahmu, cucuran keringatmu mengalir dalam jiwaku, dalam pikiranku, dalam emosi dan batinku yang paling dalam.

4. Ibu Josetta M.R.T, M.Si, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih Ibu untuk semua hal yang telah ibu berikan selama membimbing saya menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk saran, komentar, dukungan dan perhatian yang ibu curahkan untuk saya Ibu.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si buat semua kesabaran, bimbingan, motivasi yang dapat menginspirasiku. Terimakasih atas waktu dan kesediaannya untuk memberi


(5)

masukan dan perbaikan yang diberikan tentang skripsi ini.

6. IbuRodiatul Hasanah Siregar, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas dukungannya selama perkuliahan.

7. Kak juli, M.Psi. Terimakasih banyak atas semua pengorbanan dan masukan kakak yang amat sangat berarti buatku kak.

8. Adik-adikku tercinta, sumber bahagiaku, yang selalu mendukungku, mendoakanku. Terima kasih adikku Radot Veryanto Tambunan, buat doamu adekku. Aku bangga padamu

9. Kakak ku Merdi Tambunan, Jenny Tambunan, abangku H. Sitanggang. Terima kasih buat semua doa dan dukungannya

10. Teman-temanku Sondang Sipayung (F.Psi 06), Jerry Nauli Basa (F. Psi 06), Ivi Vanessa (F.Psi 06), Ria Mora, Devi, dan semua orang-orang yang tidak bisa kusebutkan satu persatu.

Medan, Februari 2010


(6)

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Sistematika Penulisan BAB II LANDASAN TEORI

A. Kesehatan Mental

1. Definisi Kesehatan Mental 2. Dimensi Kesehatan Mental

3. Prinsip dalam Kesehatan Mental

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental a. Biologis

1. Otak

2. Sistem endokrin 3. Genetik

4. Sensori

5. Faktor ibu selama masa kehamilan b. Psikologis

1. Pengalaman Awal 2. Proses Pembelajaran 3. Kebutuhan

c. Sosial Budaya d. Lingkungan


(7)

B. Perilaku Religius

1. Definisi Perilaku Religius 2. Jenis-Jenis Perilaku Religius

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Religius 4. Efek / Pengaruh Perilaku Religius

C. Gay

D. Perbedaan Kesehatan Mental pada Gay Ditinjau dari Perilaku Religius E. Hipotesis

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian C. Subjek Penelitian

1. Populasi dan Sampel 2. Metode Pengambilan Sampel 3. Jumlah Sampel Penelitian

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Uji Validitas.

2. Uji Daya Beda Aitem 3. Reliabilitas

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran umum subjek penelitian

B. Hasil penelitian 1. Hasil Uji Asumsi a. Uji Normalitas b.Uji Homogenitas 2. Hasil Utama Penelitian a. Uji Komparasi

b. Pengaruh Perilaku Religius terhadap Kesehatan Mental 3. Hasil Tambahan


(8)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Saran

1. Saran Metodologis 2. Saran Praktis DAFTAR PUSTAKA


(9)

Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Ditinjau Dari Perilaku Religius Derwin dan Josetta

ABSTRAK

Kesehatan mental pada gay merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan sebab orientasi seksual menjadi homoseksual adalah salah satu faktor risiko untuk menderita gangguan mental. Masalah kesehatan mental ini adalah sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang itu tinggal. Dengan demikian, kaum gay di Indonesia mengalami lebih banyak tekanan, penolakan, stigma dan diharamkan. Selain itu, kultur di Indonesia khususnya di kota Medan yang masih kental dengan penekanan nilai religius menuntut kaum gay di Medan harus memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius dan seberapa besar pengaruh perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 114 orang yang mengidentifikasi diri sebagai gay dan berdomisili di kota Medan. Adapun teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data penelitian ini adalah dengan menggunakan uji parametrik independent t-test.

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan kesehatan mental yang signifikan pada gay ditinjau dari perilaku religius (t = 17.136) dengan signifikansi 0.000. Hal ini berarti bahwa tingkat kesehatan mental pada gay dari kelompok yang berperilaku religius lebih tinggi daripada kelompok gay yang tidak berperilaku religius. Hal ini terbukti dari mean skor skala kesehatan mental dari kedua kelompok. Untuk kelompok gay yang berperilaku religius memiliki

mean skor 231.22, sementara mean skor untuk kelompok gay yang tidak

berperilaku religius adalah 148.59. Dalam penelitian ini juga dapat diketahui efek atau sumbangsih perilaku religius terhadap kesehatan mental. Dari perhitungan secara manual diperoleh nilai r = 0.96, hal ini berarti bahwa 96% perilaku religius berkontribusi terhadap status kesehatan mental pada gay di kota Medan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Homoseksual adalah laki-laki dan perempuan yang secara emosional dan seksual tertarik terhadap sesama jenisnya (Barley, 1996; Carroll, 2005; Knox, 1984). Homoseksual terdiri dari gay dan lesbian. Gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki. Lesbian adalah perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan (Masters, Johnson, Kolodny, 1992).

Homoseksualitas bukan hal yang asing dalam kehidupan kita. Homoseksualitas telah ada sejak zaman dahulu kala dan telah tercatat sejak zaman Yunani kuno. Akan tetapi pandangan terhadap homoseksualitas beragam seiring dengan perkembangan zaman (Carroll, 2005; Oetomo, 2003). Dalam peradaban budaya Eropa dan Amerika pandangan terhadap kaum homoseksual lebih dapat diterima. Meski demikian, sikap masyarakat terhadap homoseksualitas tetap membuahkan pendapat dan pandangan yang sedemikian negatifnya, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah melegalkan pernikahan kaum homoseksual, pertentangan terhadap kaum homoseksual tetap kuat (Barker, 2001; Carroll, 2005).

Pada tahun 1973, American Psychiatric Ascociation (APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental (mental disorder) dari Diagnostic

Statistical Manual (DSM) (Barley, 1996; Carroll, 2005; Oetomo, 2003). Meski


(11)

pertentangan yang timbul di masyarakat luas. Homoseksualitas tetap menjadi perdebatan di sepanjang sejarah di seluruh belahan dunia (Brown, 2005; Rofes, 2008; Parker, Roff, Klemmack, Koenig, Baker, & Allman, 2003; Wolkomir, 2006).

Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik kaum gay maupun lesbian membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan adanya anggapan dan harapan dari masyarakat bahwa laki-laki harus menikah dan memberikan anak kepada istri dan keluarga (Oetomo, 2003). Selain itu keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002).

Sikap masyarakat yang sedemikian negatif membuahkan beragam perlakuan yang menyakitkan bagi kaum gay (D’Augelly, 2000; King & McKeown, 2003; Sanua, 1999: Silenzio, 2000; Terence, Bruce, & Georg, 2003). Perlakuan yang diterima oleh kaum gay mulai dari kecaman terhadap kaum gay bahwa mereka harus dibuang dari lingkungan sosial, dilecehkan, dihina, dilabel sebagai orang yang memiliki karakteristik yang negatif, ditolak, diasingkan, dianggap sebagai orang yang “sakit”, dan sumber penyakit terutama penyakit seksual menular seperti HIV (Dohrenwed, 2000; Fernadez, 2009; Warner, McKeown, Griffin, Johnson, Ramsay, Cort & King, 2004; Knox, 1984).

Selain itu kaum gay sering mendapat stigma, diolok-olok, diejek, dan diprasangka hanya karena orientasi seksual mereka (Bybee, Sullivan, Zielonka &


(12)

Moes, 2009; Carles, Gon, Alto, & Jose, 2003; Fish, 2007). Kaum gay sering mendapat siksaan dan kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Pada beberapa kasus kaum gay dianiya, dibantai bahkan dibunuh (Chang, Skinner, & Boehmer, 2001; Jones & Hill, 2005).

Pernyataan di atas terbukti dari hasil penelitian Departement of Health’s

Sexual Orientation and Gender Identity Advisory Group’s Work Programme

(2008), mengatakan bahwa dari 548 kaum gay yang menjadi subjek penelitian mereka, diidentifikasi bahwa 24% mengalami serangan fisik, 68% mengalami serangan verbal, 28% dilecehkan, dan 54% didiskriminasikan dalam kehidupan sosial karena orientasi seksual mereka. Selain itu, penelitian D’Augelli (2000) terhadap 1285 kaum gay ditemukan bahwa 75% dari kaum gay tersebut mengalami ejekan verbal, 27% mengalami kekerasan fisik, 22% diintimidasi, 28% mengalami pelecehan dari teman-teman mereka, dan 25% dipermalukan. Berdasarkan hasil penelitian Herek (dalam Jones & Hill, 2005) yang dilakukan pada 165 mahasiswa di universitas Yale, menemukan bahwa 42% dari kaum gay mengalami siksaan fisik, 27% didiskriminasikan, dan 54% diasingkan dari kelompok mereka.

Perlakuan yang demikian tidak hanya didapatkan dari masyarakat sosial, akan tetapi yang paling menyakitkan adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orangtua, saudara, teman sebaya dan sahabat mereka (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002). Kaum gay memiliki dukungan yang sangat rendah dari keluarga dan teman-teman mereka karena orientasi seksual mereka. Mereka dihujat, diisolasi, dianggap sebagai kutukan Tuhan dan


(13)

“dibuang” dari keluarga mereka (Bates, 2005; Cochran & Susan, 2001; Coker, 2008; Commonwealth of Australia, 2008; Dohrenwed, 2000; Greene, 2003).

Menurut Lewis (2001), perlakuan yang demikian menjadi sumber stress (stressor) bagi kaum gay sehingga mereka mengalami psychological distress yang tinggi. Psychological distress yang tinggi yang dialami oleh kaum gay mengakibatkan mereka memiliki tingkat kesehatan mental yang rendah (Garner, 2008; Jones & Hill, 2002). Menurut D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) memberikan ciri-ciri orang yang sehat mentalnya adalah (1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.

Rendahnya tingkat kesehatan mental yang dimiliki oleh kaum gay dapat dapat diidentifikasi dari beragam masalah psikologis yang mereka alami seperti gangguan kecemasan (anxiety disorder), depresi, gangguan mood (mood

disorder), serangan panik (panic attack), dan memiliki ide dan usaha untuk

melakukan bunuh diri (Boysen., Vogel., Madon., Stephanie & Wester, 2003; Brown, 2005; Meyer, 2003). Penjelasan di atas diperkuat oleh hasil penelitian King (2003), yakni dari 277 subjek penelitiannya yang merupakan kaum gay ditemukan 44% memiliki gangguan kecemasan (anxiety disorder), 25% gangguan


(14)

mood (mood disorder), 35% mengalami depresi, 34 % tidak memiliki harapan (hopelessness), dan 63% memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri dan menyakiti diri sendiri (self harm).

Hasil yang serupa yang ditemukan oleh Bybee, Sullivan, Zielonka, Erich, dan Moes (2009), bahwa dari 881 kaum gay di California yang menjadi subjek penelitiannya, sekitar 26% mengalami depresi, 54% mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), 48% memiliki ide dan usaha untuk melakukan tindakan bunuh diri, 25% marah pada diri sendiri, 36% memiliki perasaan malu pada diri sendiri, 54% mengalami ketidakstabilan emosional, 65% memiliki harga diri yang rendah, dan 23% memiliki rasa bersalah yang berlebihan pada diri mereka.

Warner, dkk (2004) menambahkan bahwa dari 1825 gay yang menjadi subjek penelitiannya sekitar 43% mengalami gangguan mental dan 31% mencoba melakukan usaha bunuh diri. Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa kaum

gay juga memiliki harga diri yang negatif, merasa malu dengan diri sendiri,

memiliki gangguan emosional, ketidakstabilan emosional, dan tidak responsif secara emosional, hal ini bermuara kepada rendahnya tingkat kesehatan mental mereka.

Selain itu menurut Bagley & Temblay (2000), bahwa kaum gay memiliki kecenderungan 4,5 kali lebih besar dari kaum heteroseksual untuk melakukan percobaan bunuh diri. Hasil penelitian survey yang dilakukan oleh Gay and


(15)

lebih dari 54% dari subjek penelitiannya pernah melakukan percobaan bunuh diri dan sekitar 67% memiliki ide untuk melakukan tindakan bunuh diri.

National Alliance on Mental Illness (NAMI) (2009) juga menambahkan

bahwa kaum gay memiliki tingkat gangguan kesehatan mental yang tinggi seperti gangguan kecemasan menyeluruh (generalized anxiety disorder), serangan panik (panic attack) dan gangguan kepribadian (personality disorder). Kitts (2005), berpendapat bahwa kaum gay memiliki perasaan tidak berharga, takut dengan masa depannya, tidak puas dengan dirinya, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri dan jijik terhadap diri sendiri. Menurut Jones dan Hill (2005), hal ini disebabkan karena kaum gay tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa karena dan tidak dapat mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya sebagai

gay karena pertentangan yang kuat yang mereka dapatkan dari masyarakat.

Karena penolakan masyarakat yang sedemikian negatif, maka terkadang kaum gay berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran dengan perempuan. Akan tetapi, justru hal ini menjadi sumber yang dapat memperburuk kesehatan mental mereka, kerena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati kehidupan dan keadaan diri mereka (Gilbert, 2008; Haque, 2004; Johnson & Johnson, 2002; Siker, 2009).

Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa yang paling meyakitkan bagi kaum gay adalah ketika mereka mendapat penolakan dari orang tua, keluarga, dan teman-teman mereka sehingga kaum gay sering merasa kesepian, merasa terisolasi dan merasa terasing (Griffith & Hebl, 2002; Balsam & Beauchaine, 2005; Arenofsky, 2000; Atri & Shama, 2006). Pengisolasian diri


(16)

yang dilakukan oleh kaum gay juga menjadikan mereka merasa berbeda dengan teman-teman sebayanya dan merasa bahwa mereka tidak merupakan anggota suatu masyarakat atau komunitas tertentu, sehingga kaum gay memiliki perasaan komunitas (sense of community) yang rendah. Andeson (dalam Jones & Hill, 2005) mengatakan bahwa perasaan memiliki komunitas dengan orang lain adalah hal yang vital dalam perkembangan mental yang sehat bagi seseorang. Perasaan terisolasi ini dapat menghancurkan atau menurunkan harga diri dan konsep diri yang negatif, sehingga kaum gay memiliki kesehatan mental yang rendah (Higgins, 2006; Jorm, 2002; Meyer, 2003; Russer & Joyner, 2001).

Institut Hetrick-Martin (dalam Jones & Hill, 2005) mengestimasi bahwa 25% remaja diusir oleh orang tua mereka dari rumah setelah mengetahui bahwa anak mereka adalah gay, itulah sebabnya mengapa banyak kaum gay menjadi tunawisma. Di Los Angeles, sekitar 18% dari tunawisma adalah kaum gay, lesbian, dan biseksual (Robins, 2001). Sementara menurut Allen (2009), bahwa memahami kesehatan mental kaum gay tidak terlepas dari pemahaman kita akan pemisahan kaum gay dari struktur sosial (keluarga dan teman sebaya), norma dan institusi.

Kehidupan gay dalam lingkungan keluarga penting dalam melihat kesehatan mentalnya. Namun pada kenyataannya kaum gay yang membeberkan dirinya sebagai gay kepada orang tua dan teman-teman cenderung menerima perlakuan yang buruk (L.A. Gay & Lesbian Center, 2000). Sekitar 46% dari mereka kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari mereka mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah


(17)

setelah mereka membeberkan orientasi seksual mereka sebagai gay (D’Augelli, 2000).

Penerimaan orang tua dan teman-teman sebaya akan orientasi seksual kaum gay adalah hal yang penting dalam perkembangan kesehatan mental mereka (Cramer & Roach, 1998; Paul, Catania, Pollack, Moskowitz, Canchola, Mills, Binson, & Stall, 2002). Namun sayangnya lebih dari 42% dari orangtua kaum gay menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anak mereka setelah mereka memberitahukan kepada orang tua mereka orientasi seksual mereka (Jorm, Rodgers, & Christensen, 2002; NAMI, 2009).

Pace (2005) yang selanjutnya diklarifikasi oleh Gay and Lesbian Equality

Network (GLEN) (2009) mengatakan bahwa kaum gay yang diterima oleh orang

tuanya dan teman-temannya memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik daripada kaum gay yang ditolak oleh orang tua dan teman-teman mereka. Menurut D’Augelli (dalam Jones & Hill, 2005) hubungan antara orangtua dan anak, dimana orang tua yang menolak anak mereka karena orientasi seksual mereka menjadi sumber stres besar bagi kaum gay yang bermuara pada rendahnya kesehatan mental mereka.

Kondisi yang demikian mendorong kaum gay bergabung atau melakukan suatu perkumpulan dalam sebuah komunitas gay dan lesbian, supaya mereka mendapat dukungan emosional dan penerimaan dari orang lain. Meski komunitas yang mereka miliki dapat menerima mereka apa adanya dan mereka berkumpul dalam suatu komunitas yang kohesif, namun menurut Bancroft (2002) kondisi yang demikian tidak dapat menyelesaikan perasaan terisolasi mereka. Justru


(18)

tindakan itu mengakibatkan kaum gay semakin merasa terpisah (terisolasi), merasa berbeda dengan lingkungan sosial dan teman-teman mereka yang lain, dan merasa rendah diri terhadap kaum heteroseksual (Warner, 2004).

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum kaum gay memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah daripada kaum heteroseksual (King, McKeown, Waner, Ramsay, Johnson, Cort, Wright, Blizard, & Davidson, 2003). Grene (2003) juga mengetengahkan bahwa kaum gay memiliki gangguan psikologis yang lebih tinggi daripada kaum heteroseksual. Senada dengan pernyataan di atas, NAMI (2009) mengatakan bahwa kondisi orientasi homoseksual merupakan faktor risiko menderita gangguan mental dan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang rendah. Allen (2009) juga menambahkan bahwa kaum gay 2,5 kali lebih besar daripada kaum

gay heterosekual untuk mengalami gangguan mental (mental disorder) dan

orientasi seksual berkorelasi positif dengan psikopatologi (NHS, Department of

Health, 2008).

Rendahnya tingkat kesehatan mental yang diindikasikan oleh depresi, gangguan kecemasan, gangguan mood, rendah diri, emosi yang negatif, perasaan tidak berharga, ketidakstabilan emosional, merasa malu dengan diri sendiri, dan ketidakpuasan dalam hidup menuntut kaum gay melakukan usaha untuk mengurangi ketegangan psikologis tersebut. Saroglou (2003) mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari perlindungan diri dari

psychological distress yang mereka alami. Adapun bentuk mekanisme coping


(19)

yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius (Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou, & Kazis, 2003; McQeeney, 2009; Meyer, 2003).

Perilaku religius menuntun kaum gay untuk semakin menghayati religiusitas mereka dan dapat mengambil makna dari kondisi homoseksualitas mereka sehingga dapat melindungi mereka dari gangguan depresi, gangguan kecemasan (anxiety disorder), dan dengan sukses dapat mengatasi konflik emosional yang mereka hadapi (Heiler, 2000; Jones, 2009; Pajevic, Sinavovic, & Hasanovic, 2005; Pieper & Uden, 2006).

Perilaku religius yang dimiliki oleh gay mengarahkan mereka untuk mampu mengatasi masalah psychological distress yang mereka alami, sehingga kehidupan mereka lebih bahagia, memberikan harapan bahwa hidup mereka berharga, memiliki harga diri yang positif, merasa nyaman dengan dirinya, dapat menerima kelemahan dirinya, optimis akan kehidupannya, bebas dari rasa cemas, rasa bersalah, tingkat depresi yang rendah dan tingkat stres yang rendah. Sementara menurut Almeida, dkk (2006) bahwa perilaku religius dapat membantu mengatasi frustrasi, rasa rendah diri (inferior), kemarahan pada diri sendiri, perasaan terisolasi, mengurangi ketegangan psikologis, menghilangkan perasaan bersalah terhadap diri sendiri, menstabilkan emosi, meningkatkan pemahaman diri, dan dapat membantu mengatasi stress. Dengan demikian, perilaku religius berfungsi memperbaiki kesehatan mental mereka (Almeida, dkk, 2006; Barbara, 2004; Stark., Iannaccone., & Finke., 2000; Wolkomir, 2006)

McQueeney (2009) melakukan penelitian kualitatif terhadap 25 orang gay dan lesbian di Amerika Serikat dan kesimpulannya adalah para kaum gay dan


(20)

lesbian ini justru semakin meningkatkan perilaku religius mereka seperti menghadiri ibadah di gereja, penelaahan Alkitab (Bible studies), persekutuan yang suci (holy unions), berdoa dan mengikuti ritual-ritual keagamaan. Perilaku religius yang mereka miliki mengarahkan mereka untuk dapat mengambil makna dari kondisi homoseksual mereka sehingga mereka menjadi lebih bahagia, percaya diri dan menerima keadaan diri mereka sendiri serta dapat mengambil makna dari perlakuan masyarakat yang negatif terhadap mereka (McQueeney, 2009).

Loewenthal (2009) berpendapat bahwa perilaku religius dapat merubah kognitif seseorang untuk lebih konstruktif sehingga dapat mengatasi konflik psikologis yang mereka alami. Sebagai hasilnya adalah mereka merasa lebih bahagia dan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. Kesimpulannya adalah perilaku religius dapat meningkatkan atau memperbaiki kesehatan mental seseorang (Bergin, Allen, Masters, Kevin, Richards, 1987; Craigie, Greenwold, Larson, Sherrill, Larson, Lyons, Thielman, 1992)

Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah

psychological distress yang mereka alami adalah dengan menjauhkan diri dari

hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan beragama dan menghindari diri untuk berperilaku religius (Wolkomir, 2006). Dengan demikian, kaum gay menghindari melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak berperilaku religius (Barbara, 2005; Wolkomir, 2006).

Secara umum Ellison (2008) mengatakan bahwa individu yang jauh dari kehidupan beragama seperti jarangnya melakukan ritual agama dan ajaran agama


(21)

merupakan faktor risiko untuk mengalami gangguan mental. Kondisi yang demikian semakin menjadikan seseorang tidak memiliki arah dan orientasi hidup yang jelas, dan cenderung memiliki konstruksi kognitif yang negatif (Francis, 2008). Individu yang menjauhkan diri dari perilaku religius tidak dapat mengambil makna dan nilai dari kehidupan dan penderitan yang mereka alami (Pieper & Uden, 2006).

Mitchel dan Weatherly (2004) berpendapat bahwa individu yang menjauhkan diri dari ajaran agama seperti jarang berdoa dan beribadah akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mengalami depresi, gangguan kecemasan (anxiety disorder), rendah diri, dilema dalam menghadapi kehidupannya, dan menimbulkan perasaan bersalah. Kondisi yang demikian akan semakin memperburuk kesehatan mental individu tersebut (Pajevic, Sinavovic, & Hasanovic, 2005).

Selain itu, MacDonald (2008) berpendapat bahwa individu yang tidak berperilaku religius memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami konflik dalam dirinya, mengalami ketegangan psikologis, merasa gagal dalam hidupnya, merasa tidak bahagia, dan tidak puas dengan kehidupannya. Kondisi yang seperti ini akan memperburuk tingkat kesehatan mental mereka (Bertrand, & Choulamany, 2002; Fredrickson, 2005).

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000 terhadap 1760 subjek penelitiannya, menyimpulkan bahwa orang yang berperilaku religius memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi daripada orang yang tidak berperilaku religius. Individu yang berperilaku religius memiliki harga diri


(22)

yang positif, pengalaman hidup yang lebih bahagia, kondisi emosi yang positif, dan tingkat distress yang rendah. Sementara individu yang tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi berdoa yang jarang mengalami kecemasan yang lebih tinggi, harga diri yang negatif, kondisi affect yang negatif dan menilai hidup mereka secara negatif (Argyle, 2000).

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku religius dapat memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mental seseorang dan individu yang tidak berperilaku religius memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah dan memiliki gangguan mental. Notosoedirjo dan Latipun (2005) mengatakan bahwa kesehatan mental individu dipengaruhi oleh budaya dimana seseorang tersebut tinggal. Indonesia adalah masyarakat yang memiliki nilai budaya yang kental dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya timur sehingga kaum gay di Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat, hal ini terjadi karena budaya Indonesia sangat menolak homoseksualitas dan hanya mengakui hubungan heteroseksual.

Selain itu, kaum gay di Indonesia tidak berani mengungkapkan orientasi seksual mereka sehingga mereka tidak menemukan lingkungan yang dapat menerima keberadaan mereka (Boellstorf, 2005). Budaya Indonesia yang kental dengan penekanan nilai religius menuntut kaum gay di Indonesia untuk tetap memeluk agama sehingga kondisi kesehatan mental pada gay di Indonesia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh konteks budaya yang dalam hal ini nilai-nilai religius (Boellstorf, 2005).


(23)

Oetomo (2003) juga menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bersikap lebih negatif terhadap kaum gay daripada masyarakat Eropa dan Amerika, sehingga kaum gay di Indonesia lebih banyak mendapat penolakan, lebih terstigma, lebih banyak mendapat tekanan sosial, kecaman, mendapat banyak pelecehan, diharamkan dan dikutuk (Oetomo, 2003).

Dari dua fenomena tersebut yakni konteks budaya Indonesia yang menekankan nilai-nilai religius serta respon masyarakat Indonesia mendasari peneliti untuk meneliti bagaimana perbedaan kesehatan mental pada gay di Indonesia khususnya di kota Medan dilihat dari perilaku religius mereka. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti “Perbedaan Kesehatan Mental pada gay Ditinjau dari Perilaku Religius”.

B. RUMUSAN MASALAH

Secara terperinci, rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan melalui pertanyaan:

1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kesehatan mental pada gay di kota Medan ditinjau dari perilaku religius?

2. Bagaimana signifikansi pengaruh atau efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay di kota Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius.


(24)

Data yang diperoleh nantinya akan digunakan dan diolah untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan dalam bidang psikologi klinis, khususnya mengenai perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi berupa data mengenai kondisi kesehatan mental pada gay bagi praktisi kesehatan mental (psikolog dan psikiater), pekerja sosial, organisasi LSM, akademisi dan pihak-pihak tertentu.

b. Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat memprovokasi para akademisi lainnya untuk lebih lanjut meneliti kesehatan mental pada gay dalam skala yang lebih luas.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah: Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori


(25)

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan kesehatan mental dan perilaku religius.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI A. KESEHATAN MENTAL

1. Definisi Kesehatan Mental

Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara positif.

1. Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental

Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the


(27)

dikemukakan oleh Kazdin yang menyatakan kesehatan mental ”as a state in which

there is an absence of dysfunction in psychological, emotional, behavioral, and sosial spheres”.

Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal ytang dapat dibedakan kelompok-kelompoknya. Sehat dengan pengertian ”terbebas dari gangguan”, berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu diangganb tidak sehat.

2. Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya stressor

Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat

stressor (sumber stres). Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami

tekanan-tekanan maka menurut pengertian ini adalah orang yang sehat. Pengertian ini sangat menekankan pada kemampuan individual merespon lingkungannya.

3. Sehat mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya

Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan. Seseorang yang


(28)

sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnya diri sendiri, dan hidup tepat yang selaras dengan lingkungannya.

4. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif

Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) merumuskan pengertian kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat kesehatan mental secara ”positif”. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.

Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005), merangkum pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan tiga ciri pokok mental yang sehat:

(a) Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif menerima begitu saja kondisi sosialnya. (b) Seseorang menunjukkan kutuhan kepribadiaanya – mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang diperoleh sebagai akibat dari pengaturan yang aktif. (c) Seseorang mempersepsikan “dunia” dan dirinya dengan benar, independent dalam hal kebutuhan pribadi.

Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health) merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai berikut. (1) Kesehatan mental sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik


(29)

secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain. (2) Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang lain. Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara optimal.

Dengan demikian, pengertian kesehatan mental beragam, namun demikian merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif adalah bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita. Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.

Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik. 2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.

Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.


(30)

3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.

Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan kesehatan mentalnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah Suatu kondisi dimana kepribadian, emosional, intelektual dan fisik seseorang tersebut dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan stressor, menjalankan kapasitasnya selaras dengan lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri, menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam budayanya, terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

2. Dimensi Kesehatan Mental

Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005) menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang menyebutnya dengan manifestation of psychological health. Maslow menyebut kondisi yang sehat secara psikologis itu dengan istilah self actualization sekaligus sebagai puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan yang disusunya. Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan


(31)

Mittlemenn tercermin dari kesebelas dimensi kesehatan mental yakni adalah sebagai berikut:

1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa

aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.

2. Adequate self evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai),

yang mencakup (a) Memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai yang sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan prestasinya, (b) Memiliki perasaan berguna akan diri sendiri, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.

3. Adequate spontaneity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan

yang memadai dengan orang lain), hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, mampu mengekspresikan ketidaksukaan / ketidaksetujuan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi perasaan kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Ketika seseorang tidak senang pada suatu saat, maka dia harus memiliki alasan yang tepat mengapa dia tidak senang.

4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efesien dengan realitas)

kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri dan internal. Hal ini ditandai (a) Tiadanya fantasi (khayalan dan


(32)

angan-angan) yang berlebihan, (b) Mempunyai pandangan yang realistis dan luas terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan, dan (c) Kemampuan untuk merubah diri sendiri jika situasi eksternal (lingkungan) tidak dapat dimodifikasi (dirubah) dan dapat bekerjasama tanpa merasa tertekan (cooperation with the

inevitable)

5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan

jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (a) Suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima fungsi jasmani tetapi bukan dikuasai oleh fungsi jasmani tersebut, (b) Kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan, (c) Kehidupan seksual yang wajar dan keinginan yang sehat untuk memuaskannya tanpa rasa takut dan konflik, (d) Kemampuan bekerja, (e) Tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas.

6. Adequate self knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar).

Termasuk di dalamnya (a) Cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompetensi, pembelaan, dan perasaan rendah diri, (b) Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri baik kelebihan maupun kekurangan, (c)Mampu menilai diri secara jujur (jujur pada diri sendiri), mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan mengakui serta


(33)

menerima sejumlah hasrat atau pikiran meskipun beberapa diantara hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima.

7. Integration and consistency of personality (kepribadian yang utuh dan

konsisten). Ini bermakna (a) Cukup baik perkembangan diri dan kepribadiannya, kepandaiannya, dan berminat dalam beberapa aktivitas, (b) Memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan pandangan kelompok, (c) Mampu untuk berkonsentrasi, dan (d) Tiadanya konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap kepribadiannya.

8. Adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a)

Memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan dirinya sendiri dan dapat dicapai, (b) Mempunyai usaha yang tekun dalam mencapai tujuan tersebut, dan (c) Tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

9. Ability to learn from experience (kemampuan belajar dari pengalaman).

Kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Bertambahnya pengetahuan, kemahiran dan keterampilan mengerjakan sesuatu berdasarkan hasil pembelajaran dari pengalamannya. Selain itu, juga termasuk didalamnya kemampuan untuk belajar secara spontan.

10. Ability to satisfy to requirements of the group (kemampuan memuaskan

tuntutan kelompok). Individu harus: (a) Dapat memenuhi tuntutan kelompok dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang lain tanpa harus kehilangan identitas pribadi dan diri sendiri, (b) Dapat menerima norma-norma yang berlaku dalam kelompoknya, (c) Mampu menghambat dorongan


(34)

dan hasrat diri sendiri yang dilarang oleh kelompoknya, (d) Mau berusaha untuk memenuhi tuntutan dan harapan kelompoknya: ambisi, ketepatan, persahabatan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan, serta (e) Berminat untuk melakukan aktivitas atau kegiatan yang disenangi oleh kelompoknya.

11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi

yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup: (a) Kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik dan yang lain adalah buruk berdasarkan penilaian diri sendiri tanpa terlalu dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan dan budaya serta kelompok, (b) Dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok, (c) Tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok, dan (d) Mampu menghargai perbedaan budaya.

Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi sepenuhnya) sebagi bentuk kondisi mental yang sehat (Pieper & Uden, 2006). Secara singkat fully functioning person ditandai (1) Terbuka terhadap pengalaman; (2) Ada kehidupan pada dirinya; (3) Kepercayaan kepada organismenya; (4) Kebebasan berpengalaman; dan (5) Kreativitas.

Golden Allport (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) menyebut mental yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming. Orang yang matang jika: (1) Memiliki kepekaan pada diri secara luas, (2) Hangat dalam berhubungan dengan orang lain, (3) Keamanan emosional atau penerimaan


(35)

diri, (4) Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan, (5) Mampu menilai diri secara objektif dan memahami humor, dan (6) Menyatunya filosofi hidup.

D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah sebagai berikut: (1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.

3. Prinsip dalam Kesehatan Mental

Menurut Schbeiders (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) ada lima belas prinsip yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

2. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:

a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme.

b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusai harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, religius, emosional dan sosial.


(36)

c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku.

d. Dalam pencapaian khususnya dalam memelihara kesehatan dan penyesuaian kesehatan mental, memperluas tentang pengetahuan diri sendiri merupakan suatu keharusan

e. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi: peneeimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya sendiri.

f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai.

g. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan terus menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu: hukum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.

h. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.

i. Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian.


(37)

j. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku.

k. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangan yang ditimbulkannya.

3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:

l. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya didalam kehidupan keluarga.

m. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasa kerja.

n. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.

4. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: o. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas

realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental.

p. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.


(38)

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental yakni sebagai berikut:

e. Biologis

Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberikan kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan kontribusi sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan manusia, khususnya disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi biologs ini.

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut, khususnya beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu selama kehamilain.

1. Otak

Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsi yang sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan otak manusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika didipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan


(39)

mental. Funsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi berhubungan dengan mentalitas manusia.

2. Sistem endokrin

Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering bekerja sama dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama memberikan fungsi yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai bagian-bagian tubuh. Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya sistem syaraf menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem endokrin berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon.

Tiap kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara langsung ke dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini ke seluruh bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan mental seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak buruk pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar adrenalin berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya “mood” dan perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.

3. Genetik

Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu schizophrenia dan manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis dari orangtuanya. Gangguan lainnya yang diperkirakan sebagai faktor genetik adalah ketergantungan alkohol, obat-obatan, Alzeimer syndrome, phenylketunurine, dan huntington syndrome. Gangguan mental juga terjadi


(40)

karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan individu mengalami gangguan mental.

4. Sensori

Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan alat yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk: pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman. Terganggunya fungsi sensori individu menyebabkan terganggunya fungsi kognisi dan emosi individu. Seseorang yang mengalami gangguan pendenganran misalnya, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan emosi sehingga cenderung menjadi orang yang paranoid, yakni terganggunya afeksi yang ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan kepada orang lain yang sebenarnya kecurigaan itu adalah salah.

5. Faktor ibu selama masa kehamilan

Faktor ibu selama masa kehamilan secara bermakna mempengaruhi kesehatan mental anak. Selama berada dalam kandungan, kesehatan janin ditentukan oleh kondisi ibu. Faktor-faktor ibu yang turut mempengaruhi kesehatan mental anaknya adalah: usia, nutrisi, obat-obatan, radiasi, penyakit yang diderita, stress dan komplikasi.

f. Psikologis

Notosoedirjo dan latipun (2005), mengatakan bahwa aspek psikis manusia merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem biologis. Sebagai subsistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan


(41)

aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek yang lain dalam kehidupan manusia.

1. Pengalaman Awal

Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman yang terjadi pada individu terutama yang terjadi pada masa lalunya. Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian penting bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.

2. Proses Pembelajaran

Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar, yaitu hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara langsung sejak pada masa bayi terhadap lingkungannya. Karena itu faktor lingkungan sangat menentukan mentalitas individu.

3. Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan, bakat, keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa yang disebut dengan tingkat pengalaman puncak (peack experience). Maslow mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengenali dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari gangguan mental individu.


(42)

g. Sosial Budaya

Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental. Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Stratifikasi sosial

Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu. Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami gangguan mental.

2. Interaksi sosial

Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial ini dengan gangguan mental. Pertama teori psikodinamik mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan emosional dapat berakibat kepada pengurangan interaksi sosial, hal ini dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa rendahnya interaksi sosial itulah yang menimbulkan adanya gangguan mental.


(43)

3. Keluarga

Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluaganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional para anggotanya.

4. Perubahan sosial

Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat menimbulkan kepuasan bagi masyarakat karena sesuai dengan yang diharapkan dan dapat meningkatkan keutuhan masyarakat dan hal ini sekaligus meningkatkan kesehatan mental mereka. Namun, di sisi lain dapat pula berakibat pada masyarakat mengalami kegagalan dalam penyesuaian terhadap perubahan itu, akibatnya mereka memanifestasikan kegagalan penyesuaian itu dalam bentuk yang patologis, misalnya tidak terpenuhinya tuntutan politik, suatu kelompok masyarakat melakukan tindakan pengrusakan dan penjarahan.

5. Sosial budaya

Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalam konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan religiusitas dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan yang ada di masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya


(44)

melakukan sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang berperan sakit, kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan yang sangat spesifik ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya gangguan mentalnya.

Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap anggota masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan dan meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai atau budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan dapat menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan kesehatan mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung dan menghambat kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental dalam telaah budaya.

6. Stessor Psikososial lainnya

Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadi sebagai masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu dapat berfungsi sebagai stressor sosial kontribusi ini terhadap kesehatan mental bisa kuat atau lemah. Stressor psikososial secara umum dapat menimbulkan efek negatif bagi individu yang mengalaminya. Manum demikian tentang variasi stressor psikososial


(45)

ini berbeda untuk setiap masyarakat, bergantung kepada kondisi sosial masyarakatnya.

h. Lingkungan

Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan dengan kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mentalnya.

B. PERILAKU RELIGIUS 1. Definisi Perilaku Religius

Steadmen, Palmer, dan Ellsworth (dalam Feierman, 2009) mendefinisikan perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari

religiusitas seseorang yang tercakup didalamnya pelaksanan ritual agama,

pelaksanaan ibadah, dan berdoa. Sementara menurut Argyle (2000), bahwa

perilaku religius adalah perilaku yang menunjukkan seberapa sering seseorang

datang beribadah ke gereja (frekwensi menghadiri gereja), berdoa, dan derajat

keterlibatan seseorang dalam menghadiri kegiatan keagamaan.

Feierman (2009) mengatakan bahwa perilaku religius mencerminkan keyakinan terhadap agama yang ditampilkan atau didemonstrasikan dalam bentuk

perilaku. Sias (2006) berpendapat bahwa perilaku religius adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya yang dapat dilihat dari frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Koenig (2009) memberikan batasan terhadap perilaku religius sebagai tingkatan sejauh mana


(46)

seseorang mengerjakan kewajiban dan ritual di dalam kehidupan beragamanya. Religius dapat dilihat dari frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Misalnya setiap hari minggu ke gereja, berdoa, sembayang, dan puasa.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari religiusitas dan keyakinan terhadap agama yang dapat diindikasikan dari tingkatan seberapa sering (frekwensi) seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya, frekwensi melakukan ibadah (sembayang), pelaksanaan ritual agama, berdoa, melaksanakan praktik religius seperti ke gereja, ke mesjid, berpuasa, dan shalat lima waktu.

2. Jenis-Jenis Perilaku Religius

Menurut Loewenthal (2009), ada 4 jenis perilaku religius yang merupakan cerminan dari religiusitas individu yaitu:

a. Berdoa (Prayer)

Berdoa adalah esensi (inti) atau pusat dari perilaku religius, merupakan pusat dari kehidupan beragama dan merupakan bukti kuat yang mengindikasikan keyakinan terhadap Tuhan. Berdoa juga merupakan bukti kualitas hidup beragama yang memasuki alam jiwa manusia yang paling dalam sehingga merupakan dasar dari kehidupan beragama yang dapat mempengaruhi kerangkan pikiran dan psikologis manusia. Tanpa adanya kegiatan berdoa, maka eksistensi agama tidak akan pernah ada (Lowenthal, 2009). Heiler (dalam Lowenthal, 2009) mengatakan bahwa berdoa aspek yang paling penting dalam perilaku religius dan paling berpengaruh terhadap psikologis manusia.


(47)

Lowenthal (2009) mendefinisikan berdoa adalah permohonan hikmat dan ucapan syukur kepada Tuhan atau objek yang disembah. Doa juga merupakan karakteristik dasar kehidupan yang religius yang merupakan pusat dari kehidupan beragama dibanding dengan perilaku religius lainnya.

Beberapa ajaran agama mengharuskan bahwa berdoa harus dilakukan secara teratur dan terus menerus. Jansen, de Hart, dan den Draak (dalam Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa doa adalah pelaksanaan kewajiban agama yang dilakukan secara perorangan. Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam berdoa tergantung pada situasi dan tujuan dari berdoa tersebut. Magee (dalam dalam Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa dalam berdoa terdiri dari penyembahan yang didalamnya juga termasuk pujian kepada Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan pengakuan atas dosa dan kekurangan yang membutuhkan pertolongan dari Tuhan.

Menurut Stouffer (dalam Loewenthal, 2009) bahwa doa memberikan keuntungan secara psikologis terhadap seseorang tersebut dan merupakan metode koping stress. Sementara Cinnirella dan Loewenthal (1999) berpendapat bahwa berdoa sangat membantu seseorang mengatasi masalah hidup dan badai hidupnya. Menurut Loewenthal (2009) ada empat fitur dalam berdoa yaitu:

1. Bevioral Features

Berdoa terlihat dari perilaku seperti menghadap ke arah tertentu, berdiri, duduk, berlutut, atau bentuk lain dari gerakan yang digunakan dalam berdoa seperti menari.


(48)

2. Linguistic Features

Seseorang yang bedoa dengan menggunakan bahasa, berkata-kata (verbal

prayer). Bahasa yang digunakan bisa saja diungkapkan denga suara yang keras,

diam, atau berdoa di dalam hati (contemplative prayer).

3. Cognitive Features

Berdoa dilakukan dengan penuh dengan tujuan dan pemaknaan terhadap doa yang diungkapkan oleh seseorang tersebut.

4. Emotional Features

Berdoa pada dasarnya diiringi oleh perasaan kedekatan dengan Tuhan, dan disertai dengan perasaan nyaman dan tenteram.

a.1. Tipe-tipe doa

Menurut Loewenthal (2009) ada lima tipe berdoa, yakni sebagai berikut: Petitionary prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang dengan

menangis memohon pertolongan dari Tuhan.

Intercessory prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang memohon

pertolongan dari Tuhan untuk orang lain.

Thanksgiving: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengucap syukur

dan berterima kasih atas berkat dan pemberian Tuhan

Adoration: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengekspresikan

rasa hormat kepada Tuhan, kekaguman kepada Tuhan, dan puji-pujian kepada Tuhan.


(49)

Confession, dedication, communion: adalah tipe dari berdoa dimana

seseorang berdoa supaya Tuhan membenarkan dirinya, mengaku dosa dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.

Objective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyembahan,

mengagungkan, dan memuliakan Tuhan.

Subjective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyerahan diri

dan memasrahkan diri pada kuasa Tuhan, berdoa yang fokus pada pergumulan atau permasalahan hidup, rintangan hidup dan permohonan supaya Tuhan memimpin hidupnya.

Less mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang

mengharapkan bahwa Tuhan akan menjawab doa mereka (petitionary

prayer)

More mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang

berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Tuhan.

b. Ritual

Paloutzian dan Park (2009), mengatakan bahwa pelaksanan ritual agama adalah salah satu hal yang mendasar dalam kehidupan beragama seseorang. Pelaksanaan ritual agama adalah merupakan cerminan dari keyakinan seseorang akan ajaran agama. Ritual adalah secara fundamental merupakan pola perilaku, dimana perilaku terstruktur yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dengan orang lain, yang dilakukan secara berulang dan bertujuan. Menurut Paloutzian dan Park (2009), pelaksanaan ritual agama berbeda antara


(50)

agama yang satu dengan yang lainnya. Perilaku religius yang tercakup dalam ritual agama adalah pelaksanaan seremonial agama.

c. Praktik Religius

Menurut James (dalam Paloutzian & Park, 2009) praktik religius mencakup membaca kitab suci, ibadah dan berpuasa. Berikut ini akan dijelaskan ketiga jenis praktik religius tersebut:

c.1 ibadah (sembayang)

Ibadah atau sembayang adalah praktik religius yang dilakukan oleh seseorang baik secara individu atau dalam suatu kelompok atau grup tertentu (melibatkan banyak orang) sehingga membentuk suatu komunitas ibadah tertentu. Dalam pelaksanaan ibadah atau sembayang ini dapat dilakukan di gereja, di tempat-tempat ibadah tertentu, di rumah-rumah atau dengan menonton ritual keagamaan melalui media elektronik seperti televisi dan radio.

c.2. Membaca Kitab Suci

Membaca kitab suci adalah pelaksanaan praktik keagamaan dimana individu komitmen untuk membaca untuk memahami ajaran agama yang dianutnya sebagimana tercantum dalam kitab suci mereka.

c.3. Puasa

Puasa adalah salah satu jenis praktik religius, dimana individu yang menganut agamanya memberhentikan diri dari aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, melakukan hubungan intim, dan dari perilaku duniawi lainnya yang dilakukan dalam waktu temporal. Ketentuan dalam pelaksanaan puasa ini tergantung dari ajaran agama yang mereka anut.


(51)

Bergar (dalam Paloutzian & Park, 2009) berpendapat bahwa dalam melakukan praktik religius seseorang mendapatkan penguat (reinforcement) sebab dalam melakukan praktik religius ini seseorang akan mendapatkan dampak psikologis secara positif yaitu mereka dapat mengurangi stress dan kecemasan mereka selain itu menurut Bergar seseorang yang melakukan praktik religius dapat melihat makna dalam hidup mereka sehingga mereka dapat menilai kehidupan mereka secara lebih positif.

d. Social Behavior, Group and Norms

Perilaku religius seseorang tercermin dari bagaimana dia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku religius haruslah diwujudkan dalam suatu perkumpulan yang dinamakan kelompok religius. Sehingga kelompok religius ini adalah identitas sosial dari seseorang dalam mendefinisikan dirinya sebagai umat beragama (Loewenthal, 2009). Dalam konteks perilaku sosial yang religius haruslah sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi budaya setempat. Menurut Loewenthal (2009) yang termasuk dalam perilaku sosial sehubungan dengan perilaku religius adalah:

1. Mengikuti aktivitas keagamaan dalam mengambil bagian dalam pelayanan kegiatan kerohanian, seperti pelayanan di tempat ibadah atau organisasi sosial kerohanian.

2. Berperan serta dalam misi pelayanan kerohanian dalam pemberitaan dan penyiaran ajaran agama.


(52)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku religius

Paloutzian (2009), mengatakan bahwa perilaku religius terbentuk dalam diri manusia sejak masa kanank-kanak melalui suatu proses dan dinamika. Sementara Nelson (2009), berpendapat bahwa terbentuk dan berkembangnya perilaku religius manusia adalah didasari akan pemahaman diri dan Tuhan, Piaget (dalam Loewenthal, 2008) meyakini bahwa berkembangnya perilaku religius dimukai sejak masa kanak-kanak seiring dengan berkembangnya kemampuan kognitifnya. Menurut Argyle (2000) ada beberapa faktor yang mempengatuhi perilaku religius seseorang, yakni sebagai berikut:

a. Kebudayaan

Budaya merupakan kompleks keseluruhan dimana termasuk di dalamnya pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan lain apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Argyle (2000) mengatakan bahwa ada bukti yang kuat bahwa kebudayaan dimana seseorang tersebut tinggal mempengaruhi perilaku religiusnya. Batasan dimana perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi yang spesifik. Norma dalam budaya memberikan pola-pola perilaku tertentu seperti pola kehidupan yang religius.

Selain itu, nilai budaya yang merupakan kepercayaan yang dipertahankan dimana menguatkan apa yang diinginkan juga merupakan faktor budaya yang membimbing manusia untuk mengadopsi perilaku religius.


(53)

b. Pendidikan

Seseorang yang diberikan didikan agama seperti doktrin (ajaran agama) akan mengarahkan dan membantu manusia untuk mengmbangkan perilaku religiusnya. Didikan yang diberikan seperti belajar Alkitab, belajar Al-Quran, teologi dan ritual agama dapat manumbuhkan perilaku religiusnya.

c. Keluarga

Keluarga adalah tempat pertama dimana seseorang belajar segala sesuatu tentang dunia termasuk agama. Di dalam keluarga pertama sekali seorang anak akan mengenal dan mengerti keyakinan terhadap agama. Perilaku religius seorang anak terbentuk dalam pola bagaimana orangtua mereka bersikap dan berperilaku terhadap anak mereka dalam kaitannya dengan keyakinan agama yang mereka anut.

Hubungan anak dan orangtua menjadi hal yang sangat penting bagi berkembangnya perilaku religius anak. Hood (dalam Argyle, 2000) mengatakan bahwa perilaku religius berkembang dan mengalir dalam keluarga. Orangtua adalah orang yang paling berpengaruh besar terhadap berkembang dan terbentuknya perilaku religius anak. Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar daripada ayah terhadap pembentukan religius anak.

d. Sosial Learning

Perilaku religius dapat berkembang seiring dengan pengalaman seseorang tersebut dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Meniru orang lain dalam tata cara berperilaku tertentu adalah cenderung dilakukan oleh manusia, termasuk perilaku religius. Orangtua, nenek, tetangga, atau orang lain yang menunjukkan perilaku


(1)

Johnson, P. E. (2005). Religion and mental health. Journal of Psychology of Religion, 12 (4), 117-125.

Johnson, E. P., & Johnson, A. I. (2000). Gay and The Problems. Journal of Psychology.

Jones, Arthur. (2009). Gay and Lesbian Issues-Discrimination. Victoria: Goov Published.

Jones, A. C. (2001). Multicultural Issues in Mental Health. Denwer: Spring Quenter Published.

Jones, B. E., & Hill, M. J. (2002). Mental Health Issues in Lesbian, Gay.

Bisexual,andTransgender Coomunities. Washington: American Psychiatric Publishing, Inc.

Jorm, A. F., Korten, A. E., Rodgers, Bryan., Jacomb, P. A., & Christensen, Helen. (2002). Sexual Orientation and Mental Health: Result from A Community Survey of Young and Middle-Aged Adults. Journal of Psychiatry, 180, 423-427.

Kendler, K. S., Gardner, C. O., & Prescott, C. A. (1997). Religion,

Psychopatology, and Substance Use and Abuse: A Multi Measure, Genetic-Epidemologic Study. Journal of Psychiatry, 154 (3).

Kerlinger, F., & Lee. (2002). Foundation of Behavioural Research. United State of America. Prentice Hall.

King, Michael., McKeown, Eamonn., Waner James., Ramsay, Angus., Johnson Katerine., Cort, Clive., Wright, Lucie., Blizard, Robert., & Davidson, Oliver. (2003). Mental Health and Quality of Live of Gay Men and Lesbians in England and Wales. Journal of Psychiatry, 6, 552-558.

King, Michell. (2003). Mental Health and Well-Being of Gay Men, Lesbians, and Bisexuals an England and Wales London: Mind Published.

Kitts, J. M. (2005). Gay, Lesbian and Bisexual in Afro-America. Journal of Psychology.

Knox, David. (1984). Human Sexuality. New York: West Publishing CO. Koenig, H.G. (2009). Faith and Mental Health: A Study of Psychology of


(2)

Larson, B.D, Sherrill, K. A., Lyons, J. S., Craigie, F. C., Thielman, S. B.,

Greenwold, M. A. Larson, S. S. (2000). Associations Between Dimensions of Religious Commitment and Mental Health Reported in The American. Journal of Psychiatry and Archives of General Psychiatry.

L.A. Gay & Lesbian Center (2000). Advancing Gay and Lesbian Health: A Report from The Gay and Lesbian Health Roundtable. United States of America: Villaraigosa Press, Inc.

Lee, B.Y. & Newberg, A. B. (2005). Religion and Health: A Review and Critical Analysis. Journal of Psychology of Religion, 40 (2). 443-445.

Levin, dkk. (2005). Religion, Health, and Medicine. Michigan: Nati Med Ascoss Press.

Levin, Jeff., Chatters, L. M., Taylor, R. J., Falls, Falley., Kansas., & Arbor, Ann. (2001). Psychology and Religion. New York: Library of Congress Cataloging.

Levin, Jeff. (2005). Religion, Health and Medicine in African American:

Implications for Physicians. Journal of The National Medical Ascociation, 97 (2).

Lewis, C.A. (2001). Cultural Stereotype of The Effects of Religion on Mental Health. Northern Ireland: Magee College Press.

Lewis, C. A. (2001). The effects of Religion on Mental Health. Journal of Medical Psychology, (74). 354-367.

Ling, R. D. (1999). Spritual Emergence and The Mental Health Profession. Journal of Psychology.

Loewenthal, K.M. (2008). The Psychology of Religion. United Kingdom: Oxford OX27 AR Press.

Loewenthal, K. M (2006). Religion, Culture, and Mental Health. Cambridge: Cambridge University Press.

Loewenthal, K. M., & Cirnirella, Marco. (2008). Religios Issues in Ethnic

MinorityMental Health Special Reference to Schizopherenia in Affro-Carribeans in Britain: A Systematic Review. Royal Halloway Press.


(3)

MacDonald, Shawn. (2006). Heart and Soul in Conflict: Reconciliation of

Religious Beliefs and Minority Sexual Orientation. Maryland: Ohio State University Published.

Margetic, B. A. & Margetic, Branimir. Religiosity and Health Outcomes: Review of Literature. Journal of Psychiatry, 365-371.

Masters, W. H., Johnson, V. E., Kolodny, R. C. (1992). Human Sexuality. New York: Library of Conggress Cataloging.

McNair, R. P. (2003). Gay Men Inequalities: A Cultural Issue for Health Problem. Journal of Public Health.

McNair, Ruth., Anderson, Sandy., & Mitchel, Anne. (2001). Addressing Health Inequalities in Victorian Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender Communities. Journal of Health Promotion. 11 (1).

McQueeney, Krista. (2009) . We are God’s Children, Y’All:” Race, Gender, and Sexuality in Lesbian and Gay-Affirming Congregations. Journal of Sociology, 56 (1), 151–173.

Meyer, I.H. (2003). Mental Health in Lesbian, Gay, and Bisexual Populations. Columbia: American Psychological Ascociation Press, Inc.

Meyer, I. H. & Northridge, M. E. (2007). The Health of Sexual Minorities: Public Health Perspectives on Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Population. Journal of Psychology. New York: Springer Published.

Mitchell, Jim & Weatherly, Dave (2004). Beyond church attendance: Religiosity and mental health among rural older adults. Journal of Cross-Cultural Gerontology, 15 (1), 37-54.

Morrism, Ian. (2008). Pastoral Care and Mental Health. Journal of Public Health, 2 (2).

Musingarimi, Primrose. (2008). Health Issues Affecting Older Gay, Lesbian, and Bisexual Peoplein The United Kingdom. London: ILC Published.

Mueller, dkk. (2002). The Foundation of Psychology of Religion. Madison Avenue: Oxford University Press. Inc.


(4)

Treatment Among GLBT Populations. United States of America: NAMI-helps Press.

NAMI (National Alliance on Mental Illness). (2008). Mental Health Issues for GLBT People. United States of America: NAMI-helps Press.

NAMI (National Alliance on Mental Illness). (2007). Mental Health Issues

Among Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender (GLBT) People. United States of America: NAMI-helps Press.

Nelson, J.M. (2009). Psychology, Religion, and Sprituality. New York: Valparaiso University Press.

NHS Department of Health. (2008). Mental Health Issues Within Lesbian, Gay and Bisexual (LGB) Communities. New York: Valparaiso University Press.

Notosoedirjo, Moeljono & Latipun (2005). Kesehatan Mental. Surabaya: Universitas Muhammadiah Malang Press.

Oetomo, Dede. (2003). Memberi Suara Pada yang Bisu. Yogyakarta: Pusaka Marwa Galang press.

Pace, William. (2002). Promoting Lesbian and Gay Health and Well-Being. New York: Funding Published.

Paloutzian, R.F. & Park, C.L (2009). Hand Book the Psychology of Religion and Sprituality. New York: The Guildford Press.

Parker, M.L., Roff, L. D., Klemmack, L., Koenig H. G., Baker, P & Allman, R. M. (2003). Religiosity and Mental Health in Southern, Community-Dwelling Older Adults. Journal of Aging and Mental Health, 7 (5), 390-397.

Paul, J. P., Catania, Joseph., Pollack, Lance,, Moskowitz, Zudith., Canchola, Jesse.,Mills, Thomas., Binson, Diane., & Stall, Ron. (2002). Suicide Attempts Among Gay and Bisexual Men: Lifetime Prevalence and Attecedents. Journal of Public health, 92 (8), 1338-1345.

Paul, Korten. (2003). Promoting Lesbian and Gay Health and Wellbeing. London: Connexions Press.


(5)

Pajevic, Izet., Sinavovic, Osman., & Hasanovic, Mevludin. (2005). Religiosity And Mental Health. Croatia: Danubina Press.

Pieper, J & Uden, M.V. (2006). Religion in Coping and Mental Health Care. New York: Yord Universuty Press, Inc.

Ploutzian, A. D. (2009). Religion and Mental Health. New Jersey: Mills Published.

Rofes, Eric. (2008). Why Gay Man’s Health, Why Now. Canada: Prenary Published.

Rotheram, Borus., Mary, Jane., Rosario, Margaret., Rossem, Van., Ronan., Reid., Helen, Gillis., & Roy. (1999). Prevalence, Course, and Predictors of Multiple Problem Behaviors Among Gay and Bisexual Male Adolescents. Journal of psychology, 31(1), 75-85.

Russer, K. M., & Joyner, M. S. (2001). Mental Health, Culture and Chalenges in Minority Sexual. Journal of Psychology.

Sanua, V. D. (1999). Religion, Mental Health, and Personality: A Review of Empirical Studies. Journal of psychology.

Saraglou. (2004). Religion and Mental Health. Journal of Psychology.

Schranz, Ann. (2008). Religion and Mental Health. London: Munthe Published. Siegel & Lowe. (2000). Issues Facing Lesbian, Gay Men, and Bisexual.

California: AGE Published.

Sias, Jesse. (2006). Effects of Religiosity and Rebt on Substance Abuse and Mental Health. Texas: University of Texas Published.

Siker, J. S. (2007). Homosexuality and Religion. London: Greenwood Press. Silenzio, V. M. (2000). Ten Things Gay Men Should Discuss With Their Health

Care Providers. Journal of The Gay and Lesbian Medical Ascociation. Spencer, John. (1999). The Mental Health of Jehovah’s Witnesses. London:

Greenwood Press

Stark, Rodney., Iannaccone, L. R., & Finke, Roger. (2000). Religion, Science, and Rationality. Washington: Seattle Press.


(6)

Terence, Martin., Bruce, Kirkcaldy., & Georg, Siefen. (2003). Antecedents of Adult Wellbeing: Adolescent Religiosity and Health. Journal of psychology, 221 (62), 453-460.

Warner, James., McKeown, Eamonn., Griffin, Mark., Johnson Katherine.,

Ramsay,Angus., Cort, Clive., & King, Michael. (2004). Rates and Predictors of Mental Illness in Gay Men, Lesbians and Bisexual Men and Woman. Journal of Psychiatry, 185, 479-485.

Williamsom, I.R. (2000) Internalized Homophobia and Health Issues Affecting Lesbians and Gay Men. Journal of Psychology. 15 (1), 97-107.

Wilkinson, W. W. (2005). The Componennts of Sexual Orientation, Religiosity, and Heterosexual’s Impressions of Gay Men and Lesbians. Journal of Social Psychology, 145 (1), 65-83.

Wolkomir, Michelle. (2006). Be Not Deceive: A Psychology of Religion Interpretasion. British: British Catalogue Publication.