56 melindunginya dari gangguan mengalami kecemasan, depresi, dan memiliki
strategi pemecahan masalah yang baik dalam menangani masalah yang datang sehingga individu tidak sampai mengalami masalah psikologis yang patologis.
Selain itu, perilaku religius individu membantu seseorang untuk dapat melihat dirinya secara lebih positif, sehingga memiliki perasaan berharga, emosi yang
positif matang secara emosi, harga diri yang tinggi dan terhindar dari rasa bersalah dimana hal ini adalah merupakan sumber dari kesehatan mental yang
baik Heiler, 1999. 3.
Perilaku behavior Argyle
2000, mengatakan
bahwa perilaku
religius individu
membimbingnya untuk mengembangkan pola perilaku dan gaya hidup yang konstruktif. Koenig 2009, mengatakan bahwa perilaku religius berpengaruh
terhadap perilaku altrusime. Koenig juga berpendapat bahwa perilaku altrusime adalah sebagai wujud kesehatan mental baik yang mengarahkan seseorang
tersebut untuk lebih peduli dengan orang lain daripada dirinya sendiri. Selain itu perilaku religius juga memberikan efek terhadap perilaku prososial yakni tindakan
yang dinilai positif oleh masyarakat.
C. GAY
Menurut Carroll 2005, bahwa gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada sesama jenisnya. Sementara Kinsey dalam Carroll, 2005
mengatakan bahwa
ketertarikan secara
seksual tidak
cukup dalam
mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual dalam hai ini gay meliputi
Universitas Sumatera Utara
57 1. Perilaku seksual, 2. fantasi seksual, 3. Ketertarikan secara emosional, 4.
Ketertarikan secara sosial, 5. Ketertarikan gaya hidup, 6. Ketertarikan secara seksual, dan 7. Identifikasi diri. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki, perilaku seksual diarahkan pada laki-laki, memiliki fantasi seksual terhadap laki-laki, memiliki
ketertarikan secara emosional terhadap laki-laki, ketertarikan secara sosial diarahkan pada laki-laki, memiliki gaya hidup yang tertarik kepada sesama jenis,
dan mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang menyukai sesama jenisnya.
D. PERBEDAAN KESEHATAN MENTAL PADA GAY DITINJAU DARI PERILAKU RELIGIUS
Tingginya tekanan sosial yang diterima oleh kaum gay seperti distigma, diprasangka, didiskriminasikan, ditolak, diharamkan, dikutuk, dilecehkan, dihina,
dipermalukan, dianiaya, dibantai bahkan dibunuh menjadi sumber stres bagi kaum gay sehingga mereka memiliki psychological distress dan ketegangan psikologis
yang tinggi hal ini menyebabkan kaum gay rentan mengalami gangguan kesehatan mental Meyer Northridge, 2007.
Masalah kesehatan mental yang sering dihadapi kaum gay adalah depresi, gangguan kecemasan anxiety disorder, gangguan mood mood disorder, harga
diri yang rendah, tidak puas dengan dirinya sendiri, merasa bersalah yang berlebihan, merasa berdosa, gangguan stabilitas emosional, gangguan panik
panic attack, dan perasaan tidak berharga Greene, 2003; Jorm, Korten,
Universitas Sumatera Utara
58 Rodgers, Jacomb, Christensen, 2002; MacDonald, 2006; McNair, 2003; Meyer
Northridge, 2007; Paul, Korten, 2003. Saroglou 2003, mengatakan bahwa setiap orang pasti melakukan suatu
mekanisme dalam usaha mengatasi masalah psikologisnya. Saroglou juga mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari
perlindungan diri dari psychological distress, depresi, gangguan kecemasan dan masalah kesehatan mental seperti yang dipaparkan di atas. Adapun bentuk
mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius
Arenofsky, 2000; Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou, Kazis, 2003; Loewenthal, 2009; McQeeney, 2009; Meyer, 2003
Lowenthal 2009, meyakini bahwa perilaku religius adalah penyembuh healer terhadap masalah psikologis seseorang. Perilaku religius yang dimiliki
oleh kaum gay memampukan mereka dalam mengatasi masalah psikologis mereka seperti terselesaikannya konflik internal, sedikit frustrasi, ketakutan yang rendah,
trauma psikologis yang rendah, harga diri yang tinggi, kestabilan emosional, kesehatan fisik yang lebih baik, memiliki level energi yang lebih tinggi, dan hidup
dalam cara yang lebih baik Davis, 2004. Efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay datang dari
pola-pola pemikiran dan perilaku yang jernih yang akan mengarahkan kaum gay untuk memiliki orientasi dan jalan hidup yang jelas dan terarah Ellison, 2006;
2008. Perilaku religius berinteraksi dengan fungsi psikologis dan tingkat kesehatan mental kaum gay Aggleton, Hurry, Warwick, 2000. Sementara
Universitas Sumatera Utara
59 Miller dalam Ploutzian, 2009, berpendapat bahwa perilaku religius individu
merupakan pengarah dan pembimbing individu untuk mengadopsi dan menginternalisasikan pola-pola perilaku, pikiran, perasaan, emosi dan kontrol diri
yang baik atau positif. Koening 2009 menambahkan bahwa perilaku religius individu
berdampak terhadap bagaimana kondisi dan status emosi, kesejahteraan psikologis, kebahagiaan, kepuasan hidup, pengharapan, optimisme dalam hidup,
makna hidup, dan memiliki tujuan hidup yang terarah. Aspek-aspek inilah yang dapat meningkatkan kesehatan mental individu dan sekaligus merupakan faktor
proteksi pelindung bagi seseorang untuk mengalami gangguan mental. Perilaku religius adalah dasar dalam membentuk perkembangan
kepribadian, mengarahkan dan membimbing seseorang untuk berusaha mencapai esensi kehidupan dan kematangan diri dan pribadi serta mencapai aktualisasi diri
self actualization Pieper Uden, 2006. Maslow dalam Notosoedirjo Latipun, 2005 mengatakan bahwa kematangan diri dan aktualisasi diri adalah
akar dari perkembangan kesehatan mental yang baik. Maslow dalam Notosoedirjo Latipun, 2005 yang selanjutnya
diklarifikasi oleh Bailey 2000 menjelaskan bahwa aktualisasi diri dapat dicapai di dalam perilaku religius sehingga dapat menghasilkan perasaan yang aman yang
memadai akan diri sendiri, aman dalam keluarga, aman dalam lingkungan, pekerjaan dan sosial, memiliki perasaan berguna, tidak diganggu oleh rasa
bersalah yang berlebihan, kemampuan menikmati kebahagiaan dalam hidup, tidak adanya konflik besar dalam dirinya, kemampuan membentuk ikatan emosional
Universitas Sumatera Utara
60 yang kuat dengan orang lain, dan kehidupan seksual yang wajar sehingga dengan
demikian, perilalu religius dapat memperbaiki tingkat kesehatan mental pada gay. Glenn 1997, mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan dengan
kesehatan mental yang baik. Perilaku religius pada gay berhubungan dengan kepuasan hidup yang lebih besar, meningkatkan kesehatan psikologis, rendahnya
tingkat depresi, rendahnya menderita gangguan psikiatrik, dan harga diri yang tinggi. Hasil temuan Francis 2008 memperkuat pernyataan Glenn dimana
perilaku religius memperkuat kontribusi terhadap kesehatan mental, kebahagiaan hidup, merasa berharga, memiliki harga diri yang lebih tinggi, pengalaman emosi
yang positif, kecemasan yang lebih sedikit, dan terhindar dari ketakutan. Wolkomir 2006 melakukan penelitian di Amerika Serikat terhadap
sejumlah kaum gay dan ditemukan bahwa 94 dari kaum gay tersebut yang berperilaku religius seperti frekwensi kehadiran di gereja, berdoa dan melakukan
ritual agama memiliki pengalaman hidup yang lebih menyenangkan dan lebih banyak mengalami kebahagiaan dalam kehidupan mereka, dimana hal ini
diasosiasikan dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik. Berperilaku religius menjadikan kaum gay bebas dari tekanan, dan merasa bebas dalam
mengaktualisasikan dirinya akan tetapi tetap berserah kepada kuasa Ilahi, dan dapat menikmati kehidupannya.
Argyle dalam Pieper Uden, 2006 juga mengetengahkan bahwa efek perilaku religius dan kesehatan mental adalah berhubungan positif, dimana
perilaku religius kaum gay tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mental mereka. Suatu studi yang dilakukan oleh Den Draakâs 1990
Universitas Sumatera Utara
61 menyimpulkan bahwa 40 dari partisiapan penelitian yang memiliki orientasi
seksual sebagai gay memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena memiliki perilaku religius seperti menghadiri ibadah, berdoa, mengikuti ritual agama, dan
frekwensi kehadiran ke gereja yang lebih tinggi. Penelitian lain yang dilakukan Batson dalam Argyle, 2000
menyimpulkan bahwa 75 dari partisipan penelitiannya, setelah diberikan angket perilaku religius dan diukur kesehatan mentalnya ditemukan bahwa ada hubungan
yang signifikan bahwa perilaku religius memberikan dampak yang positif, seperti penyakit yang diderita lebih rendah daripada yang tidak memiliki perilaku
religius, memiliki kebahagiaan dalam hidup, serta kesejahteraan psikologis yang lebih baik.
Senada dengan pernyataan di atas, Almeida 2006 melakukan riset terhadap 850 orang kaum gay dan memberikan kesimpulan bahwa perilaku
religius berhubungan positif dengan kesehatan mental yakni, bahwa orang yang memiliki perilaku religius mempengaruhi kepuasan hidup, kebahagiaan, perasaan
yang positif, dan tingginya penalaran moral. Selain itu perilaku religius juga berhubungan dengan dimensi lain dari kesehatan mental, dimana orang yang
memiliki perilaku religius berhubungan dengan rendahnya kecenderungan untuk mengalami depresi, pemikiran untuk melakukan bunuh diri dan gangguan
perilaku. Almeida 2006 juga menambahkan bahwa perilaku religius berhubungan dengan perilaku yang sehat, merasa memiliki dukungan sosial,
dimana dukungan sosial berhubungan dengan tingginya tingkat kesehatan mental pada gay itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
62 Chapple 2003 melakukan studi kualitatif terhadap sejumlah gay dan
berdasarkan temuannya dapat disimpulkan bahwa dimensi perilaku religius adalah sebagai prediktor dalam memahami kesehatan mental mereka. Temuan Lee
2005 memperkuat hasil studi Chapple dan mengutarakan bahwa perilaku religius berasosiasi dengan rendahnya tingkat depresi pada gay, level kecemasan yang
rendah, perasaan positif yang tinggi, dan rasa berharga serta tingkat harga diri yang tinggi.
Ellison 2008 juga mengatakan bahwa perilaku religius adalah sebagi indikator kesehatan mental, dimana perilaku religius menjadikan seseorang
merasa menikmati hidup, sedikit mengalami psychological distress, dan rendahnya gejala psikiatrik seperti gangguan kecemasan umum generalized
anxiety disorder dan mayor depresi major depressive. Kehidupan yang religius tercermin dari perilaku yang religius yang dapat
mempengaruhi keyakinan dan proses kognitif seseorang, sehingga kaum gay yang memiliki perilaku religius dapat mengatasi konflik, psychological distress,
penderitaan, dan masalah hidup mereka. Perilaku religius kaum gay menyiapkan mereka untuk lebih menerima diri sendiri, memiliki ketahanan diri, resiliensi,
merasa damai dalam hidupnya, percaya diri, memiliki tujuan hidup, memiliki self image yang positif, dan memaafkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan
Almeida, 2006. Fredrickson 2006, berpendapat bahwa perilaku religius pada gay
berpengaruh pada bagaiman kaum gay menilai dirinya seperti merasa dirinya berharga, menilai diri secara positif, mau menerima kekurangan dan kegagalnya
Universitas Sumatera Utara
63 dalam hidup. Fredrickson meyakini bahwa hal ini merupakan akar atau modal
dalam membentuk kesehatan mental yang baik. Perilaku religius berhubungan dengan rendahnya risiko untuk mengalami gangguan kecemasan anxiety
disorder, depresi, gangguan mood mood disorder, dan stress Sias 2006. Bahkan perilaku religius individu diyakini oleh Dein 2006 sebagai coping untuk
menyelesaikan masalah gangguan mental seperti kecemasan dan depresi. Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah
psychological distress yang mereka alami adalah dengan menghindari diri untuk berperilaku religius Wolkomir, 2006. Dengan demikian, kaum gay menghindari
melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak
berperilaku religius Barbara, 2005; Wolkomir, 2006. Kaum gay mengabaikan kehidupan religiusnya supaya bebas dari rasa
bersalah dan bebas dari aturan-aturan agama yang mengikat sehingga mereka dapat hidup lebih leluasa dalam mengekspresikan diri mereka sebagai
homoseksual. Namun menurut Barbara 2006 yang selanjutnya dipertegas oleh Ellison 2008 bahwa menjauhkan diri dari kehidupan beragama merupakan faktor
risiko mengalami gangguan mental. Koenig 2009, juga berpendapat yang sama bahwa orang yang nonreligius adalah salah satu faktor risiko untuk memiliki
gagngguan psikologis yang patologis. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000
terhadap 1760 subjek penelitiannya, memberikan kesimpulan bahwa orang yang tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi
Universitas Sumatera Utara
64 berdoa yang jarang mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah, sementara
subjek yang memiliki perilaku religius setelah diukur tingkat kesehatan mentalnya, mereka memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat kesehatan
mental, dimana orang yang kehadiran dan frekwensi melakukan ibadah dan berdoa yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi pula
Argyle, 2000. Individu yang tidak berperilaku religius seperti frekwensi berdoa yang
rendah, jarang melakukan ibadah atau sembayang akan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami psychological distres, gangguan kecemasan
anxiety disorder, depresi, perasaan bersalah, perasaan malu yang berlebihan, memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya, gangguan paranoid sehingga hal ini bermuara kepada tingkat kesehatan mental yang rendah Sanua, 1999.
MacDonald 2008 mengatakan bahwa menghindari perilaku religius merupakan pemicu seseorang cenderung menderita gangguan psikologis seperti
mengalami affect yang negatif, kondisi emosional yang negatif, penilaian diri yang kurang realistik dan kondisi mood yang negatif. Pendapat lain
mengetengahkan hal yang serupa bahwa individu yang tidak berperilaku religius cenderung mengalami ketegangan psikis dan konflik dengan dirinya sendiri,
kurang menerima diri sendiri, penilaian yang buruk terhadap kehidupannya sehingga mereka cenderung merasa tidak bahagia dalam hidupnya, merasa rendah
diri, tidak puas dengan kehidupannya, ketidakstabilan emosional, menjadi otoriter, dan kaku dengan diri sendiri. Intinya bahwa orang yang tidak berperilaku religius
Universitas Sumatera Utara
65 memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami tingkat kesehatan mental
yang rendah Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, Christensen, 2002; MacDonald, 2008.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gay
Sumber stress STRESSOR
Distigma, ditolak, dikecam, diprejudice, diejek, diolok-olok, dipermalukan, dilecehkan, diisolasi,
diusir dari rumah, didiskriminasikan, dihina, ditekan, dikutuk, diharamkan, dihujat, dianiaya secara fisik
dan verbal, dibantai, disiksa, bahkan dibunuh
Fenomena Psikologis
Universitas Sumatera Utara
66 E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dan yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho: tidak ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius Ha: ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
Mengalami gangguan
kecemasan anxiety
disorder, kesepian, merasa terisolasi, depresi, harga diri rendah, ketidakstabilan emosional,
kurang responsif secara emosional, mood disorder, hopeless, mengalami serangan panic
panic attack, mengalami generalized anxiety disorder, malu dengan diri sendiri, tidak puas
dalam hidupnya, jijik dengan dirinya sendiri, mengalami gangguan kepribadian, menyalahkan
diri sendiri, merasa berdosa, dan mengalami ketegangan psikologis.
Kesehatan Mental
-Healer Penyembuh Masalah Psikologis
-Dapat Membentuk Mentalitas yang baik
Risiko Mengalami Masalah Psikologis dan
Gangguan Mental
Berperilaku Religius Tidak Berperilaku
Religius KM
Tinggi KM
Rendah COPING MECHANISM
Universitas Sumatera Utara
67
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan Hadi, 2000. Penelitian ini bersifat komparasional, yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki
Universitas Sumatera Utara