Sejarah Kota Ponorogo

A. Sejarah Kota Ponorogo

Ketika pemerintahan pusat Majapahit mulai melemah, Bandar-bandar di pesisir Jawa seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya berusaha memerdekakan diri dari kerajaan besar tersebut. Dari kerajaan kerajaan kecil yang berkembang menjadi Kerajaan Demak, terutama pada pemerintahan Raden Patah yang di sinyalir sebagai Putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya dari Putri Cina. Pada saat itu daerah Ponorogo atau Wengker dikenal sebagai daerah sebelah timur Gunung Lawu dan Sebelah Barat Gunung Wilis.

Adalah Raden Katong bernama asli Raden Lembu Kanigoro atau Joko Piturun anak dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit dengan istri kelimanya seorang putri dari Bagelen. Dalam buku “Hari Jadi Kota Ponorogo” disebutkan bahwa Raden Katong belum mempunyai daerah lungguh (wilayah kekuasaan)seperti halnya Raden Patah yang menempati daerah Demak maka Brawijaya mengutus Raden Katong ke daerah sebelah Timur Gunung Lawu dan daerah sebelah barat Gunung Wilis, untuk menaklukkan seorang Demang dari Desa Kutu yang tidak mau Sowan(datang menghadap) ke Majapahit. Akan tetapi dalam buku Babad Ponorogo jilid 1 yang disusun disebutkan bahwa waktu kecil Raden Katong ikut dengan Raden Patah di Demak. Dengan

commit to user

Lawu dan Sebelah barat Gunung Wilis adalah Raden Patah. Adapun tujuannya adalah menyelediki dan mengenali mana daerah yang sepi serta apa yang dianut dari daerah penduduknya. Agama apa yang mereka anut, Budha atau Islam atau dengan kata lain menyebarkan agama Islam dan mendirikan Negara.

Dalam buku “ Hari Jadi Kota Ponorogo” memang disebutkan bahwa Raden Katong saat datang ke Ponorogo belum menjadi seorang Islam, baru setelah ia bertemu dengan Kyai Ageng Mirah dan dengan sukarela ia masuk pada agama tersebut serta bekerja sama dengan Kyai Ageng Mirah untuk menyebarkan agama dengan cara mengalahkan penguasa Desa Kutu, berna Kyai Ageng Kutu Suryongalam seorang penganut Budha dan mempunyai pengaruh yang luas di Ponorogo. Sedangkan di versi Babad Ponorogo, Raden Katong sudah memeluk Islam ketika bertemu dengan Kyai Ageng Mirah yang juga seorang muslim. Serasa mendapat teman seperjuangan dalam menyebarkan agama dan mendirikan Negara mereka bekerja sama mengalahkan Ki Ageng Kutu Suryongalam penguasa setempat, yang sebelumnya telah bermusuhan dengan Kyai Ageng Mirah. Selanjutnya kedua versi itu sejalan bahwa kemudian kehadiran Batoro Katong di Ponorogo adalam menyebarkan agama Islam dan mendirikan Negara.

Lalu siapakah Ki Ageng Kutu Suryongalam ? Dalam buku Babad Ponorogo dibuka dengan cerita demikian : Watara papat setengah abad kepungkur, sadurunge jeneng Ponorogo

ana kademangan Surukubeng ing desa Kutu Kecamatan Jetis. Dek

commit to user

Demang asmane Gedhe Ketut Suryongalam agamane Budha senebut Ki Ageng Kutu. (Sekitar empat abad yang lalu, sebelum namanya menjadi Ponorogo, ada kademangan yang disebut Kademangan Surukubeng yang berasal dari Desa Kutu Kecamatan Jetis. Pada masa itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit Prabu Brawijaya V. Ki Demang bernama Gedhe Ketut Suryongalam yang memiliki agama Budha disebut Ki Ageng Kutu).

Ki Ageng digambarkan seseorang yang memiliki perawakan tinggi besar, bercambang lebat, kulitnya hitam, bersorot mata tajam, dan berwatak keras. Namun dia juga dikenal sebagai seseorang yang berkepribadian baik, dan berkeinginan kuat, serta memiliki ilmu kedigdayaan tinggi. Kebal dalam segala jenis senjata tajam (Ora tedhas tapak paluning pandhe sisane gurendo). Dia juga mempunyai pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jabardas dan Kyai Condong Rawe atau Rawe Puspita. Kedua pusaka tersebut mempunyai wibaya yang besar, baru dihunus pusaka tersebut mampu membuat musuh gelagapan, silau tidak bisa melihat apa-apa. Didalam pusaka Rawe Puspita terdapat sepasang jin, yang laki-laki bernama Klunthung Waluh dan yang perempuan bermnama Klenthing Mungil. Apabila diperintah kedua jin tersebut bisa keluar dari sarangnya. Untuk semakin memperkuat dan memperluas kekuasaannya. Ki Ageng Kutu juga mengumpulkan anak-anak muda untuk dilatih ilmu kanuragan. Setiap malam pemuda-pemuda tersebut dilatih dengan diiringi terompet, kendang, ketipung , kenong , kethuk dan kempul. Sebagai hiburan disela-sela latihan dan sebagai bentuk sindirian terhadap raja dan pasukan Majapahit Ki Ageng Kutu juga memainkan kesenian Reog.

commit to user

dengan ditemani orang kepercayaannya yaitu Sela Aji dan seorang muslim bernama Ki Ageng Mirah. Salah satu daerah diantara Gunung Lawu dan Gunung Wilis itu, tengah bersedih karena kematian putrinya, karena pertikaiannya dengan Ki Ageng Honggolono salah satu pengikut Ki Ageng Kutu Suryongalam. Pertikaian itu diawali dengan jatuh cintanya putra Ki Ageng Honggolono dengan putri Kyai Mirah. Ki Ageng Mirah tidak menyetujui percintaan tersebut dikarenakan perbedaan agama. Karena segan dan putrinya terlanjur cintanya dengan putra Ki Honggolono maka Kyai Ageng Mirah setuju dengan pinangan tersebut dengan memberikan syarat Ki Honggolono bisa mengirikan selumbung padi dan selumbung kedelai yang bisa berjalan sendiri, tanpa diantar oleh manusia. Kyai Mirah sengaja mengajukan syarat yang sulit dipenuhi agar perkwinan tersebut tidak terjadi. Akan tetapi karena kesaktian Ki Honggolono, permintaan dapat terpenuhi. Menyaksikan keadaan terebut, Kyai Mirah tidak kehilangan akal, dengan kesaktiannya semua isi lumbung diubah menjadi jerami dan kulit kedelai (Jawa : damen dan dinten ) . Tipu muslihat itu ditanggapi kemarahan Ki Honggolono yang dilampiaskan dengan membunuh Mirah, putrid Kyai Mirah. Melihat Mirah meninggal Jaka Luncur putra Ki Honggolono menikamkan keris kedadanya menyusul kekasihnya.

Sejak saat itu, orang Ponorogo percaya bahwa orang Nggolan dan Mirah tidak akan pernah akur dan tidak dapat bertalian keluarga, dan tidak akan berbagi kekayaan alam termasuk air. Menurut masyarakat dari dua desa

commit to user

daunpun dia tidak akan bisa memsuki daerah Mirah, melainkan akan terus berputar tanpa ia sadari sebelum barang terebut dibuang, begitu sebaliknya. Selain itu apabila ada pasangan dari Desa Golan dan Desa Mirah bersatu dalam ikatan perkawinan, maka tali pernikahan tersbut tidak akan awet dan berujung kematian. Lebih dari itu, apabila sebagian masyarakat juga ingin memutuskan tali pernikahan atau kekeluargaan orang lain, maka cukup membawa segumpal tanah dari kedua desa tersebut yang kemudian disatukan dan diletakkan ke rumah orang yang dituju. Rumah itu akan diguncang pertengkaran dan permusuhan. Orang Ponorogo juga percaya bahwa Orang Mirah tidak diperbolehkan menanam kedelai. Masih banyak mitos lainnya yang pada intinya Orang Golan dan Orang Mirah tidak dapat bersatu atau berdamai.

Semenjak kematian putrinya, Kyai Mirah setiap malam bermunajat, sholat tasbih, sholat tahajud, dan mengirim doa kepada anaknya.supaya diampuni dosanya oleh Gusti Allah. Hingga suatu malam Kyai Mirah bermimpi bertemu dengan ayahnya dan dalam mimpi tersebut ayahnya berkata :

“Mirah aja kok susahake patine anakmu, Aja sumelang pikirmu sadhela maneh kowe bakal katekan satria loro, utusan Ratu. Yen kowe manunggal karo iku, bakal kepenak uripmu. Katakana kang dadi geguyahmu’gampang anggonmu mencarake agama lan mbangun negara’ (tanda petik dari penyusun “Babad Ponorogo” : artinya :

(“Mirah, jangan susah setelah ditinggalkan anakmu, Janganlah kau khawatir, sebentar lagi kamu akan kedatangan dua Satria utusan Ratu. Apabila kamu bersatu dengan beliau, akan mudah hidupmu

commit to user

melakukan penyebaran agama dan membangun Negara”) Pagi harinya ketika Kyai Mirah membersihkan datangkah dua orang

dan mengucapkan salam. Kyai Mirah menjawab salam tersebut dengan cara islam. Kedua tamu tersebut merasa senang karena di daerah tersebut sudah terdapat orang yang memiliki agama islam. Mereka bekenalan Raden Katong dan Sela Aji memperkenalkan diri sebagai utusan Demak sedangkan Kyai Mirah memperkenalkan diri dari Semarang putra Kyai Ageng Gribig. Raden Katong menjelaskan sebelum mereka tiba di rumah Kyai Mirah, dia melihat seberkas cahaya dari rumah tersebut. Raden Katong yakin akan mendapat penerangan dari Kyai Mirah. Dia juga percaya, bahwa Kyai Mirah memiliki kemampuan dalam agama islam yang tinggi. Oleh karena itu, Raden Katong dan Sela Aji menawarkan diri menjadi pengikutnya. Mendengar perkataan Raden Katong, Kyai Mirah sangat tersanjung dan ia pun merendah menyatakan akan mengikuti niat Raden Katong.

Dalam keadaan tersebut, Kyai Mirah melaporkan bahwa pada daerah tersebut sedang dalam keadaan yang tidak aman karena orang-orang disana masih menganut agama Hindu-Budha. Tidak hanya itu, setiap desa terdapat warok yang berkuasa. Kyai Mirah menyebutkan bahwa Kyai Ageng Kutu Suryongalam adalah salah satu warok yang sangat sakti dan banyak pengikutnya. Dia kebal segala jenis macam senjata tajam dan menguasai beberapa desa. Yang berani membangkang maka”copotlah kepalanya” (Ketok Gulunipun).

commit to user

terlebih dahulu memeriksa daerah Gunung Lawu sampai Gunung Wilis terus ke Selatan sampak ke Laut Selatan. Setelah itu Raden Katong, Sela Aji dan Kyai Mirah menghadap ke Demak. Setelah sampai ke Demak mereka diangkat oleh Raden Patah. Raden Katong sebagai adipati, Sela Aji sebagai patihnya dan Kyai Mirah sebagai penasehat keagamaan. Selain itu mereka disertai oleh

40 keluarga yang ahli dalam bidang agama, perang dan ilmu pemerintahan. Raden Patah juga berpesan ketika mereka sampai pada perjalanan daerah Gunung Lawu dan Gunung Wilis Raden Katong harus mencari daerah yang wangi. Oleh Raden Patah, Raden Katong diberi sebutan Bathoro dengan tujuan memudahkan mendekati musuh-musuhnyta yang beragama Hindu- Budha (Dekdikbud, 1996 : 36).

Dalam Babad Ponorogo diceritakan bahwa Raden Katong, Sela Aji, dan Kyai Mirah dan 40 orang pengikutnya sampai ke daerah Gunung Lawu untuk membuka perkampungan. Kyai Mirah mengusulkan untuk membuka daerah di selatan sungai yang banyak tumbuhan glagah yang menebarkan aroma wangi. Lalu tempat itu disebut Glagah Wangi. Karena tempat itu dianggap sebagai tempat tikar (lampit) pertama digelar maka daerah itu dikenal dengan Plampitan (Poerwowijoyo, 1978 :1).

Selanjutnya mereka membabat hutan dan mendirikan rumah. Akan tetapi setiap rumah yang sudah berdiri, rumah sebelumnya yang terlah berdiri akan rubuh kembali, begitu seterusnya. Untuk mencari penyebab apa yang terjadi, Raden Bathoro Katong, Sela Aji, dan Kyai Mirah bertapa dibawah

commit to user

setelah angin tersebut berhenti datanglah seorang sosok besar dan tinggi hitam. Dia Jayadrana, jin yang dulunya pernah menjadi pengawal Prabu Brawijaya, ayahanda Bathoro Katong. Bathoro Katong bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Jayadrana memberitahukan kepadanya bahwa sebelum Raden Katong dan teman-temannya membuka hutan, sebelumnya ada yang membuka hutan itu Jayadipa, adik Jayadrana. Maka dibangunlah Jayadipa dari semedinya. Bathoro Katong meminta maaf karena telah lancang membabat hutan tanpa seijinnya. Jayadipa tidak keberatan atas niat Bathoro Katong membangun kota disana tetapi mengganggu pembangunan itu sebenarnya dua jin yaitu Sambernyawa dan Patrinyawa. Jayadipa mempersilahkan Bathoro Katong meneruskan pembangunannya dan masalah dua jin tersebut Jayadipa akan mengusirnya.

Pada malam jumat disaat bulan purnama, Raden Katong mengajak Sela Aji dan Kyai Mirah musyawarah untuk menentukan pusat kota yang akan mereka bangun. Kyai Mirah mengusulkan kota yang menyerupai batok kelapa yang tengkurap, maka Jayadipa menunjukkan tempat yang dimaksud. Ketika sampai tempat yang dituju, Bathoro Katong melihat tiga hal yaitu sebuah tombak, paying yang sedikit mekar, dan sebuah sabuk (cinde). Jayadipa menjelaskan bahwa semua itu peninggalan Prabu Brawijaya dialah yang membawa dan menjaganya menyusul hancurnya Majapahit oleh Raden Patah. Prabu Brawijaya pernah berkata kepada Jayadipa, apabila ada seseorang yang bisa melihat pusaka itu dia adalah keturunannya. Raden Katong yang

commit to user

Tombak Tunggal Naga, Payung Tunggul Wulung, dan Sabuk Cinde Puspita. Setelah menyembah tiga kali Bathoro Katong mencabut ketiga pusaka tersebut, dan tanah dimana pusaka tersebut memancap kemudian meledak dan memunculkan sebuah gua. Gua itu setelah 40 hari menutup kembali, Jayadipa kemudian member maka Gua Segala gala. Musyawarah kemudian diteruskan, kali ini membicarakan nama kota yang akan dibangun. Pada akhirnya nama yang disetujui adalaj”Pramana Raga” lama kelamaan nama tersebut berubah menjadi “PONOROGO”.

Menurut buku Babad Ponorogo, arti Pramana Raga adalah : “Pramana iku manunggaling sumbering cahaya rembulan lan bumi

kang mahanani nyoroti sakabehing urip kang gumelar. Telung perkara kui diarana Trimurti, manjinge ana ing badaning manungsa jadi Tripurusa. Tripurusa narik sari-arining badan wadhag, dadi mani. Mani lanang lawan wadon kumpul sinab lan karsaning Gusti bisa dadi wiji, dan manungsa. Dadi pramana lan raga iku ora iso pisah, kajaba yen wes mati. Pramana lawan raga ibarat kayu madu lan legi. Wis ngerti temenan Raga iku tegese awak” artinya :

(“Pramana itu bersatunya sumber cahaya matahari rembulan dan bumi menyirahi seluruh hidup. Tiga perkara itu dinamakan Trimurti. Apabila terdapat dalam tubuh manusia disebut Tripurusa. Tripurusa menrik sari dari tubuh, menjadi air mani. Mani laki-laki dan perempuan berkumpul, dengan ijin Tuhan jadilah manusia. Jadi Pramana dan Raga itu tidak bisa dipisahkan, kecuali sudah mati. Pramana Raga seperti madu dan manisnya. Sedangkan Pana itu mengetahui segala keadaan dan pengetahuan dan Raga adalah badan.”)

Dalam Buku”Hari Jadi Ponorogo” menyebut asal usul yang terdapat dalam Babad Ponorogo itu sebagai asal usul Ponorogo berdasarkan legenda. Tidak hanya hal tersebut, buku ini juga mengutarakan Ponorogo dalam pengertian Estimologi yaitu :

commit to user

dua kata yakni “Pramana” yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup, perwono, wadi, inti. Sedangkan “Raga” berarti badan atau jasmani. Dari penjabaran tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan wadah manusia tersimpan rahasia hidup (wadi) berupa olah batin dan mapan berkaitan dengan sifat amarah, aluamayah, sufiyah, dan mutmainah. Dalam buku Hari Jadi Kota Ponorogo ditutup dengan kata-kata :

Akhirnya apapun tafsirannya tentang Ponorogo dalam wujud yang tetap seperti tang kita lihat sampai sekarang ini adalah tetap “Ponorogo” sebagai kota yang kita cintai, kita pertahankan dan kita lestarikan sebagai kota REOG yang menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Kedua buku tersebut sepakat bahwa berdirinya Ponorogo pada tahun 1418 atau 1496 Masehi.