Persepsi Masyarakat Desa Sumoroto Mengenai Reog Ponorogo

1. Persepsi Masyarakat Desa Sumoroto Mengenai Reog Ponorogo

Bahwa Reog sudah diangkat menjadi symbol Ponorogo tidak akan mengherankan siapapun. Baik orang Ponorogo maupun orang Indonesia lainnya menyadari hal itu. Akan tetapi pernyataan bahwa Reog merupakan simbol Ponorogo itu tidak cukup untuk menjelaskan pentingnya symbol itu bagi orang Ponorogo, baik di dalam maupun luar bumi Ponorogo. Seorang informan mengatakan, ”ternyata dimanapun (orang ponorogo) identik

commit to user

tentang Reog”. Dalam konteks Indonesia, symbol merupakan sesuatu yang sangat penting, khususnya symbol yang berkaitan dengan kebudayaan. Pada zaman dulu, dan memang sampai sekarang, kebudayaan daerah sering disederhanakan menjadi kebudayaan fisik seperti pakaian tradisional, rumah tradisional, dan kesenian tradisional. Hal ini terlihat dalam perwakilan kebudayaan seperti Taman Mini di Jakarta, dimana keanekaragaman kebudayaan di Indonesia dikemukakan dengen sedemikian. Penyederhanaan dan pembatasan kebudayaan itu merubah cara orang berpikir tentang unsure-unsur itu. Keadaan yang sama dapat ditemukan di Ponorogo, dimana dalam kata seorang informan, “Ponorogo itu identik dengan Reog, bukannya Reog dengan Ponorogo. Jika tidak ada Reog, apa itu kebudayaan Ponorogo dan bagaimana identitas kebudayaan itu dapat diungkapkan?”

Ini jelas cara orang Ponorogo sendiri melihat Reog mereka, sebagai perwujudan Ponorogoness (kePonorogoan). “Karakternya memang Reog itu kan milik kami, gitu kan ?”Tanya

seorang pelakui seni yang menjadi informan. “Reog itu kan bahasa kami, karakter kamu, Bagaimana bahasa dan

karakter Reog dapat dihubungkan dengan bahasa dan karakter Ponorogo tidak begitu jelas, tetapi dalam benak orang Ponorogo hal yang praktis seperti ini sepertinya tidak penting. Reog itu Ponorogo, Ponorogo itu Reog, ”yang mencintai kesenian ya juga mencintai daerah kita”ungkap salah satu informan yang usianya masih muda.

commit to user

fungsi Reog sebagai symbol kebudayaan telah memudarkan peranannya sebagai kesenian. Orang yang kurang senang pada kesenian Reog pun dapat mencintainya sebagai symbol, yang diperkuat Karena Reog merupakan satu-satunya unsure kebudayaan fisik yang dapat dikatakan khas Ponorogo.

Dengan memiliki beberapa versi cerita Reog Ponorogo akhirnya masih bertahan sampai saat ini di Ponorogo maupun Indonesia. Bahkan ada juga yang sudah meluas sampai ke mancanegara. Perkembangan Reog saat ini mengalami perkembangan terutama dalam tatanan alat musik maupun tariannya, contohnya seperti kenong dulu hanya dipakai satu saja sekarang memakai dua kenong. Iringan gamelannya juga berkembang. Dan demiukian gaya Reog dinamakan gaya potrojayan.

Warok Ponorogo tidak bisa lepas dari Reog Ponorogo dikarenakan yang membuat Reog Ponorogo awal dahulunya adalah Warok. Warok adalah seseorang yang sudah banyak wewarah. Antara Reog Ponorogo dan Warok keduanya terkait satu sama lain. Untuk menjadi seorang Warok sangat berat karena syarat-syarat yang dipikul Warok sangatlah berat. Warok juga harus memberikan manfaat bagi siapapun. “Reog niku mbak, sakjane asale ora soko Ponorogo tapi soko Sumoroto.

Sarono Sumoroto kuwi salah satu daerah sing enek ning Ponorogo, makane dijenengke Reog Ponorogo” ungkap salah satu informan, Bapak Gatot. (Reog itu mbak, sebenarnya asalamya bukan dari Ponorogo melainkan dari Desa Sumoroto. Dikarenakan Sumoroto adalah salah satu daerah yang ada di Ponorogo maka banyak orang menamakan Reog berasal dari Ponorogo)

commit to user

Beliau adalah seorang guru SMA Negeri 1 Ponorogo. Beliau juga merupakan salah satu masyarakat yang tinggal di Desa Sumoroto dan menjadi salah satu pelaku seni Reog Ponorogo sejak tahun 1994. Pada masa kecilnya beliau sering mengikuti latihan-latihan yang diadakan oleh para pelaku seni Reog Ponorogo di Desa Sumoroto. Ketika kecil Pak Gatot berlatih Reog pada setiap gerakan dan peran yang ada pada Reog. Setiap peran yang ada pada Reog Ponorogo, Pak Gatot mampu menjelaskan dengan rinci karakteristik dari Reog tersebut. Bahkan setiap gerakan yang ditarikan beliau sudah sangat paham. Menurut pendapatnya, Reog Ponorogo sebenarnya asal dari Desa Sumoroto, hanya karena Sumoroto letaknya di Ponorogo maka dari itu yang diketahui masyarakat luar adalah Reog yang berasal dari Ponorogo. Sampai saat ini Pak Gatot juga mempunyai sanggar tari yang digunakan untuk merekrut generasi muda guna melanjutkan asset yang mereka miliki untuk dijaga kelestariannya yaitu Reog Ponorogo.

Masyarakat Desa Sumoroto terkenal dengan kekentalan seni budaya dan tradisi yang mereka jalankan. Desa Sumoroto juga mempunyai beberapa sanggar tari yang melatih para pemuda-pemudi yang ada di Desa tersebut. Banyak orang mengakui bahwa masyarakat Desa Sumoroto merupakan sebagian besar adalah pelaku seni yang memiliki titik darah seni dari leluhur. Bahkan banyak bibit baru orang-orang yang berprestasi lahir dari Desa itu.

commit to user

serta bertahan di tengah-tengah globalisasi dunia. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Desa Sumoroto sadar bahwa kesenian yang telah mendunia ini lahir di tanah dimana mereka berdiri dan dimana mereka bertempat tinggal. Reog Ponorogo pernah mengalami pasang surut eksistensinya, tetapi para pemuda dan pemudi yang tinggal di desa tersebut serta sesepuh yang ada tidak menginginkan apa yang menjadi milik mereka tersebut punah dikarenakan tergerus globalisasi dan modernisasi. Pada akhirnya mereka bersepakat untuk tetap mempertahankan dan menjaga dalam bentuk apapun. Banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat desa tersebut terutama pelaku seni. Salah satunya adalah dengan adanya otonomi daerah peran emreka sebagai pelaku seni dan eksistensi mereka di Reog Ponorogo mulai merosot. Hal tersebut dikarenakan tunjangan maupun fasilitas dari pemerintah daerah tidak serta merta menyokong apa yang dianggap sebagai milik mereka.

“Wong-wong gedhe kae ora ngrasakne piye dadi pelaku seni, isone mung ngobral omongan neng njobo yen Reog kuwi kudu dipertahankan padahal wong-wong kuwi ora tau ngewei sego lan kebutuhane keseniane dewe” (Para pejabat tinggi itu tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pelaku seni. Mereka hanya bisa berbicara besar diluar namun tidak mau turun tangan dalam keseniannya sendiri. Perumpaan dengan memberikan nasi dan kebutuhan yang berkaitan dengan Reog saja tidak pernah)

Bagitulah wawancara dengan informan bernama Mbah Trimo yang merupakan sesepuh sekaligus pelaku seni di Desa Sumoroto. Informan tersebut mengatakan bahwa orang-orang yang ada di Kantor Pemerintah

commit to user

yang benar-benar melakukan apa yang disenangi, apa yang digemari yaitu sebagai salah satu pelaku seni Reog Ponorogo tanpa berorientasi pada keuntungan. Mereka melakukan hal tersebut dengan sepenuh hati, dan sayangnya Pemerintah hanya mampu mengatakan kepada pihak luar maupun seluruh masyarakat Ponorogo bahwa kesenian tersebut harus dipertahankan khasanahnya. Padahal, mereka tidak memfasilitasi pelaku seni Reog maupun sanggar-sanggar yang telah memiliki group Reog di setiap Desa yang ada di Ponorogo. Untuk membelikan gong yang sudah rusak sekalipun harus masyarakat Desa sendiri yang turun tangan karena kesadaran mereka akan kesenian yang mereka miliki.

Di lain pihak, ketika penulis berbincang-bincang dengan salah satu Pegawai Negeri Sipil yang ada di instansi terkait Reog Ponorogo, beliau mengatakan bahwa mereka menunjang fasilitas yang ada di Desa-desa melalui Yayasan Reog yang sudah terdapat di wilayah Desa tersebut. Memang tidak sepenuhnya mereka berikan. Hanya sebatas dana kecil untuk anggaran mereka.

Dengan hal tersebut, beberapa spekulasi muncul ketika beberapa informan mengatakan bahw keterkaitan pemerintah hanya sebatas “Nebeng Nama” saja. Salah satu sesepuh yang biasanya juga ikut dalam Festival Reog Nasional maupun Festival Reog Mini mengatakan bahwa ketika tahun 1942 samapi saat ini beliau masih hidup, beliau tetap mempertahankan Reog Ponorogo tanpa meminta campur tangan dari

commit to user

informan) ketika masa tua yang harus dinikmati saat ini beliau nikmati dengan melatih anak-anak muda muali dari anak kecil sampai dewasa yang berdatangan sendiri di tempat Mbah Trimo. Mbah Trimo juga tidak pernah memasang tarif berapa beliau harus dibayar ketika diminta untuk melatih dari pihak Sekolah maupun dari gerombolan anak muda yang ingin memperdalam Reog Ponorogo. Beliau hanya mempunyai tujuan agar generasi-generasi muda yang ada saat ini mampu mengembangkan Reog Ponorogo sampai mereka benar-benar bisa dan patut mempertahankan hingga mereka tua seperti yang dilakukan oleh Mbah Trimo yang juga merupakan pelaku seni Reog Ponorogo sebagai Klono Sewandono. Sampai saat ini riwayat Mbah Trimo juga sudah dikenang oleh masyarakat Desa Sumoroto ataupun masyarakat Ponorogo. Ketika berbincang-bincang dengan beliau, sangat terlihat jelas bahwa identitas yang dikenakan dan dimiliki beliau merupakan salah satu cara ia eksis sampai sekarang di dunia Reog Ponorogo. Mulai dari gesture tubuh pada usia 90an tahun masih mampu untuk melatih dan kuat untuk bepergian kemana-mana, beliau juga masih mampu untuk membuat pakaian serta seperangkat alat yang dikenakan pada tarian Reog Ponorogo. Perawakan tubuh yang gagah terlihat seperti warok serta berpakaian yang bergambar warok Ponorogo.

Dahulunya Reog Ponorogo memang dibenarkan bahwa memiliki unsure-unsur magis yang ada dan melekat pada tarian tersebut. Salah satunya adalah Barongan. Ketika orang melihat Barongan yang hanya

commit to user

merak dengan berat sampai 10 Kg orang awanpun berspekulais bahwa adanya unsure magis yang digunakan oleh pelaku tersebut. Dulunya, pelaku seni Barongan tersebut datang ke Kyai untuk meminta kekuatan dengan menggunakan susuk. Namun hal tersebut lama kelamaan sudah pudar, dikarenakan dengan mereka berlatih sungguh-sungguh mereka dengan sendirinya akan ahli dalam bidang tarian yang dimainkan. Tidak hanya hal tersebut, terkadang saat ini masih ada orang yang mengundang Reog Ponorogo untuk ditampilkan di acara hajatan tetap menggunakan macam-macam sesajen yang diminta oleh pelatih maupun sesepuh yang ada di situ. Hal tersebut, lama kelamaan sudah jarang diikuti karena adanya modernisasi yang marak saaat ini.

Di mata Masyarakat Desa Sumoroto, Reog Ponorogo selalu akan disajikan sebagus mungkin. Dasarnya Reog Ponorogo adalah Desa yang pertama kali di Ponorogo. Masyarakatnya juga sangat antusias dengan sajian-sajian yang ada. Sebelum muncul adanya sanggar-sanggar di Desa Sumoroto, dulunya diadakan festival Reog tingkat Kawedanan. Desa Sumoroto memiliki banyak pelaku seni Reog, dari pelaku seni yang sudah lengkap dan siap mereka akan ditampilkan pada malam bulan purnama di Alun-alun Ponorogo. Pelestarian tersebut tidak hanya datang dari pelaku seni saja, anak-anak yang masih kecil serta para remaja juga sering diikutkan dalam pementasan melalui perwakilan Desa maupun Sekolah. Seperti halnya yaitu Festival Reog Mini, dimana pelaku seninya adalah

commit to user

Nasional diikuti oleh pelajar SMA dan Umum serta pihak dari luar kota juga sering mengikuti. Para pelatih khususnya yang ada di Desa Sumoroto sebenarnya tidak memiliki upah yang cukup untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun karena kecintaan mereka dengan Reog Ponorogo, maka mereka melakukan semua itu berdasarkan hati dan keikhlasan agara terjaga dan tetap lestari Kesenian Tradisonal yang mereka miliki.

Penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu generasi muda yang ada di kota Ponogo dimana dia merupakan masyarakat umum dari Reog Ponorogo. Informan yang penulis wawancarai merupakan pelajar dari salah satu universitas yang ada di Ponorogo yaitu Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Dia mengatakan bahwa ketika ia kecil sampai sekarang, ia selalu mengikuti kegiatan apa saja yang diadakan oleh pemerintahan setempat. Walaupun ia tidak pernah berkecimpung dalam dunia seni terutama Reog Ponorogo, ia selalu ikut berpartisipasi yang berkaitan dengan Reog Ponorogo. “Reog Ponorogo itu menurut saya tarian yang patut dipertahankan, gak

hanya itu sedikit cerita ya mbak saya dulu waktu kecil sampai sekarang masih sering mengikuti kegiatan Reog, kadang-kadang waktu berada di luar kota maen gitu saya dan teman-teman belain pulang Cuma pengen mengikuti acara Reog Ponorogo itu” ujar Mas Ardi

Pada kehidupan di Desa Sumoroto juga terdapat sebuah tradisi nilai-nilai kearifan lokal yang masih bertahan sampai sekarang yaitu ketika Desa Sumoroto atau salah satu wilayah yaitu Bantarangin mengadakan

commit to user

petilasan yang ada berupa sesajen yang dipelopori oleh juru kunci Ki Ageng Kutu dan Tetua di Bantarangin. Tidak hanya hal tersebut, untuk masyarakat yang ada disana juga sudah memahami bahwa ketika ada acara yang berkenaan tentang Reog Ponorogo atau yang menempati petilasan tersebut tidak memakai baju berwarna hijau. Hal tersebut merupakan sebuah kiasan dimana Klono Sewandono sangat menyukai warna hijau, dan baju yang dikenakannya dalam memimpin Kerajaan Bantarangin adalah baju berwarna hijau. Maka dari itu ketika ada yang menyamai memakai baju warna hijau yang disengaja maupun tidak disengaja akan mendapatkan musibah seketika itu juga. Salah satu informan yang juga menjadi penonton disana juga mengetahui tentang kejadian tersebut.

“Disana sangat kental, setau saya disana tidak boleh memakai baju berwarna hijau jika ada acara yang berkaitan dengan Reog Ponorogo. Salah satu cara mempertahankan Reog Ponorogo agar tetap eksis itu yang paling dasar harus mencintai Kesenian Reog Ponorogo. Jika kita tidak mencintai, sampai sekarang tidak mungkin Reog Ponorogo tetap eksis. Reog itu sudah berada di darah kita, jadi kita harus patuh untuk melestarikan dan mempertahankannya”

Klono Sewandono tidak menginginkan dirinya disamakan dengan orang lain. Hal tersebut sudah terbukti ketika sedang diadakan gladi bersih Grebeg Tutup Suro ada salah satu yang memakai baju berwarna hijau, ketika Siang itu tidak ada angin, mendung maupun pertanda akan hujan. Secara tiba-tiba ketika seseorang tersebut datang, tiba-tiba datang angin kencang dan merobohkan panggung yang telah dibuat panitia untuk persiapan Grebe Tutup Suroan tersebut. Sebuah tradisi itu dipercaya

commit to user

masyarakat Desa Sumoroto sampai sekarang masih mempertahankan nilai- nilai tradisi leluhur tersebut.