Di Gerbang Kematian

12. Di Gerbang Kematian

Salju turun perlahan. Jam kota menunjukkan pukul sebelas kurang sedikit. Sebuah mobil sedan berwarna hitam meluncur dari utara di atas aspal Smolenskaya Pereulok. Mobil itu kemudian be- lok kanan memasuki jalan yang agak sempit. Tiba-tiba mobil itu berhenti. Sang sopir dan dua orang laki-laki melihat ke kanan dan kiri, juga melihat ke depan dan belakang. Setelah dirasa tidak ada yang melihat, seorang perempuan muda dilempar begitu saja dari dalam mobil dan lang- sung jalan. Perempuan muda itu tergeletak tak berdaya di atas tumpukan salju. Kedua matanya menengadah ke langit yang hitam berhias titik- titik salju yang turun perlahan.

Perempuan yang dilempar dari mobil itu tak lain adalah Yelena. Ia merasa seluruh tubuhnya remuk. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Tangan kanannya ia rasa patah, sedangkan tan- gan kirinya susah ia gerakkan. Kepalanya ia ra- sakan nyeri luar biasa.

Salju terus turun. Udara semakin dingin. Gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Yelena merasa sekarat. Belum per- nah dalam hidupnya ia mengalami penyiksaan dan penghinaan seperti yang ia alami saat itu. Ia diperlakukan tidak sebagaimana layaknya manusia oleh tiga orang lelaki hidung belang. Ia dicambuk, dipukul dan ditendang bergantian selama berjam-jam. Empat kali ia pingsan. Dan begitu bangun ia kembali disiksa, dihina dan diperlakukan tidak sebagai manusia. Setiap kali ia berteriak minta tolong atau minta ampun, para penyiksanya itu justru semakin senang dan se- makin beringas menghajarnya. Sampai akhirnya ia pingsan yang keempat kalinya. Ketika bangun ia sudah ada di dalam mobil dan kemudian dilempar begitu saja ke pinggir jalan seperti kotoran.

Yelena berusaha berteriak sekeras-kerasnya minta tolong. Namun pita suaranya seperti sudah putus. Saat disiksa berjam-jam ia sudah kehabis- an suara karena terus menjerit-jerit kesakitan.

Yelena berusaha menggerakkan kedua kakinya, tapi tidak bisa. Ia sudah seperti lumpuh tak bertenaga.

Sementara salju terus turun dan udara semakin dingin. Yelena mulai menggigil kedinginan. Jika dalam satu jam tidak ada yang menolongnya memasukkan tubuhnya ke tempat yang hangat, ia akan mati membeku. Ia berharap ada orang yang lewat jalan kecil itu. Di kejauhan ia melihat satu dua orang berlalu lalang di jalan besar. Ia berter- iak minta tolong, tapi suara itu tidak ada yang keluar.

Salju terus turun perlahan. Setitik demi setitik salju itu menutupi mantel Yelena. Yelena masih bernafas, tapi ia tidak merasakan apa-apa kecuali rasa dingin dan rasa sakit yang luar biasa di se- luruh tubuhnya.

Yelena tiba-tiba dicekam rasa takut yang luar biasa. Ia akan mati! Yelena meneteskan airmata. Ia bahkan tidak bisa menyeka i airmatanya kar- ena tangannya terasa kaku tidak bisa digerakkan lagi. Ia merasa sedang berada di gerbang Yelena tiba-tiba dicekam rasa takut yang luar biasa. Ia akan mati! Yelena meneteskan airmata. Ia bahkan tidak bisa menyeka i airmatanya kar- ena tangannya terasa kaku tidak bisa digerakkan lagi. Ia merasa sedang berada di gerbang

Beberapa koran akan memberitakan kema- tiannya sebagai gembel yang banyak mati di Moskwa tiap tahun. Jika ada polisi yang mem- visum mayatnya, pasti akan disimpulkan, bahwa ia akan dianggap gembel kotor yang bekerja se- bagai pelacur yang naas digebuki pelanggannya. Yelena kembali meneteskan airmata. Apakah ia akan mati sehina itu? Apakah ia benar-benar akan mati mengenaskan seperti anjing yang mati membeku di pinggir jalan karena penyakitan?

Ia sangat takut. Ia tidak siap untuk mati. Ia masih ingin hidup. Tapi siapakah yang akan menyelamatkannya dalam kondisi sekarang sep- erti itu? Siapakah yang akan menyelamatkannya? Ia bertanya-tanya dalam lolongan panjang hat- inya yang nyaris putus asa.

Ia ingat sesuatu. Ia punya ponsel di saku paltonya. Ya, jika ia bisa menghubungi polisi Ia ingat sesuatu. Ia punya ponsel di saku paltonya. Ya, jika ia bisa menghubungi polisi

Tapi ia seperti tidak bisa lagi bergerak. Ia kumpulkan segenap tenaga untuk bergerak. Tan- gan kirinya ia paksa untuk bergerak. Tidak bisa. Tangan kanan. Tidak bisa. Seolah tangan itu bukan tangannya lagi. Seolah tangannya telah hilang. Ia mencoba sekali lagi. Ia kumpulkan se- genap semangatnya. Ia harus bisa mengambil ponselnya. Tangan kirinya sedikit bisa di- gerakkan. Ia sedikit merasa ada harapan. Ia terus memaksa. Tangan itu bergerak ke arah saku paltonya. Terus ia paksa. Akhirnya bisa meraih ponselnya.

Ia harus berusaha lebih keras lagi. Ia tidak ingin mati. Kalau pun ia harus mati, biarkah ia mati di atas kasur di dalam kamar dalam aparte- mennya yang hangat,'jangan di pinggir jalan kecil dan membeku seperti anjing berpenyakitan.

Ponsel itu perlahan bisa ia raih. Tangan kir- inya terus ia paksa. Ia gerakkan ke arah mukanya. Akhirnya ponsel itu sudah berada tepat di depan hidungnya. Ia merasa harapan untuk hidup ada di depannya. Ponsel itu mati. Dengan jari-jarinya perlahan ia hidupkan ponsel itu. Tidak juga hidup. Ia diserbu rasa cemas luar biasa. Ia ingat, sejak siang baterai ponselnya lemah. Ia belum sempat mengisinya. Ia tekan tombol untuk menghidupkan ponsel itu, tetap saja tidak hidup. Ponsel itu tetap mati! Ia langsung putus asa, be- rarti ia akan juga mati! Teknologi tidak juga menyelamatkannya.

Salju terus turun perlahan, setitik demi setitik menutupi wajah Yelena. Airmata terus mengalir dari kedua mata Yelena. Ia mulai sekarat. Ajalnya sudah dekat. Malaikat maut sudah Salju terus turun perlahan, setitik demi setitik menutupi wajah Yelena. Airmata terus mengalir dari kedua mata Yelena. Ia mulai sekarat. Ajalnya sudah dekat. Malaikat maut sudah

Dalam cemas dan rasa takut yang tiada terkira, ia meminta kepada Tuhan agar diberi kesempatan untuk tetap hidup. Ia minta kepada Tuhan agar mengulurkan tangan pertolongan-Nya. Airmata Yelena terus menetes. Suara hatinya yang paling dalam terus menjerit meminta pertolongan Tuhan. Berkali-kali nama Tuhan ia sebut dalam hati. Ia benar-benar berharap, Tuhan tidak akan pernah melupakannya meskipun ia telah lama melupakan Tuhan. Akankah Tuhan mengulurkan kasih sayang-Nya pada Yelena, pelacur papan atas Rusia yang telah lama meninggalkan-Nya? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Di ruangan Profesor Tomskii, Ayyas asyik membaca buku sampai pukul sebelas malam. Ia tidak sadar, bahwa sudah tiba saatnya ia harus meninggalkan kampus. Seorang polisi keamanan kampus mengetuk pintu. Ayyas bangkit mem- buka pintu dengan buku tetap ia pegang. Polisi itu menatap Ayyas dengan wajah dingin.

"Maaf Anda harus meninggalkan kampus!" Kata polisi itu tanpa senyum sedikit pun.-

"Boleh saya di sini sampai pagi? Saya harus melakukan riset perpustakaan." Jawab Ayyas minta kelonggaran.

"Maaf tidak bisa. Data yang masuk di kami, Anda diijinkan sampai jam sebelas malam. Jadi Anda harus tinggalkan ruangan ini."

"Baiklah. Kunci ruangan ini bagaimana?" "Biar kami yang mengurus." Mau tak mau Ayyas harus segera berkemas

dan meninggalkan ruangan Profesor Tomskii. Sebenarnya ia ingin tinggal di situ sampai pagi. Kalau lelah ia bisa tidur di sofa. Ia tidak perlu khawatir tidak membawa selimut, sebab ruangan dan meninggalkan ruangan Profesor Tomskii. Sebenarnya ia ingin tinggal di situ sampai pagi. Kalau lelah ia bisa tidur di sofa. Ia tidak perlu khawatir tidak membawa selimut, sebab ruangan

Setelah Ayyas keluar, polisi itu mengunci ru- angan dan mengikuti Ayyas dari jauh. Ayyas ber- jalan menuju stasiun

Universitet. Metro paling akhir pukul satu dini hari, jadi ia tidak perlu khawatir. Salju turun per- lahan, angin berhembus kencang. Rahang Ayyas mengeras dan gigi-giginya beradu gemeretak me- nahan dingin.

Ayyas tetap kedinginan meskipun ia memakai pakaian dingin cara Rusia lengkap. Pakaian ia sampai rangkap lima. Yaitu kaos dalam, lalu kaos monyet atau ia sebut kaos hanoman yang mepet ke kulit, kaos panjang biasa, kemeja, sweeter dan terakhir mantel musim dingin yang biasa disebut palto. Perlengkapan itu masih ditambah syal, Ayyas tetap kedinginan meskipun ia memakai pakaian dingin cara Rusia lengkap. Pakaian ia sampai rangkap lima. Yaitu kaos dalam, lalu kaos monyet atau ia sebut kaos hanoman yang mepet ke kulit, kaos panjang biasa, kemeja, sweeter dan terakhir mantel musim dingin yang biasa disebut palto. Perlengkapan itu masih ditambah syal,

Ayyas berjalan menuju stasiun metro dengan hati setengah terpaksa dan malas. Yang mem- buatnya malas pulang apartemen adalah karena di apartemen itu ada Yelena dan Linor. Dua perem- puan muda Rusia yang kini membuatnya ingin mual jika memandang wajahnya. Ya, Yelena dan Linor memang jelita, lapi apa yang dilakukan Linor bersama Sergei yang seperti binatang jalang, dan apa yang dilakukan Yelena dengan banyak lelaki hidung belang membuatnya merasa jijik bukan kepalang. Wajah jelita itu tidak lagi ada artinya apa-apa ketika harga diri dan jiwa ke- manusiaannya samasekali telah tiada. Maka

Ayyas berharap, ketika sampai di apartemen, dua perempuan itu telah tidur di kamarnya atau samasekali tidak ada di apartemen, sehingga ke- dua matanya tidak perlu melihat mereka.

Stasiun mulai lengang tapi tetap ada orang. Ayyas naik metro di gerbong paling belakang. Ia duduk di samping lelaki

I tua bermata cekung. Lelaki itu tidak memedu-

likannya samasekali, kedua matanya terpaku pada koran Pravda yang ia jembreng. Metro ber- jalan dengan kecepatan sedang.

Seperti biasa, sampai di stasiun Arbatskaya Ayyas turun ganti metro. Pemuda dari Indonesia itu berjalan santai dan tenang, tidak tergesa-gesa. Yang membuatnya sedikit berpikir adalah, bahwa perutnya terasa lapar sampai melilit perih. Berarti begitu sampai di Smolenskaya ia harus mencari gastronom (Toko yang menjual makanan ber- ukuran sedang. Di Moskwa dan di kota-kota lain di Rusia terdapat toko-toko atau warung yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari Seperti biasa, sampai di stasiun Arbatskaya Ayyas turun ganti metro. Pemuda dari Indonesia itu berjalan santai dan tenang, tidak tergesa-gesa. Yang membuatnya sedikit berpikir adalah, bahwa perutnya terasa lapar sampai melilit perih. Berarti begitu sampai di Smolenskaya ia harus mencari gastronom (Toko yang menjual makanan ber- ukuran sedang. Di Moskwa dan di kota-kota lain di Rusia terdapat toko-toko atau warung yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari

Di bawah tanah, metro melaju dengan kece- patan sedang. Di atasnya mobil-mobil masih ber- lalu lalang. Malam semakin kelam. Salju turun perlahan. Udara semakin dingin. Tiap-tiap manusia mengalami kejadian yang berbeda satu sama lain. Malam selalu menjadi saksi bagi ke- baikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedi- han, kesejahteraan dan penderitaan, juga ke- hidupan dan kematian.