Pemeriksaan Polisi

9. Pemeriksaan Polisi

Mobil BMW SUV X5 hitam itu meluncur ce- pat ke utara meninggalkan pusat kota Moskwa. Setelah melewati Tlmiryazevskaya mobil itu be- lok kanan. Seorang perempuan muda duduk di kursi sopir, di sebelahnya seorang lelaki dengan muka berdarah terkulai lemah. Bibir lelaki itu pu- cat menahan dingin yang luar biasa. Mobil terus berjalan kencang menembus dinginnya malam dan salju yang tipis turun perlahan.

"T..tolong, bawa aku ke rumah sakit Linor. T..t..tolong." Rintih lelaki itu. Linor diam seribu bahasa. Mukanya sangat dingin menyiratkan kemarahan luar biasa. Ia su- dah tahu apa yang harus ia lakukan pada lelaki yang ada di sampingnya. Kali ini ia sudah tidak mungkin memaafkannya.

"Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!" Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tu- buhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti "Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!" Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tu- buhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti

Di sebuah tempat yang gelap dan sepi Linor mengganti plat mobilnya dengan sangat cepat. Ia lalu kembali masuk ke mobilnya dan men- jalankan mobilnya kembali ke Timiryazevskaya. Salju terus turun perlahan. Linor membawa mo- bilnya terus ke utara hingga melewati hutan bereozka.

"Aaakh!" Lelaki itu mengerang pelan lalu diam. Kedua matanya mel'otot ke depan. Linor samasekali tidak memerhatikannya. Yang ada dalam benaknya adalah membawa lelaki yang kini sangat dibencinya itu ke suatu tempat untuk dihabisinya. Ia tidak bisa melupakan rasa sakit- nya saat nyaris mati dicekik oleh lelaki itu.

Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian belok kiri memasuki jalan agak sempit yang ber- salju tebal. Linor bekerja keras agar bisa mele- wati salju itu dengan baik. Mobil terus maju perlahan-lahan. Setengah jam kemudian nampak Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian belok kiri memasuki jalan agak sempit yang ber- salju tebal. Linor bekerja keras agar bisa mele- wati salju itu dengan baik. Mobil terus maju perlahan-lahan. Setengah jam kemudian nampak

Sergei diam saja. Tidak bergerak samasekali. "Hai mana kepongahanmu Sergei? Bicara

Sergei!"

Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tu- buh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya, tak ada denyutnya samasekali. Sergei yang akan dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan menghabisi orang yang ingin membunuhnya. Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tu- buh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya, tak ada denyutnya samasekali. Sergei yang akan dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan menghabisi orang yang ingin membunuhnya. Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak

Linor tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menurunkan mayat Sergei dan membiarkannya berdebam begitu saja di atas salju. Ia lalu lari ke dalam gudang. Ia mendapat beberapa pakaian be- kas, kain serbet dan ember. Linor menyeret may- at Sergei, lalu melucuti semua pakaiannya. Sete- lah itu ia menyiram mayat Sergei dengan air, di bagian tertentu ia menggosoknya dengan kain lap. Setelah Linor yakin mayat itu aman diting- gal, tidak ada DNA dirinya yang nempel pada mayat itu, Linor memakaikan pakaian bekas pada mayat itu. Kemudian menyeret mayat itu ke jalan beberapa puluh meter di belakang mobil. Linor meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja.

Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok belakang mobilnya. Setelah mengembalikan em- ber dan beberapa kain ke tempatnya Linor men- jalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok belakang mobilnya. Setelah mengembalikan em- ber dan beberapa kain ke tempatnya Linor men- jalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun

Linor kembali memasuki pinggir kota Moskwa, menuju kawasan Skakovaya. Ia mem- bawa mobilnya melewati gang sempit. Salju yang menumpuk terlalu tinggi. Ia berhenti. Dengan ce- pat ia kembali mengganti plat nomor mobilnya. Setelah itu ia mengambil bungkusan kain dari jok belakang. Ia tinggalkan mobilnya begitu saja. Dan dengan sedikit tergesa-gesa ia melangkah memasuki bangunan tua yang tidak dihuni siapa- siapa. Dengan sedikit sinar dari ponselnya yang menyala ia menemukan sebuah kotak tua di po- jok ruangan. Ada senter kecil, bensin dan korek api. Ia memeriksa bungkusan itu.

Yang pertama ia ambil adalah ponsel milik Sergei. Dari ponsel itu ia mengirim sms kepada sebuah nama, tepatnya seorang bernama Yvonna

Melnikova, mengajak untuk bertemu di sebuah cafe malam di Arbatskaya. Lalu ia mengirim sms kepada saudara tua Yvonna yang bernama Boris Melnikov, isinya minta izin berkencan dengan adiknya di Arbatskaya. Baru setelah itu, dengan ponsel yang sama ia menelpon sebuah cafe malam di Arbatskaya. Ia membesarkan suara menjadi suara lelaki dewasa. Dalam telpon ia memesan tempat untuk dua orang, namanya Sergei Gadotov dan Yvonna Melnikova.

Setelah itu Linor membakar seluruh barang milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecu- ali ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan mengendarainya dengan cepat kembali ke aparte- mennya. Salju terus turun pelan-pelan. Ia terseny- um dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia ber- harap bahwa salju itu akan terus turun sampai jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan Setelah itu Linor membakar seluruh barang milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecu- ali ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan mengendarainya dengan cepat kembali ke aparte- mennya. Salju terus turun pelan-pelan. Ia terseny- um dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia ber- harap bahwa salju itu akan terus turun sampai jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan

Sampai di apartemen ia kaget ruang tamu tel-

ah rapi. Kamar Ayyas dan Yelena gelap, berarti sudah tidur. Ia teliti dengan seksama ruang tamu itu. Bekas yang tersisa adalah noda darah yang terlihat jelas di karpet dan sofa. Linor menggeser sofa dan mengangkat karpet dengan agak susah. Ia gulung karpet itu dan membawa ke kamarnya. Ia mengeluarkan karpet baru dari bawah kolong tempat tidurnya dan memasukkan karpet bernoda darah itu ke sana. Karpet baru itu memiliki warna yang sama persis dengan karpet lama. Mereknya juga sama. Linor lalu memasang kapet baru itu di ruang tamu. Ia yakin, bahkan Yelena sekalipun jika tidak teliti tak akan mengira kalau karpetnya telah diganti.

Setelah itu Linor membersihkan bercak darah yang ada di sofa dengan keterampilan khusus yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang, meskipun tidak seratus persen. Linor kembali memeriksa kamar tamu dan dapur dengan Setelah itu Linor membersihkan bercak darah yang ada di sofa dengan keterampilan khusus yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang, meskipun tidak seratus persen. Linor kembali memeriksa kamar tamu dan dapur dengan

*** Ayyas terbangun setelah alarm dari ponselnya melengking-lengking hampir satu menit. Ia mendengar percakapan dua orang di ruang tamu. Suara Yelena dan Linor. Tidak biasanya mereka bangun sepagi ini. Ayyas menggerakkan kepalan- ya ke kanan dan ke kiri, lalu bangkit untuk mengambil wudhu dan shalat Subuh. Setelah itu berzikir dan membaca Al-Quran. Dua puluh menit kemudian Ayyas keluar dari kamarnya.

"Kak Dela (Apa kabar) Ayyas?" Sapa Yelena begitu melihat Ayyas menyembulkan kepalanya dari pintu kamarnya.

"Ya Vso Kharasyo (Saya baik-baik saja)." Jawab Ayyas.

"Mungkin sebentar lagi polisi akan datang." Kata Linor dengan wajah dingin.

"Jadi kau melaporkan aku ke polisi?" Sahut Ayyas. "Tidak. Buat apa?" Tukas Linor. "Ya kau mungkin tidak terima pacarmu itu

aku lumpuhkan."

"Justru aku ingin dia mati saja. Kau lihat kan tadi malam dia aku lempar pakai botol sampai berdarah."

"Terus kenapa polisi datang kemari?" "Ya mungkin ada tetangga yang melaporkan

adanya kegaduhan tadi malam. Atau ada yang melihat aku membawa Sergei yang berdarah- darah."

"Kalau ada yang melaporkan adanya kegaduhan, pasti polisi datangnya langsung tadi malam kan?"

"Seharusnya begitu. Tapi tadi malam salju tur- un, bisa jadi polisi malas. Dan baru pagi ini mereka datang kemari."

"Terus kalau polisi datang kita harus ba- gaimana? Atau kalian ingin aku dipenjara?" Kata Ayyas blak-blakan.

"Tidak. Jika polisi datang biar kami yang menghadapi. Kami yang orang Rusia. Kamu se- baiknya diam saja di kamarmu. Kalau polisi mas- uk juga ke kamarmu dan bertanya ini itu, pura- pura tidak bisa bahasa Rusia saja." Kali ini Yelena yang menjawab.

Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali- kali. Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara mengisyaratkan yang datang adalah polisi. Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas menurut tanpa membantah sedikit pun, jan- tungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pas- rah. Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perem- puan itu sepakat untuk memfitnah dan Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali- kali. Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara mengisyaratkan yang datang adalah polisi. Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas menurut tanpa membantah sedikit pun, jan- tungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pas- rah. Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perem- puan itu sepakat untuk memfitnah dan

Linor membuka pintu. Dua polisi masuk dan menjelaskan maksud kedatangannya.

"Ada yang melapor kepada kami, tadi malam di sini telah terjadi kekacauan, dan ada yang ter- luka. Apa benar?" Tanya seorang polisi berwajah lonjong.

"Iya benar. Tapi sebenarnya cuma kekacauan kecil biasa." Jawab Linor.

"Kekacauan kecil bagaimana? Katanya ada yang berdarah-darah, ada suara minta tolong segala." Cecar polisi satunya yang lebih berumur bernama Kirsanov.

"Ah Tuan ini seperti tidak pernah muda saja. Yang bertengkar itu saya tadi malam. Saya dengan pacar saya. Biasa Tuan, karena cemburu. Saya melemparinya botol-botol vodka dan wiski.

Salah satunya mengenai pelipisnya. Dia berd- arah. Hanya luka kecil. Tapi kami sudah baik lagi."

"Di mana pacar Anda itu sekarang? Namanya siapa?"

"Sekarang istirahat di rumahnya Tuan. Namanya Potseluyev. Dia tinggal di sebuah apartemen kecil di kawasan Semenovskaya. Tuan bisa mengeceknya ke sana." Jawab Linor dengan sangat yakin.

"Berarti Anda dan pacar Anda harus dibawa ke kantor polisi. Karena kalian mengganggu ketenangan." Tegas polisi Kirsanov.

"Ini kan cuma persoalan kecil anak muda Pak. Kenapa harus diperbesar, seperti Bapak tidak pernah muda atau tidak punya anak remaja saja." Bantah Linor.

"Dia benar, Pak Kirsanov. Tidak usah diper- panjang. Yang melaporkan kakek tua yang egois itu. Hampir setiap minggu dia lapor. Ada-ada saja yang dia laporkan ke polisi." Polisi berwajah lonjong memperkuat bantahan Linor.

Polisi bernama Kirsanov diam sesaat, matanya melihat ke seluruh ruang tamu. Ia mencari-cari kalau ada yang mencurigakan. Setelah merasa tidak' menemukan apa-apa, ia berkata, "Baiklah. Kali ini kami maafkan. Lain kali kalau ribut dengan pacar jangan sampai mengganggu orang lain ya."

"Baik Tuan. Oh ya jadi memerlukan alamat pacar saya?" Kata Linor.

"Ah sudah tidak perlu." Jawab Kirsanov. Ke- dua polisi itu lalu pergi meninggalkan apartemen. Yelena bernafas lega. Ayyas juga menarik nafas lega. Ia telah mendengar pembicaraan dua polisi itu dari kamarnya. Ia bisa melewati hari-hari di Rusia dengan tenang.

Ayyas keluar dari kamarnya. Ia pura-pura ber- tanya, "Bagaimana, mereka sudah pergi?"