Rencana Jahat

20. Rencana Jahat

Memang sudah nasibnya, pemuda Indonesia itu harus mati!" Kata Linor dalam hati. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melaksanakan kepu- tusan rapat bersama Ben Solomon dan agen-agen lainnya. Tugasnya tidak susah, hanya meletakkan tas ransel yang telah diisi bahan-bahan untuk membuat bom di kamar Ayyas. Tas itu harus ia letakkan di kamar Ayyas, tentu saja tanpa sepen- getahuan Ayyas. Dan harus diletakkan beberapa jam sebelum polisi pemerintah Rusia menggere- bek kamar Ayyas.

Rencana Ben Solomon sangat detil dan kemungkinan kesalahannya sangat kecil. Yang akan diledakkan adalah lobby Metropole Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Ing- gris. Akan ada korban, tapi pejabat itu akan di- jaga untuk tetap selamat meskipun luka. Yang Rencana Ben Solomon sangat detil dan kemungkinan kesalahannya sangat kecil. Yang akan diledakkan adalah lobby Metropole Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Ing- gris. Akan ada korban, tapi pejabat itu akan di- jaga untuk tetap selamat meskipun luka. Yang

Dengan adanya pemboman itu, seluruh dunia akan mengutuk aksi pemboman itu. Dan pihak keamanan Rusia akan mencari pelaku pemboman itu. Di sinilah Ben Solomon dan anak buahnya mempermainkan dunia. Seorang anak buah Ben Solomon akan masuk ke Metropole Hotel dengan menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas. Hasil rekaman dari Linor sangat membantu penyamaran itu. Setelah itu anak buah Ben So- lomon akan menampakkan diri kepada pihak keamanan di dekat apartemen di mana Ayyas menginap, sehingga pihak keamanan akan sangat mudah menarik benang merah.

Dan dari bukti yang sudah direkayasa oleh Ben Solomon dan anak buahnya, pihak keaman- an akan menetapkan Ayyas sebagai tersangka pengeboman. Bukti yang tidak akan terbantahkan adalah dengan ditemukannya bahan-bahan peledak di kamar Ayyas. Setelah Ayyas ter- tangkap, Ben Solomon akan mengerahkan Dan dari bukti yang sudah direkayasa oleh Ben Solomon dan anak buahnya, pihak keaman- an akan menetapkan Ayyas sebagai tersangka pengeboman. Bukti yang tidak akan terbantahkan adalah dengan ditemukannya bahan-bahan peledak di kamar Ayyas. Setelah Ayyas ter- tangkap, Ben Solomon akan mengerahkan

Linor pulang ke apartemennya dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Ia merasa bahagia bisa mengabdikan hidupnya untuk kejayaan negeri yang dijanjikan oleh Tuhan dalam Talmud. Meskipun seringkah ia merasa hampa jiwanya, tapi saat menjalankan sebuah operasi yang ia yakini akan berhasil, semangatnya muncul begitu saja.

Sampai di apartemen, Linor langsung masuk ke kamarnya. Ia bawa ransel berisi bahan-bahan peledak itu. Ia tersenyum. Tugasnya kali ini sangat ringan, hanya meletakkan bahan peledak itu ke kamar sebelahnya, nanti jika sudah tiba waktunya. Sangat mudah. Dengan kamera yang ia pasang di kamar Ayyas, ia tahu semua gerak- gerik Ayyas. Kapan saat-saat Ayyas banyak di Sampai di apartemen, Linor langsung masuk ke kamarnya. Ia bawa ransel berisi bahan-bahan peledak itu. Ia tersenyum. Tugasnya kali ini sangat ringan, hanya meletakkan bahan peledak itu ke kamar sebelahnya, nanti jika sudah tiba waktunya. Sangat mudah. Dengan kamera yang ia pasang di kamar Ayyas, ia tahu semua gerak- gerik Ayyas. Kapan saat-saat Ayyas banyak di

Linor merebahkan badannya ke kasur, setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia sempat berpikir kasihan pemuda Indonesia itu, ia tidak tahu apa-apa, tapi ia harus menjadi tumbal untuk kesuksesan operasi Ben Solomon. Jika operasi ini berhasil, sangat mungkin Ben Solomon akan mendapat penghargaan sangat tinggi dari Tel Aviv. Lebih kasihan, pemuda Indonesia itu be- gitu lugu, begitu lurus, tidak tahu dunia spionase sama sekali. Anak muda itu bahkan tidak tahu, kalau keberadaan dirinya di Moskwa akan men- jadi alat empuk bagi orang seperti Ben Solomon. Ia sama sekali tidak tahu kalau tak lama lagi akan menjadi korban rekayasa yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Linor juga berpikir bahwa ia berhutang nyawa pada pemuda itu. Tetapi ia kembali bersikukuh, yang paling mulia di atas muka bumi ini adalah anak-anak Yahwe, selain anak-anak Yahwe sejat- inya adalah diciptakan oleh Yahwe sebagai Linor juga berpikir bahwa ia berhutang nyawa pada pemuda itu. Tetapi ia kembali bersikukuh, yang paling mulia di atas muka bumi ini adalah anak-anak Yahwe, selain anak-anak Yahwe sejat- inya adalah diciptakan oleh Yahwe sebagai

Linor melihat jam tangannya. Pukul dua siang. Semalam suntuk ia tidak tidur karena rapat. Lalu ia sempatkan mengedit tulisan di kantor redaksi di mana ia bekerja. Setelah semua pekerjaannya beres, ia pamit pulang. Ia ingin istirahat kurang lebih dua jam. Setelah itu ia harus membereskan urusannya dengan Boris Melnikov yang masih mencurigainya sebagai pembunuh Sergei Gadotov. Ia berpikiran, pada akhirnya ia akan sekalian menjebak Ayyas sebagai pelaku pem- bunuhan Sergei Gadotov. Ia masih memegang ponsel Sergei. Ponsel itu akan ia masukkan ke dalam tas ransel yang berisi bahan peledak itu sekalian. Dengan begitu ia tidak perlu repot Linor melihat jam tangannya. Pukul dua siang. Semalam suntuk ia tidak tidur karena rapat. Lalu ia sempatkan mengedit tulisan di kantor redaksi di mana ia bekerja. Setelah semua pekerjaannya beres, ia pamit pulang. Ia ingin istirahat kurang lebih dua jam. Setelah itu ia harus membereskan urusannya dengan Boris Melnikov yang masih mencurigainya sebagai pembunuh Sergei Gadotov. Ia berpikiran, pada akhirnya ia akan sekalian menjebak Ayyas sebagai pelaku pem- bunuhan Sergei Gadotov. Ia masih memegang ponsel Sergei. Ponsel itu akan ia masukkan ke dalam tas ransel yang berisi bahan peledak itu sekalian. Dengan begitu ia tidak perlu repot

Saat matanya mau terpejam, ia mendengar suara berisik orang masuk di ruang tamu. Ia ta- jamkan pendengarannya. Ia tersenyum lalu kem- bali memejamkan mata. Yang datang adalah Yelena dan Bibi Margareta. Ia jadi ingat siang ini memang Yelena pulang dari rumah sakit. Aparte- men ini akan kembali hidup dengan hadirnya Yelena. Ia tersenyum membayangkan apa kira- kira komentar Yelena nanti setelah peristiwa pengeboman Metropole Hotel, dan tiba-tiba pelakunya adalah Ayyas.

Ya, Ayyas yang menolong Yelena ketika sedang sekarat, ternyata menurut berita banyak koran, adalah seorang teroris berdarah dingin. Ia ingin tahu apa reaksi Yelena saat itu. Yang pasti Yelena mungkin akan semakin tidak percaya pada Tuhan dan pada semua jenis agama. Linor meraba-raba jalan pikiran Yelena. Ia tersenyum sendiri, dan setelah menyebut Yahwe di hati ia lalu tertidur pulas.

Sementara Ayyas saat itu sedang berada di kantor Sekolah Indonesia Moskwa. Dia berbin- cang dengan Pak Joko Santoso dan dua guru lainnya, yaitu Pak Ismet dan Bu Febriani. Pak Is- met mengajar Sosiologi dan Antropologi, se- mentara Bu Febriani mengajar Fisika dan Matematika.

"Jadi kau belum ke Lapangan Merah?" Tanya Pak Ismet. "Belum Pak." "Sempatkanlah ke sana di musim dingin ini.

Biar kau tahu seperti apa Kremlin yang terkenal itu di musim dingin. Nanti pas musim semi lihat lagi."

"Iya Pak, nanti saya sempatkan." "Sudah berapa masjid yang Mas Ayyas kun-

jungi?" Kali ini Bu Febriani yang bertanya.

"Baru dua. Masjid Balsoi Tatarski dan masjid Pusat Prospet Mira."

"Masih ada tiga masjid lagi yang harus kaukunjungi. Yang satu ada di komplek museum perjuangan Kutuzovski, dan dua lainnya di

Rayon Otradnoye. Yang di Rayon Otradnoye itu unik. Masjid itu ada dalam satu komplek tempat ibadah agama lain, artinya masjid itu ber- dampingan dengan gereja ortodoks dan sinagog." Jelas Bu Febriani.

"Berarti masjid di Rayon Otradnoye itu yang membangun pemerintah Rusia?" Tanya Ayyas.

"Tidak. Yang membangun orang-orang Muslim keturunan latar. Gereja dan sinagog itu juga orang Muslim yang membangun." Jawab Bu Febriani.

"Kok bisa begitu?" "Saya pernah menanyakan hal itu kepada

Imam masjid. Beliau bercerita ihwal pendirian masjid itu. Saat itu izin mendirikan masjid sangat sulit. Pemerintah tidak mengijinkan ada masjid baru di Moskwa. Tetapi orang-orang Islam keturuan Tatar itu tidak kehabisan akal. Seorang deputat Muslim keturunan Tatar melobi pemerin- tah untuk diberi izin mendirikan sebuah komplek rumah ibadah untuk semua agama, tidak hanya untuk umat Islam. Dan izin itu akhirnya Imam masjid. Beliau bercerita ihwal pendirian masjid itu. Saat itu izin mendirikan masjid sangat sulit. Pemerintah tidak mengijinkan ada masjid baru di Moskwa. Tetapi orang-orang Islam keturuan Tatar itu tidak kehabisan akal. Seorang deputat Muslim keturunan Tatar melobi pemerin- tah untuk diberi izin mendirikan sebuah komplek rumah ibadah untuk semua agama, tidak hanya untuk umat Islam. Dan izin itu akhirnya

"Sampai seperti itu perjuangan mereka." "Iya, keinginan mereka menegakkan kalimat

Allah tidak pernah padam."

"Sore ini setelah shalat Ashar, saya mau ke pasar Vietnam. Mas Ayyas mau ikut?" Sela Pak Joko Santoso sambil menyeruput teh panas di hadapannya.

"Itu tawaran yang sangat menarik Pak Joko. Dengan senang hati Pak. Saya perlu tahu lebih banyak sudut-sudut kota Moskwa."

"Di sana, meskipun namanya pasar Vietnam, ada juga penjual dari keturunan Kirgish, Tajik, dan Dagestan. Nanti kau bisa tanya-tanya banyak hal di sana. Ada tetangga apartemen saya yang jualan ikan segar di sana."

"Wah menarik sekali itu Pak."

"Siang ini agak lebih cerah dibandingkan ke- marin. Agak enak untuk jalan-jalan." Sahut Pak Ismet.

"Ya benar." Gumam Bu Febriani sambil mengangkat cangkirnya.

Tak lama kemudian waktu Ashar tiba. Ayyas shalat berjamaah dengan para guru Sekolah In- donesia Moskwa. Setelah itu ia berangkat menuju pasar Vietnam bersama Pak Joko Santoso, Guru Bahasa Indonesia Sekolah Indonesia Moskwa.

Selesai shalat Pak Joko mengajak Ayyas menuju tempat parkir mobil. Pak Joko menuju mobil Volga biru.

"Ayo Mas, silakan masuk. Kita pinjam mo- bilnya Pak Ismet." "Nanti beliau pulangnya bagaimana?" "Dia sendiri tadi yang nawari saya. Dia nanti

pulang agak malam. Dia mau mengoreksi lembar jawaban anak-anak. Dia

selalu begitu. Tidak mau membawa lembar jawaban itu ke rumah. Semua ia selesaikan di selalu begitu. Tidak mau membawa lembar jawaban itu ke rumah. Semua ia selesaikan di

Pelan-pelan mobil sederhana itu mening- galkan komplek KBRI. Dengan santai Pak Joko membawa mobil itu menelusuri Planitskaya Ulista. Terus ke utara, menyeberangi kanal Moskwa, lalu menyusuri pinggir komplek Krem- lin yang megah. Mata Ayyas tidak berkedip memandangi komplek itu. Salju menghiasi bumi di sana sini. Pak Joko mengambil jalan * terus ke utara. Sampai di kawasan Lubyanka, mobil terus melaju melewati gedung KGB Lubyanka yang nampak gagah dan angker. Mobil terus meluncur melewati stadion Olympik, Gedung Teater Tent- ara, akhirnya memotong jalur lingkar dalam kota Sadovaya Koltso dan akhirnya sampai di kawas- an Savelovsky.

Pak Joko memarkir mobil Volga sederhana itu beberapa puluh meter saja dari sebuah komplek pertokoan sederhana yang dipenuhi pedagang yang hampir semuanya berwajah Vietnam.

"Inilah pasar Vietnam. Ayo kita turun." Seru Pak Joko. "Apa istimewanya pasar Vietnam Pak?" "Inilah tempatnya membeli barang murah.

Hidup di luar negeri yang serba mahal harus pinter-pinter cari tempat berbelanja yang tepat. Apalagi kita tidak sehari dua hari di Moskwa, jadi harus pandai-pandai menghemat. Di pasar ini juga kita bisa mencari bumbu-bumbu dapur khas Asia, juga jenis sayuran yang langka seperti kangkung, bayam, katuk dan lain-lain bisa kita cari di sini."

"Pakaian ada, Pak?" "Lha itu, lihat, ada sandal, sepatu, pakaian.

Kau perlu beli pakaian musim dingin lagi. Keli- hatannya yang kaupakai itu yang diberi sama Pak Adi ya. Tidak diganti-ganti."

"Yang bagian luar memang tidak pernah saya ganti Pak. Sebab adanya ini. Tapi yang dalam pasti saya ganti."

"Ya kaubeli lagi, ya satu lagi lah semua item, biar ada ganti."

"Baik Pak. Di sini boleh nawar Pak?" "Harus. Ini kayak Bringharjo Jogja atau pasar

Johar Semarang. Harus nawar semurah- murahnya. Yang pinter nawar dia akan dapat murah. Yang tidak bisa nawar ya bisa kemahalan. Nanti aku bantu nawar."

Pak Joko membawa Ayyas ke toko penjual pakaian. Ayyas memilih-milih pakaian yang cocok ukuran, warna, dan modelnya. Akhirnya dia menemukan yang cocok di antara sekian ban- yak yang tidak cocok.

Ayyas mengambil sepasang pakaian monyet atau pakaian hanoman dari katun yang lengan dan kakinya ia rasa pas. Ia juga mengambil sepasang pakaian olahraga musim dingin yang ia suka, juga sweeter, jas coklat kehitaman. Sepas- ang sepatu hangat yang akan terasa hangat di kaki. Sepasang sarung tangan dari kulit yang halus. Satu palto, yaitu mantel besar berlapis dengan krah berbulu. Dan topi hangat yang ada umbainya, yang disebut shapka, yarig bila cuaca Ayyas mengambil sepasang pakaian monyet atau pakaian hanoman dari katun yang lengan dan kakinya ia rasa pas. Ia juga mengambil sepasang pakaian olahraga musim dingin yang ia suka, juga sweeter, jas coklat kehitaman. Sepas- ang sepatu hangat yang akan terasa hangat di kaki. Sepasang sarung tangan dari kulit yang halus. Satu palto, yaitu mantel besar berlapis dengan krah berbulu. Dan topi hangat yang ada umbainya, yang disebut shapka, yarig bila cuaca

Setelah tawar menawar yang sengit dengan penjualnya, seorang lelaki Vietnam yang wa- jahnya mirip Pol Pot, akhirnya Ayyas bisa membawa barang-barang yang dipilihnya itu dengan harga sangat miring. Itu semua karena jasa Pak Joko. Ayyas harus mengagumi ke- hebatan Pak Joko dalam hal bernegosiasi dengan pedagang Vietnam itu. Pak Joko* bisa membeli barang-barang itu hanya dengan membayar sep- ertiga saja dari harga yang ditawarkan.

Setelah itu Pak Joko membawa Ayyas memas- uki daerah sayur mayur. Pak Joko membeli be- berapa ikat kangkung, bayem, satu kilo bawang bombay, setengah kilo bawang putih, dan bumbu-bumbu dari Vietnam, setelah itu ia menuju ke penjual ikan segar.

"Lelaki berjenggot putih itu namanya Osman- ov. Dia Muslim, keturunan Kirgishtan. Aparte- mennya satu gedung dengan saya." Ujar Pak Joko memberitahu Ayyas.

"Sudah agak tua ya Pak kelihatannya?" "Coba tebak berapa umurnya?" "Enam puluh lima mungkin Pak." "Dia nampak lebih muda dari umurnya. Ia

sebenarnya sudah berumur tujuh puluh lima. Tapi masih segar. Berjalan masih tegak."

"Mungkin, karena banyak makan ikan Pak." "Mungkin. Tetapi yang pasti dia dulu seorang

atlet. Dia seorang pelari cepat. Dia katanya per- nah ikut perlombaan atletik di Moskwa ini tahun enam puluhan. Itulah awalnya dia ke Moskwa. Ketika ikut perlombaan itu, ia berkenalan dengan seorang gadis Moskwa di sebuah restoran. Ia jatuh cinta pada gadis itu, menikah dengannya dan tinggal di Moskwa ini. Ternyata istrinya itu perempuan tidak benar. Istrinya kabur membawa semua harta miliknya dengan pacar gelapnya. Dan dia jatuh miskin. Dia mau kembali ke Kir- gishtan malu. Dia tetap bertahan di sini dengan jualan ikan."

"Kisahnya menyedihkan betul Pak."

"Ya begitulah hidup. Tapi dia sungguh lelaki yang baik hati dan sabar."

Pak Joko melambaikan tangannya kepada se- orang pria berjenggot putih berwajah Asia Tengah. Lelaki tua itu melihat ke arahnya, dan serta merta melambaikan tangannya dan tersenyum.

"Kak Dela?' Sapa Pak Joko ramah. "Ya Vso Kharashor Jawab lelaki tua itu

dengan senyum mengembang.

"Ini kenalkan, adik saya, namanya Muhammad Ayyas." Kata Pak Joko mem- perkenalkan Ayyas.

"Ah senang bertemu kamu. Nama saya Os- manov. Lengkapnya Osmanov Aytugan Aslan- ov." Sahut Osmanov.

" Vi Muslimari! (Anda Muslim?)” Tanya Ayyas, meskipun ia tahu bahwa lelaki tua itu se- orang Muslim.

"Da (Ya)." "Namas sitali? (Anda mengerjakan shalat?)"

"Nyet.(tidak)" Jawab Osmanov dengan raut muka berubah.

"Nyet?f Ayyas heran, lelaki tua itu mengaku Islam tapi dia tidak shalat. Sebelum Osmanov menjawab, Pak Joko lebih dulu memotong,

"Tetanggaku, kau punya ikan lele yang segar?"

"Sayang sekali, kau datang terlambat." Jawab Osmanov. "Lihatlah sudah hampir habis semuan- ya, ini tinggal tersisa ikan Leshch yang ditangkap dari danau Ilmen, masih segar. Ini gurih. Bisa kau buat sup ukha juga. Kau goreng juga enak."

"Masih berapa kilo itu?" "Kalau semua paling sekitar empat kilo." "Baik aku ambil semua." Osmanov dengan cekatan memasukkan pu-

luhan ikan Leshch yang masih segar ke dalam kantong plastik, lalu mengikat dan mer- angkapinya dengan plastik kedua setelah itu menyerahkannya kepada Pak Joko dengan tanpa ditimbang.

"Kenapa tidak ditimbang, Osmanov?"

"Tidak perlu. Ini semua besplatna^ Hadiah untukmu."

"O jangan Osmanov, jangan begitu, kau nanti rugi."

"Tidak. Hari ini aku sudah untung banyak. Sudah terimalah, besplatna\ Jangan kau tolak, nanti aku sedih!" Pinta Osmanov dengan sungguh-sungguh.