Gejolak di Hati Linor

16. Gejolak di Hati Linor

Tengah malam itu salju tidak turun, tapi udara di luar tetap sangat dingin. Linor duduk termang- gu di depan pianonya dengan wajah suram. Ia tu- tup pintu kamarnya rapat-rapat. Entah kenapa ia merasa hidupnya terasa sangat hampa. Ia telah mendapatkan hampir semua yang ia inginkan. Kebebasan hidup yang ia dambakan, ia sudah menggenggamnya. Sudah delapan tahun ia bebas dari segala aturan kedua orangtuanya. Uang yang melimpah ia punya. Bahkan ia bisa keliling dunia tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun kalau ia mau.

Hidup dihormati banyak orang pun telah ia ra- sakan. Dengan kehebatannya bermain biola ia sering dipuji orahg. Dan dengan keanggunan yang ia miliki saat bermain biola, ia bahkan per- nah menjadi istri seorang menteri muda Ru- mania, meskipun cuma satu tahun. Ia memilih cerai karena bosan hidup dengan banyak aturan dan tanpa tantangan. Kini kalau ia mau, ia bisa Hidup dihormati banyak orang pun telah ia ra- sakan. Dengan kehebatannya bermain biola ia sering dipuji orahg. Dan dengan keanggunan yang ia miliki saat bermain biola, ia bahkan per- nah menjadi istri seorang menteri muda Ru- mania, meskipun cuma satu tahun. Ia memilih cerai karena bosan hidup dengan banyak aturan dan tanpa tantangan. Kini kalau ia mau, ia bisa

Linor menyentuhkan jari jemarinya pada tuts- tuts piano. Ia memejamkan mata. Sebentar kemu- dian ia memainkan Sonata Quasi Una Fantasia karya Beethoven. Ia terus memainkan piano itu sambil sesekali mengibaskan rambut pirangnya ke belakang. Linor hanyut dalam permainan mu- siknya seperti orang yang kesurupan. Ia berhenti memainkan piano setelah tubuhnya kehabisan tenaga karena kelelahan.

Linor berusaha mengangkat tubuhnya ke kas- ur. Ia menghempaskan tubuhnya begitu saja di kasur nan empuk itu. Tubuhnya telah kehabisan tenaga karena letih dan lelah, tapi pikirannya benar-benar tidak bisa tenang.

Ia harus membunuh lagi. Kali ini ia ditugasi langsung oleh Ben Solomon. Yang harus ia bunuh adalah seorang gadis yang masih kuliah semester dua di MGU. Gadis itu bernama Rihem, Ia harus membunuh lagi. Kali ini ia ditugasi langsung oleh Ben Solomon. Yang harus ia bunuh adalah seorang gadis yang masih kuliah semester dua di MGU. Gadis itu bernama Rihem,

Linor sudah mengamati segala gerak-gerik gadis itu. Ibarat kata, di mana pun berada, bayan- gan gadis tak pernah luput dari mata spionase Linor. Sungguh, baginya sangat mudah menyele- saikan tugasnya. Masalahnya adalah, entah kenapa untuk kali ini dia tidak ingin membunuh. Gadis itu sedang menjadi kebanggaan ayah dan ibunya. Ia tahu itu. Gadis itu selain kuliah di MGU juga belajar musik di Moscow State Conservatory.

Dan ia telah melihat dengan mata dan kepa- lanya sendiri betapa berbakatnya gadis itu me- mainkan biola. Ia sendiri mengakui dalam hat- inya, kalau kemampuan biola gadis itu terus di asah, ia bisa kalah piawai dengannya. Dalam me- mainkan biola, gadis itu memiliki tiga elemen yang tidak dimiliki oleh semua orang; bakat, Dan ia telah melihat dengan mata dan kepa- lanya sendiri betapa berbakatnya gadis itu me- mainkan biola. Ia sendiri mengakui dalam hat- inya, kalau kemampuan biola gadis itu terus di asah, ia bisa kalah piawai dengannya. Dalam me- mainkan biola, gadis itu memiliki tiga elemen yang tidak dimiliki oleh semua orang; bakat,

Entah kenapa, biasanya ia tidak pernah memi- liki belas kasihan kepada siapa pun. Tapi kali ini ia teringat dirinya beberapa tahun yang lalu. Gadis itu mirip dirinya beberapa tahun yang lalu, ketika belajar bermain biola dengan didampingi oleh ibunya. Ia tidak sampai hati membunuh gadis itu, karena membunuh gadis itu seolah ia membunuh dirinya sendiri. Akan tetapi, jika ia tidak melaksanakan tugasnya, ia sendiri akan dieksekusi oleh Ben Solomon atau agen lainnya. Tak ada pilihan baginya; membunuh gadis itu, atau ia mati dibunuh Ben Solomon. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri merinding.

Selain tugas itu, ia menghadapi masalah baru. Boris Melnikov, bos mafia Voykovskaya Bratva yang terkenal kejam itu mulai mencurigainya se- bagai pembunuh Sergei Gadotov. Sudah lebih Selain tugas itu, ia menghadapi masalah baru. Boris Melnikov, bos mafia Voykovskaya Bratva yang terkenal kejam itu mulai mencurigainya se- bagai pembunuh Sergei Gadotov. Sudah lebih

Memang ada data bahwa Sergei mengirim sms kepada Vyonna yang tak lain adik Boris Mel- nikov, juga kepada Boris Melnikov. Tapi saat sms itu diterima Vyonna, gadis itu sedang ber- sama kakaknya berkunjung ke rumah sepupu mereka yang sedang ulang tahun. Jadi per- mintaan Sergei dalam sms itu yang minta Vy- onna datang samasekali ditolak. Sejak itu Sergei Gadotov tidak terdengar kabarnya. Nomornya samasekali tidak bisa dihubungi.

Awalnya Boris Melnikov mengira, Sergei marah karena permintaannya untuk kencan ber- sama Vyonna ditolak. Tapi setelah lebih dari satu minggu, ia merasa itu sangat tidak wajar. Sebab, selama ini semarah-marahnya tangan kanannya itu, paling lama cuma dua hari. Setelah itu dia akan datang lagi lalu kembali setia menjalankan tugas apa pun yang diberikan kepadanya. Boris merasa ada yang tidak beres pada tangan kanannya.

Insting mafiosonya merasa, tangan kanannya itu telah dibunuh seseorang. Sebab, semua jaringan telah ia periksa dan samasekali tidak ditemukan jejak Sergei Gadotov. Hanya ada seor- ang informan yang mengatakan, melihat Sergei Gadotov bersama seorang cewek mengendarai mobil BMV jenis SUV warna hitam. Informan itu pun tidak bisa memberitahukan detil nomor polisi mobil itu. Tapi dari informasi itu, Boris Melnikov lalu mengembangkan menjadi satu ke- curigaan kuat yang mengarah seseorang sebagai Insting mafiosonya merasa, tangan kanannya itu telah dibunuh seseorang. Sebab, semua jaringan telah ia periksa dan samasekali tidak ditemukan jejak Sergei Gadotov. Hanya ada seor- ang informan yang mengatakan, melihat Sergei Gadotov bersama seorang cewek mengendarai mobil BMV jenis SUV warna hitam. Informan itu pun tidak bisa memberitahukan detil nomor polisi mobil itu. Tapi dari informasi itu, Boris Melnikov lalu mengembangkan menjadi satu ke- curigaan kuat yang mengarah seseorang sebagai

Linor sendiri berusaha setenang mungkin menghadapi tuduhan Boris Melnikov Dengan tanpa gentar sedikit pun dan tanpa ragu samasekali, ia mengatakan dirinya tidak ada ur- usan dengan Sergei Gadotov. Ia mengaku memang mengenal lelaki itu sebagai teman biasa yang hanya sesekali bertemu di Night Flight, Tverskaya. Linor mengaku sudah lama tidak ber- temu Sergei Gadotov.

Boris Melkinov tidak percaya pada penjelasan Linor, tapi ia tidak memiliki cukup bukti untuk mengatakan Linor yang membunuh Sergei. Boris Melnikov terdiam seribu bahasa ketika Linor dengan santai mengatakan, "Ada banyak orang yang memiliki SUV BMW hitam, kenapa harus saya yang dituduh? Apa keuntungan mem- bunuhnya bagi saya? Terus jika saya misalnya berniat membunuhnya, apa iya saya bisa menga- lahkan tangan kanan Boris Melnikov? Coba gun- akan otak kalian!?"

Meskipun untuk sementara merasa aman, tapi Linor punya firasat pada akhirnya Boris Mel- nikov akan menemukan bukti, atau paling tidak, benang merah yang tidak meragukan bahwa Sergei memang telah mati terbunuh. Dan pada akhirnya, Boris Melnikov akan sampai pada kesimpulan, yang membunuh adalah dirinya.

Linor menghela nafas panjang, ia meratapi di- rinya sendiri, kenapa setelah ia mendapatkan ke- bebasan yang sangat luar biasa, justru sampai pada cara hidup yang jauh dari ketenangan dan kebahagiaan. Setiap saat pikirannya hampa dan gelisah.

Linor tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia bangkit dan membuka laptopnya. Ia ingin is- eng melihat apa yang dilakukan oleh pemuda dari Indonesia itu di kamarnya. Apakah pemuda itu tidur dengan pulas tanpa merasa ada beban apa pun? Ataukah pemuda itu juga gelisah seperti di- rinya? Kalau pemuda itu gelisah, meskipun pemuda itu bukan seleranya samasekali, mungkin ia bisa ke kamarnya atau ia bisa mengajaknya Linor tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia bangkit dan membuka laptopnya. Ia ingin is- eng melihat apa yang dilakukan oleh pemuda dari Indonesia itu di kamarnya. Apakah pemuda itu tidur dengan pulas tanpa merasa ada beban apa pun? Ataukah pemuda itu juga gelisah seperti di- rinya? Kalau pemuda itu gelisah, meskipun pemuda itu bukan seleranya samasekali, mungkin ia bisa ke kamarnya atau ia bisa mengajaknya

Ia membuka laptopnya yang melihat apa yang dilakukan Ayyas. Nampaklah di layar laptopnya Ayyas sedang sujud dalam shalatnya. Linor memerhatikan dengan seksama. Gadis berambut pirang itu terus memerhatikan Ayyas sampai se- lesai salam. Setelah itu nampak wajah Ayyas yang jernih duduk membaca kitab suci Al-Quran.

"Kelihatannya dia orang yang taat men- jalankan agamanya!" Gumam Linor. "Akan aku coba, apakah setelah dia beribadah kepada Tuhannya masih tidak tergoda dengan Linor Lazarenko?"

Tubuh Linor yang sudah sangat letih itu tiba- tiba seperti bertenaga kembali. Iblis seolah meniupkan tenaga ke dalam tubuhnya. Linor mengganti pakaiannya dengan pakaian yang jika ia kenakan, maka ia akan memiliki sihir yang mampu meluluhkan iman lelaki mana pun. Bahkan ia yakin malaikat pun jika meman- dangnya akan bertekuk lutut padanya.

*** Ayyas duduk di pinggir tempat tidurnya dengan mushaf di tangan kanannya. Kedua matanya tertuju sepenuhnya pada halaman mush-

af. Bibirnya bergetar lirih melantunkan ayat-ayat suci. Hati dan pikirannya berusaha keras untuk terus mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya, meskipun terkadang tiba-tiba pikirannya melon- cat ke kejadian-kejadian yang dialaminya. Tiba- tiba sambil tetap membaca ia teringat pertama kali tiba di Moskwa, dan ia harus bertemu dengan orang seperti Yelena dan Linor. Yelena yang kini masih terbaring di rumah sakit, dan

Linor yang datang dan pergi tidak pasti waktunya.

Meskipun sudah cukup lama bersama mereka, ia masih merasa bahwa mereka orang-orang yang samasekali tidak ia kenal, selain nama, wajah, dan profesi mereka. Siapa mereka sebenarnya, ia merasa tidak mengenalnya. Ia mencari-cari pela- jaran apa yang harus ia petik dari keberadaan dir- inya bersama mereka. Ujian iman? Ia merasakan betul hal itu. Selama ini ia masih bisa kukuh menjaga imannya. Tetapi setan pasti akan terus mencari celah untuk mengalahkannya.

Demi menjaga iman, ia sudah minta tolong kepada Pak Joko dan orang-orang yang ia kenal di KBRI untuk mencarikan tempat tinggal yang lebih baik lingkungannya. Sampai saat itu belum juga ada kabar dari mereka. Pak Joko masih men- awarkan dirinya agar nanti tinggal saja di rumahnya setelah istrinya pulang ke Indonesia. Itu artinya ia masih harus tinggal di apartemen itu beberapa saat lagi. la tidak memiliki pilihan lain.

Tiba-tiba pikirannya berkelebat mengingat Anastasia Palazzo. Sudah banyak pertanyaan tentang Islam yang ditanyakan Doktor muda itu. Ia telah berusaha menjawabnya sebaik yang ia bisa. Ada satu dua pertanyaan yang hampir mem- buatnya marah, karena pertanyaan itu terasa konyol menurutnya. Tapi ia tahu tidak boleh marah kepada orang yang bertanya. Dan marah samasekali tidak membuat sebuah pertanyaan akan terjawab dengan baik dan bijak. Ia merasa Doktor Anastasia masih akan banyak bertanya tentang Islam, tentang Indonesia, dan tentang Asia Tenggara padanya.

Terkadang saat dia sedang letih, terasa marah juga banyak ditanya ini dan itu. Tetapi setelah terbiasa, akhirnya hal itu bisa menjadi diskusi yang panjang dan menarik. Ia pun tidak jarang banyak bertanya tentang Rusia dan sejarah Asia Tengah. Pada akhirnya ia merasa, Doktor Anastasia Palazzo tidak sebagai pembimbingnya, akan tetapi lebih sebagai teman diskusi tentang sejarah dan peradaban umat manusia.

Beberapa kali Doktor Anastasia Palazzo men- gundangnya datang minum teh ke apartemennya, tapi ia belum bisa memenuhi undangan itu. Sebab undangan itu selalu bertepatan dengan keharusan dirinya menemui Imam Hasan Sadulayev di masjid Prospek Mira.

Ayyas terus membaca Al-Quran. Salju tidak turun, tapi udara di luar sangat dingin. Ayyas menyatu bersama ayat-ayat yang ia baca. Di tengah usahanya untuk terus menyatu dengan isi ayat yang ia baca, telinganya mendengar pintu kamarnya diketuk lirih. Ia tetap membaca dengan suara lirih, pintu kamarnya kembali diketuk, kali ini agak keras dan suara seorang perempuan memanggil namanya. Itu suara Linor. Ia bertanya

dalam hati, ada apa Linor mengetuk pintu kamarnya? Ada perlu apa?

"Ayyas, aku tahu kau mendengar suaraku. To- long buka pintu, aku ingin bicara padamu!" Pinta Linor dengan suara halus. Justru suara Linor yang halus itu yang membuat Ayyas curiga. Se- bab, selama ini Linor selalu berbicara keras dan samasekali tidak ada halusnya padanya. Ayyas jadi merinding, Ayyas teringat apa yang dilak- ukan Linor dengan Sergei beberapa waktu yang lalu. Ia tidak mau mengambil risiko. Kalau ia membuka pintu kamarnya dan ternyata Linor tidak menutup auratnya dengan benar dan ingin mengajaknya melakukan hal-hal yang tidak- tidak, ia merasa belum tentu kuat memperta- hankan imannya. Maka Ayyas memutuskan un- tuk tidak membuka pintu kamarnya samasekali.

Pintu kamarnya kembali diketuk. "Ayyas tolong buka pintu, sebentar saja, aku

ingin bicara padamu penting. Aku tahu kau telah terjaga dan mendengar suaraku. Ayolah, tolong ingin bicara padamu penting. Aku tahu kau telah terjaga dan mendengar suaraku. Ayolah, tolong

Ayyas tetap kukuh untuk tidak membuka pintu kamarnya. Ia punya firasat, jika ia mem- buka pintu, ia akan melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal seumur hidupnya. Maka ia tidak memedulikan suara Linor samasekali. Ia anggap itu adalah suara setan yang ingin meng- ganggu kebersamaannya dengan ayat-ayat suci Al-Quran.

Di luar kamar Ayyas, Linor nampak kesal dan marah permintaannya samasekali tidak digubris oleh Ayyas. Bahkan Ayyas menyahut pun tidak. Linor kembali ke kamarnya, melihat layar laptopnya, Ayyas masih tetap membaca Al-Qur- an. Linor benar-benar gemas dibuatnya. Ia yakin, jika Ayyas mau membuka pintunya lima senti saja, maka ia akan membuat pemuda itu jadi budaknya. Linor kembali mengetuk pintu kamar Ayyas, dengan sedikit lebih keras.

"Ayyas bukalah pintu, aku ingin bicara sebent- ar saja! Apa kau tidak punya telinga, hati dan "Ayyas bukalah pintu, aku ingin bicara sebent- ar saja! Apa kau tidak punya telinga, hati dan

Ayyas hampir goyah ketika dirinya disamakan dengan batu jika tidak menjawab dan membuka pintu kamarnya. Ia sempat hampir bangkit dan membuka pintu kamarnya. Ia akan menghadapi Linor dengan tanpa rasa khawatir. Tetapi ia tidak jadi bangkit, ia malah ingin gadis itu marah dan jengkel. Dalam hati ia berkata, "Kalau mau bi- cara besok saja. Kenapa harus malam-malam be- gini? Mengganggu orang lain saja!"

Ayyas tetap tidak membuka pintu. Ia merasa punya hak untuk itu. Ia punya hak untuk tidak diganggu siapa pun, termasuk Linor.

Dan keinginan Ayyas langsung terwujud. Linor benar-benar marah. Ia menggedor-gedor pintu kamar Ayyas dengan keras. Lalu mencaci- maki Ayyas dengan perbendaharaan kata-kata yang kasar dan tidak semestinya diucapkan. Se- bagian Ayyas paham, sebagian samasekali tidak paham karena cepatnya Linor mengucapkan. Ayyas tidak memedulikannya samasekali. Ia Dan keinginan Ayyas langsung terwujud. Linor benar-benar marah. Ia menggedor-gedor pintu kamar Ayyas dengan keras. Lalu mencaci- maki Ayyas dengan perbendaharaan kata-kata yang kasar dan tidak semestinya diucapkan. Se- bagian Ayyas paham, sebagian samasekali tidak paham karena cepatnya Linor mengucapkan. Ayyas tidak memedulikannya samasekali. Ia

Tak lama kemudian, Ayyas mendengar suara pintu kamar yang dibanting keras. Lalu suasana hening. Linor kembali ke kamarnya dengan wa- jah memerah penuh amarah. Sesekali matanya melihat ke layar laptop, nampak Ayyas masih du- duk dengan tetap membaca Al-Quran. Rasanya ia ingin mencakar-cakar dan merobek-robek wajah pemuda yang tidak mengindahkan dirinya samasekali. Ia sangat tersinggung. Baru kali ini ada pemuda yang diajak bicara pun tidak men- jawab, diminta membuka pintu kamarnya sebent- ar pun tidak mau. Dengan gigi gemeretak Linor berjanji dalam hati akan memberi pelajaran yang penting pada Ayyas suatu saat nanti. Pelajaran yang takkan pernah bisa dilupakan Ayyas seumur hidupnya. Pelajaran apakah itu? Hanya Linor yang bisa menjawabnya.

Pagi itu, pukul sembilan kurang seperempat Ayyas sudah siap pergi ke kampus MGU. Ia akan mampir ke rumah sakit sebentar, sekadar menen- gok keadaan Yelena. Sudah dua hari ia tidak menengok Yelena. Sedikit memerhatikan Yelena yang sedang dirawat di rumah sakit baginya ada- lah bagian dari panggilan nurani kemanusi- aannya. Ia merasa lega Bibi Margareta bisa menenunggui Yelena sepenuhnya. Dan Yelena merasa seperti memiliki bibi yang menyay- anginya. Dua hari yang lalu Yelena berkata padanya, mungkin ia akan mengajak Bibi Mar- gareta untuk hidup menemaninya, dan keli- hatannya Bibi Margareta akan merasa senang jika bisa hidup bersama Yelena. Paling tidak Bibi Margareta tidak akan hidup menggelandang lagi.

Ayyas keluar dari kamarnya. Ruang tamu sepi. Kamar Yelena jelas kosong. Dan kamar Linor tertutup rapat. Ayyas yakin Linor masih pulas di kamarnya. Ia hendak melangkah keluar. Tiba-tiba berkelebat pikiran untuk memban- gunkan Linor sebelum ia pergi. Siapa tahu Linor Ayyas keluar dari kamarnya. Ruang tamu sepi. Kamar Yelena jelas kosong. Dan kamar Linor tertutup rapat. Ayyas yakin Linor masih pulas di kamarnya. Ia hendak melangkah keluar. Tiba-tiba berkelebat pikiran untuk memban- gunkan Linor sebelum ia pergi. Siapa tahu Linor

"Ya. Ada apa?" "Sudah hampir jam sembilan!" "Kalau sudah hampir jam sembilan kenapa?

Memang aku ada janji denganmu!" Sahut Linor dari dalam kamar dengan nada jengkel.

"Ya tidak apa-apa. Maaf kalau mengganggu. Siapa tahu kamu harus berangkat kerja pagi hari. Yang penting kamu sudah bangun. Baik aku be- rangkat dulu ya!"

"E..e., tunggu!" Sergah Linor dari dalam kamarnya.

Ayyas sudah terlanjur bergegas keluar. Ketika Linor membuka pintu kamarnya, Ayyas baru saja keluar dan menutup pintu apartemen. Linor men- jadi sangat jengkel dibuatnya. Linor merasa dipermainkan oleh Ayyas. Pemuda itu seenaknya Ayyas sudah terlanjur bergegas keluar. Ketika Linor membuka pintu kamarnya, Ayyas baru saja keluar dan menutup pintu apartemen. Linor men- jadi sangat jengkel dibuatnya. Linor merasa dipermainkan oleh Ayyas. Pemuda itu seenaknya

Linor kembali menutup pintu kamarnya. Ia teringat sesuatu dan tersentak. "Sial, waktuku cuma sepuluh menit lagi!" Ia ada janji wawan- cara dengan Menteri Luar Negeri Swedia di Hotel Ukraina yang terletak di kawasan elite Pushkinkaya. Menteri itu akan ditemani istri dan

dua pengawalnya. Ia telah berjanji untuk memenuhi undangan makan pagi sang menteri bersama istrinya sambil melakukan wawancara.

Seketika kejengkelan Linor pada Ayyas men- gendur dan perlahan berubah menjadi rasa terima kasih. Jika Ayyas tidak membangunkan dirinya, mungkin dirinya masih molor di kamarnya. Dan bisa jadi ia baru akan bangun pukul sebelas atau dua belas. Artinya ia akan sangat mengecewakan Menteri Luar Negeri Swedia itu. Dan jika itu yang terjadi, ia akan gagal melaksanakan salah satu misi yang diberikan kepadanya oleh Ben So- lomon, yaitu memasukkan nama beberapa Seketika kejengkelan Linor pada Ayyas men- gendur dan perlahan berubah menjadi rasa terima kasih. Jika Ayyas tidak membangunkan dirinya, mungkin dirinya masih molor di kamarnya. Dan bisa jadi ia baru akan bangun pukul sebelas atau dua belas. Artinya ia akan sangat mengecewakan Menteri Luar Negeri Swedia itu. Dan jika itu yang terjadi, ia akan gagal melaksanakan salah satu misi yang diberikan kepadanya oleh Ben So- lomon, yaitu memasukkan nama beberapa

Hadiah nobel harus digunakan untuk kepentingan Yahudi.

Dengan semakin banyaknya orang Yahudi yang menerima nobel, maka dunia akan semakin percaya bahwa manusia yang otaknya paling cer- das adalah orang Yahudi. Dengan itu, klaim bah- wa bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan adalah sah.

Linor hanya mencuci muka, lalu mengganti pakaiannya. Berdandan sedikit dan dengan tergesa-gesa. Mengambil perlengkapan-per- lengkapan jurnalistiknya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya. Lalu memakai pakaian mu- sim dinginnya dengan cepat. Dan ia keluar apartemen dengan setengah berlari. Sejurus kemudian ia sudah meluncur menuju kawasan Puskinkaya, tujuannya adalah Hotel Ukraina.