Menjalani Gelar Tanpa Kedudukan

77 yang dulu jika menyapa atau berjabat tangan dengan seorang bangsawan dianggap suatu keberkahan, kini dianggap sebagai hal biasa. Di mata rakyat ketika itu, terdapat pandangan yang berbeda-beda dalam menilai apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Ada yang berpendapat bahwa tindakan mereka telah salah karena dengan harta dan kekuasaan, sebagian bangsawan bertindak menyombongkan diri. Ada pula yang memang tidak suka karena telah terprovokasi oleh isu-isu negatif bahwa para bangsawan adalah kaum feodal. Akan tetapi mayoritas rakyat tetap menerima golongan bangsawan dan tidak menganggap mereka sebagai musuh. Menurut Fachrudin Ray, masyarakat malah prihatin atas apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Beliau mengatakan bahwa seburuk-buruknya pemerintahan Kesultanan Langkat, namun hasil kekayaan yang didapat Kesultanan Langkat juga disisihkan untuk mensejahterahkan rakyatnya sehingga hal itu tetap dikenang oleh rakyat. 166 166 Wawancara, dengan Fachrudin Ray, Stabat, 12 Februari 2014. Jadi, secara umum rakyat masih tetap menerima mereka. Hanya saja karena bangsawan sudah tidak memiliki kekuasaan lagi, maka jika mereka bertemu atau menyapa golongan bangsawan sudah tidak seperti dulu lagi.

4.2. Menjalani Gelar Tanpa Kedudukan

Peristiwa revolusi sosial yang terjadi mengubah hampir seluruh kehidupan bangsawan Melayu. Telah disebutkan sebelumnya bahwa harta dan tahta yang menjadi kekuatan mereka kini telah tiada lagi. Demikian juga hak-hak istimewa yang selama ini mereka miliki, tinggal menjadi kenangan saja. Universitas Sumatera Utara 78 Selama beberapa tahun setelah revolusi sosial, sebagian dari bangsawan Melayu menanggalkan gelar kebangsawanannya karena takut dan khawatir dicap sebagai golongan feodal dan kaki tangan Belanda. Hal ini sesuai seperti yang diutarakan oleh Zainal Arifin Aka bahwa ayahnya, H. Abdul Kadir Ahmady, adalah seorang bangsawan Melayu yang juga aktif dalam basis perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi setelah revolusi sosial, beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan itu. Hal tersebut kemudian diikuti oleh anak-anaknya dan hingga kini mereka tidak menggunakan gelar tengku di depan nama mereka. 167 Menurut Datuk Oka Abdul Hamid bahwa setelah kembali dari tahanan, golongan bangsawan sudah jatuh karena sudah tidak lagi memiliki kekuasaan dan harta. Jabatan-jabatan penting yang dipegang mereka selama ini sudah tidak ada lagi. Para datuk pun sudah tidak memiliki kekuasaan lagi di wilayah pemerintahannya. Stigma negatif sebagai kaum feodal dan pro Belanda pasca revolusi sosial masih saja disebarluaskan ke masyarakat sehingga mengganggu pikiran dan aktivitas mereka. 168 Adapun kehidupan Sultan Langkat juga mengalami perubahan. Selama bebas, beliau hanya bisa berdiam di rumah karena sakit-sakitan. Akan tetapi dalam keadaan sakit beliau menyempatkan diri untuk menerima atau menjamu tamu-tamunya yang ingin bersilahturahmi ke rumahnya. Akhirnya pada tanggal 23 April 1948 beliau wafat. Banyak sanak saudara, kerabat, serta rakyat di Langkat datang untuk menyatakan rasa turut berduka cita dan mendoakan sultan yang sangat dihormati oleh rakyat. Letnan Gubernur Jenderal Hindia 167 Susilo, Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed, 2008 , hlm. 62-63. 168 Wawancara, dengan Datuk Oka Abdul Hamid A, Medan, 12 April 2014. Universitas Sumatera Utara 79 Belanda, P.J.M. Mr.J.Gerritsen juga mengirimkan surat turut berduka cita atas wafatnya Sultan Mahmud yang kemudian dibalas oleh Tengku Mahsoeri Langkat mewakili keluarga almarhum Sultan Mahmud. 169 Negara Sumatera Timur yang dipimpin oleh Wali Negara, dr. Tengku Mansyur, segera mendapat sambutan dari mayoritas adalah penduduk asli Sumatera Timur. Dalam hal ini, golongan bangsawan mencoba berusaha memperoleh kedudukan dengan ikut aktif di dalam dalam pemerintahan NST. Selain itu, mereka juga membentuk komite memperingati revolusi sosial atas nama korban revolusi sosial di Sumatera Timur. Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk memohon kepada NST dan Pemerintah Hindia Belanda memberikan bantuan istimewa kepada mereka yang menjadi korban revolusi sosial. Setelah sultan Mahmud wafat, kehidupan bangsawan Melayu bagaikan “anak ayam kehilangan induknya” karena pemimpin yang menjadi panutan telah tiada. Memang setelah Kesultanan Langkat hancur, para bangsawan Melayu Langkat mencoba berembuk untuk membangun kembali pemerintahan adat juriat yang dikepalai pemangku adat. Pemangku adat yang dipilih pun masih berdasarkan sistem genealogis, yaitu garis keturunan. Mereka mencoba dengan segala cara untuk mengembalikan eksistensi mereka sebagai golongan bangsawan. Hal ini juga dimanfaatkan mereka setelah didirikannya Negara Sumatera Timur pada tahun 1948. 170 169 Lihat Lampiran XIII. 170 Lihat Lampiran XIV. Inilah fase pertama bangkitnya pergerakan bangsawan Melayu pasca revolusi sosial. Akan tetapi sepanjang Universitas Sumatera Utara 80 perjalanan pemerintahan NST, kurang mendapat dukungan dari penduduk Sumatera Timur yang multikultural. Hal ini disebabkan karena NST dan para pemimpinnya dianggap sebagai boneka Belanda. Memang akhirnya pemerintah pusat dan KNIP Pusat juga tidak dapat membenarkan aksi revolusi sosial 1946 itu. Para menteri yang berkunjung seperti Mr. Mohammad Rum, Mr. Syafrudin Prawiranegara, dan Mrs. Maria Ulfah Santoso, pernah menjanjikan bahwa para korban revolusi sosial itu akan dikembalikan kehormatan dan harta benda mereka oleh negara. Akan tetapi janji itu tidak pernah terwujud. 171 Setelah NST dihapuskan dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsawan-bangsawan Melayu yang turut terlibat dalam NST dianggap sebagai orang-orang yang anti republik dan tidak setia terhadap pemerintah RI. Atas keterlibatan itu, mereka dianggap tidak berhak untuk duduk dalam pemerintahan RI. Pada masa-masa selanjutnya, golongan etnis Melayu menjadi kelompok yang terpinggirkan dari aktifitas pemerintahan yang berlangsung di Sumatera Timur pada sekitar tahun 1950-1960an. 172 Hal ini terbukti dengan tidak adanya bangsawan Melayu yang duduk di pemerintahan di Langkat karena kursi pemerintahan sebagian dikuasai oleh rakyat pendatang. Akan tetapitidak dapat dipungkiri bahwa ada juga yang setelah kembali dari tahanan diberi kembali pekerjaan semula atau mendapat pekerjaan baru, misalnya Tengku Muhammad Chalid. Menurut Jalilah Yahya, pada tahun 1950 suaminya dipanggil ke Jakarta untuk menemui salah seorang pejabat pemerintahan. Beliau ditugaskan untuk bekerja di salah satu instansi di 171 Sinar, loc.cit. 172 Susilo, op.cit, hlm. 64. Universitas Sumatera Utara 81 Jakarta. Beliau menolak dan akhirnya beliau kembali diamanahkan untuk menjadi Kepala Camat Stabat dulunya setara dengan kejuruan. Begitu juga dengan H.Oka Salamudin yang setelah dibebaskan diperintahkan untuk menjadi Residen Sumatera Timur. Mengenai harta benda sultan yang diambil secara paksa, seperti perhiasan-perhiasan mahal yang terbuat dari emas, perak, intan, berlian, serta permata lainnya tidak jelas keberadaannya. Permadani yang diimpor dari Timur Tengah, bendera kerajaan, serta kursi dan barang-barang kristal juga dijarah dari istana Langkat dan Binjai, dan hanya menyisakan rak- rak bufet yang kosong. Menurut pengalaman Tengku Nurzehan putri Sultan Mahmud, bahwa harta benda di istana yang dulu dijarah sebagian terlihat di rumah-rumah warga, bahkan kenalan-kenalan keluarga sultan sendiri. Pada suatu hari, beberapa tahun setelah peristiwa revolusi sosial, beliau bertamu ke rumah seseorang kenalan. Beliau melihat ada permadani istana yang terpasang di rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan tuan rumah, beliau membalikkan salah satu sudut permadani dan menemukan inisial Kesultanan Langkat. Beberapa barang kristal yang berlambangkan Kesultanan Langkat sempat beliau temukan di rumah penduduk. Barang- barang itu kemudian beliau beli agar kembali menjadi milik keluarganya. Beliau pun pernah melihat mobil sedan Maybach milik Sultan Mahmud yang pernah digunakan oleh Xarim MS tidak lama setelah revolusi sosial, terlantar begitu saja di belakang salah satu gedung pemerintahan. 173 173 Djohar Arifin Husin, Sejarah Kesultanan Langkat, Medan : Yayasan Bangun Langkat Sejahtera, 2013, hlm. 138-139. Bagaimanapun semuanya sudah terjadi, beliau telah mengikhlaskan dan sudah tidak mempersoalkan lagi. Universitas Sumatera Utara 82 Dalam pengakuan A.E. Kawilarang, setelah pengakuan Belanda atas kedaulatan RI Desember 1949, beliau dan Mayor Bejo berhasil menangkap para pemberontak di Tapanuli Selatan, antara lain Yakob Siregar, Saleh Umar, dan Saragih Ras. Dari tangan Saragih Ras diperoleh sejumlah barang dan perhiasan senilai 6,7 dolar Singapura. Barang ini merupakan hasil jarahan dari istana-istana kesultanan di Sumatera Timur dalam revolusi sosial tahun 1946. Barang-barang itu kemudian dikumpulkan lalu bersama Letnan I CPM P. Hasibuan dan Letnan Muda Hasibuan dibawa semua ke Jakarta untuk diserahkan kepada Kementerian Pertahanan. Akan tetapi hingga kini cerita mengenai harta-harta para sultan itu sudah tidak terdengar lagi. 174 Hal serupa juga disampaikan menantu Sultan Mahmud, Barkah Tirtadijaya yang pernah menjadi Assiten IV Bidang Logistik sebelum menjadi Dubes RI di Mesir, Sudan, Somalia, dan Djibouti. Beliau mengatakan pernah suatu hari diajak oleh Kawilarang yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima Sumatera, ke sebuah hotel terkenal di Medan. Sesampai di hotel, mereka masuk ke salah satu kamar dan setelah dibuka pintunya, beliau sangat terkejut melihat seberkas sinar kemilauan dari ribuan emas dan permata hasil jarahan yang tergeletak begitu saja hampir memenuhi kamar tersebut. Hingga sekarang beliau juga tidak mendengar apa-apa lagi mengenai kekayaan para sultan itu. 175 Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I tahun 1947, sebagian rakyat di Langkat yang mengetahui bahwa situasi sedang bergejolak mengungsi ke tempat yang aman. Setelah situasi di Langkat aman sekitar tahun 1948, rakyat yang mengungsi telah kembali. Bagi rakyat 174 Ibid. 175 Ibid., hlm. 139-140. Universitas Sumatera Utara 83 yang tidak memiliki tempat tinggal akibat rumah mereka telah hancur terpaksa menempati rumah-rumah yang tidak berpenghuni itu untuk dijadikan sebagai tempat tinggal mereka. Awalnya mereka hanya sementara menempati rumah itu, namun lama-kelamaan diklaim menjadi milik mereka dengan bukti surat-surat tanah yang tidak jelas kebenarannya. 176

4.3 Bangkit dari Bayang Hitam Revolusi Sosial