Citra Kaum Bangsawan di Mata Masyarakat

74

BAB IV KAUM BANGSAWAN MELAYU LANGKAT

SETELAH REVOLUSI SOSIAL

4.1 Citra Kaum Bangsawan di Mata Masyarakat

Setelah dinyatakan resmi dibebaskan pada bulan Agustus 1947, para bangsawan antusias untuk menghirup kembali jiwa merdeka yang selama beberapa waktu direnggut oleh ketidaksenangan, ketidakadilan, dan situasi yang tidak menentu. Rasa suka cita itu diungkapkan oleh Tengku Sulong Chalizar, sebagai berikut: “Setelah mendengar kami semua dibebaskan, subuh hari patik dan ayah patik segera keluar. Sangkin senangnya celana ayah patik sampai koyak tersangkut kawat waktu menerobos keluar. Kami pulang dengan cara masing-masing. Patik dan ayah patik pulang ke Stabat menggunakan motor yang tertinggal di dekat tahanan.” 160 “Setelah pulang ke Stabat, suami andong Tengku Muhammad Chalid tidak mendapatkan siapa-siapa di rumah. Sejak suami ditahan, madu andong istri tua pulang ke rumah orang tuanya di Tanjung Pura, andong pulang ke Besilam. Seminggu lewat, suami andong datang mengendarai mobil dan Akan tetapi kebebasan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian golongan bangsawan itu karena mereka terkadang masih diintai oleh laskar rakyat dan jika pergi kemana-mana harus dikawal oleh tentara Belanda. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jalilah Yahya mengenai keadaan suaminya pasca dibebaskan dari tahanan: 160 Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983. Universitas Sumatera Utara 75 dikawal oleh tentara Belanda menjemput andong untuk pulang ke Stabat. Awalnya andong merasa takut, tapi suami andong bilang kalau kita hanya dikawal karena diperjalanan masih kurang aman.” 161 Perlu diketahui, sebagian dari para pemuda bangsawan yang dibebaskan dari tawanan tidak diperkenankan pulang ke kampung halamannya tanpa disertai surat izin. Ada juga diantara mereka, misalnya Tengku Sulong Chalizar dan Tengku Dhiauddin Azis 162 Mengenai isu adanya Comite van Ontvangst yang pernah dituduhkan kepada kelompok bangsawan yang menjadi sebab pecahnya revolusi sosial ternyata tidak terbukti. Hal inipun dibenarkan oleh Joenoes Nasution, ketika diwawancarai di tahanan Raya. Beliau mengatakan bahwa memang tidak ada bukti bahwa sultan-sultan membentuk Comite van Ontvangst seperti yang dituduhkan itu atau mau memberontak terhadap RI. Hal yang mengejutkan diperoleh dari pernyataan dari wawancara Marzuki Lubis yang direkam oleh NIP Xarim. Beliau mengatakan bahwa revolusi sosial hanyalah suatu taktik yang bermotif untuk melemahkan dukungan terhadap Belanda, untuk mengumpulkan harta buat dana, dan sekaligus untuk menambah semangat dukungan rakyat. yang kemudian menggabungkan diri dalam TKR dan laskar rakyat untuk kemudian melawan Belanda di dalam Agresi Militer Belanda I dan II. 163 161 Wawancara, dengan Jalilah Yahya, Stabat, 7 Mei 2014. 162 Tengku Dhiauddin Azis adik Sultan Mahmud tidak ditangkap karena dianggap pro republik dengan turut aktif sebagai TKR. Pada waktu terjadi revolusi sosial, Tengku Dhiauddin Azis sedang menemani Sultan Syarif Kasim Sultan Siak untuk menemui keluarga sultan Siak di Tanjung Pura.Lihat, Tuanku Luckman Sinar, Bangundan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun Terbit, hlm. 495. 163 Ibid., hlm. 542. Jadi, Comite van Ontvangst yang terus didengungkan kepada rakyat hanyalah isu belaka, meskipun faktanya para golongan Universitas Sumatera Utara 76 bangsawan masih ada yang berhubungan dengan Belanda.Akan tetapi dengan tidak terbuktinya kesalahan para golongan bangsawan, situasi itu tidak mampu mengembalikan kedudukan mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Revolusi sosial tidak hanya menggoreskan luka di hati para bangsawan, tetapi telah memisahkan ikatan keluarga karena banyak bangsawan Melayu Langkat hidup terpisah-pisah. Pembantaian yang terjadi pada masa revolusi sosial telah menghabiskan sebagian golongan bangsawan Langkat, sehingga banyak rumah-rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal. Mereka yang bebas kembali ke rumahnya masing-masing, dan ada juga yang hijrah karena rumahnya telah hancur dan ada juga yang tidak mau kembali karena merasa trauma. Mereka banyak yang hijrah ke Medan dan ada yang menumpang di rumah saudara yang tinggal di Malaysia. Sultan Mahmud dan keluarganya sudah tidak lagi bisa kembali ke istana di Tanjung Pura Karena telah ludes terbakar. 164 Beliau memilih hijrah ke Medan dan tinggal di rumah miliknya di jalan Manggalan, Medan. 165 Golongan bangsawan yang selamat, sebagian kerap merasa rendah diri karena sudah tidak berkuasa lagi. Stigma sebagai golongan feodal yang diberikan oleh kelompok radikal membuat sebagian dari mereka tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanannya. Kalaupun mereka pergunakan, mereka hanya menuliskan huruf T saja di depan nama mereka. Gelar tengku, wan, dan sebagainya yang dulu pernah dijunjung tinggi kini sudah memudar. Rakyat 164 Sultan Langkat ditahan di Berastagi dan Pematang Siantar sekitar dua bulan. Beliau yang sudah sakit-sakitan, pada bulan Mei 1946 dibebaskan dan dibawa ke Medan. Beliau tidak pernah kembali ke istananya di Tanjung Pura dan memilih tinggal di Medan hingga istana itu dibakar pada tahun 1947. Ibid., hlm. 498. 165 Foto keluarga Sultan Mahmud di Medan yang diambil pasca revolusi sosial, Lihat lampiran XII. Universitas Sumatera Utara 77 yang dulu jika menyapa atau berjabat tangan dengan seorang bangsawan dianggap suatu keberkahan, kini dianggap sebagai hal biasa. Di mata rakyat ketika itu, terdapat pandangan yang berbeda-beda dalam menilai apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Ada yang berpendapat bahwa tindakan mereka telah salah karena dengan harta dan kekuasaan, sebagian bangsawan bertindak menyombongkan diri. Ada pula yang memang tidak suka karena telah terprovokasi oleh isu-isu negatif bahwa para bangsawan adalah kaum feodal. Akan tetapi mayoritas rakyat tetap menerima golongan bangsawan dan tidak menganggap mereka sebagai musuh. Menurut Fachrudin Ray, masyarakat malah prihatin atas apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Beliau mengatakan bahwa seburuk-buruknya pemerintahan Kesultanan Langkat, namun hasil kekayaan yang didapat Kesultanan Langkat juga disisihkan untuk mensejahterahkan rakyatnya sehingga hal itu tetap dikenang oleh rakyat. 166 166 Wawancara, dengan Fachrudin Ray, Stabat, 12 Februari 2014. Jadi, secara umum rakyat masih tetap menerima mereka. Hanya saja karena bangsawan sudah tidak memiliki kekuasaan lagi, maka jika mereka bertemu atau menyapa golongan bangsawan sudah tidak seperti dulu lagi.

4.2. Menjalani Gelar Tanpa Kedudukan