Orang- Orang Yang Berhak Menerima Zakat

Dalam kitab-kitab fikih Islam barang tambang yang wajib dizakati hanyalah emas dan perak saja. Demikian juga dengan barang temuan yang wajib dizakati terbatas pada emas dan perak saja. Kewajiban untuk menunaikan zakat barang-barang tambang adalah setiap kali barang itu selesai dibersihkan diolah. Nishab a barang tambang adalah sama dengan nishab emas 96 gram dan perak 672 gram, kadarnya pun sama, yaitu dua setengah persen. Kewajiban untuk menunaikan zakat barang temuan adalah setiap kali orang menemukan barang tersebut. Nishab b barang temuan sama dengan nishab emas dan perak, demikian juga kadarnya. 40

4. Orang- Orang Yang Berhak Menerima Zakat

Orang-orang yang berhak menerima zakat terbagi atas delapan golongan. Sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam al-Quran surah At-Taubah 9 : 60, dengan firmannya : ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ 40 Ibid, h. 47. ﺔ ﻮ ا : Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, para pengurus zakat, orang kafir yang tertarik kepada Islam, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, orang-orang yang berjuang fii sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 1 Golongan Pertama dan Kedua Fakir dan Miskin Seperti yang telah disebutkan, sasaran masarif zakat sudah ditentukan dalam Surah Taubah, yaitu delapan golongan. Yang pertama dan yang kedua, fakir dan miskin. Mereka itulah yang pertama diberi saham harta zakat oleh Allah. Ini menunjukkan, bahwa sasaran pertama zakat ialah hendak menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam masyarakat Islam. Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah, dan Ibn Qasim pengikut Malik berpendapat, bahwa kedua golongan itu fakir dan miskin sama saja. 41 Tetapi pendapat Jumhur, justru berbeda. Sebenarnya keduanya adalah dua golongan tapi satu macam. Yang dimaksud adalah mereka yang dalam kekurangan dan dalam kebutuhan. Tetapi para ahli tafsir dan ahli fikih berbeda pendapat pula dalam menentukan secara definitiv arti kedua kata tersebut secara tersendiri, juga dalam menentukan apa makna kata itu. 41 Qardawi, Hukum Zakat, h. 510. Pemuka ahli tafsir, Tabari menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan fakir, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak minta-minta. Sedang yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi suka merengek-rengek dan minta-minta. Pengertian fakir menurut mazhab Hanafi ialah orang yang tidak memiliki apa- apa dibawah nilai nishab menurut hukum zakat yang sah, atau nilai sesuatu yang dimiliki mencapai nishab atau lebih, yang terdiri dari perabot rumah tangga, barang- barang, pakaian, buku-buku sebagai keperluan pokok sehari-hari. 42 Sedang pengertian miskin menurut mazhab Hanafi ialah mereka yang tidak memiliki apa-apa. Inilah pendapat yang masyhur. Para ulama Hanafi masih berbeda pendapat mengenai penentuan nishab yang dimaksud, yakni apakah nishab uang tunai sebanyak dua ratus dirham atau nishab yang sudah dikenal dari harta apapun juga. Jadi golongan mustahik zakat dalam arti fakir atau miskin menurut mereka ialah ; a yang tidak punya apa, b yang mempunyai rumah, barang atau perabot yang tidak berlebihan, c yang memiliki mata uang kurang dari nishab, d yang memilliki kurang dari nishab selain mata uang, seperti empat ekor unta atau tiga puluh sembilan ekor kambing yang nilainya tak sampai dua ratus dirham. Ada lagi bentuk lain yang masih diperselisihkan, yakni : barangsiapa memiliki nishab selain mata uang seperti lima ekor unta atau empat puluh ekor kambing dan 42 Ibid. h. 511-512. nilainya tidak mencapai nishab dalam keadaan tunai. 43 Ada juga yang mengatakan, boleh menerima zakat, tapi juga diharapkan mengeluarkan zakat. Yang lain berkata, ia termasuk kaya dan harus mengeluarkan zakat, tak boleh menerima zakat. Menurut ketiga Imam, fakir dan miskin itu adalah mereka yang kebutuhannya tak tercukupi. Yang disebut fakir, ialah mereka yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak dalam memenuhi keperluannya : sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk diri sendiri ataupun bagi mereka yang menjadi tanggungannya. Misalnya orang memerlukan sepuluh dirham perhari, tapi yang ada hanya empat, tiga atau dua dirham. 2 Golongan Ketiga Amil Zakat Amil adalah lembaga atau badan hukum yang mengurusi zakat. Tentu saja badan ini mempergunakan pribadi untuk melaksanakan tugasnya. 44 Para amil zakat mempunyai berbagai macam tugas dan pekerjaan semua berhubungan dengan pengaturan soal zakat. Yaitu soal sensus terhadap orang-orang yang wajib zakat dan macam zakat yang diwajibkan padanya, juga besar harta yang wajib dizakat, kemudian mengetahui para mustahik zakat. Berapa jumlah mereka, berapa kebutuhan mereka, serta besar 43 Qardawi, Ibid. h. 513. 44 Pemerintah DKI Jakarta, Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, Jakarta : Bazis DKI Jakarta, 1987, cet ke-4, h. 74. biaya yang dapat mencukupi dan hal-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani secara sempurna oleh para ahli dan petugas serta para pembantunya. Menurut Afzalurrahman mendefinisikan amil sebagai pengumpul collector yang meliputi semua pegawai baik pengumpul, distributor, akuntan, pengawas, yang mengurusi administrasi dan pengelolaan zakat. 45 Tentunya para petugas ini dipilih dari mereka yang dikenal jujur dan amanah, memiliki kemampuan pengelolaan serta melaksanakan tugas dengan transparani dan tanggung jawab yang tinggi. Seorang amil zakat hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a hendaknya dia seorang muslim, karena zakat itu urusan kaum muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka. Dari uraian tersebut dapat dikecualikan tugas yang tidak berkaitan dengan soal pemungutan dan pembagian zakat misalnya penjaga gudang dan sopir. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dibolehkan dalam urusan zakat menggunakan amil bukan muslim berdasar atas pengertian umum dari kata “Al ‘amilina alaiha”, sehingga termasuk didalamnya pengertian kafir dan muslim. Juga harta yang diberikan kepada amil itu adalah upah kerjanya. Oleh karena itu tidak ada halangan baginya untuk mengambil upah tersebut seperti upah-upah lainnya dan dianggap sebagai toleransi yang baik. Akan tetapi yang lebih utama hendaklah segala kewajiban Islam hanya ditangani oleh orang Islam lagi. Ibnu Qudamah berkata : “Setiap pekerjaan yang memerlukan syarat amanah kejujuran hendaknya disyaratkan 45 Afzalurrahman, Doktrin ekonomi Islam Jilid III Economic Doctrines Of Islam, terjemahan , Soeroyo dan Nastangin Yogyakarta : Dana Bhakti, 1996, Jilid III h. 301. Islam bagi pelakunya seperti menjadi saksi. Karena itu urusan kaum muslimin, maka pengurusannya tidak dapat diberikan kepada orang kafir, seperti halnya urusan-urusan lain. Orang yang bukan ahli zakat tidak boleh diserahi urusan zakat, seperti halnya kafir musuh. Karena orang kafir itu tidak akan dapat dipercaya. 46 “Bertalian dengan hal itu, Umar berkata : “Janganlah engkau serahkan amanah itu kepada mereka, karena mereka telah berbuat khianat kepada Allah.” Umar telah menolak seorang Nasrani yang dipekerjakan oleh Abu Musa sebagai penulis zakat. Karena zakat itu adalah rukun Islam yang utama. b hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal fikirannya. c petugas zakat itu hendaklah orang jujur, karena ia diamanati harta kaum Muslimin. Janganlah petugas zakat itu orang yang fasik lagi tak dapat dipercaya, misalnya ia akan berbuat zalim kepada para pemilik harta atau ia akan berbuat sewenang-wenang terhadap hak fakir miskin, karena mengikuti keinginan hawa nafsunya atau untuk mencari keuntungan. d memahami hukum-hukum zakat. Para ulama mensyaratkan petugas zakat itu paham terhadap hukum zakat, apabila ia diserahi urusan umum. Sebab bila ia tidak mengetahui hukum tak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya, dan akan lebih banyak berbuat kesalahan. Masalah zakat membuatkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakat dan yang tidak wajib dizakat. Juga urusan zakat memerlukan ijtihad terhadap masalah yang timbul untuk diketahui hukumnya. 46 Qardawi, Hukum Zakat , h. 551. Apabila pekerjaan itu menyangkut bagian tertentu mengenai urusan pelaksanaan, maka tidak disyaratkan memiliki pengetahuan tentang zakat kecuali sekedar yang menyangkut tugasnya. e kemampuan untuk melaksanakan tugas. Petugas zakat hendaklah memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya, dan sanggup memikul tugas itu. Kejujuran saja belum mencukupi bila tidak disertai dengan kekuatan dan kemampuan untuk bekerja. f amil zakat disyaratkan laki-laki. Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat itu harus laki-laki. Mereka tidak membolehkan wanita dipekerjakan sebagai amil zakat, karena pekerjaan itu menyangkut urusan sedekah. 3 Golongan Keempat Muallaf Yang dimaksud dengan golongan muallaf, antara lain adalah, mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka terhadap kaum Muslimin atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum Muslimin dari musuh. 47 47 Qardawi, Ibid. h. 563. Golongan ini dikatakan juga sebagai golongan yang dipandang negara bahwa jika mereka diberi zakat maka keyakinan mereka akan Islam akan semakin bertambah. 48 Sebagian besar dari dana zakat telah digunakan untuk disumbangkan kepada kelompok ini pada zaman Rasulullah saw tetapi jumlah tersebut telah dikurangi pada jaman khalifah Abu Bakar. Namun demikian, khalifah kedua, yaitu ‘Umar dan penerusnya telah menghentikan pembelanjaan anggaran ini ketika Islam telah semakin kuat dan sejak saat itu anggaran untuk kelompok ini telah dimasukkan ke dalam dana zakat. Tetapi jika diperlukan suatu bantuan untuk orang-orang yang baru memeluk Islam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hingga mereka mampu mandiri, atau untuk menarik mereka agar mereka cenderung kepada agama Islam, atau terus mengganggu keamanan negara, pengunaan dana zakat tersebut dapat dihidupkan kembali. 49 Dengan menempatkan golongan ini sebagai sasaran zakat, maka jelas bagi kita, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, tetapi juga tugas penguasa atau mereka yang berwenang mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat untuk golongan muallaf ini, yang menurut kebiasaan tidak mungkin dapat dilakukan secara perseorangan. 48 Taqiyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, An Nidhamul Iqtishad Fil Islam, terjemahan M. Maghfur Wachid, Surabaya : Risalah Gusti, tth, 1999, cet ke 4 h. 257. 49 Afzalurrahman, Doktrin ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bhakti, 1996, Jilid III h. 302. 4 Golongan Kelima Riqab Mereka yang masih dalam perbudakan, dinamai riqab. Disebutkan dalam Muntaqal Akhbar ; golongan ini meliputi golongan mukatab yaitu, budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah tertentu dan termasuk pula budak yang belum dijanjikan untuk dimerdekakan. Menurut tiga Imam yaitu, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’I riqab adalah hamba yang dijanjikan tuannya bahwa ia boleh menebus dirinya. 50 Fungsi dana zakat baginya adalah untuk memerdekakan dirinya. Ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Islam dalam rangka menghapuskan perbudakan. Untuk riqab ditambahkan pengertian lain yakni dana untuk membebaskan petani, pedagang dan nelayan keci dari hisapan lintah darat, pengijon, rentenir. 51 Meskipun penggunaan dana zakat untuk keperluan ini telah lama dihapus, dana ini boleh diadakan kembali asalkan tujuannya tidak bertentangan dengan al- Quran dan Sunnah dengan membantu pengrajin dan pengusaha kecil untuk membangun industri kecil mereka sendiri daripada membiarkan mereka terus bekerja sebagai buruh. Ini bukan saja membantu mereka menjadi pemilik industri mereka sendiri, tetapi juga memberi tambahan yang besar terhadap kekayaan negara . 52 5 Golongan Keenam Gharimin 50 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 1990, hal 185-197. 51 Daud Ali, Sistem Ekonomin Islam. h. 68. 52 Afzalurrahman, Doktrin ekonomi Islam, h. 303. Gharimin ialah mereka yang mempunyai hutang, tak dapat lagi membayar hutangnya, karena telah jatuh fakir. Termasuk kedalamnya, mereka yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri, mereka yang berhutang karena kemaslahatan umum, dan kemaslahatan bersama yang lain, seperti mendamaikan persengketaan, menjamu tamu, memakmurkan masjid, membuat jembatan dan lain-lain. Hanya mereka yang berhutang untuk kemaslahatan diri, baru boleh meminta hak ini, bila mereka sendiri telah fakir, telah jatuh miskin tak sanggup lagi membayarnya. Adapun mereka yang berhutang karena kemaslahatan umum, maka ia boleh minta dari bagian ini buat pembayaran hutangnya, guna mendamaikan orang yang berselisih umpamanya. Dan berhutang karena kemaslahatan bersama seperti mendirikan jembatan, sama hukumnya walaupun dia orang kaya, dengan berhutang lantaran kemaslahatan sendiri. Dan ahli fiqih mensyaratkan hutang yang diperbuat itu, jangan dengan jalan maksiat melainkan apabila telah diketahui, bahwa ia telah bertaubat dari maksiatnya. 53 6 Golongan Ketujuh Fii Sabilillaah Makna sabilillaah jalan Allah adalah jalan yang mengantarkan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fii sabilillaah disini adalah berperang. Bagian zakat untuk 53 Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, h. 185. fiisabilillaah diberikan kepada para relawan yang berperang dan tidak mendapatkan gaji tetap dari pemerintah. 54 Fisabilillaah meliputi banyak perbuatan, meliputi berbagai bidang perjuangan dan amal ibadah, baik segi agama pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya, kesenian, termasuk mendirikan rumah sakit, penerbitan mushhaf dan sebagainya. 55 Salah satu perkara paling penting dalam kategori fii sabilillaah pada zaman kita adalah menyiapkan dan mengirim para da’i ke negeri-negeri kafir, melalui lembaga-lembaga yang terorganisir untuk menyiapkan dana yang cukup bagi mereka. Demikian pula membiayai sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan selainnya, sehingga tercapailah kemaslahatan umum. Rasulullah saw juga menjadikan haji dan umrah sebagai fii sabilillah. Keduanya disamakan dengan seorang yang berjuang di jalan Allah swt berdasarkan hadis Mi’qal al-Asadiyah, “Bahwa suaminya ingin menyedekahkan unta mudanya di jalan Allah swt, sedangkan ia ingin menunaikan umrah. Ia meminta kepada suaminya unta tersebut dan suaminya menolak. Kemudian, perempuan tersebut datang menemui Nabi dan menceritakan hal itu. Nabi memerintahkan suaminya untuk memberikan unta itu kepada isterinya,” dan Nabi berkata, “Haji dan umrah termasuk fii sabilillah”. Sebagian berpendapat bahwa fii sabilillah mencakup segala 54 Syaikh as-Sayyid Sabiq, Panduan Zakat Menurut al-Quran dan as-Sunnah, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2005, h. 158. 55 Lili Bariadi, h. 15. kemaslahatan umat Islam dan semua aspek kebaikan seperti mengkafani jenazah, membangun benteng, membangun masjid. 56 7 Golongan Kedelapan Ibnu SabilMusafir Ibnu Sabil ialah, segala mereka yang kehabisan belanja dalam perjalanan dan tak dapat mendatangkan belanjanya dari kampungnya, walaupun ia orang yang berharta dikampungnya. Begitu juga dinamakan ibnu sabil adalah orang yang jauh dari keluarganya atau berada dirantau orang, yang telah kehabisan belanja atau kehabisan perbekalannya. 57 Para ulama sepakat bahwa musafir yang jauh dari negerinya boleh menerima zakat dengan jumlah yang cukup untuk membantunya sampai ketujuan jika harta yang dibawanya tidak cukup, mengingat sifat kefakiran yang menimpanya. Mereka mensyaratkan bahwa perjalanan itu untuk ketaatan atau bukan dalam rangka maksiat. Lalu mereka berbeda pendapat jika perjalanan itu untuk perkara yang mubah. Pendapat yang terpilih dikalangan Syafi’iyah adalah ia boleh menerima zakat, meskipun perjalanan tersebut untuk sekedar rekreasi. 58 Pada masa sekarang ini cakupan Ibnu Sabil bukan hanya orang yang penting dalam perjalanan saja, tetapi juga mencakup pengertian seperti untuk pelajar yang diberikan beasiswa guna kelancaran pendidikannya bahkan pemberian zakat untuk 56 Qutb Ibrahim Muhammad, Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi,, h. 249-250. 57 Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’I Bandung : Pustaka Setia, 2005, h. 558. 58 Syaikh as-Sayyid Sabiq, Ibid, h. 159. beasiswa sangatlah positif karena dengan pendidikan tersebut umat Islam dapat mengeksploitasikan kemampuannya dan kekuatan dirinya. 59 59 Sofwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jakarta : PT Cita Putra Bangsa, 1992, cet ke-1 h. 168.

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG YAYASAN BAITUL MAAL BANK

RAKYAT INDONESIA

A. Profil Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia

60

1. Sejarah Singkat Berdirinya YBM BRI

Pada tahun 1990-an semangat ke-Islaman masyarakat muslim Indonesia kian beranjak naik, demikian pula semangat untuk melaksanakan ajaran-Nya. Contohnya, kewajiban membayar zakat yang sekian lama rukun Islam nomor empat ini termajinalkan, sehingga aspek sosial yang terkandung di dalamnya tak mempunyai arti sedikitpun, kini masyarakat sudah mulai sadar mengeluarkan zakat bahkan sebagian besar mengerti bahwa di dalam zakat terdapat potensi besar yang bisa dikembangkan, khususnya bagi delapan ashnaf golongan yang berhak menerima zakat. Kondisi ini ditandai dengan bermunculnya lembaga-lembaga pengelola ZIS di berbagai perusahaan swasta maupun BUMN. Semangat ke-Islaman dan kesadaran akan besarnya potensi zakat, infaq dan shadaqah tersebut juga terjadi di komunitas lingkungan BRI. Pada tahun 1992 dengan diprakarsai oleh Bapak Winarto Soemarto yang waktu itu menjabat sebagai salah satu direksi telah melakukan langkah-langkah dasar dengan memasukkan zakat sebagai 60 Selanjutnya disingkat YBM BRI