Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian

47

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian

Era pasar modal di Indonesia dapat dibagi menjadi enam periode. Periode pertama adalah periode zaman Belanda mulai tahun 1912 yang merupakan tahun didirikannya pasar modal pertama. Periode ini suatu asosiasi 13 broker dibentuk di Jakarta. Asosiasi ini diberi nama Belandanya sebagai Verediging Voor Effectenhandel yang merupakan cikal bakal pasar modala pertama di Indonesia. Setelah perang dunia I, pasar modal di Surabaya mendapat giliran dibuka pada tanggal 1 Januari 1925 dan disusul di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Karena masih dalam zaman penjajahan Belanda, mayoritas saham-saham yang diperdagangkan merupakan saham-saham perusahaan Belanda dan afiliasinya yang tergabung dalam Dutch East Indies Trading Agencies. Pasar-pasar modal ini beroperasi sampai kedatangan Jepang di Indonesia di tahun 1942. Periode kedua adalah periode lama yang dimulai pada tahun 1952. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, pada tanggal 1 September 1951 dikeluarkan Undang-Undang Darurat No.151952 tentang pasar modal. Juga melalui Keputusan Menteri Keuangan No.289737U.U. Tanggal 1 November 1951, di Bursa Efek Jakarta BEJ akhirnya dibuka kembali pada tanggal 3 Juni 1952. 48 Tujuan dibukanya kembali bursa ini adalah untuk menampung obligasi pemerintah yang sudah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tujuan yang lain adalah untuk mencegah saham-saham perusahaan Belanda yang dulunya diperdagangkan di pasar modal di Jakarta lari ke luar negeri. Kepengurusan bursa efek ini kemudian diserahkan ke Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-Efek PPUE yang terdiri dari 3 bank dengan Bank Indonesia sebagai anggota kehormatan. Bursa efek ini berkembang dengan cukup baik walaupun surat berharga yang diperdagangkan umumnya adalah obligasi oleh perusahaan Belanda dan obligasi pemerintah Indonesia lewat Bank Pembangunan Indonesia. Penjualan obligasi semakin meningkat dengan dikeluarkannya obligasi pemerintah melalui Bank Industri Negara di tahun 1954, 1955, dan 1956. Karena adanya sengketa antara Pemerintah RI dengan Belanda mengenai Irian Barat, semua bisnis Belanda dinasionalisasikan melalui Undang-Undang Nasional No.86 tahun 1958. Sengketa ini mengakibatkan larinya modal Belanda dari tanah Indonesia. Akibatnya mulai tahun 1960, sekuritas-sekuritas perusahaan Belanda sudah tidak diperdagangkan lagi di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu aktivitas di Bursa Efek Jakarta semakin menurun. Periode ketiga adalah periode orde baru dengan diaktifkannya kembali pasar mdal pada tahun 1977. Pada periode ini Bursa Efek Jakarta dikatakan lahir kembali pada tahun 1977 dalam periode orde baru sebagai hasil dari Keputusan Presiden No. 52 tahun 1976. Keputusan ini menetapkan pendirian Pasar Modal, pembentukan Badan Pembina Pasar Modal, pembentukan Badan 49 Pelaksana Pasar Modal BAPEPAM dan PT. Danareksa. Presiden Soeharto meresmikan kembali Bursa Efek Jakarta BEJ pada tanggal 10 Agustus 1977. PT. Semen Cibinong merupakan perusahaan pertama yang tercatat di BEJ. Penerbitan saham perdana disetujui pada tanggal 6 Juni 1977.Pada saat tercatat pertamakali di bursa tanggal 10 Agustus 1977, sebanyak 178.750 lembar saham ditawarkan dengan harga Rp. 10.000,- per lembar. Periode ini disebut juga dengan periode tidur yang panjang, karena sampai dengan tahun 1988 hanya sedikit sekali perusahaan yang tercatat di BEJ, yaitu hanya 24 perusahaan saja. Kurang menariknya pasar modal pada periode ini dari segi investor mungkin disebabkan oleh tidak dikenakannya pajak atas bunga deposito, sedangkan penerimaan deviden dikenakan pajak penghasilan sebesar 15. Periode keempat, bangunnya pasar modal dari tidur yang panjang. Setelah tahun 1988, selama 3 tahun saja, yaitu samapai tahun 1990 jumlah perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat samapai dengan 127. Sampai dengan tahun 1996 jumlah perusahaan yang terdaftar menjadi 238. Pada periode ini, Initial Public Offering IPO menjadi peristiwa nasional. Peningkatan di pasar modal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Permintaan dari Investor Asing Investor asing melihat bahwa pasar modal di Indonesia telah maju dengan pesat pada periode ini dan mempunyai prospek yang baik. Investor asing tertarik dengan pasar modal Indonesia karena dianggap sebagai pasar 50 yang menguntungkan untuk diverifikasi secara internasional. Investor asing dibatasi kepemilikannya sampai dengan 49 dari sekuritas yang terdaftar di bursa. Sampai dengan awal tahun 1995, jumlah kepemilikan oleh asing mencapai sebanyak 7,06 milyard lembar atau sekitar 29,61 dari semua sekuritas yang terdaftar. 2. Pakto 88 Pakto 88 merupakan reformasi tanggal 27 Oktober 1988 yang dikeluarkan untuk merangsang ekspor non-migas, meningkatkan efisiensi bank komersial, membuat kebijakan moneter lebih efektif, meningkatkan simpanan domestik dan meningkatkan pasar modal. Salah satu hasil dari reformasi Pakto 88 adalah mengurangi reserve requirement dari bank-bank deposito. Akibat dari reformasi ini adalah pelepasan dana sebesar Rp. 4 trilliun dari Bank Indonesia ke sektor keuangan. Akibat lebih lanjut adalah masyarakat mempunyai cukup dana untuk bermain di pasar modal. 3. Perubahan Generasi Perubahan kultur bisnis terjadi di periode ini, yaitu dari kultur bisnis keluarga tertutup ke kultur bisnis profesional yang terbuka, yang memungkinkan profesional dari luar keluarga untuk di kursi kepemimpinan perusahaan. Pergeseran ini terjadi karena perubahan generasi dari yang tua ke yang muda. Generasi muda umumnya mendapat pendidikan di barat yang mengakibatkan mereka mempunyai pandangan berbeda dengan 51 pendahulunya. Perubahan radikal menuju ke perusahaan professional ini juga merupakan faktor perkembangan pasar modal, yaitu dengan mulai banyaknya perusahaan keluarga yang go publik. Periode ini juga dicatat sebagai periode kebangkitan dari Bursa Efek Surabaya yang dilahirkan kembali pada tanggal 16 Juni 1989. Pada awalnya, BES hanya mempunyai 25 saham dan 23 obligasi yang diperdagangkan. BES hanya membutuhkan waktu 3 bulan untuk meningkatkan indeks gabungannya dari nilai 100 pada tanggal 16 Juni 1989 menjadi 340. Mulai tanggal 19 September 1996 IHSG-BES mencapai nilai 568,585 poin. Sampai kuartal ke tiga tahun 1990, jumlah sekuritas yang tercatat di BES meningkat menjadi 116 saham. Jumlah ini meningkat samapi akhir tahun 1996 tercatat 208 emiten saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp. 191,57 triliun. Semua sekuritas yang tercatat di Bursa Efek Jakarta BEJ juga secara otomatis diperdagangkan di BES. Periode kelima adalah periode otomatisasi pasar modal mulai tahun 1995. Karena peningkatan kegiatan transaksi yang dirasakan sudah melebihi kapasitas manual, maka BEJ memutuskan untuk mengotomatisasikan kegiatana transaksi di bursa. Jika sebelumnya di lantai bursa terlihat dua deret antrian sebuah antrian untuk antrian beli dan antrian jual yang cukup panjang untuk masing-masing sekuritas dan semua kegiatan transaksi dicatat 52 di papan tulis, maka setelah otomatisasi sekarang yang terlihat di lantai bursa adalah jaringan komputer yang digunakan oleh para broker. Periode keenam adalah periode krisis moneter mulai bulan Agustus 1997. Pada saat itu krisis moneter melanda negara-negara Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Singapura. Krisis moneter yang terjadi ini dimulai dari penurunan nilai-nilai mata uang negara-negara Asia tersebut relatif terhadap dolar Amerika. Penurunan nilai mata uang ini disebabkan karena spekulasi dari pedagang-pedagang valas, kurang percayanya masyarakat terhadap nilai mata uang negaranya sendiri dan yang tidak kalah pentingnya adalah kurang kuatnya pondasi perekonomian. Perkembangan penggalangan dana melalui pasar modal Indonesia sangat terpengaruh oleh kondisi makro ekonomi. Hal ini dapat dilihat ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, jumlah emiten hanya tumbuh sebesar 1 dengan nilai emisi saham tumbuh sebesar 7,1 pada tahun 1998 dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk obligasi, tidak ada emiten yang menerbitkan obligasi sepanjang tahun 1998. Saat mengalami stagnasi pasca krisis ekonomi, pasar modal mulai bergairah kembali sejak tahun 1999. Pada tahun 1999 nilai emisi saham melonjak sebesar 172,2 yaitu Rp. 75,9 trilliun pada tahun 1998 menjadi Rp. 206,7 trilliun pada tahun 1999. Setelah meningkat secara signifikan pada tahun 1999, selanjutnya memasuki tahun 2000 hingga pertengahan 2005 jumlah emiten saham hanya tumbuh rata-rata 4,5 per tahun dengan nilai emisi mengalami pertumbuhan rata-rata 3,4 pada periode yang sama. 53 Nilai kapitalisasi pasar modal pada tahun 2000 hingga 2002 sempat mengalami penurunan akibat kondisi ekonomi makro yang tidak stabil. Namun demikian, dengan membaiknya kondisi makro ekonomi pada tahun 2003 memberikan pengaruh pada perdagangan di bursa sehingga nilai kapitalisasi pasar kembali tumbuh mencapai Rp. 765,81 trilliun pada bulan Juni 2005. Selanjutnya, rasio nilai kapitalisasi pasar terhadap PDB pada tahun 2004 mencapai 29,5 yang merupakan peningkatan yang cukup signifikan dalam lima tahun terakhir setelah masa krisis. Dan untuk perkembangan emisi saham terlihat tidak terlalu signifikan, namun transaksi saham BEJ bergerak cukup aktif. Rata-rata nilai perdagangan pada periode 1999 hingga Juli 2005 berada pada kisaran Rp. 794,43 milliar per hari dengan volume saham berkisar 1,03 miliar lembar saham per hari dan frekuensi berkisar 16 ribu transaksi per hari. Pada Bursa Efek Jakarta jumlah perusahaan yang sudah listing sebanyak 574 perusahaan, yang terbagi dalam sembilan sektor, yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri dan bahan kimia, aneka industri, industri barang konsumsi, properti dan real estate, infrastructureutilitas dan transportasi, keuangan, perdaganganjasa dan investasi, dan manufaktur. Objek yang akan dianalisa adalah indeks LQ45 harian pada Bursa Efek Indonesia sepanjang tahun 2008. 54

B. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Uji Stasioneritas