Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini berita mengenai kasus infeksi Human Immunodeficiency Virus HIVAcquired Immune Deficiency Syndrome AIDS bukan lagi hal yang aneh. Nisa 2007 menjelaskan, kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981 pada sekelompok kaum homoseksual di California dan New York. Dalam kasus tersebut ditemukan adanya Sarcoma Kaposi, Pneumonia, Pneumocystis Carini dan beberapa gejala klinis yang tidak biasa. Kemudian gejala penyakit tersebut semakin jelas diketahui sebagai akibat adanya kegagalan system imun. Karena itu disebut AIDS. Sementara itu, Nisa 2007 menambahkan, di Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1987, yang menimpa seorang warga Negara asing di Bali. Sampai akhir Desember 2005 tercatat ada 5.321 kasus AIDS dan 4.244 kasus HIV yang telah dilaporkan. Sebanyak 16 adalah perempuan dan sebagian besar adalah laki-laki 84. Kelompok umur terbanyak penderita HIVAIDS merupakan kelompok umur produktif, yaitu kelompok umur 20-39 tahun sebanyak 54,07, dan kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 25,86. Hingga tahun 2007 terdapat antara 90.000-130.000 orang Indonesia yang hidup dengan HIV. Dengan menggunakan perhitungan angka kelahiran sebesar 2,5, diperkirakan terdapat 2.250-3.250 bayi yang mempunyai resiko terlahir dengan HIV. Pola penyebaran infeksi yang umum terjadi adalah melalui hubungan seksual, kemudian diikuti dengan penularan melalui penggunaan narkotika dan penyalahgunaan zat adiktif napza suntik. Pengguna napza suntik, berdasarkan kasus yang terlaporkan, jumlah kasus AIDS di Indonesia sejak 1987-2002 terus meningkat, menyerang semua kelompok umur, khususnya remaja serta kelompok usia produktif. Data pengawasan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO Jakarta menunjukan adanya kenaikan infeksi HIV pada pengguna napza suntik dari 15 pada 1999 menjadi 17,9 pada 2002 Nisa, 2007. Sementara itu, dr Ronald Jonathan MSc, menambahkan, jumlah penderita HIVAIDS di seluruh Indonesia sejak 1980-an hingga September 2009 yang terdata oleh Departemen Kesehatan mencapai 18.442 penderita, dengan perbandingan jumlah penderita laki-laki dan perempuan sebesar tiga berbanding satu dengan rentang usia tertinggi penderita HIVAIDS hingga saat ini masih tetap berada pada usia produktif yaitu 20-39 tahun. Penyebabnya hampir 50 dari penyebaran virus HIVAIDS terjadi melalui hubungan seksual dan melalui jarum suntik pada pengguna narkoba yang mencapai 40,7 berdasarkan riset terhadap jumlah total penderita ANTARA News, 2009. Sugiarto 2004 menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat yang terbatas mengenai penyakit AIDS menimbulkan kesan bahwa ODHA ini telah dihukum Tuhan. Mereka dianggap telah melakukan dosa besar dan menimbulkan rasa malu bagi masyarakat, karenanya ODHA harus dijauhi dan dikucilkan. Soraya 2006, menambahkan masyarakat umum di sekitar ODHA akan merasa takut tertular, merasa lingkungannya tercemar dan dapat merusak nama baik masyarakat sekitar tempat tinggalnya, sehingga membuat mereka mengucilkan ODHA. Masdrop 2004 menjelaskan bahwa HIVAIDS menimbulkan masalah yang sulit, misalnya seputar kesehatan, hubungan dengan orang lain, keuangan, kematian dan perasaan mengenai seksualitas. Prasangka dan diskriminasi perlakuan tidak adil dari orang lain serta masalah sosial dan ekonomis yang lebih luas juga menyebabkan banyak persoalan bagi ODHA. Ronald 2003 menjelaskan bahwa seseorang yang menderita AIDS sering mengalami masalah-masalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, rasa bersalah akibat perilaku seks dan penyalahgunaan obat, marah dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri. Soraya 2006 menambahkan Apabila seseorang telah didiagnosis terinfeksi HIV biasanya mereka akan menghadapi berbagai masalah diantaranya perasaan malu, tidak diterima dalam keluarga atau masyarakat, merasa dikucilkan, tidak memilki masa depan, akan menjadi beban orang lain, sulit mendapatkan pekerjaan, tidak punya teman, khawatir tidak adaanya obat yang dapat menyembuhkannya dari virus itu, merasa tidak berguna hilang semangat dan takut akan segera meninggal. Maka dari itu, juga menurut Soraya, optimisme sangat dibutuhkan oleh penderita HIVAIDS. Menurut Sagerestrom dalam Ghufron Nur dkk, 2010 optimisme merupakan cara berpikir yang yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Berpikir positif adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Optimis dapat membantu meningkatkan kesehatan secara psikologis, memiliki perasaan yang baik, melakukan penyelesaian masalah dengan cara yang logis sehingga hal ini dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Seligman 2008, diperoleh hasil, bahwa optimisme sangat berpengaruh pada kesejahteraan psikis dan kesehatan mental seseorang, meningkatkan sistem imun dan menurunkan stress. Studi mengenai kesehatan mental menunjukan bahwa orang yang optimis jauh dari berbagai penyakit stres, depresi, dan lainnya. Tingkat perlawanan seseorang terhadap masalah atau hambatan yang dihadapi terkait dengan tingkat optimismenya. Orang dengan optimisme kuat biasanya punya perlawanan yang kuat untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang dengan optimisme rendah pesimis, biasanya punya tingkat perlawanan yang lebih lemah, cenderung lebih mudah menyerah pada realitas ketimbang memperjuangkannya Ubaedy, 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Gill dalam Nevid, 2006, menunjukkan adanya hubungan antara optimisme dengan kesehatan yang lebih baik. Misalnya, pasien yang memiliki pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan lebih menderita dan distress. Menurut Ubaedy 2007 Salah satu penyebab yang membuat orang gagal memilki harapan optimistik adalah sikapnya yang kurang sehat, yakni ketika seseorang tidak bisa menerima kenyataan dengan warna-warni kehidupan, yang kerap terjadi malah membuat seseorang mudah stres. Masdrop 2004 menjelaskan, ketika seseorang divonis positif menderita HIVAIDS maka mereka merasa harga dirinya telah jatuh atau rendah dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain. sementara Branden 2007, menjelaskan bahwa tanpa dibekali self esteem yang sehat, individu akan mengalami kesulitan untuk mengatasi tantangan hidup maupun untuk merasakan berbagai kebahagiaan dalam hidupnya. Branden juga mengatakan bahwa self esteem mengandung nilai keberlangsungan hidup survival value yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal ini memungkinkan self esteem mampu memberikan sumbangan bermakna bagi proses kehidupan individu selanjutnya, maupun bagi perkembangan pribadi yang sehat. Lerner dan Spanier, 1980 dalam Ghufron, 2010 berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Berne dan Savary 1994 menyebutkan bahwa orang yang memiliki harga diri yang sehat adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya, mereka tidak malu atas keterbatasan yang dimiliki, memandang keterbatasan sebagai suatu realitas, dan menjadikan keterbatasan itu sebagai tantangan untuk berkembang. Ia juga menyebutkan bahwa harga diri yang sehat adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri berharga, berkemampuan, penuh kasih sayang yang memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungannya dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang merasa rendah diri, memiliki gambaran negatif pada diri, sedikit mengenal dirinya sehingga menghalangi kemampuan untuk menjalin hubungan, merasa tidak terancam dan berhasil. Di samping itu, Seligman 2005 menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang untuk bersikap optimis. Dalam beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan dukungan sosial terhadap Odha, dapat diperoleh hasil sebagai berikut: Zich dan Temoshok dalam Chatib, 2005 memimpin sebuah studi longitudinal pada 103 Odha tahap ARC dan AIDS untuk menilai hubungan antara dukungan sosial dan daya tahan hardiness terhadap efek negatif dari stress distress baik secara fisik maupun psikologis. Hasilnya subyek menunjukan keinginan, ketersediaan, kegunaan dan frekuensi dari penggunaan 4 bentuk dukungan sosial. Empat bentuk tersebut meliputi tingkah laku dukungan emosional ada orang yang dapat diajak bicara, tingkah laku memecahkan problem memberikan saran-saran, pengaruh personal tidak langsung keinginan orang lain untuk menolong, respon-respon dari lingkungan intervensi dari orang lain untuk menurunkan stress. Penelitian, Zich dan Temoshok dalam Chatib, 2005 menyebutkan bahwa dukungan sosial secara positif berkorelasi dengan daya tahan dan secara negatif berkorelasi dengan distress. Baik untuk Odha yang ARC maupun yang AIDS, bentuk dukungan emosional dipilih dalam semua kategori keinginan, ketersediaan, kegunaan dan paling sering digunakan. Bentuk dukungan emosional juga mempunyai efek yang paling nyata dalam korelasi dengan daya tahan. Hasil ini juga bisa dihubungkan dengan fakta bahwa dukungan emosional dapat berasal dari berbagai sumber, sedangkan bentuk lain dari dukungan sosial, misalnya pemecahan masalah, dapat datang hanya dari seseorang yang sedikit banyaknya tergolong ahli. Pada subyek tahap AIDS, meningkatnya distress fisik berkorelasi dengan merendahnya persepsi mengenai ketersediaan dukungan sosial. Baik subyek yang ARC Anti Retro Viral maupun AIDS, persepsi dari ketersediaan dukungan sosial yang kuat dihubungkan dengan penurunan perasaan ketidakberdayaan dan depresi Chatib, 2005. Idealnya seseorang yang memiliki sellf esteem yang tinggi akan memiliki optimisme yang tinggi pula, dan mereka yang memiliki self esteem yang positif dan sangat menyadari siapa dirinya dan potensinya akan memiliki optimis hidup yang tinggi pula. Di samping itu ODHA juga membutuhkan dukungan sosial untuk bertahan hidup. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh hingga tahun 2011 di Yayasan Stigma yang bergerak di bidang penanggulangan HIV AIDS bahwa jumlah penderita ODHA sebanyak 61 orang yang terdiri dari 37 laki-laki dan 24 perempuan yang berada pada usia produktif yaitu antara 21 – 40 tahun. Seharusnya, pada kisaran usia tersebut biasa digunakan untuk melakukan hal-hal bermanfaat seperti berkarya dan mengaktualkan potensi yang dimiliki. Namun pada faktanya ODHA tidak mampu berbuat hal yang produktif, berjuang melawan penyakitnya maupun dan juga stigma negatif dari masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti ingin mengetahui sejauh mana self esteem dan dukungan sosial mampu mempengaruhi optimis hidup penderita HIVAIDS karena banyaknya ODHA Orang Dengan HIVAIDS self esteemnya rendah, merasa dikucilkan oleh masyarakat sehingga kebanyakan ODHA tidak optimis dalam menjalankan hidupnya. Maka dari itu peneliti memberikan judul penelitian ini pengaruh self esteem dan dukungan sosial terhadap optimisme hidup penderita HIVAIDS.

1.2. Batasan Masalah