Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK

18

2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK

Berkembangnya penyakit GGK dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, ß-bloker, Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor ACE-I, dan antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I dan Calsium Channel blocker CCB tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid, memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek nefroprotektif. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik Rubenstein, et al., 2005. Hipertensi dalam penyakit gangguan ginjal dapat dikelompokkan dalam: pada penyakit glomerulus akut, penyakit vascular, penyakit gagal ginjal kronik stage III-V dan penyakit glomerulus kronik. Hipertensi oleh karena hal-hal sebagi berikut: retensi natrium, peningkatan system RAA akibat iskemik relative karena kerusakan regional, aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal Agus, 2006.

2.7 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK

Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihertensi yang dapat digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan sebagai first-line therapy, yaitu ACE-I, ß-blocker, CCB dan diuretik. Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur, riwayat perjalanan penyakit, faktor resiko, kerusakan target organ, diabetes, indikasi dan kontraindikasi Sutter, 2007. Universitas Sumatera Utara 19 a. Golongan Diuretik Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium Gunawan, 2007. Golongan Diuretik terutama digunakan adalah zat-zat long-acting berhubung pentakarannya praktis sebagai single-dose, yang meningkatkan kesetiaan pasien pada obat Tjay dan Rahardja, 2007. b. Golongan ACE-I Secara umum ACE-I dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok pertama yang bekerja langsung seperti captopril dan lisinopril dan kelompok kedua berperan sebagai Prodrug seperti enalapril, kuinapril, ramipril Gunawan, 2007. Efek peniadaan pembentukan angiotensin II adalah vasodilatasi dan berkurangnya retensi garam dan air. Captopril digunakan pada hipertensi ringan sampai berat dan pada dekompensasi jantung. Diuretik memperkuat efeknya, sedangkan kombinasinya dengan ß-bloker hanya menghasilkan adisi. Efek samping dari kaptopril adalah batuk kering Tjay dan Rahardja, 2007. Adanya ACE-inhibitor di ginjal menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan filtrasi glomerulus pada keadaan stenosis arteri renalis dapat menimbulkan kegagalan filtrasi Gunawan, 2007. Captopril dan enalapril pada pemberian secara oral diabsorpsi dengan cepat Universitas Sumatera Utara 20 sekitar 75. Ekskresi terutama terjadi melalui ginjal. Dosis captopril adalah 25- 150 mg per hari dan enalapril 10-40 mg per hari. Zat penghambat sintesis prostaglandin misalnya indometasin akan memperlemah kerja inhibitor ACE Mutschler, 2006. c. Golongan ß-bloker Golongan ß-bloker merupakan satu obat yang sering digunakan untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30 terikat oleh protein dan sebesar 50 diekskresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh selama 9-12 jam Ashley dan Currie, 2009. Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian ß-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor ß1 antara lain: 1 penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; 2 hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II; 3 efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor Gunawan, 2007. d. Golongan CCB CCB menyebabkan menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah Sukandar, et al., 2008. Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi dengan baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6-12 jam. Waktu paruh eliminasi plasma terminal adalah 35-50 jam dan konsisten Universitas Sumatera Utara 21 pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak 97,5 amlodipin dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma Ashley dan Currie, 2009. Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal. Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan antihipertensi tahap pertama. Sebagai monoterapi sama dengan obat antihipertensi lain. Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut Gunawan, 2007. e. Golongan Angiotensin Receptor Bloker ARB Berlainan dengan penghambat ACE, zat ini tidak menghambat enzim ACE yang merombak angiotensin I menjadi angiotensin II, melainkan memblok reseptor angiotensin II dengan efek vasodilatasi. Efek maksimalnya baru nyata setelah beberapa minggu Tjay dan Rahardja, 2007. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah Gunawan, 2007. 2.8 Obat Antihipertensi yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat-obat tersebut butuh penyesuaian yang hati-hati apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang telah menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat apabila dosis tidak disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga dosis Universitas Sumatera Utara 22 juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal Sukandar, 2006. Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gangguan ginjal dapat membantu dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya Munar dan Singh, 2007. Bila kreatinin klirens dibawah 60 mLmenit maka perlu penyesuaian dosis obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal, yaitu: golongan ACE-I Captopril, Lisinopril, Ramipril, Benazepril, Enalapril, golongan ß-bloker Bisoprolol dan Atenolol dan golongan diuretik tidak perlu penyesuaian dosis Munar dan Singh, 2007. Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka harus dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis sesuai kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus dimonitor paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan stabil maka follow up biasanya dapat dilakukan dengan interval tiga sampai enam bulan sekali, tetapi adanya penyakit penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan mempengaruhi frekuensi kunjungan berkaitan dengan laboratorium yang dilakukan untuk memonitor perkembangan penyakit Yogiantoro, 2006. Universitas Sumatera Utara 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan darah di atas nilai nomal. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan danatau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan Kemenkes, RI., 2013. Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner PJK, gangguan ginjal. Penurunan tekanan darah secara farmakologis yang efektif dapat mencegah kerusakan pembuluh darah dan terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas Lim, 2009. Pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Peneliti-peneliti selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal. Variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target organ Tessy, 2006. Obat-obat yang diekskresikan melalui ginjal akan terakumulasi dengan adanya gangguan fungsi ginjal yang dapat menimbulkan efek toksik dan bisa menurunkan laju filtrasi glomerulus LFG yang akhirnya dapat memperburuk kondisi ginjal dan akan mengalami perpanjangan waktu paruh eliminasi serta perubahan volume distribusi Dipiro, et al., 2008. Universitas Sumatera Utara