Rumusan Masalah Sistematika Penulisan

Menteri Agama. 14 Pada bulan April 1953, Abdurrahman Wahid bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Abdurrahman Wahid bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. 15 Sewaktu masih kecil, Abdurrahman Wahid belajar mengaji dan membaca Al-Qur’an pada kakeknya, K.H. Hasyim Asyari. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qur’an. Pada saat Abdurrahman Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, ia belajar di SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari dan mengikuti les privat Bahasa Belanda. Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar Abdurrahman Wahid memenangkan lomba karya tulis se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Abdurrahman Wahid dikirim orangtuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Gowongan, sambil menjadi santri di pesantren Krapyak. Abdurrahman Wahid banyak membaca buku berbahasa Inggris seperti buku karya Karl Max, filsafat Plato, dan Thales. Ia mendengarkan radio Voice of Amerika serta BBC London untuk meningkatkan berbahasa Inggris dan menambah wawasan. 16 14 Idem. 15 Ibid, hlm. 16 16 Ibid, hlm. 30-32 Setamat SMEP, Abdurrahman Wahid melanjutkan belajarnya di pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini diajar oleh K.H. Chudhari, sosok kiai yang humanis dan dicintai santrinya. Di pesantren ini, Abdurrahman Wahid dikenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik mistik. Setelah menghabiskan dua tahun di Pesantren Tegalrejo, Abdurrahman Wahid kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambakberas. Di Pesantren Tambakberas milik pamanya, K.H. Abdul Fatah ini, Abdurrahman Wahid menjadi seorang ustadz dan ketua keamanan. 17 Pada tahun 1963, Abdurrahman Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Abdurrahman Wahid diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Abdurrahman Wahid terpaksa mengambil kelas remedial. 18 Sewaktu studi di Mesir, Abdurrahman Wahid terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, 17 Ibid, hlm. 32-33 18 Ibid, hlm. 33-34 Abdurrahman Wahid kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas karena hanya menghafal dan masih menggunakan unsur-unsur klasik. 19 Di Mesir, Abdurrahman Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September G30S terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Abdurrahman Wahid, yang ditugaskan menulis laporan. 20 Dalam menulis laporan tersebut, Abdurrahman Wahid berhasil membersihkan sejumlah besar nama mahasiswa yang dicurigai dengan menyatakan minat mereka terhadap pemikiran Marxis adalah minat yang sepenuhnya bersifat akademik bukan ideologi. Namun pada pertengahan 1966, Abdurrahman Wahid gagal dalam menempuh studi karena sibuk dengan kegiatan di luar studi dan kurang fokus. 21 Ketika Abdurrahman Wahid ditawari kuliah di Mesir, ia diwanti- wanti oleh pamannya, K. H. Fatah, agar menikah terlebih dahulu. Abdurrahman Wahid pun menjadi gelagapan. Namun ia akhirnya 19 Ibid, hlm. 34 20 Ibid, hlm. 34-35 21 Greg Barton, op. cit, hlm. 93-94 menyetujui anjuran pamanya tersebut. Sang paman pun juga membantu mencarikan calon untuk Abdurrahman Wahid. Lalu disodorkan nama Shinta Nuriyah, putri dari H. Abdullah Syukur. Shinta Nuriyah pun dulu pernah menjadi murid Abdurrahman Wahid ketika menjadi guru di Mu’allimat. Abdurrahman Wahid pun menyetujui pilihan pamanya itu. 22 Sayangnya , Shinta Nuriyah belum bersedia dilamar, lantaran ia baru saja trauma oleh salah seorang gurunya yang meminangnya saat berusia 13 tahun yang juga bernama Abdurrahman. Namun keraguan Nuriyah berubah menjadi simpati ketika dalam sebuah suratnya Abdurrahman Wahid mengeluhkan bahwa ia tidak naik tingkat lantaran terlalu aktif di Persatuan Pemuda Indonesia sewaktu di mesir. Nuriyah pun tersentuh dn mencoba menghibur, “Masak manusia harus gagal dalam segala-galanya. Gagal dalam studi, paling tidak berhasil dalam jodoh.” Tulis Nuriyah pada sepucuk surat untuk Abdurrahman Wahid. Begitu menerima surat itu, maka Abdurrahman Wahid langsung meminta ibunya untuk segera melamar Nuriyah. 23 Abdurrahman Wahid menikahi Sinta Nuriyah pada tanggal 11 Juli 1969. Abdurrahman Wahid melakukan pernikahan jarak jauh, karena ia masih berada di Mesir. Sehingga pihak keluarga meminta kakek Abdurrahman Wahid dari garis ibu, K.H. Bisri Syansuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelai pria. Pernikahan Abdurrahman Wahid 22 M Hamid, op. cit, hlm.hlm. 18 23 Ibid, hlm. 18-19