menyetujui anjuran pamanya tersebut. Sang paman pun juga membantu mencarikan calon untuk Abdurrahman Wahid. Lalu disodorkan nama Shinta
Nuriyah, putri dari H. Abdullah Syukur. Shinta Nuriyah pun dulu pernah menjadi murid Abdurrahman Wahid ketika menjadi guru di Mu’allimat.
Abdurrahman Wahid pun menyetujui pilihan pamanya itu.
22
Sayangnya , Shinta Nuriyah belum bersedia dilamar, lantaran ia baru saja trauma oleh salah seorang gurunya yang meminangnya saat
berusia 13 tahun yang juga bernama Abdurrahman. Namun keraguan Nuriyah berubah menjadi simpati ketika dalam sebuah suratnya
Abdurrahman Wahid mengeluhkan bahwa ia tidak naik tingkat lantaran terlalu aktif di Persatuan Pemuda Indonesia sewaktu di mesir. Nuriyah pun
tersentuh dn mencoba menghibur, “Masak manusia harus gagal dalam segala-galanya. Gagal dalam studi, paling tidak berhasil dalam jodoh.”
Tulis Nuriyah pada sepucuk surat untuk Abdurrahman Wahid. Begitu menerima surat itu, maka Abdurrahman Wahid langsung meminta ibunya
untuk segera melamar Nuriyah.
23
Abdurrahman Wahid menikahi Sinta Nuriyah pada tanggal 11 Juli 1969. Abdurrahman Wahid melakukan pernikahan jarak jauh, karena ia
masih berada di Mesir. Sehingga pihak keluarga meminta kakek Abdurrahman Wahid dari garis ibu, K.H. Bisri Syansuri, yang berusia 68
tahun, untuk mewakili mempelai pria. Pernikahan Abdurrahman Wahid
22
M Hamid, op. cit, hlm.hlm. 18
23
Ibid, hlm. 18-19
dengan Nuriyah dianugerahi empat putri. Mereka adalah Alissa Qatrunnada Munawarah Lissa, Zannuba Arifah Chafsoh Yenny, Anita Hayatunnufus
Anita, dan Inayah Wulandari Inayah.
24
Pendidikan sarjana Abdurrahman Wahid dimulai kembali melalui beasiswa di Universitas Baghdad
. Pada tahun 1966, Abdurrahman Wahid
pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam cukup maju. Di Irak, ia masuk dalam Departement of Religion di
Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Abdurrahman Wahid menerima rangsangan intelektual yang tidak didapatkannya di Mesir.
Ia juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
25
Setelah lulus dari belajar di Universitas Baghdad, Abdurrahman Wahid beraksud melanjutkan studinya ke Eropa, yaitu di Universitas
Laiden, Belanda. Akan tetapi ia kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Utamanya dalam bahasa, misalnya
untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, Abdurrahman Wahid harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani, atau Latin dengan baik disamping
bahasa Jerman. Abdurrahman Wahid tidak memenuhi persyaratan itu. Akhirnya, Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan dan menjadi pelajar
keliling dari satu universitas ke universitas yang lainnya.
26
24
Ibid, hlm. 19-20
25
Ibid, hlm. 35
26
Ibid, hlm. 36
Selesai masa studinya di beberapa negara di Eropa ,
Abdurrahman Wahid kembali ke Jakarta dan berharap masih bisa pergi ke luar negeri lagi
untuk belajar di Universitas Mc Gill Kanada. Di Indonesia, Abdurrahman Wahid bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial LP3ES organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Abdurrahman Wahid juga berkeliling
pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, juga turut mengembangkan
pesantren. Pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Jika pesantren
mau menggunakan kurikulum yang dimiliki pemerintah, maka pesantren bisa memperoleh dana dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas.
Pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Abdurrahman Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
27
2. Abdurrahman Wahid dan NU
Karir Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik
dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah
27
Ibid, hlm. 41
dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Abdurrahman Wahid tinggal bersama keluarganya.
28
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Abdurrahman Wahid masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia
bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es lilin yang dirintis istrinya. Pada tahun 1974
Abdurrahman Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik.
Satu tahun kemudian Abdurrahman Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Abdurrahman Wahid
bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Abdurrahman Wahid
mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian
kalangan universitas.
29
Abdurrahman Wahid berasal dari keluarga yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama NU. Abdurrahman Wahid pun diminta berperan aktif
dalam menjalankan gerakan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Abdurrahman Wahid sebagai intelektual publik. Ia dua kali menolak
tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun pada akhirnya, Abdurrahman Wahid bersedia bergabung dengan Dewan tersebut
28
Ibid, hlm. 41-42
29
Ibid, hlm. 42
setelah kakeknya, K.H. Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil tanggung jawab ini, Abdurrahman Wahid juga memilih untuk
pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Abdurrahman Wahid berkiprah sebagai reforman
NU.
30
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Abdurrahman
Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan PPP, sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk
NU. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun,
Abdurrahman Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
31
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasiterhenti. Setelah berdiskusi, Dewan
Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh yang termasuk Abdurrahman Wahid untuk membahas isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU
bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi
30
Ibid, hlm. 43
31
Idem
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Abdurrahman Wahid mendengar
pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa
permintaan mundur tidak konstitusionial karena Idham berkeinginan mundur gara-gara desakan sebagian kecil pihak.
Dengan himbauan Abdurrahman Wahid, Idham membatalkan mundur dari jabatan ketua NU
dan Abdurrahman Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
32
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR dan mulai
mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Abdurrahman Wahid menjadi bagian
dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Abdurrahman Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran
dan Sunnah untuk pembenaran. Dan pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih
menghidupkan kembali NU, Abdurrahman Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus
dalam masalah sosial daripada dalam politik.
33
Reformasi yang dilakukan Abdurrahman Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984,
32
Ibid, hlm. 44-45
33
Ibid, hlm. 45
banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai ketua baru NU. Abdurrahman
Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut.
34
Terpilihnya Abdurrahman Wahid dilihat positif oleh Soeharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila
bersamaan dengan citra moderatnya , menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Soeharto menjadikan Abdurrahman Wahid
indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP
dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Soeharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun
ia disukai oleh rezim, Abdurrahman Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini
merenggangkan hubungan Abdurrahman Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
35
Selama masa jabatan pertamanya, Abdurrahman Wahid fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dengan menganut
kurikulum dari pemerintah dan berhasil meningkatkan kualitas sistem
34
Ibid, hlm. 46
35
Idem.
pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid juga mendirikan kelompok belajar di
Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim.
Abdurrahman Wahid pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim assalamualaikum menjadi salam
sekular selamat pagi karena di Indonesia masih banyak keberagaman salam sehingga dia menginginkan adanya sikap menghargai keberagaman
tersebut.
36
Abdurrahman Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang
terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh
Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun
1991, beberapa anggota ICMI meminta Abdurrahman Wahid bergabung. Abdurrahman Wahid menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Abdurrahman Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum
36
Ibid, hlm. 46-47