Abdurrahman Wahid dan Pluralisme
30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
88
Abdurrahman Wahid mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan Menko Polsoskam Susilo
Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Abdurrahman Wahid memberhentikannya dari jabatannya
beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR
akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk
penunjukkan kekuatan.
89
Pada 23 Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid kemudian mengumumkan dekrit yang berisi 1 Membekukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. 2 mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan
serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun. 3 menyelamatkan gerakan reformasi total dari
unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung, untuk itu kami
memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
88
Ibid, hlm. 65
89
Ibid, hlm. 65-66
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial ekonomi seperti biasa.
90
Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Abdurrahman Wahid dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
91
90
https:www.librarry.ohiou.eduindopubs200107220026.html, diunduh 15 September 2015
91
M. Hamid, op. cit, hlm. 66
53