memiliki kadar air kurang dari 10. Periode pengumpulan daun Sonchus arvensis
L. yang dilakukan saat musim penghujan Desember 2014-Januari 2015 menjadi penyebab cukup tingginya kadar air dalam daun.
B. Uji Pendahuluan
1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Senyawa karbon tetraklorida digunakan sebagai senyawa hepatotoksin dalam penelitian ini. Pemberian karbon tetraklorida melewati jalur
intraperitonial region IV abdomen agar hepatotoksin dapat langsung terabsorpsi menuju pembuluh darah yang ada di rongga peritonial dan
menimbulkan efek toksik akut. Olive oil berperan sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non-toksik dan mampu melarutkan senyawa non-
polar, misalnya karbon tetraklorida. Dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie 2002 yang menyebutkan
bahwa dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus jantan galur Wistar adalah 2 mLkgBB.
Volume larutan CCl
4
p.a sebanding dengan volume olive oil 1:1 dalam proses pembuatan larutan hepatotoksin. Pada dosis tersebut, terjadi kerusakan
sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang terdeteksi dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan kematian pada tikus jantan
sebagai subjek penelitian tersebut.
2. Penetapan waktu pencuplikan darah
Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui waktu pencuplikan darah yang menunjukkan
peningkatan aktivitas serum ALT dan AST sebagai indikator terjadinya kerusakan pada organ hati yang paling besar tanpa menyebabkan kematian
pada hewan uji. Penetapan waktu pencuplikan darah dilakukan pada jam ke-0, 24 dan 48 setelah hewan uji diinduksi dengan karbon tetraklorida dosis 2
mLkgBB secara intraperitonial, selanjutnya dilakukan pengambilan darah melalui sinus orbitalis mata dan pengukuran terhadap nilai aktivitas serum
ALT dan AST. Aktivitas serum ALT dan AST tikus setelah diinduksi dengan karbon tetraklorida pada jam ke-0, 24 dan 48 dapat dilihat di tabel V. Penulis
tidak melakukan orientasi pencuplikan darah pada jam ke-72 sebab berdasarkan data yang didapatkan, terlihat bahwa telah terjadi penurunan
signifikan aktivitas ALT maupun AST pada jam ke-48, sehingga dapat dipastikan bahwa pada jam ke-72, aktivitas serum ALT dan AST telah
menurun mendekati aktivitas awalnya pada jam ke-0. Penetapan waktu pencuplikan darah yang dipilih adalah waktu yang
menunjukkan aktivitas tertinggi dari serum ALT maupun AST yang merupakan indikator terjadinya kerusakan organ hati.
Tabel V. Purata aktivitas serum ALT dan AST tanpa perlakuan jam 0 dan perlakuan kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang waktu 24 dan 48 jam
Selang waktu jam
Purata aktivitas serum ALT±SE UL
Purata aktivitas serum AST±SE UL
54,0±3,5 100,2±10,0
24 198,4±23,8
461,2±46,3 48
74,0±8,2 177,2±17,1
Keterangan: SE
: Standard Error
Berdasarkan data dalam tabel V, nilai aktivitas serum ALT pada waktu pencuplikan jam ke-0, 24 dan 48 berturut-turut adalah 54,0±3,5; 198,4±23,8
dan 74,0±8,2 UL. Pada gambar 9 terlihat bahwa aktivitas serum ALT pada waktu pencuplikan darah setelah 24 jam pemberian karbon tetraklorida dosis 2
mLkgBB adalah yang paling tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas serum ALT pada waktu ke-0 dan 48 jam. Pada jam ke-24, aktivitas serum ALT tikus
meningkat empat kali lipat bila dibandingkan dengan jam ke-0. Selanjutnya pada waktu pencuplikan ke-48 jam, aktivitas serum ALT menurun signifikan
hingga mendekati nilai aktivitas awalnya pada jam ke-0. Metode yang digunakan untuk mengetahui set data memiliki distribusi
normal dilakukan dengan metode analitik menggunakan parameter Shapiro- Wilk
karena jumlah subjek uji yang digunakan kurang dari 50 Dahlan, 2014. Set data aktivitas serum ALT penelitian jam ke-0 p=0,117, jam ke-24
p=0,974 dan jam ke-48 p=0,941 ini berdistribusi normal p0,05. Jenis komparatif penelitian terhadap aktivitas serum ALT untuk
penetapan waktu pencuplikan darah ini termasuk dalam komparatif numerik karena dicari hubungan antar variabel numeriknya. Berdasarkan individu yang
digunakan, data termasuk dalam kelompok berpasangan karena individu dari kelompok pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48 adalah individu yang sama.
Sehingga uji hipotesis komparatif numerik berpasangan dengan pengukuran berulang 3 kali, yakni jam ke-0, 24 dan 48 yang berdistribusi normal ini
dilakukan dengan uji repeated ANOVA dengan post hoc Bonferroni. Uji hipotesis dilakukan untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara
masing-masing kelompok pencuplikan darah. Hasil pengujian repeated ANOVA menunjukkan bahwa aktivitas serum
ALT sebelum diberi hepatotoksin jam ke-0 dan sesudah penyuntikan hepatotoksin jam ke-24 dan 48 memiliki nilai signifikansi 0,011 yang
diinterpretasikan paling tidak terdapat dua pengukuran yang berbeda p0,05. Hasil analisis statistik dengan post hoc Bonferroni menunjukkan bahwa
ada perbedaan bermakna pada pencuplikan darah antara jam ke-0 dengan jam ke-24 p=0,012, jam ke-24 dengan jam ke-48 p=0,005. Sementara data
pencuplikan darah jam ke-0 dengan jam ke-48 menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna p=0,307. Hasil dikatakan berbeda bermakna bila memiliki
nilai p 0,05 dan tidak bermakna bila memiliki nilai p 0,05. Peningkatan aktivitas serum ALT pada jam ke-24 yang terlihat pada
gambar 9 mengindikasikan terjadi kerusakan hati yang paling besar pada saat 24 jam setelah tikus diinduksi dengan karbon tetraklorida. Hasil pengolahan
statistik terhadap aktivitas serum ALT
pada
pencuplikan darah ke-0, 24 serta 48 terlihat pada tabel VI.
Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbin tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke 0, 24, dan 48 jam
ALT Jam 0
Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB
BTB Jam 24
BB BB
Jam 48 BTB
BB Keterangan:
BB : Berbeda bermakna p0,05
BTB : Berbeda tidak bermakna p0,05
Gambar 9. Diagram batang purata aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu 0, 24 dan 48 jam
Berdasarkan data dalam tabel V serta gambar 10., nilai aktivitas serum AST pada waktu pencuplikan jam ke-0, 24 dan 48 adalah berturut-turut
100,2±10,0; 461,2±46,3 dan 177,2±17,1 UL. Pada gambar 10 terlihat bahwa aktivitas serum AST pada waktu pencuplikan darah setelah 24 jam pemberian
karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB adalah yang paling tinggi bila dibandingkan dengan waktu aktivitas serum AST pada waktu ke-0 dan 48 jam.
Pada jam ke-24, aktivitas serum AST tikus meningkat lima kali lipat bila dibandingkan dengan jam ke-0. Selanjutnya, pada waktu pencuplikan ke-48
jam, aktivitas serum AST menurun signifikan hingga mendekati nilai aktivitas awalnya pada jam ke-0.
Metode yang digunakan untuk mengetahui set data memiliki distribusi normal dilakukan dengan metode analitik menggunakan parameter Shapiro-
Wilk karena jumlah subjek uji yang digunakan kurang dari 50 Dahlan, 2014.
Set data aktivitas serum AST penelitian jam ke-0 p=0,395, jam ke-24 p=0,098 dan jam ke-48 p=0,264 ini berdistribusi normal p0,05.
Jenis komparatif penelitian terhadap aktivitas serum AST untuk penetapan waktu pencuplikan darah ini termasuk dalam komparatif numerik
karena dicari hubungan antar variabel numeriknya. Berdasarkan individu yang digunakan, data termasuk dalam kelompok berpasangan karena individu dari
kelompok pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48 adalah individu yang sama. Sehingga uji hipotesis komparatif numerik berpasangan dengan pengukuran
berulang 3 kali, yakni jam ke-0, 24 dan 48 yang berdistribusi normal ini dilakukan dengan uji repeated ANOVA dengan post hoc Bonferroni Dahlan,
2014. Uji hipotesis dilakukan untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok pencuplikan darah.
Hasil pengujian repeated ANOVA menunjukkan bahwa aktivitas serum AST sebelum diberi hepatotoksin jam ke-0 dan sesudah penyuntikan
hepatotoksin jam ke-24 dan 48 memiliki nilai signifikansi 0,009 yang diinterpretasikan paling tidak terdapat dua pengukuran yang berbeda p0,05.
Hasil analisis statistik dengan post hoc Bonferroni menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna antara pencuplikan darah jam ke-0 dengan jam
ke-24 p=0,002, jam ke-24 dengan jam ke-48 p=0,003 serta jam ke-0 dengan jam ke-48 p=0,008. Hasil dikatakan berbeda bermakna bila memiliki nilai p
0,05 dan tidak bermakna bila memiliki nilai p 0,05. Peningkatan aktivitas serum AST pada jam ke-24 yang terlihat pada
gambar 10 mengindikasikan terjadi kerusakan hati yang paling besar pada saat 24 jam setelah tikus diinduksi dengan karbon tetraklorida. Hasil pengolahan
statistik terhadap aktivitas serum AST pada pencuplikan darah ke-0, 24 serta 48 terlihat pada tabel VII.
Tabel VII. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbin tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke 0, 24, dan 48 jam
AST Jam 0
Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB
BB Jam 24
BB BB
Jam 48 BB
BB Keterangan:
BB : Berbeda bermakna p0,05
BTB : Berbeda tidak bermakna p0,05
Gambar 10. Diagram batang purata aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu 0, 24 dan 48 jam
Berdasarkan data tersebut, terjadi kenaikan signifikan aktivitas serum ALT dan AST pada waktu ke-24 jam setelah tikus diinduksi dengan karbon
tetraklorida yang dapat terlihat dari profil diagram batang serta hasil pengolahan statistik yang menyatakan bahwa ada perbedaan bermakna
p0,05 pada aktivitas serum ALT antara jam ke-24 dengan jam ke-0 dan 48, serta perbedaan bermakna p0,05 pada aktivitas serum AST pada jam ke-0
dengan jam ke-24 dan 48. Dengan demikian, waktu pencuplikan darah dalam penelitian ini dilakukan pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida
sebagai hepatotoksin dengan dosis 2 mLkgBB.
3. Penentuan dosis dekokta daun Sonchus arvensis L.