Tingkat Keterbacaan Buku Pelajaran

yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan.2 Menyajikan suatu sumber pokok masalah atau subjectmatter yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para peserta didik, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan di mana keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya. 3 Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi. 4 Menyajikan bersama-sama dengan buku manual yang mendampinginya, metode-metode dan sarana-sarana pengajaran untuk memotivasi para peserta didik. 5 Menyajikan fiksasi perasaan yang mendalam awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis. 6 Menyajikan bahansarana evaluasi dan remedial yang serasi dan tepat guna. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi buku pelajaran adalah sebagai sumber kegiatan, acuan, dan gagasan bagi peserta didik dan guru dalam pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya.

2.4 Tingkat Keterbacaan Buku Pelajaran

Membaca memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. Melalui kegiatan membaca, peserta didik dapat memperoleh berbagai informasi mengenai pelajaran yang dipelajari. Ginting 2005 :18 menyatakan bahwa salah satu wahana dalam upaya memperoleh informasi dan meningkatkan pengetahuan adalah melalui kegiatan membaca. Salah satu tugas guru adalah menyediakan sarana baca yang sesuai untuk peserta didiknya. Buku merupakan sarana baca yang sering digunakan oleh siswa, sehingga guru harus cermat dalam memilih buku yang dapat meningkatkan minat baca peserta didiknya. Menurut Suryadi dalam jurnal Sosioteknologi tahun 2007, menyatakan bahwa buku ajar yang dikategorikan baik tidak hanya berisi materi yang sesuai dengan kurikulum, tetapi juga memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Tingkat keterbacaan ini akan berpengaruh terhadap minat baca siswa. Menurut Ambruster dan Anderson, sebagaimana dikutip oleh Zamroni 2011:13, keterbacaan buku teks merupakan istilah yang digunakan untuk menyelidiki beberapa aspek bahan tertulis yang mengacu pada tingkat pemahaman bahan tersebut. Dalam bahasa Inggris, keterbacaan disebut readability, yang merupakan istilah untuk menyelidiki suatu bahan tertulis yang mengacu pada tingkat kesukaran atau kemudahan suatu bacaan bagi pembacanya. Menurut Fry, dalam El-Masri dan Vlaardingerbroek 2010:109 keterbacaan sebuah teks –dalam hal ini teks atau wacana ilmu pengetahuan- menyatakan tingkat kelas pembaca dapat membaca dan memahami teks atau wacana yang sedang dibaca. Menurut Suryadi, suatu analisis tingkat keterbacaan ini akan memunculkan apakah buku itu mudah, sedang, atau sulit dipahami oleh pembacanya. Semakin tinggi tingkat keterbacaannya, maka semakin mudah buku itu untuk dipahami pembacanya. Tingkat keterbacaan dapat diukur dengan formula keterbacaan, antara lain Formula Fry, Formula Flesch, Fog Index, dan SMOG. Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Yasa 2013:9 menyatakan bahwa seluruh formula tersebut dapat digunakan untuk menganalisis tingkat keterbacaan dengan cermat. Salah satu Formula yang dianjurkan oleh Subyantoro 2006:10 adalah Formula Fry. Formula Fry dipilih karena praktis dan telah disesuaikan dengan wacana dalam bahasa Indonesia. Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya, yaitu Edward Fry. Formula Fry dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah Journal of Reading. Formula Fry ini mengambil seratus kata dalam suatu wacana untuk dijadikan sampel tanpa memperhatikan seberapa panjang wacana tersebut. Jadi, seberapa banyakpun wacana tersebut, jumlah sampel yang dipakai tetap seratus kata. Formula ini mempunyai dua dasar utama, yaitu panjang pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah banyak-sedikitnya suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Di bagian atas grafik terdapat deretan angka-angka seperti berikut: 108,112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data Gambar 2.1 Gambar Grafik Fry jumlah suku kata perseratus perkata, yakni jumlah kata dari wacana. Di bagian samping kiri grafik terdapat angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya yang menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1, angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga universitas. Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid, maksudnya jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat manapun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain. Cara menghitung keterbacaan yaitu: 1 mengambil sampel wacana yakni seratus perkataan; 2 menghitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga persepuluhan terdekat; 3 menghitung jumlah suku kata dari wacana sampel hingga kata ke-100. Misalnya, sampel wacana hingga kata keseratus terdiri atas 228 suku kata; 4 untuk wacana bahasa Indonesia, ditambah satu langkah yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan angka 0,6; 5 memplotkan angka-angka hasil perhitungan ke dalam Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

2.5 Keterpusatan pada Peserta Didik