Pengujian Termal Dengan DTA

51

4.2.7 Pengujian Termal Dengan DTA

Pengujian dengan DTA merupakan metode karakterisasi sifat termal suatu sampel untuk menentukan temperatur kritis dan juga menghitung perubahan temperatur T, yang menggunakan alat Thermal Analyyzer DT-30 Shimadzu. Pengujian ini dilakukan pada tiga jenis sampel yaitu sampel variasi 65:35:0, variasi 65:31:4 dan variasi 65:29:6 yang ketiganya berturut-turut merupakan hasil terbaik dan terburuk dari pengujian mekanik. Hasil lengkap dapat dilihat pada lampiran G pada halaman L-7. Tujuan dilakukan pengujian ini untuk mengetahui sampai batas suhu berapa kristal anhidrat tersebut mengalami perubahan atau lepas dari ikatannya dengan gipsum, karena plafon gipsum yang bebas dari kristal anhidrat akan membuat plafon tersebut melengkung dengan sendirinya, sehingga kekuatan plafon tersebut menjadi lebih rapuh. Untuk pengukuran temperatur kritis dimulai dari puncak peak DTA yang ditarik garis lurus sampai memotong garis penunjuk temperatur, selanjutnya titik potong tersebut ditandai, dan diturunkan dua skala kebawah sehingga didapat titik potong baru, dari titik potong ini ditarik garis lurus menuju skala temperatur 15 mv. Dari pengukuran tersebut diperoleh suhu leleh T g , dan suhu titik maksimum T m . Pengukuran untuk perubahan temperatur T dari sampel dengan menghubungkan titik singgung peak DTA, sehingga diperoleh garis singgung, selanjutnya garis lurus dari puncak peak DTA ditarik memotong garis singgung. Jarak dari puncak sampai garis singgung ini disebut besarnya jumlah skala T. Jarak antara puncak sampai garis singgung dihitung dengan satuan skala, kemudian jumlah skala T dimasukkan ke persamaan berikut : e termocoupl e termocoupl range T x total skala jumlah DTA range total x T skala jumlah T    ......... 4.1 Berdasarkan pada Gambar 4.7, Gambar 4.8, dan Gambar 4.9 berikut ini, maka suhu leleh T g dan suhu dekomposisi T m nya dapat ditentukan, sedangkan untuk nilai perubahan suhu T dari tiap-tiap peak dapat diperoleh dengan menghitung jumlah Universitas Sumatera Utara 52 skalanya dan kemudian dikonversikan ke persamaan 4.1. Untuk cara perhitungan dan tabel hasil pengukuran nilai T g , T m , dan perhitungan T dapat dilihat pada Lampiran G halaman L-7. Gambar 4.7 Grafik Hasil Pengukuran Uji DTA Terhadap Plafon Gipsum Untuk Sampel Gipsum : Semen PPC : Serat Rami 65:35:0 Gambar 4.8 Grafik Hasil Pengukuran Uji DTA Terhadap Plafon Gipsum Untuk Universitas Sumatera Utara 53 Sampel Gipsum : Semen PPC : Serat Rami 65:31:4 Gambar 4.9 Grafik Hasil Pengukuran Uji DTA Terhadap Plafon Gipsum Untuk Sampel Gipsum : Semen PPC : Serat Rami 65:29:6 Berdasarkan Gambar 4.7 tersebut terlihat adanya pergeseran garis dasar awal kearah endotermik membentuk peak tajam yang menunjukkan titik leleh T g sebesar 150 C kristal anhidrat dari gipsum dan semen PPC sesuai dengan data pada Tabel 4.7. Hal tersebut menurut Stevens 2001 dalam Rahmadi 2011 karena suhu sampel tertinggal dari suhu pembanding, dan diketahui juga bahwa pada saat mencapai suhu lelehnya T g nya tersebut terjadi penurunan suhu yang ditandai dengan arah peak kekanan sebesar 4,39 C atau terjadi perbedaan suhu antara sampel dengan pembanding sebesar 4,39 C. Sementara bila dibandingkan dengan sampel variasi 65:31:4 pada Gambar 4.8 terlihat juga pergeseran garis dasar awal kearah endotermik dan membentuk peak yang menunjukkan titik leleh T g sebesar 150 C, selanjutnya terbentuk peak yang tajam kearah eksotermik menunjukkan temperatur maksimum atau titik dekomposisi T m dari sampel sebesar 430 C. Universitas Sumatera Utara 54 Dari hasil tersebut diketahui ada perbedaan nilai suhu leleh dengan gipsum dan semen PPC, ini menunjukkan bahwa campuran tersebut menghasilkan suhu leleh yang lebih rendah karena adanya kristal anhidrat lebih dahulu meleleh pada suhu tersebut, dan juga adanya peak tajam kearah eksotermik menurut Stevens 2001 dalam Rahmadi 2011 menunjukkan suhu sampel telah mendahului suhu pembanding. Untuk T pada Lampiran G pada halaman L-7 No. 3 tersebut, diketahui bahwa pada saat mencapai titik lelehnya terjadi penurunan suhu yang ditandai dengan arah peak ke kanan sebesar 5,01 C, dan pada saat mencapai suhu dekomposisinya terjadi kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 30,70 C dengan arah peak ke kiri. Selanjutnya Gambar 4.8 tersebut dibandingkan dengan Gambar 4.9 yang merupakan hasil dari pengujian terbaik. Gambar 4.8 terjadi pergeseran garis dasar pada awal kearah endotermik dan membentuk peak yang menunjukkan titik leleh T g sebesar 150 C, kemudian terbentuk peak yang tajam kearah eksotermik menunjukkan suhu dekomposisinya T m sebesar 430 C. Sebagaimana diketahui pula pada saat mencapai titik lelehnya juga terjadi penurunan suhu sebesar 5,01 C, dan pada saat mencapai suhu titik dekomposisinya terjadi kenaikan sebesar 0,94 C dengan arah peak ke kiri. Dengan demikian jelas dalam hal ini, pengujian DTA terhadap variasi sampel 65:29:6 telah menunjukkan nilai T g , T m dan jumlah skala T 2 nya lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan sampel 65:31:4. Ini berarti jauh lebih baik hasilnya karena membutuhkan pemanasan lebih tinggi sampai kristal anhidrat dari gipsum dan semen PPC pada sampel tersebut mencair. Pada saat mencapai titik dekomposisinya terjadi kenaikan suhu yang signifikan sebesar 30,70 C. Adapun arti dari suhu transisi gelas T g terhadap variasi komposisi 65:29:6 yang bernilai 140 C adalah sampai suhu 140 C bahan gipsum plafon jika terkena panas tidak akan mengalami perubahan bentuk ataupun rusak, tetapi diatas suhu tersebut maka bahan akan mengalami kerusakan.

4.2.8 Pengujian XRD Dengan Menggunakan X-Ray Diffractometer