Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942.

(1)

PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN 1865-1942

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O L E H

Nama : HANDOKO NIM : 100706009

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, nikmat, hidayah dan inayahNya jualah penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan skripsi ini dengan baik, mulai dari proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan hingga penulisan. Shalawat beriring salam semoga selalu terucap buat junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, semoga mendapat syafaatnya di Yaumil Hisab kelak.

Penulisan skripsi adalah syarat bagi mahasiswa untuk memperoleh suatu gelar sarjana. Demikian juga halnya skripsi merupakan satu kewajiban akademis untuk meraih gelar sarjana di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat sebuah fenomena sejarah yang penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942”.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Amiin…

Medan, November 2014 Penulis,

Handoko


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dan selesai tanpa bantuan, dorongan, layanan dan semangat baik itu materil maupun moril dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Parno dan Ibunda Kinah yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan moril dan materil dan do’a restu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya sederhana ini. Tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa dan karya ini mungkin akan hanya ada dalam hayalan penulis semata.

2. Paman Isman Supriyadi dan bu’lek Darmini yang telah rela menyisihkan sedikit rezekinya kepada penulis untuk keperluan perkuliahan, penelitian, dan hingga akhir sidang. Beribu terima kasih penulis ucapkan dan tidak akan pernah melupakan jasa-jasa yang telah kalian sisihkan untuk penulis.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, serta pada Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sejarah FIB USU, sekaligus pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan masukan, saran, kritik, nasihat, waktu luang, serta perhatian yang


(4)

begitu besar kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Tidak hanya sebagai pembimbing, beliau telah banyak membantu baik moril, materil dan nasihat-nasihat yang sangat membantu penulis dalam kelancaran proses perkuliahan, juga kepada ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah membantu lancarnya penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Dr. Suprayitno, M. Hum selaku dosen penasihat akademik penulis yang telah mencurahkan perhatian, nasehat, semangat serta kasih sayang sebagai ayah angkat penulis di kampus selama penulis menjadi mahasiswa. Selain itu, penulis juga diberi kesempatan emas untuk ikut membantu berbagai penelitian yang dilakukan oleh beliau sehingga penulis dapat belajar dan terbiasa menghadapi penelitian.

6. Ibu Dra. Ratna, M. S dan Dra. S.P. Dewi Murni, M. A, penulis mengucapkan banyak terimah kasih karena penulis banyak mendapat bantuan moril maupun materil, serta masukan-masukan dan literatur sehingga penulis dapat dengan lancar menyelesaikan penulisan skripsi.

7. Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah FIB USU yang telah memberikan penulis banyak pencerahan, pengetahuan, pengalaman, pendidikan serta wawasan selama penulis menjadi mahasiswa baik di dalam juga di luar kampus. Tidak lupa juga pada staf administrasi Departemen Sejarah, Bang Ampera yang telah banyak membantu penulis selama penulis menjadi mahasiswa.


(5)

8. Sahabat sejatiku, Dedi Saputra, A.Md yang telah banyak membantu penulis baik selama masa kuliah, hingga penyelesaian skripsi. Terima kasih juga untuk Mbak Rosidah, Mbak Nila, Mbak Rubiah, Mbak Ningsih, Bang Rudi, Bang Andi serta tidak lupa Wak Niah serta Wak (alm.) Rubiman yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri.

9. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) khususnya Buk Hapsari dan Mbak Diah, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan USU, Perpustakaan dan Arsip Pemko. Tanjung Balai dan lainnya yang telah memberikan data dan pelayanan yang sangat memuaskan selama penulis melakukan penelitian.

10.Tinambunan Family, Ana Vawarija Berutu (Mejan), Ibu Tinambunan, Vandi, Santi, Tona, Meda dan lainnya terimah kasih sudah menerima penulis untuk menumpang berteduh selama penulis melakukan pencarian data di ANRI dan PNRI.

11.Rekan-rekan stambuk 2010, Putri (Tribon), Yayuk (Sombro), Malik, Novila, Suhe, Jojo, Bebe, Yana, Ardi, Harun, Fahri, Moses, Lony, Andreas, Ayu, Rico, Leo, Ikhwan, Rina, Lina, Evi, Helma, Dominica, Darma, Hasan, serta teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu atas dukungan dan dorongan serta kekompakan kita semua.

12.Seluruh mahasiswa Departemen Sejarah atas dukungan dan perhatian kalian semua.


(6)

13.Rekan-rekan di rumahNurul, Budi, Bodong, Pate, Beti, Irma, Tari, Capling, Pompi, Gibol, Gendut, Kameng, Dele, Ncong, Yuga, Bebek, Gelek, Iboy, Ozi, Yanto dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas dukungan dan dorongan semangat kalian semua.

Akhirnya untuk semua orang yang telah membantu langsung maupun tidak langsung penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga kebaikan dan bantuan kalian semua mendapat imbalan dari Tuhan. Amiin…

Medan, November 2014 Penulis,

Handoko


(7)

KONVERSI UKURAN

1 pikul = 61,761 kg. = 100 kati

1 koyang = 3 pikul

1 gantang = ± 2,3-2,7 kg. (beras) = ± 1,7-2,2 kg. (padi, kacang-kacangan)

1 corge = 20 buah/lembar

1 laksa = 10.000 buah

1 bal = 1 gulung/ 40 lembar

1 kilometer (km.) = 1.000 meter (m.)

1 mil laut = 1,852 km. = 1852 m.

1 ton = 1.000 kilogram (kg.)


(8)

DAFTAR ISI

Prakata ... i

Ucapan Terima Kasih ... ii

Konversi Ukuran ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xii

Abstrak ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4Tinjauan Pustaka ... 6

1.5Metode Penelitian ... 9

BAB II KEADAAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN SEBELUM TAHUN 1865 2.1 Geografis ... 14

2.2 Sarana dan Prasarana ... 16

2.2.1 Dermaga ... 17

2.2.2 Kapal dan Perahu ... 19

2.3 Pengelolaan ... 21

2.3.1 Cukai ... 22

2.3.2 Keamanan ... 26


(9)

BAB III PERKEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN 1865-1942

3.1 Penetrasi Belanda di Asahan ... 38

3.2 Perkembangan Pelabuhan dan Pelayaran di Asahan ... 44

3.3 Sarana dan Prasarana ... 46

3.3.1 Dermaga ... 46

3.3.2 Gudang ... 48

3.3.3 Perkantoran, Perumahan dan Fasilitas-fasilitas lainnya ... 51

3.4 Pengelolaan dan Struktur Organisasi ... 54

3.5 Cukai, Pelayaran dan Perusahaan ... 61

3.5.1 Cukai ... 61

3.5.2 Pelayaran ... 69

3.5.3 Perusahaan Pelabuhan ... 74

3.6 Aktivitas Ekspor dan Impor ... 77

3.6.1 Komoditas Ekspor-Impor ... 77

3.6.2 Tujuan dan Asal Ekspor-Impor ... 79

3.6.3 Kuantitas Ekspor-Impor ... 82

BAB IV PERAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN 1865-1942 4.1 Sumatera Timur ... 92

4.2 Afdeling Asahan ... 98

4.3 Onderneming ... 103

4.4 Pertanian Rakyat ... 108

BAB V EKSISTENSI PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN 1865-1942 5.1 Letak ... 113

5.2 Pembangunan Sarana Transportasi ... 118


(10)

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 134

6.2 Saran ... 136

Daftar Pustaka ... 138


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cukai Impor di Pelabuhan Tanjung Balai 1823 ...24 Tabel 2. Cukai Ekspor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1823...25 Tabel3. Barang-barang yang di Impor Melalui Pelabuhan

Tanjung Balai Asahan Tahun 1823...34 Tabel 4. Barang-Barang Yang Diekspor Melalui Pelabuhan

Tanjung Balai Asahan Pada Tahun 1823...35 Tabel 5. Nilai Cukai dan Pajak di Sumatera Timur Pada Tahun 1875...63 Tabel 6. Pendapatan Pajak di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

pada Tahun 1879...65 Tabel 7. Pendapatan Pajak di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

pada Tahun 1908...66 Tabel 8. Penerimaan Pajak di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

Pada Tahun 1939-1940...68 Tabel 9. Pelayaran Melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

pada Tahun 1908...70 Tabel 10. Pelayaran dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

pada Tahun 1921-1925...72 Tabel 11. Pelayaran di Pelabuhan Tanjung Balai Aasahan

pada Tahun 1937-1939...73 Tabel 12. Pendapatan dan Pengeluaran Pelabuhan Tanjung

Balai Asahan Tahun 1921-1925 (gulden)...75 Tabel 13. Penerimaan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagai

Perusahaan Tahun 1937-1939 (gulden)...76 Tabel 14. Nilai Ekpor dan Impor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

Tahun 1865-1868...83 Tabel 15. Komoditas-komoditas yang Diekspor Melalui Pelabuhan

Tanjung Balai Asahan 1937-1940 (dalam ton)...86 Tabel 16. Komoditas-komoditas yang Diekspor Melalui Pelabuhan

Tanjung Balai Asahan dalam 1937-1940 (dalam gulden)...87 Tabel 17. Volume dan Nilai Impor Pelabuhan Tanjung Balai Asahan

Tahun 1929-1940...89 Tabel 18. Total Ekspor-Impor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan


(12)

Tabel 19. Ekspor per Pelabuhan di Sumatera Timur Tahun 1938-1940...95

Tabel 20. Impor per Pelabuhan di Sumatera Timur 1929-1940...97

Tabel 21. Ekspor per Pelabuhan di Afdeling Asahan Tahun 1938-1940...100

Tabel 22. Impor per Pelabuhan di Afedling Asahan Tahun 1929-1940...102

Tabel 23. Volume Ekspor Kopra dan Pinang di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan Tahun 1937-1940...110


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I : Peta Geologi Pulau Sumatera

LAMPIRAN II : Peta Arah Angin yang Berhembus di Pulau Sumatera. LAMPIRAN III : Peta Perkebunan di Pulau Sumatera.

LAMPIRAN IV : Peta Sumatera Timur.

LAMPIRAN V : Peta Jalur Kereta Api DSM di Sumatera Timur. LAMPIRAN VI : Stasiun Kereta Api Tanjung Balai.

LAMPIRAN VII : Kapal-kapal “Boot” di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan LAMPIRAN VIII : Perahu Layar Melayu di Sungai Asahan.

LAMPIRAN IX : Foto Udara Perumahan, Pelabuhan, Tanjung Balai. LAMPIRAN X : Pelayaran di tepi Sungai Asahan Tanjung Balai.

LAMPIRAN XI : Muara Sungai Asahan dekat dengan rumah pengadilan Tanjung Balai Asahan.

LAMPIRAN XII : Muara Sungai Silau dekat dengan rumah pengadilan Tanjung Balai Asahan.

LAMPIRAN XIII : Houtzagerij te Tandjoeng Balai aan de Asahan rivier Sum.O.K.

LAMPIRAN XIV : Tanjung Balai Asahan Pada Tahun 1895.

LAMPIRAN XV : Dermaga Pelabuhan di Sungai Silau Tanjung Balai Asahan Sumatra.

LAMPIRAN XVI : Rumah-rumah di Teluk Nibung dekat muara Sungai Asahan Tanjung Balai.

LAMPIRAN XVII : Kapal Tanker Minyak Kelapa Sawit yang Berlabuh Di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan.

LAMPIRAN XVIII : Kapal yang Berlayar Menyusuri Sungai Asahan.

LAMPIRAN XIX : Kantor Perkebunan Hollands America Plantage

Maatschappij


(14)

Abstrak

Skripsi berjudul “Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942” ini adalah sebuah kajian sejarah maritim dan ekonomi yang ditulis melalui sebuah penelitian. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa rekam jejak peninggalan aktivitas-aktivitas kepelabuhan di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebagai sebuah tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum penetrasi Belanda dan pada masa Kolonial Belanda.

Kajian ini menemukan suatu hal yang unik mengenai keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan selama masa Kolonial Belanda. Sebuah pelabuhan yang pada awalnya hanya sebuah sandaran kapal semata yang berubah menjadi sebuah pelabuhan yang diperhitungkan di wilayah Sumatera Timur. Selain itu, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang mampu bertahan seiring perkembangan Sumatera Timur yang sangat pesat pada paruh pertama abad ke-20. Pelabuhan Tanjung Balai Asahan oleh Belanda difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor. Jenis komoditas ekspor didominasi oleh hasil perkebunan dan hasil hutan serta hasil pertanian rakyat, sedangkan komoditas impor adalah barang kebutuhan masyarakat dan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan perkebunan.

Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagai pelabuhan penting di Sumatera Timur memiliki peran sebagai pengangkut hasil-hasil perkebunan yang ada di Sumatera Timur, Afdeling Asahan, onderneming dan pertanian rakyat. Peranan ini membuat Pelabuhan Tanjung Balai Asahan masih eksis keberadaannya hingga saat ini. Bertahannya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan disebabkan beberapa faktor yang mendukung seperti letaknya, pembangunan sarana transportasi, peran pemerintah dan menjadi pelabuhan binaan.


(15)

Abstrak

Skripsi berjudul “Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942” ini adalah sebuah kajian sejarah maritim dan ekonomi yang ditulis melalui sebuah penelitian. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa rekam jejak peninggalan aktivitas-aktivitas kepelabuhan di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebagai sebuah tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum penetrasi Belanda dan pada masa Kolonial Belanda.

Kajian ini menemukan suatu hal yang unik mengenai keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan selama masa Kolonial Belanda. Sebuah pelabuhan yang pada awalnya hanya sebuah sandaran kapal semata yang berubah menjadi sebuah pelabuhan yang diperhitungkan di wilayah Sumatera Timur. Selain itu, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang mampu bertahan seiring perkembangan Sumatera Timur yang sangat pesat pada paruh pertama abad ke-20. Pelabuhan Tanjung Balai Asahan oleh Belanda difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor. Jenis komoditas ekspor didominasi oleh hasil perkebunan dan hasil hutan serta hasil pertanian rakyat, sedangkan komoditas impor adalah barang kebutuhan masyarakat dan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan perkebunan.

Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagai pelabuhan penting di Sumatera Timur memiliki peran sebagai pengangkut hasil-hasil perkebunan yang ada di Sumatera Timur, Afdeling Asahan, onderneming dan pertanian rakyat. Peranan ini membuat Pelabuhan Tanjung Balai Asahan masih eksis keberadaannya hingga saat ini. Bertahannya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan disebabkan beberapa faktor yang mendukung seperti letaknya, pembangunan sarana transportasi, peran pemerintah dan menjadi pelabuhan binaan.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang terletak di Pantai Timur Sumatera berada di pusat pemerintahan Afdeling Asahan. Letaknya sangat diuntungkan karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional. Kemajuan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tidak terlepas dengan kehadiran dua pelabuhan transit yang sengaja dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Inggris di Semenanjung. Pembentukan kedua pelabuhan tersebut berdampak pada kemunduran aktivitas perdagangan dan pelayaran di Pantai Barat Sumatera.

Kemunduran aktivitas perdagangan dan pelayaran di Pantai Barat Sumatera sangat menguntungkan keberadaan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Keuntungannya adalah karena masyarakat pedalaman seperti Batak yang sebelumnya melakukan kegiatan dagang di Pantai Barat Sumatera beralih ke Pantai Timur Sumatera. Masyarakat Batak melakukan hubungan dagang ke wilayah Asahan, Panai dan Bilah.1

1

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007, hlm. 318.


(17)

hingga f. 15.000,-, pada tahun-tahun berikutnya, nilai ekspor-impor menjadi berlipat dua atau tiga pada rute-rute yang melalui Asahan.2

Berkembangnya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tentu saja memiliki peran bagi wilayah cakupannya. Peran-peran ini terus dipegang oleh Pelabuhan Tanjung

Selain keuntungan dari kemunduran aktivitas perdagangan dan pelayaran di Pantai Barat Sumatera, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan juga sangat diuntungkan dengan kehadiran perkebunan-perkebunan besar. Kehadiran perkebunan-perkebunan ini semakin membuat Pelabuhan Tanjung Balai Asahan berkembang pesat karena umumnya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan melayani ekspor-impor kegiatan perkebunan.

Berkembang pesatnya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan menjadikannya sebagai pelabuhan terbesar ketiga setelah Pelabuhan Belawan dan Pangkalan Brandan. Seiring berjalannya waktu, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut membawa dampak secara langsung bagi pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Timur termasuk Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Salah satu kebijakan tersebut adalah pembangunan sarana transportasi darat. Pembangunan sarana transportasi darat memundurkan beberapa pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Timur karena umumnya pelabuhan di Sumatera Timur banyak mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi utama. Hal berbeda ditunjukkan oleh Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang mampu tetap bertahan bahkan semakin berkembang setelah adanya kebijakan untuk membangun sarana transportasi darat.

2


(18)

Balai Asahan hingga masuknya Jepang di Sumatera Timur. Peran ini juga yang telah membuat Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tetap bertahan.

Kajian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu mendeskripsikan tentang pengelolahan dan manajemen, kuantitas ekspor dan impor serta peran Pelabuhan Tanjung Balai Asahan selama masa sebelum kolonial hingga kedatangan dan masa pemerintahan kolonial, penelitian ini juga menganalisa mengapa Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dapat bertahan meskipun muncul pelabuhan raksasa dan utama yakni Pelabuhan Samudera Belawan. Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah wilayah Tanjung Balai di samping wilayah-wilayah yang menjadi cakupan dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan.

Dari beberapa uraian di atas, maka peneliti memberi judul penelitian “Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942”. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi waktu penelitian dari tahun 1865 hingga 1942. Pada tahun 1865 secara resmi Kesultanan Asahan tunduk di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda yang diawali dengan Netscher meminta kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia melakukan ekspedisi. Usulan ini kemudian diterima dan disetujui dengan Besluit Gubernur Jenderal No. 1 tanggal 25-8-1865 dinamai dengan: “Expeditie Tegen Serdang en Asahan” ekspedisi ini dipimpin oleh Kapten van Ress dan Majoor van Heemskerck dengan didampingi Netscher. Ekspedisi ini kemudian berhasil menguasai Asahan seutuhnya sehingga setiap urusan politik, ekonomi, perdagangan dan lainnya dipegang oleh Pemerintah Kolonial Belanda sedangkan Kesultanan


(19)

Asahan hanya boleh mengurusi masalah adat saja, maka secara otomatis kendali Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dipegang oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Kemudian tahun 1942 merupkan tahun dimana alih kekuasaan dari Pemerintahan Kolonial Belanda ke Pemerintahan Militer Jepang. Dimana dapat diketahui bahwa setiap sektor perkebunan tidak lagi menjadi perhatian Jepang karena yang menjadi perhatian Jepang adalah mencari dukungan untuk melawan sekutu pada Perang Asia Pasifik. Maka secara otomatis kegiatan ekspor dan impor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan berhenti. Permasalahan-permasalahan di atas kemudian akan di jabarkan dalam poin-poin pertanyaan di rumusan masalah.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian maka yang menjadi landasan dari penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini, ialah peranan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dalam kegiatan ekspor dan impor mulai dari tahun 1865-1942. Penjabaran permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama sebagai berikut :

1. Bagaimana Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum tahun 1865? 2. Bagaimana perkembangan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942? 3. Bagaimana peran Pelabuhan Tanjung Balai Asahan terhadap Afdeling


(20)

4. Mengapa Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dapat bertahan meskipun Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Pelabuhan Belawan Sebagai Pelabuhan utama ekspor dan impor di Sumatera Timur?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang :

1. Keadaan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum tahun 1865. 2. Perkembangan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tahun 1865-1942. 3. Peran Pelabuhan Tanjung Balai Asahan terhadap Afdeling Asahan,

Sumatera Timur, onderneming dan pertanian rakyat.

4. Bertahannya Pelabuhan Tanjung Balai Asahan hingga saat ini, meskipun Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Pelabuhan Belawan Sebagai Pelabuhan utama ekspor dan impor di Sumatera Timur.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menambah referensi dan khasanah penelitian tentang sejarah pelabuhan (sejarah maritim) di sumatera utara yang dapat digolongkan kedalam penulisan sejarah lokal.

2. Untuk masyarakat umum, penelitian dapat memberikan penjelasan mengenai potensi sektor maritim di Sumatera Utara.


(21)

3. Aspek praktis yang mungkin dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah akan dijadikannya bahan acuan bagi pemerintah daerah maupun provinsi untuk mengambil keputusan maupun kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan sektor maritim dalam kasus ini adalah potensi pelabuhan untuk dapat dikembangkan lagi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian tentang peranan pelabuhan di Sumatera Timur untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan belum ada diteliti. Terdapat sedikit beberapa kajian yang menyangkut tentang peranan pelabuhan sebagai pengekspor hasil-hasil perkebunan, salah satunya adalah dalam bentuk tesis. Tesis tersebut ditulis oleh Edi Sumarno yang berjudul “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur 1863-1942”3

Selain dalam bentuk tesis, untuk mendapatkan informasi mengenai peranan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagai pelabuhan ekspor dan impor adalah dalam bentuk laporan yang sudah dicetak. Laporan tersebut ditulis oleh Anderson yang . Dalam tesis ini disinggung tentang peranan pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Timur untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan, termasuk peranan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Disamping menggambarkan bagaimana peranan pelabuhan-pelabuhan dalam melakukan aktivitas ekspor karet rakyat, tesis ini juga menyinggung bagaimana pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Timur mengekspor karet yang dilakukan oleh pihak onderneming.

3

Edi Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur 1863-1942”, dalam Tesis S-2 belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1998.


(22)

berjudul “Mission to the East Coast of Sumatra in 1823” dan “Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra” yang menceritakan bagaimana kegiatan ekspor dan impor barang-barang komoditas yang dipasarkan di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Aktivitas pelayaran dan perdagang di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan menurut laopran ini sudah mengalami kemajuan dengan banyaknya kapal yang hilir mudik dan bertambat di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan, tentu saja banyaknya kapal yang datang dan mengangkut komoditas-komoditas ekspor maupun impor membuktikan bahwa Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sudah mengalami kemajuan. Selain itu laporan ini juga menceritakan bagaimana Kesultanan Asahan mengelola pelabuhan dengan memberikan keamanan bagi pedagang-pedagang yang ingin melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan.

Untuk mendukung penelitian ini, perlu dilakukan langkah-langkah teoritis yang salah satunya adalah menggunakan kajian diluar disiplin ilmu sejarah. Untuk itu, perlu kiranya mengacu pada karya Abbas Salim dalam bukunya “Manajemen Pelayaran Niaga dan Pelabuhan”.4

Abbas juga menjelaskan bahwa pelabuhan berfungsi sebagai pintu masuk atau keluar barang dari dalam maupun luar daerah. Ditinjau dari fungsinya, pelabuhan dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria salah satunya adalah menurut

Indische Scheepyaartswet (staatblad 1936), menetapkan bahwa pelabuhan di Dalam buku ini dijelaskan bahwa Pelabuhan adalah tempat (daerah perairan dan daratan) kapal berlabuh dengan aman dan dapat melakukan bongkar muat barang serta turun naik penumpang.

4


(23)

Indonesia terdiri dari pelabuhan laut dan pelabuhan pantai. Pelabuhan laut adalah pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, yang dapat masuk kapal-kapal dari negara-negara lain, sedangkan pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang tidak terbuka bagi perdagangan luar negeri dan hanya dapat dimasuki oleh kapal-kapal yang berbendera Indonesia.

Karya Sutejo K. Widodo yang berjudul “Ikan Layang Terbang Menjulang”5

Sementara itu, Naf’an Ratomi dalam skripsinya yang berjudul “Pelabuhan Labuhan Bilik pada masa Kolonial 1914-1939” membahas peranan Pelabuhan Labuhan Bilik yang mengekspor karet rakyat terbesar di Sumatera Timur pada tahun 1920-1934. Dalam skripsi ini juga dijelaskan bahwa pada awal-awal tahun 1930-an Pelabuhan Labuhan Bilik mengalami penurunan. Tetapi Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tetap bertahan karena perkembangan Tanjung Balai yang menjadi sebuah

gemeente serta adanya pembangunan fasilitas-fasilitas transfortasi seperti jalan raya menceritakan bagaimana pemerintah kolonial pada tahun 1924 membagi dua jenis pelabuhan yakni pelabuhan besar dan kecil yang dikelola oleh pemerintah serta yang tidak dikelola pemerintah. Dalam buku ini juga Sutejo menjelaskan bahwa kedudukan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan merupakan pelabuhan kecil yang dikelola oleh pemerintah. Pelabuhan Tanjung Balai Asahan merupakan pelabuhan binaan dari Pelabuhan Belawan, maka secara kedudukan bahwa pada masa pemerintah kolonial Pelabuhan Tanjung Balai Asahan menjadi pelabuhan terbesar kedua setelah Pelabuhan Belawan.

5

Sutejo k. Widodo,Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Toyota Foundation, 2005.


(24)

dan rel kereta api. Selain itu skripsi ini menjadi bahan acuan dan perbandingan dalam menulis dan meneliti Pelabuhan Tanjung Balai Asahan.

Panangian Panggabean, “ Lahirnya Kota Medan Sebagai Pelabuhan Ekspor Hasil-hasil Perkebunan 1863-1940” menceritakan bagaimana peran Pelabuhan Belawan mengekspor hasil-hasil perkebunan yang ada di Afdeling Deli en Serdang

yang sebagian besar wilayahnya meliputi Medan dan Deli Serdang sekarang dengan bantuan transportasi kereta api (DSM). Tesis ini menjadi acuan peneliti untuk menggambarkan peran Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dalam melakukan ekspor hasil-hasil perkebunan yang terdapat di Sumatera Timur bagian selatan yakni daerah

Afdeling Asahan.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode, yakni metode penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang digunakan sebagai proses untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Metode penelitian yang saya pakai dalam penelitian mengacu pada proses penelitian sejarah yang lebih dikenal dengan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.6

6

Louis Gottschalk,Mengerti Sejarah, terj. dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 39.

Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.


(25)

Tahap pertama adalah heuristik yakni mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang kita teliti. Metode yang dilakukan dalam heuristik adalah studi arsip, studi pustaka dan studi lapangan. Studi arsip dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah data-data primer berupa arsip mupun laporan, laporan berupa laporan perjalanan, penelitian dan laporan instansi Pemerintah Kolonial Belanda. Peneliti telah mengumpulkan arsip-arsip tentang Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang didapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Arsip Daerah Sumatera Utara maupun Arsip Pemerintah Kota Tanjung Balai. Dari studi arsip ini, penulis berhasil mengumpulkan arsip-arsip yang berkaitan dengan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan berupa laporan serah terima jabatan atau Memorie van Overgave (MvO) Asisten Residen Afdeling Asahan yang tersimpan dalam bentuk mikrofilm dengan nomor koleksi Indeks Folio MvO 1e reel 19, 20 dan 21, Algemeene Secretarie, arsip laporan Departement der Marine, dan dokumen leksikografi seperti

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Aardrijkskundig en Statitisch Woordenboek Nederlandsch-Indie, Beknopte Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, dan

Encyclopaedie van nederlandsch-indie.

Selain studi arsip, dalam heuristik, metode yang paling sering digunakan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka penulis juga mencari ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara dan Perpustakaan Kota Tanjung Balai. Studi pustaka yang telah penulis lakukan banyak mendapatkan


(26)

buku-buku maupun jurnal-jurnal serta laporan berkala yang berkaitan dengan penelitian. Jurnal-jurnal tersebut didapat dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yakni

Verslag van de Kleine Haven in Nederlandsch-Indie over het jaar 1923, 1924, dan 1925, selain itu dapat juga Verslag van de Handelsvereeniging te Medan, Tijdschrijf voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, Koloniaal Verslag dan Koloniale Studient, serta yang paling penting adalah Departement der Burgerlijke Openbare Werken Mededeling en Rapporten: Nederlandsch-Indisch Haven.

Sumber lain adalah berupa buku, skripsi, tesis dan laporan-laporan, salah satunya adalah laporan John Anderson yang sudah dipublikasikan yang berjudul

Mission to the East Coast of Sumatra in 1823” dan “Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra”. Sementara itu, studi lapangan dilakukan dengan merekam kegiatan aktivitas pelabuhan dan fasilitas-fasilitas pendukung ekspor dan impor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan seperti kompleks pergudangan, perkantoran dan lainnya.

Setelah terkumpul sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini, maka tahapan selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis apakah dukumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan, ejaan, jenis kertas serta apakah dokumen tersebut isinya masih utuh atau diubah sebagian. Kritik intern yaitu suatu langkah untuk menilai isi dari


(27)

sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut.7

Tahapan selanjutnya adalah Interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah dikritik atau diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali dalam bentuk tulisan. Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subyektifitas.8

Tahapan terakhir dari metode ini adalah historiografi atau penulisan. Tahapan penulisan dilakukan agar fakta-fakta yang telah ditafsirkan baik secara tematis maupun kronologis dapat dituliskan. Historiografi merupakan proses mensintesakan fakta suatu proses menceritakan rangkaian fakta dalam suatu bentuk tulisan yang kritis analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk tulisan atau skripsi.

7

Kuntowijoyo,Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hlm. 99-100.

8


(28)

BAB II

KEADAAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN

SEBELUM TAHUN 1865

Bab ini menceritakan keadaan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum masuknya kekuasaan Kolonial Belanda serta geografisnya. Dalam bab ini juga dibahas mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum dikembangkan sebagai pelabuhan yang modern. Selain itu, bab ini membahas bagaimana Kesultanan Asahan mengelola Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagai pendapatan kesultanan yang dikelola dengan mengutip cukai setiap kapal atau sampan yang melintasi pelabuhan baik kapal yang keluar ataupun kapal yang masuk.

Pengelolaan pelabuhan juga meliputi keamanan, terutama mengamankan adanya bahaya perompakan dan bajak laut baik di sungai maupun di laut yang selama ini membahayakan dan merugikan perdagangan dari dan ke Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Dalam pengelolaan ini, Kesultanan Asahan menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kolonial Inggris dan kesultanan-kesultanan lainnya yang berdekatan dengan Kesultanan Asahan. Selain pengelolaan, Kesultanan Asahan juga meningkatkan perdagangan dengan Inggris dan beberapa wilayah lainnya. Informasi awal mengenai aktivitas pelabuhan di Tanjung Balai berawal dari hubungan dagang dengan VOC yang dilanjutkan dengan Kolonial Inggris.


(29)

2.1 Geografis

Pelabuhan Tanjung Balai Asahan terletak di Pantai Timur Sumatera yang menjorok ke Selat Malaka dan berada di bawah pengawasan dan kendali Kesultanan Asahan. Letaknya berada di antara muara Sungai Asahan dan Sungai Silau yang berhulu di Danau Toba dan bermuara di Selat Malaka. Letak pelabuhan yang berada ditepi sungai berkaitan erat dengan rutetransportasi yang digunakan, yakni sungai,sebagai sarana transportasi utama danmudah.9Jarak dari muara ke Selat Malaka kurang lebih berjarak 8,5 mil.10

Batas-batas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yakni di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Asahan, sebelah selatan berbatasan dengan garis tanda pembatas (tapal batas) 1 dan 2 sebelah kiri Sungai Asahan, sebelah barat berbatasan dengan garis tanda pembatas 2 dan 3, dan sebelah utara berbatasan dengan garis tanda pembatas sebelah kiri Sungai Asahan.11 Secara astronomis, letak Pelabuhan Tanjung Balai Asahan terletak pada titik koordinat 970 27' 30' Bujur Timur dan 30 10' .Lintang Utara.12

Berdasarkan letak astronomisnya, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang terletak di wilayah Asahan, sebagian besar keadaan atau kontur tanahnya sangat

9

Edi Sumarno, “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatera Timur pada Periode Kolonial” dalam Historisme Edisi NO.22/Tahun XI/Agustus 2006, hlm. 2.

10

Anonim, “Aanvullingsnota van Toelichting Betreffende het Landschap Asahan” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, Jilid LIII, Batavia: Albrecht&co dan Deen Haag: Martinus Nijhoff, 1911, hlm. 391.

11

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1920 No. 221. Lihat juga Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 23 Maart 1920 No. 86.

12

Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek Nederlandsch-Indie, Geerte Deel A-Z, Amsterdam: P.W. van Kampen, 1861, hlm. 39.


(30)

datar. Tanahnya rendah dan berawa-rawa, pada saat pasang tiba dataran rendahnya selalu tergenang air.13 Keadaan alam sekitar Tanjung Balai pada dasarnya merupakan daerah pantai berada di wilayah utara yang lebarnya 20-25 km, dan meluas ke selatan yang memiliki luas 100 km. Keadaan ini ditambah dengan banyaknya sungai dan beting pada saat surut. Hal ini disebabkan karena pada umumnya sungai-sungai yang berada di Sumatera Timur sangat cepat bersedimentasi, sehingga tanah di sekitar Tanjung Balai merupakan tanah aluvial muda.14

Letak geografis Pulau Sumatera yang berada di titik koordinat antara 50 Lintang Utara dan 50 Lintang Selatan sangat menentukan keadaan iklim Sumatera yang cenderung panas dan silih bergantinya musin antara musin panas dan penghujan. Setiap tahun suhu rata-rata di daerah pantai adalah antara 26,60 sampai 27,30. Suhu rata-rata Sumatera dianggap kurang ½0

lebih tinggi dari pada Jawa. Hal ini dikarenakan Sumatera berada di kedua sisi katulistiwa.

(lihat Lampiran I).

15

Arah angin yang bertiup di Pulau Sumatera ditentukan oleh angin musim (muson) dan angin perdagangan yang memiliki hubungan satu sama lainnya. Di wilayah pantai, terjadi tiupan angin antara angin darat dan angin laut, angin laut Keterangan ini menunjukkan bahwa keadaan cuaca di Tanjung Balai tidak jauh berbeda karena Tanjung Balai terletak di Pulau Sumatera.

13

John Anderson, Mission to East Coast of Sumatera in 1823, Kuala Lumpur/Singapore/New York/London: Oxford University Press,1971, hlm. 123-124.

14

Anonim, “Aanvullingsnota...”, op. cit, hlm. 394. Lihat juga T. J. Bezemer, Beknopte Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Leiden : Martinus Nijhoff, 1921, hlm. 18.

15

H. Blink, Opkomst En Ontwikkeling van Sumatra Als Economisch-Geographisch Gebied, ‘s-Gravenhage: Mouton & Co., hlm. 28-29.


(31)

terjadi pada siang hari dari laut ke darat, sedangkan angin darat terjadi pada malam hari dari darat ke laut. Pada Pantai Timur Sumatera dan Aceh, angin darat dan laut sangat berkembang dengan baik, tetapi terkadang terjadi badai dengan disertai hujan yang lebat.16

Pelabuhan adalah lingkungan kerja yang terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat berlabuh dan bertambatnya kapal atau perahu untuk terselenggaranya bongkar muat barang dan turun naiknya penumpang.

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa, Tanjung Balai yang terletak di Pantai Timur Sumatera berkembang angin musim (muson) dengan baik. Sehingga sistem pelayaran dan perdagangan berkembang dengan pesat. (Lihat Lampiran II).

2.2 Sarana dan Prasarana

17

Kadang-kadang suatu lokasi pantai dapat memenuhi keadaan (tempat yang terlindung dari gerakan gelombang laut) dimana kedalaman air pelabuhannya memenuhi persyaratan bagi suatu ukuran kapal tertentu, sehingga hanya dibutuhkan dibangun suatu tambatan guna merapatnya kapal sehingga aktivitas pelabuhan dapat dilakukan.18

16

Ibid., hlm. 30. 17

Abbas Salim, Manajemen Pelayaran Niaga dan Pelabuhan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994, hlm. 53.

18

Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan, Bandung: Ganeca Exact Bandung, 1985, hlm. 18.

Keterangan ini menunjukkan bahwa Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang berada di muara Sungai Asahan dan Sungai Silau merupakan pelabuhan alam yang terbebas dari gelombang air laut. Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebelum penetrasi Kolonial Belanda merupakan pelabuhan alam yang disinggahi


(32)

perahu-perahu dari wilayah hinterlandseperti toba, panei dan lainnya. Ketika Pemerintah Inggris menguasai Semenanjung Malaya dan Singapura, barulah wilayah ini melakukan kegiatan ekspor dan impor dari dan ke Tanjung Balai.

2.2.1 Dermaga

Suatu pelabuhan sudah pasti memiliki dermaga untuk bertambatnya kapal atau perahu yang datang atau pergi dari dan ke pelabuhan. Sama halnya dengan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yang juga memiliki dermaga mengingat pelabuhan ini sering dikunjungi kapal-kapal maupun perahu-perahu dari daerah di sekitar Asahan. Ini dapat dibuktikan dengan catatan John Anderson yang mengunjungi Sumatera Timur pada tahun 1823.

“The bindahara of batubara was lying in a prow close to where we anchored. I went on board, and he received me with marked attention. He is an old man, with a large diseases nose, and nearly blind. Unlike his nephews and the chiefs at batubara, who are splendidly attired in gold cloths and other neat dresses, he was shabbily habited. He told me he had come to assahan to settle some little differences between the king and the rajah muda. Soon after returning to my boat, the shahbundar of kampong balei, and the brother of the bindahara, came on board and informed me that the rajah of assahan was still up the country in the batta kingdom, engaged in hostilities with some chiefs there, and that the rajah muda and bindahara were up the other river, four or five days’ journey. They offered me accomodation in a small hovel on shore...”19

“Bendahara dari Batubara berbaring di sebuah kapal dekat dengan kapal kami yang sedang berlabuh. Saya mendatanginya di kapal dan di menerima saya dengan keheranan. Dia seorang laki-laki tua dengan hidung besar yang kelihatannya sakit dan hampir buta. Tidak seperti keponakannya seorang petinggi Batubara yang mengenakan pakaian Terjemahan:

19


(33)

yang rapi dengan kain emas, sedangkan ia tampak lusuh. Dia mengatakan kepada saya dia datang ke Asahan untuk menyelesaikan beberapa masalah kecil antara raja dengan raja muda. Setelah kembali ke kapal saya, syahbandar dari Kampung Balei dan bendahara datang ke kapal dan memberitahu saya bahwa Sultan Asahan sedang berada di Kerajaan Batak untuk menyelesaikan pertikaian antar kampung di sana, kemudian raja muda dan bendahara memberitahu jika ingin ke sana harus menyusuri sungai yang memakan waktu 4 sampai 5 hari perjalanan. Mereka menawarkan akomodasi kepada saya di sebuah gubuk kecil di pantai...”

Keterangan di atas menginformasikan bahwa ketika Anderson berlabuh di dermaga Pelabuhan, dia menemui bendahara Batubara yang datang ke Asahan untuk menyelesaikan beberapa masalah kecil antara raja dengan raja muda. Dia juga mempromosikan hasil-hasil perdagangan yang kemudian dapat dibawa ke Penang. Ini menunjukkan bahwa di Pelabuhan Tanjung Balai sudah terdapat dermaga untuk berlabuhnya kapal yang ditumpangi Anderson. Setelah Anderson kembali ke perahunya, syahbandar dari Tanjung Balai beserta bendahara mendatangi Anderson dan memberitahu bahwa Sultan Asahan sedang pergi ke pedalaman Batak untuk mengurusi pemberontakan-pemberontakan kecil yang terjadi di sana, karena perjalanan selanjutnya menghabiskan waktu 4-5 hari, maka syahbandar tersebut menawarkan agar Anderson dan rekan-rekan menginap dahulu di sebuah gubuk kecil. Tawaran tersebut diterima oleh Anderson dan kemudian perahu yang ditumpangi Anderson disandarkan di dermaga.

2.2.2 Kapal dan Perahu

Selain dermaga, sarana dan prasarana penunjang pelabuhan yang tidak kalah pentingnya adalah kapal dan perahu. Kapal dan perahu merupakan moda untuk


(34)

menghubungkan antara pelabuhan satu dengan pelabuhan yang lainnya. Selain itu, kapal dan perahu merupakan alat atau moda untuk mengangkut hasil-hasil komoditas yang kemudian diekspor dan impor. Keberadaan kapal dan perahu di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sangat penting karena pelabuhan ini merupakan salah satu penghasil komoditas-komoditas hasil bumi yang sering dikunjungi kapal-kapal atau perahu-perahu dari daerah sekitar Asahan. Hal ini dapat ditunjang dengan catatan Anderson yang mengunjungi Asahan sewaktu lawatannya ke Sumatera Timur pada tahun 1823.

“...but there are still about eighty prahus, of different sizes, belonging to the country, engaged in conveying the produce of the country to the British Settlements, Malacca and the adjoining Malay States. Many prahus from Batubara frequent Assahan, to procure rice and paddy...”20

Sepenggal kalimat di atas menunjukkan bahwa perahu-perahu yang terdapat di sekitar Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sangat banyak. Terdapat juga perahu-perahu yang hilir mudik dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan dan perahu-perahu-perahu-perahu yang menuju dan bertambat ke Pelabuhan Tanjung Balai Asahan untuk mengangkut

Terjemahan:

“...tetapi masih terdapat sekitar delapan puluh perahu dari berbagai ukuran, milik Kesultanan Asahan, yang hilir mudik membawa hasil bumi dari Asahan untuk dikirim ke Pemukiman Inggris, Malaka dan daerah-daerah Melayu lainnya yang berdekatan dengan Asahan. Banyak perahu dari Batubara yang datang langsung ke Asahan untuk mengangkut beras dan padi...”

20

John Anderson, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street, 1840, hlm. 205.


(35)

hasil-hasil komoditas dari Asahan. Masih mengenai perahu-perahu yang hilir mudik di sekitar Pelabuhan dalam catatan Anderson dengan judul yang berbeda, yakni:

“ The internal divisions have materially injured the trade of the country. It was formerly a place of extensive commerce. Vessels of all sorts from Java, Celebes, and Acheen, useed to frequent this places; and the annual importation of salt, I am assured, never fall short of 600 coyans. The commerce has very much decreased; but there are still about 80 prows of various sizes belonging to the country, engaged in carrying the valuable produce to Pinang, Malaca, and Singapore; and many prows from Batubara take in cargoes here.”21

21

Anderson, Mission...., op. cit., hlm. 320.

Terjemahan:

“ Perpecahan di dalam kubu (pemberontakan-pemberontakan) sangat merugikan perdagangan di daerah ini. Dahulu, tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sudah maju. Kapal dari segala macam penjuru mengunjungi tempat ini seperti dari Jawa, Sulawesi dan Aceh, biasanya langsung mengunjungi tempat ini; dan setiap tahun mengimpor garam, saya menjamin, jumlahnya tidak pernah di bawah 600 koyan. Perdagangannya semakin menurun, tetapi masih terdapat sekitar delapan puluh perahu berbagai ukuran di negeri ini, yang hilir mudik membawa hasil-hasil bumi negeri ini untuk dibawa ke Penang, Malaka, dan Singapura; dan banyak perahu dari Batubara mengambil kargo disini.”

Hal ini membuktikan bahwa dahulu Pelabuhan Tanjung Balai Asahan banyak disinggahi kapal-kapal dan perahu-perahu dari luar Sumatera seperti Jawa, Aceh, Sulawesi, Penang, Malaka dan Singapura. Walaupun negeri ini dilanda perpecahan dan menurunnya angka perdagangan, tetap terdapat banyak kapal-kapal dan perahu-perahu yang hilir mudik dan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan.


(36)

Kekuasaan hegemoni Melayu di Asahan terbentuk dari adanya aktivitas lalu lintas perdagangan yang diangkut dari hulu ke hilir. Aktivitas ini menimbulkan konsep kekuasaan atas suatu wilayah yang dikuasainya. Kesultanan Asahan sebagai penguasa berhak atas cukai perdagangan yang lambat laun tempat bertemunya antara pedagang dan pengutipan cukai tersebut menjadi pelabuhan tradisional.22

Setiap barang dagangan yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan wajib dikenakan cukai. Kegiatan ini untuk menambah kas pemerintahan Kesultanan Asahan yang sebagian besar pendapatannya diterima dari cukai barang-barang atau komoditi yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Tetapi pada tahun 1823, kekuasaan-kekuasaan yang berada di garis Pantai Timur Sumatera membebaskan cukai atau pajak barang yang datang dari pemukiman Inggris karena untuk mencari simpati demi menjalin kerjasama dengan Kesultanan Asahan sebagai penguasa atas Pelabuhan Tanjung Balai Asahan bertanggung jawab mengelola dan menjaga keamanan pelabuhan dari kerusuhan atau kejahatan yang merugikan pedagang yang kemudian berdampak pada kemunduran lalu lintas perdagangan karena pedagang merasa bahwa tempat ini tidak aman. Pengelolaan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan meliputi cukai, keamanan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa kesultanan.

2.3.1 Cukai

22

Konsep kekuasaan dan terbentuknya pelabuhan tradisional dibahas oleh J. Kathirittamby-Wells, “Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft inEast Sumatra before the Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, 1993, hlm. 77-96.


(37)

Gubernur Inggris di Penang dan Malaka. Informasi ini dijelaskan dalam catatan Anderson:

“ These chiefs also tendered engagements that they would not permit any European nation to settle in any part of Asahan and Batubara, or its dependencies of Bedagai, Pagurawan, Sipare-pare or Tanjung, and they expressed their intention of encouraging the resort to Pinang of their trading prahus from Delli and other places. They gave the agent also an assurance (under their hands and seals) of their protection and assistance to any vessels that might be in distress on their coasts, and of affording every facility to enable them to return to their own ports. They also promised a free admission of any merchandise into their country by merchants or traders from to the British settlements, free of all duties or exactions whatever, their aim being to encourage traders to frequent their country...”23

Kutipan di atas menjelaskan bahwa para pembesar di Asahan dan sekitarnya menjanjikan barang-barang yang datang dari pemerintahan Inggris di Penang maupun Semenanjung Malaya dibebaskan bea masuk atau pajak. Kebijakan ini dijalankan oleh pemerintahan Kesultanan Asahan karena ingin menarik simpati Pemerintahan

Terjemahan:

“Para pembesar selalu menawarkan perjanjian tetapi mereka tidak mengizinkan untuk negara-negara Eropa lainnya di bagian Asahan dan Batubara, atau daerah jajahan seperti Bedagai, Pagurawan, Sipare-pare atau Tanjung, dan mereka menyatakan niat untuk membuka jalan ke Pinang untuk perahu-perahu perdagangan dari Deli dan daerah lainnya. Mereka memberi agen sebagai jaminan (di bawah tangan dan stempel mereka) perlindungan dan bantuan bagi setiap kapal yang mungkin mengalami kerusakan, dan memberikan fasilitas-fasilitas hingga kapal-kapal tersebut kembali ke pelabuhannya masing-masing. Mereka juga menjanjikan cukai gratis bagi setiap perdagangan ke wilayah mereka oleh saudagar dan pedagang dari Pemerintah Kolonial Inggris, bebas dari semua pajak dan pemungutan apapun, tujuan ini untuk mendorong pedagang berdagang secara langsung ke wilayah mereka....”

23


(38)

Inggris untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan maupun pemerintahan. Selain itu, Pemerintah Inggris juga memberikan fasilitas-fasilitas dan menjajikan meningkatkan hubungan perdagangan dengan negeri-negeri di Pantai Timur Sumatera termasuk Asahan.

Usaha-usaha ini dilakukan oleh Pemerintahan Inggris karena untuk mencegah negeri-negeri yang berada di Pantai Timur Sumatera berhubungan dengan Belanda baik itu hubungan dagang, kontrak politik dan lainnya. Inggris selalu memberikan perlindungan, dorongan dan fasilitas, serta meningkatkan industri dan pertanian masyarakat yang berukim di Pantai Timur Sumatera termasuk Asahan. Usaha yang dilakukan Pemerintahan Inggris di Pantai Timur Sumatera adalah semata-mata hanya untuk memonopoli perdagangan komoditas-komoditas perdagangan yang terdapat di Pantai Timur Sumatera termasuk komoditas primadona yakni lada.24

No

Selain barang-barang yang datang dari Pemerintah Inggris di Penang, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan juga melakukan kegiatan ekspor dan impor dari daerah lain, sehingga penerimaan cukai di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan tetap ada. Berikut adalah daftar-daftar cukai baik impor maupun ekspor.

Tabel. 1.

Daftar Cukai Impor di Pelabuhan Tanjung Balai 1823

Produk Cukai

Dollar Per

24


(39)

1 Garam 2 Koyan 2 Opium/Candu

Tidak ada cukai, pembelian dimonopoli oleh Sultan

3 Timah

4 Bubuk Musiu

Sumber: John Anderson, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street, 1840, hlm. 206

Tabel di atas menunjukkan bahwa penerimaan cukai Kesultanan Asahan untuk impor garam adalah sebesar 2 dolar per koyan, sedangkan untuk candu, timah, dan bubuk musiu tidak dikenakan cukai karena pembelian barang-barang komoditi ini dimonopoli oleh sultan, artinya setiap barang-barang yang dimonopoli oleh raja hanya boleh diimpor oleh raja yang kemudian dijual kepada rakyat atau masyarakat umum namun sebagian dari beberapa barang komoditi tersebut dikonsumsi oleh keluarga kesultanan maupun para pembesar-pembesar Kesultanan Asahan yang membantu dalam tugas-tugas pemerintahan di Kesultanan Asahan. Pendapatan cukai ekspor dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan yakni:

Tabel 2.

Daftar Cukai Ekspor di Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1823

No Produk Cukai

Nilai (dollar) Per

1 Padi 2 Koyan

2 Beras 16 Koyan

3 Budak 2 orang

4 Lilin 4 Pikul

5 Rotan 10 1,000 ikat

6 Tikar 1 Corge

7 Kacang Putih 8 Koyan


(40)

9 Rotan Semambur 10 1,000

10 Rotan Kecil 10 1,000

11 Rotan (cambuk/cemeti) 10 1,000

12 Jaring Ikan ½ Gulung

13 Kayu Celup ½ Pikul

14 Getah Merah ½ Pikul

15 Kuda 2 Ekor

16 Trowsers 2½ Sent. ad valorem

17 Tembakau Batak 8 Pikul

Sumber: John Anderson, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street, 1840, hlm. 206

Daftar cukai ekspor Pelabuhan Tanjung Balai Asahan di atas menunjukkan bahwa banyaknya barang-barang komoditas yang diperjual-belikan melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Jumlah penerimaan cukai yang didapat oleh Kesultanan Asahan menurut daftar tabel di atas yakni sebesar ± 88 dollar.

2.3.2 Keamanan

Keamanan bagi pedagang-pedagang yang ingin melakukan kegiatan bongkar muat maupun kegiatan penunjang lainnya di pelabuhan sangat penting, baik itu di darat maupun di perairan (laut dan sungai). Pelabuhan yang aman akan banyak dikunjungi para pedagang dari daerah lain karena terjamin barang-barang yang ingin dipasarkan sehingga dapat menguntungkan kedua pihak. Tanjung Balai sebagai pelabuhan wajib memberikan perlindungan dan keamanan bagi pedagang-pedagang yang ingin mengunjungi Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Masalah keamanan, Kesultanan Asahan sudah melakukan beberapa tindakan atau kebijakan yang dijalankan pada saat itu, seperti berita Anderson yang menyebutkan:


(41)

“ Several suggestions were made by the chiefs of Asahan for the improvement of the commerce between these states and the British Settlements, and for the purpose of checking that extensive system piracy which prevails at present. There are annually fleets of pirate prahus, which come up from Rhio and Lingin, and lie in wait for the defenceless prahus, plundering them of all they possess, and murdering or carrying away as slaves all on board. The principal object, so much desired by them, is the establishment of a small force at the Island of Pankour, near the Dindings, the favourite resort of pirates in these straits. The chiefs of Asahan as well as all the Rajah’s along the coast, particularly requested the agent to solicit the protection of the Pinang Government to their prahus in that quarter. Immense numbers of human lives are annually sacrificed, and valuable property is lost, by the attack of these merciless marauders, who lie in wait in the creeks and rivers, and issue out when they observe a favourable opportunity for attack. During the prevalence of the strong north-west wind, in October and November, the prahus from Delli, Langkat, and other ports to the northward, are generally driven down to the Sambilang Islands, and are obliged to coast along Perak Shore to this places. A small military post, therefore, would afford protection to their trading prahus, whish are frequently in want of repairs and water, and dare not venture near these islands, unless compelled by stress of weather; and it would give great encouragement and stimulus to other.”25

“Beberapa tawaran yang dibuat oleh para pembesar di Asahan adalah untuk peningkatan perdagangan antara Asahan dengan Pemerintahan Inggris, dan tujuan yang lainnya adalah untuk mengontrol sistem bajak laut yang berlaku saat ini. Setiap tahunnya ada perahu bajak laut, yang datang dari Rhio dan Lingin, dan menunggu setiap perahu yang lewat, menjarah semua yang mereka miliki, dan membunuh dan membawa orang yang terdapat di kapal untuk dijadikan budak. Objek utama, begitu banyak diinginkan oleh mereka, adalah pembentukan kekuatan kecil di Pulau Pankour, dekat Dindings, resor favorit bajak laut di selat tersebut. Para pembesar Asahan serta semua raja di Pantai Timur Sumatera meminta agen untuk meminta perlindungan bagi perahu-perahu perdagangan kepada Pemerintah Inggris di Penang. Setiap tahunnya banyak korban jiwa melayang, dan kehilangan harta benda oleh serangan perompakan tersebut tanpa ampun yang selalu menunggu di anak sungai dan sungai, dan mengamati untuk kesempatan menyerang. Lazimnya, ketika kekuatan angin utara-barat, pada Oktober dan November, perahu-perahu dari Deli, Langkat, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya yang Terjemahan:

25


(42)

terletak di bagian utara, umumnya wajib berteduh ke Pulau Sambilang jika bertujuan ke Pantai Perak. Sebuah pos militer kecil, oleh karena itu, akan memberi perlindungan untuk prahus perdagangan mereka, yang mana untuk melakukan perbaikan dan mencari air, dan tidak berani mendekati pulau ini jika tidak karena terpaksa akibat gangguan cuaca, dan itu akan memberikan dorongan besar dan stimulus untuk lainnya.”

Kutipan di atas menceritakan bahwa, beberapa tawaran telah diberikan oleh para pembesar Asahan untuk melakukan perbaikan di sektor perdagangan antara Asahan dengan Pemerintah Inggris di Penang, yang salah satu isinya adalah melakukan patroli di Selat Malaka terhadap pembajak-pembajak laut yang selama ini meresahkan para pedagang yang datang dari Penang, Semenanjung Malaya maupun Singapura begitupun sebaliknya. Perahu-perahu yang ditumpangi para pembajak laut tersebut datang dari Riau dan Lingin (Semenanjung Malaya) dan mereka selalu menunggu di perahu untuk membajak perahu-perahu yang lewat untuk mengambil harta benda dan muatan yang mereka bawa serta membunuh dan membawa budak-budak yang ada di atas kapal.

Tempat yang dijadikan markas oleh para pembajak tersebut adalah Pulau Pankour dekat Dindings, merupakan tempat favorit para pembajak. Para pembesar Asahan dan raja-raja yang berada di Pantai Timur Sumatera meminta bantuan Pemerintah Inggris untuk menjalin kerjasama mengamankan perahu-perahu yang datang dari Pantai Timur Sumatera tujuan ke Penang dari ancaman para pembajak laut. Hal ini dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa serta perampasan harta benda lagi olah pembajak laut yang menunggu di sungai dan anak sungai. Kejadian ini banyak terjadi ketika terjadi angin utara-barat selama Oktober hingga


(43)

November. Masa ini merupakan ramai-ramainya perahu dari Deli dan tempat-tampat lain di utara Pantai Timur Sumatera.

Atas terjalinnya kerjasama antara para pembesar di Pantai Timur Sumatera dengan Pemerintah Inggris yang ada di Penang maka, dibangunlah pos militer kecil yang dapat mengontrol para pembajak laut yang selama ini mengancam nyawa dan kehilangan harta benda para pedagang yang lalu lalang di daerah ini. Para pedagang dengan adanya kebijakan ini maka dengan merasa aman mereka dapat singgah di pulau-pulau kecil di kawasan Selat Malaka yang selama ini ditempati oleh para pembajak, dengan aman para pedagang dapat beristirahat, melakukan perbaikan perahu serta mencari air bersih untuk melepaskan dahaga para pedagang, yang sebelumnya mereka tidak berani untuk mendekati pulau-pulau tersebut karena bahaya yang mengancam terkecuali mereka terpaksa berteduh di pulau-pulau tersebut karena keadaan cuaca yang tidak menentu dan arah angin yang mengharuskan perahu mereka berlabuh di pulau-pulau ini.26

Keterangan di atas merupakan usaha Kesultanan Asahan serta pembesar-pembesar lainnya yang ada di Sumatera Timur untuk memberikan keamanan bagi pedagang-pedagang maupun perahu-perahu yang hilir mudik di kawasan Selat Malaka. Khususnya, Kesultanan Asahan yang menangani secara langsung Pelabuhan Tanjung Balai Asahan di bawah pimpinan Syahbandar wajib memberikan keamanan untuk para pedagang yang berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Balai Asahan. Dengan

26

Cerita atau peristiwa bajak laut di Selat Malaka juga di bahas oleh Tengku Luckman Sinar Basarshah, “Kisah Lanun dan Bajak Laut di Selat Melaka Abad ke-19” dimuat Harian Waspada pada tanggal 22 Februari 1998.


(44)

demikian para pedagang tidak perlu khawatir lagi karena sudah ada pos pengamanan yang dapat menyelamatkan nyawa mereka dan juga menyelamatkan harta-benda yang mereka bawa untuk diperdagangkan.

2.4 Aktivitas

Informasi awal mengenai perdagangan di Asahan dapat diketahui melalui

Dagregister VOC di Malaka, pada tanggal 15 Juni 1641 yang isinya sebuah galyun

(galyung)27 dari Jepara membawa muatan garam meminta surat pas kepada VOC di Malaka untuk pergi ke Asahan yang saat itu dipimpin oleh Sultan Raja Mohamad Rumsyah (Marhom Sei Banitan/Marhom Gagap) sebagai Sultan Asahan yang kedua.28

Sultan ini menetap di Sei Banitan yang kemudian menikah dengan Puteri Bendahara (Encik Samidah), dari hasil pernikahannya ini kemudian mereka dikarunuiai tiga orang anak Abdul Jalil Syah, Raja Paduka dan Raja Kecil Besar. Selama pemerintahan Raja Rumsyah, Kesultanan Asahan menjalin hubungan baik dengan VOC. Setelah mangkatnya Raja Rumsyah, maka tahta kesultanan diberikan kepada Abdul Jalil Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah, Yamtuan Riau, Raja Haji, kawin dengan puteri Asahan dan sebagai mas kawinnya dihadiahkan

27

Galyun atau galyung adalah kapal perang VOC yang biasanya juga digunakan sebagai kapal dagang dengan memuat hasil-hasil komoditas yang diperdagangkan oleh VOC. Lihat C.R. Boxer, Jan Kompeni: Dalam Perang dan Damai 1602-1799 Sebuah Sejarah Singkat Tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, terj. Bakri Siregar, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983, hlm. 31.

28

Tengku Luckman Sinar Basarshah, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 119.


(45)

kapal penjajap “Bulang Linggi” yang kemudian menjadi kapal komando untuk menyerang VOC di Malaka, kemudian pada tahun 1763 Kesultanan Asahan membantu Siak untuk menyerang VOC.29 Penduduk Batubara turut dalam pasukan Raja Haji menyerang VOC di Malaka dan pada tanggal 4 Februari 1857 membakar pinggiran benteng VOC di Malaka.30

Sebelum adanya konflik antara kekuasaan Melayu di Siak dan Semenanjung Malaya dengan VOC, perdagangan VOC di Malaka selalu menjalin hubungan dagang dengan baik kepada daerah-daerah ataupun kerajaan yang ada di Sumatera Bagian Utara. Wilayah-wilayah yang menjalin hubungan dengan VOC adalah Aceh, Asahan, Batu Bara, Rokan, Deli, Ujung Salang dan lainnya. Namun, setelah adanya konflik, kapal-kapal yang berlayar ke Malaka untuk melakukan dagang dengan VOC di berhentikan secara paksa oleh pembesar-pembesar kerajaan dari Selangor. Ini membuktikan bahwa para pembesar tersebut sangat anti terhadap VOC, jika kapal-kapal yang diberhentikan melawan maka muatan yang diangkut dikapal-kapal tersebut akan dirampas dan dibunuh awak kapalnya. Biasanya kapal-kapal yang datang dari utara Pulau Sumatera termasuk Asahan selalu membawa beras, lada dan lainnya untuk diperdagangkan ke VOC di Malaka.31

29

Kathirittamby-Wells, J, ‘Strangers’ and ‘Stranger-Kings’: The Sayyid in Eighteenth-Century Maritime Southeast Asia”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, 40(3), pp 567–591 October 2009, hlm. 577.

30

Op. cit., hlm. 120. 31

Reinout Vos, Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World, 1740-1800, Leiden: KITLV Press, 1993, hlm. 94-95.


(46)

Informasi berikutnya mengenai aktivitas perdagangan di Asahan adalah laporan perjalanan John Anderson sebagai utusan Pemerintahan Inggris di Penang pada tahun 1823. Pada saat itu Asahan beserta negeri-negeri yang ada di Pantai Timur Sumatera telah mengekspor lada dengan jumlah yang besar yakni 17.000 sampai 18.000 pikul, lada didapatkan dari pedalamam Batak dan sebagian para pembudidaya Melayu di sepanjang Pantai Timur Sumatera.32

Sebelumnya pada tahun 1819, para pemimpinDeli, Serdang, danAsahanmembukakorespondensi denganPemerintahan Inggris di Penang, yangmenunjukkan keinginanuntuk meningkatkanhubungandengan Pemerintahan Inggris di Penang, dan ketika itu PemerintahBelandatelahmenaklukkan Riau, Malaka, danPadang, danPemerintah Belanda berusahamungkin untukmerebut kekuasaanpelabuhanyang terdapat di Sumatera untuk meningkatkan perdagangan, itu dianggap dapat mengancam kedudukan penguasapribumi.Penguasa pribumi seperti Deli, Serdang dan Asahan menganggap lebih menguntungkan menjalin hubungan dengan Pemerintah Inggris di Penang jika dibandingkan dengan Pemerintah Belanda.33

Jumlahladayang diekspor dariPantai TimurSumatrakePenang, Malakadan Singapura, selama tahun1824, berjumlah 60.000pikul, jumlah ini belum banyak mengalami perubahan. Lada di Pantai Sumatera Timur didapatkan dari pelabuhan

32

Anderson, Acheen..., op. cit., hlm. 173-174. 33


(47)

yang ada di Langkat, Bulucina, Deli, danSerdang; tetapidalam jumlah kecillada juga telahdieksporakhir-akhir inidariPercut, Padang, Tanjung, Silau, danAsahan.34

Perdagangan di Asahan telah menurun jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi di Asahan masih terdapat sekitar 80 perahu berbagai ukuran milik Kesultanan Asahan, yang hilir mudik membawa hasil bumi dari Asahan untuk dikirim ke Pemukiman Inggris, Malaka dan daerah-daerah Melayu lainnya yang berdekatan dengan Asahan. Banyak perahu dari Batubara yang datang langsung ke Asahan untuk mengangkut beras dan padi.35

34

Ibid., hlm. 199-200. 35

Ibid., hlm. 205.

Asahan selalu menimpor garam, candu dan kain sutera berwarna biru dan putih yang kemudian diperdagangkan di pedalaman Batak serta beberapa bubuk musiu untuk keperluan Kesultanan Asahan. Namun, masih banyak lagi barang-barang komoditas yang diimpor di Asahan seagaimana yang diimpor di Deli dan tempat-tempat lainnya.


(48)

Daftar Barang-barang yang di Impor Melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan pada Tahun 1823

No Produk

Harga per Satuan

Harga (dollar) Satuan

1 Kain Sutera berwarna Biru dan

Putih 2 Corge

2 Kain Cita 2 Corge

3 Karpet 2 Corge

4 Candu 1 Bal

5 Garam 4 Koyan

6 Bubuk Mesiu 2 Koyan

Sumber: John Anderson, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street, 1840, hlm. 206

Daftar barang-barang yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan sebagian besar dikonsumsi atau dipesan secara khusus untuk keperluan Kesultanan Asahan seperti Bubuk mesiu untuk persenjataan, karpet untuk hiasan istana, dan kain sutera atau kain cita yang dipesan untuk keperluan pakaian keluarga Kesultanan Asahan. Selain dikonsumsi oleh istana, kain sutera juga di perjual belikan untuk masyarakat pedalaman batak begitu juga dengan garam.

Selain mengimpor, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan juga melakukan aktivitas ekspor, hasil-hasil ekspor dari Kesultanan Asahan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.

Daftar Barang-Barang Yang Diekspor Melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan Pada Tahun 1823


(49)

No Produk

Harga per Satuan

Harga (dollar) Satuan

1 Kayu laka atau Kayu

Celup 1½ Pikul

2 Rotan 10 Laksa

3 Kacang-kacangan 10 100 gantang

4 Padi 1 25 sampai 30 gantang

5 Beras 1 12 sampai 15 gantang

6 Lilin 32 Pikul

7 Tikar 12 Corge

8 Kuda 10 sampai 20 Ekor

9 Budak (Perempuan) 40 Orang

10 Budak (Anak-Anak) 20 Orang

11 Budak (Laki-Laki Tua) 12 sampai 15 Orang

Sumber: John Anderson, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street, 1840, hlm. 206.

Daftar tabel ekspor di atas menunjukkan bahwa banyaknya komoditas-komoditas yang dihasilkan di Kesultanan Asahan yang kemudian diekspor melalui Pelabuhan Tanjung Balai Asahan seperti kayu celup atau kayu laka yang merupakan komoditas yang banyak dijumpai tidak hanya di Asahan tetapi di tempat lainnya. Rotan, padi dan beras yang merupakan komoditas terbesar jika dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di Pantai Sumatera Timur, begitu juga halnya dengan budak namun sejakpenghapusan perbudakandiPenangdanMalaka perdagangan budak dari Asahan dibatasi, ditahun-tahun sebelumnya perdagangan budak di Asahan mencapai


(50)

300 jiwa dimana jumlah yang paling besar adalah budak perempuan. Budak-budak didapat dari peperangan, ketika Asahan membutuhkan budak maka Sultan Asahan berpura-pura untuk melakukan permusuhan dengan daerah pedalaman36

Selain komoditas-komoditas yang disebutkan di atas, terdapat beberapa lagi komoditas yang di hasilkan dari Kesultanan Asahan yakni biji timah. Biji timah di Asahan walaupun dalam jumlah yang sedikit, namun setiap tahunnya secara periodik selalu mengekspor biji timah ke Malaka dengan VOC.

sehingga Asahan merupakan tempat terbesar penghasil budak di Pantai Timur Sumatera, serta Asahan mengekspor lilin, tikar dan kuda.

37

Biji timah di Asahan didapatkan dari dataran yang lebih tinggi di sekitar Bandar Pasir Mandoge. Biasanya Sultan memperkerjakan orang-orang Cina untuk melakukan penambangan.38

Selain hasil budidaya, ada hasil hutan yang cukup melimpah di sini yakni buah-buahan dari berbagai jenis buah. Buah yang didapat dari hutan dibawa oleh orang-orang Batak yang datang dari pedalaman. Buah yang dibawa kemudian

Serta tanaman budidaya lainnya yang diekspor di Asahan adalah lada, walaupun tidak ditanam dalam jumlah yang cukup banyak, petani Melayu dan pedalaman Batak dari tahun ke tahun tetap membudidayakan tanaman ini. Padi, kacang-kacangan dan tembakau adalah komoditas yang cukup berlimpah di sini, dengan melimpahnya hasil ini, maka Asahan dijadikan tempat persediaan dari beberapa daerah di sekitar Pantai Timur Sumatera dan daerah seberang.

36

Anderson, Mission...., op. cit., hlm. 321. 37

Reinout Vos, op. cit., hlm. 7. 38


(51)

diperdagangkan di hilir dengan penduduk Melayu yang berada di pesisir maupun dengan para pedagang yang datang dari pemukiman inggris di Penang serta pedagang yang datang dari sekitar wilayah asahan untuk berdagang. Buah-buahan ini tidak dapat diekspor karena mengingat cepat busuknya buah-buahan tersebut maka, dikonsumsi saat itu juga.39

39


(52)

BAB III

PERKEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN

1865-1942

Bab ini membahas bagaimana perkembangan Pelabuhan Tanjung Balai Asahan setelah berada ke dalam kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Diawali dengan penetrasi Belanda di Asahan. Dengan jatuhnya Asahan ke tangan Belanda, maka segala kegiatan perekonomian termasuk aktivitas pelabuhan berada dalam pengawasan Belanda yang memberi dampak bagi pelayaran di Asahan. Perkembangan ini kemudian berdampak pada pembangunan sarana dan prasarana serta pengelolaan pelabuhan itu sendiri. Dalam bab ini juga dibahas bagaimana cukai, pelayaran serta perusahaan dari Pelabuhan Tanjung Balai Asahan serta aktivitas-aktivitas ekspor dan impor pelabuhan seperti, komoditas, tujuan dan asal serta volume dan nilai.

3.1 Penetrasi Belanda di Asahan

Tractaat Siak pada tanggal 01 Februari 1858 merupakan titik awal penetrasi Belanda di Pantai Timur Sumatera yang salah satu isinya adalah Kesultanan Siak beserta daerah-daerah jajahannya merupakan bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah jajahan Kesultanan Siak adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di Sumatera Timur termasuk Kesultanan Asahan. Atas dasar inilah alasan Belanda


(53)

mengirimkan utusannya ke Sumatera Timur untuk meredam gejolak-gejolak yang terjadi di daerah-daerah taklukan Kesultanan Siak.40

1. Beberapa raja-raja di Sumatera Timur bersedia di bawah kekuasaan Belanda dan meminta perlindungan Belanda.

Pada tahun 1858, Asisten Residen Belanda di Siak Arnold, sudah menemui Tengku Pangeran Indra Diraja Langkat yang menyatakan bahwa ia bersedia di bawah kekuasaan Belanda dan meminta perlindungan. Belanda akhirnya mengirimkan utusannya seorang pribumi keturunan dari Raja Pagaruyung Sultan Alam Bagagarshah cabang Sungai Tarap bernama Raja Burhanudin. Bulan Mei 1858 berangkatlah utusan tersebut dari Batavia dan menyimpulkan hasil kunjungannya itu dengan menyatakan bahwa:

2. Hanya Sultan Asahan yang menyatakan menolak berada di bawah kekuasaan Belanda. Bahkan Asahan telah bersatu dengan Serdang, Batubara dan Kualuh Leidong untuk menentang setiap keputusan-keputusan Belanda, Sultan Asahan pada waktu itu adalah Sultan Ahmadsyah.41

Raja Burhanuddin juga melaporkan bahwa ia memang diterima dengan hormat di Asahan, tetapi Sultan Asahan menaruh curiga dan di sekitar Istana Asahan sudah diperkuat dengan pertahanan seperti membuat benteng-benteng lengkap

40

Tengku Luckman Sinar Basarshah, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 184.

41


(54)

dengan meriam-meriam berat di tepi sungai dan di dalam sungai ditanam ranjau-ranjau sehingga kapal utusan tersebut tidak dapat masuk.42

1. Sultan Asahan tidak menaruh kepercayaan terhadap Netscher sebagai wakil Pemerintah Hindia Belandayang berdaulat atas Asahan melalui Siak.

Setelah menerima laporan dari Raja Burhanuddin, maka pada tanggal 02 Agustus 1862 Residen Netscher berangkat dari Bengkalis untuk melakukan penandatanganan kontrak secara paksa. Turut dalam kapal itu para pembesar-pembesar Siak yang bertujuan untuk meyakinkan bahwa kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang berada di bawah kedaulatan Siak mau menandatangani kontrak. Pertama-tama rombongan masuk ke Panai, Bilah, dan Kota Pinang, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Serdang, Deli, dan Langkat. Netscher dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Asahan, ketika sampai di Asahan, rombongan melihat kapal-kapal yang berlabuh dan beberapa rumah di Tanjung Balai mengibarkan bendera Inggris. Netscher lalu mengundang Sultan Asahan untuk naik ke kapal, namun ditolak oleh Sultan Asahan dan jika ingin bertemu dipersilahkan turun ke darat. Netscher kemudian membalas berita dengan poin-poin sebagai berikut:

2. Sultan Asahan hanya diperbolehkan berdagang dengan Belanda dan tidak dengan yang lainnya.

42


(55)

3. Netscher bertanya siapakah yang memberi hak atas pengibaran bendera Inggris.

4. Dan, Sultan harus memberi penjelasan ini di Bengkalis dalam tempo 2 bulan.43

Akhirnya, Netscher gagal menemui Sultan Asahan dan kembali ke Bengkalis. Ultimatum yang diberikan Netscher kepada Sultan Asahan tidak di hiraukan, Asahan tetap saja berdagang dengan Aceh dan Pemerintah Inggris di Semenanjung Malaya. Sikap ini membuat Netscher berang dan mengirim surat kepada Sultan Asahan tertanggal 23 Mei 1863 yang meminta penjelasan terhadap armada Aceh yang dipimpin oleh Raja Muda Cut Latief Meureudue. Melalui surat itu Netscher juga mengancam kepada Sultan Asahan yang isinya “akan binasa jika mereka bersikap bermusuhan dengan Belanda”.44

Sultan Asahan kemudian membalas surat Netscher yang mempertanyakan mengapa Belanda begitu ambisius kepada Asahan, Sultan juga menyatakan bahwa orang Aceh maupun dari Semenanjung Malaya sejak dahulu sudah berdagang dengan Asahan dan Sultan tidak mungkin memutusan hubungan dagang begitu saja dengan mereka karena selama ini sangat menguntungkan bagi Asahan.45

43

Ibid., hlm. 187-189. Lihat juga Anthony Reid, The Contest For North Sumatra: Atjeh, The Netherlands, and Britain 1858-1898, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969, hlm. 25-51.

44

Ibid., hlm. 194. 45


(56)

Pada tanggal 03 Agustus 1863, karena menerima berita dan balasan yang kurang memuaskan, Netscher kemudian berangkat dengan kapal-kapal “Appeldoorn” dan “Dassoon” diiringi pasukan tentara sebanyak 60 orang. Di tengah jalan, utusan Netscher Raja Burhanuddin menemui Sultan Asahan dan mendesak agas sultan menemui residen di atas kapal, lalu Sultan Asahan menolak. Raja Burhanuddin kemudian kembali dan melaporkan bahwa Sultan Asahan menyambut dirinya dengan cara yang tidak baik serta saudara Sultan Asahan, Tengku Pangeran telah menghina dirinya dan dia juga melaporkan bahwa di Tanjung Balai masih berkibar bendera Inggris dan pertahanan telah disiapkan.46

Usaha untuk menaklukkan Asahan oleh Netscher gagal untuk yang kedua kalinya, Netscher kemudian meminta kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia melakukan ekspedisi. Usulan ini kemudian diterima dan disetujui dengan Besluit Gubernur Jenderal No. 1 tanggal 25-8-1865 dinamai dengan: “Expeditie Tegen Serdang en Asahan”ekspedisi ini dipimpin oleh Kapten van Ress dan Majoor van Heemskerck dengan didampingi Netscher.47

Pada tanggal 18 September 1865, pasukan Belanda di bawah pimpinan Lettu K.F.R. Andrau menyerang Tanjung Balai, karena ultimatum yang diberikan diacuhkan oleh Sultan Asahan. Penyerangan ini membuat sultan beserta pembesar-pembesar mengosongkan kota dan mundur ke daerah pedalaman dan pada 19 September 1865, Yang Dipertuan Muda Asahan tertangkap oleh Belanda. Kemudian

46

Loc. cit. 47


(1)

Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nedrlandsch-Indie van 17 Agustus 1924 No. 6.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1875 No. 272.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1881 No. 100.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie,1881 No. 101.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1895 No. 273.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1919 No. 186.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1919 No. 654.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1919 No. 656.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1920 No. 219.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1920 No. 221.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1924 No. 378.

B. Jurnal, Laporan, dan Karya Leksikografi

Aardrijkskundig en Statitisch Woordenboek Nederlandsch-Indie, Geerte Deel A-Z, Amsterdam: P.W. van Kampen, 1861.

Anonim, “Aanvullingsnota van Toelichting Betreffende het Landschap Asahan” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, Deel LIII, Batavia: Albrecht&co dan Deen Haag: Martinus Nijhoff, 1911.

Basarshah, Tengku Luckman Sinar, “Kisah Lanun dan Bajak Laut di Selat Melaka Abad ke-19” dimuat Harian Waspada pada tanggal 22 Februari 1998.

Begroting Gemeente Tandjoeng Balai jaar 1917.

Bezemer, T. J.,Beknopte Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Leiden : Martinus Nijhoff, 1928.

C.I.,Wouter Coll, “Nederlandsch-Indische havenraden”, dalam Koloniale Studient,


(2)

Een en Veertigste Jaarverslag DSM, Prae-Advies van Commissarissen Der Deli Spoorweg Maatscappij, Amsterdam: Druk van J.H De Bussy, 1923.

Jaarverslag van de Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra 1 JulI 1925 -30 Juni 1926, Medan: TYP. Varekamp & Co, 1926. Kathirittamby-Wells, J, “Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft inEast

Sumatra before the Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, 1993.

______________, ‘’Strangers’ and ‘Stranger-Kings’: The Sayyid

inEighteenth-Century Maritime Southeast Asia”, dalam Journal of Southeast Asian

Studies, 40(3), pp 567–591 October 2009.

Koloniaal Verslag tahun 1872.

Kroesen, C.A., “Geshiedenis van Asahan” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, Deel XXXI, Batavia: Albrecht&co dan Deen Haag: Martinus Nijhoff, 1886.

Lindblad, J. Thomas, “The Importance Of Indonesianisasi During The Transition From The 1930s to the 1960s” Paper prepared for the conference on `Economic Growth and Institutional Change in Indonesia in the 19th and 20th Centuries’, Amsterdam, 25-26 February 2002.

Nederlandsch-Indische Havens, Deel I, Departement Der Burgerlijke Openbare Werken, Mededeelingen en Rapporten (Batavia, 1920).

Nederlandsch-Indische Havens, Deel I, Departement Der Burgerlijke Openbare Werken, Mededeelingen en Rapporten (Batavia, 1921).

Niewenhuis, A.W., “De Deli Spoorweg Maatschappij en Haar Veertigjarig Jubileum 28 Juni 1883 – 28 Juni 1923”, dalam Indie, 7de Jaargang 27 Juni 1923, Leiden: Jan van Goyenkade, 1923.

Paulus, J., 1917, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Deel I, ,‘s-Gravengage: Martinus Nijhoff; Leiden: Brill.

Reitsma, S.A., “De Deli Spoorweg Maatschappij”, dalam Spoor- en Tramwegen van 9 Mei 1933, Den Haag: Moorman’s Periodieke Pers N.V., 1933.

Slotemaker, C. G., De Bevolkingsrubbercultuur in Nederlansch-Indie, VI, Riouw en Ondehorigheden, Ooskust van Sumatra en Atjeh en Onderhorigheden, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926.


(3)

Statistiek van Aanplant Produceerend en Aanplant en Produktie van De Groote Cultures van Sumatra’s Oostkust, Atjeh en Tapanoeli Per 31 December 1926, Medan: Uitgegeven Door De Handelsvereéniging te Medan en De A.V.R.O.S, 1927.

Stibbe, D. G.,1935, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Deel VII,‘s-Gravengage: Martinus Nijhoff.

Sumarno, Edi, “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatera Timur pada Periode Kolonial” dalam Historisme Edisi NO.22/Tahun XI/Agustus 2006.

Verslag van de Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra 1 Januari 1939 - 31 December 1939, Medan: TYP. Deli Courant, 1940.

Verslag van de Handelsvereeniging te Medan Over Het Jaar 1916-1940, Medan: Verkamp.

Verslag van de Kleine Havens in Nederlandsch-Indie over het jaar 1923, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925.

Verslag van de Kleine Havens in Nederlandsch-Indie over het jaar 1924-1925, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926.

C. Buku, Skripsi dan Tesis

Anderson, John, 1840, Acheen and the Port on the North and East Coast Sumatra, London: Wm. H. Allen & Co. Leadenhall Street.

_____________, 1971,Mission to the East Coast of Sumatra in 1823, New York: Oxford University.

Arsjad, Mohamad, 1933, Thabal Mahkota Negeri Asahan, Tanjung Balai: Tanpa Penerbit.

Asba, A. Rasyid, “Buruh Pelabuhan Makassar: Gerakan Buruh dan Politik Regional” dalam Erwiza Erman dan Ratna Saptari (Ed.), 2013,Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, Jakarta: KITLV-Jakarta – NIOD – Pustaka Yayasan Obor Indonesia.

Asnan, Gusti, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Penerbit Ombak.


(4)

Basarshah, Tengku Luckman Sinar, 2007,Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa Penerbit.

Blink, H, 1926,Opkomst En Ontwikkeling van Sumatra Als Economisch-Geographisch Gebied, ‘s-Gravenhage: Mouton & Co.

Boxer, C.R., 1983, Jan Kompeni: Dalam Perang dan Damai 1602-1799 Sebuah Sejarah Singkat Tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, terj. Bakri Siregar, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Broersma, R, 1922, Oostkust van Sumatra: De Ontwikkeling van het Gewest, Deel II, The Hague: Charles Dixon Deventer.

Campo, J.N.F.M. a,1992, De Konninklijk Paketvaart Maatschappij: Stoomvaart en Staatsvorming in de Indonesische Archipel 1888-1914, Hilversum: Verloren. ________________, “Steam Navigation and State Formation” dalam Robert Cribb

(Ed.), 1994, The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, Leiden: KITLV Press. Cremer, J.T., 1881, De Toekomst van Deli: Eenige Opmerkingen, Leiden: Gualth

Kolff.

De Coul, Th. P.C.J. Op., 1938, Serbadjadi 1909-1938: De Geschiedenis Der Naamlooze Vennootschap Sumatra Rubber Cultuur Maatschappij, Amsterdam: Drukkerij Holland N.V.

Dirk, F.C. Backer,1985, De Gouvernements Marine in Het Voormalige Nederlands-Indie in Haar Verschillende Tijdsperioden Geschetst 1861-1949, Deel I, Weesp: De Boer Maritiem.

Gottschalk, Louis,1985, Mengerti Sejarah, terj. dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press.

Indera, 1996, “Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij, 1883-1940” Tesis S-2, belum diterbitkan, Depok: Universitas Indonesia.

Kamaluddin, Rustian, 1987,Ekonomi Transportasi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Knaap, Gerrit, 1996, Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade In Java Around 1775, Leiden: KITLV Press.


(5)

Lapian, Adrian B., 2008,Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu.

Panggabean,Panangian, 1988, “ Lahirnya Kota Medan Sebagai Pelabuhan Ekspor Hasil-hasil Perkebunan 1863-1940” Tesis S-2 belum diterbitkan, Yogyakarta: Pascasarjana UGM.

Parker, J. Gordon, 1913, Asahan Genuine Gambier, London: A. Runge & Co.

Pelzer, Karl J., 1985,Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, terj. J. Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ratomi, Naf’an, 2011, “Pelabuhan Labuhan Bilik Pada Masa Kolonial 1914-1939”

Skripsi S-1 belum diterbitkan, Medan: Departemen Sejarah FIB USU.

Reid, Anthony, 1969,The Contest For North Sumatra: Atjeh, The Netherlands, and Britain 1858-1898, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Salim, Abbas,1994, Manajemen Pelayaran Niaga dan Pelabuhan, Jakarta: Pustaka Jaya.

Schadee, W.H.M.,1918, Geschiedenis van Sumatra Oostkust, Deel I, Amsterdam: Oostkust van Sumatra Instituut.

Soedjono, Kramadibrata,1985,Perencanaan Pelabuhan, Bandung: Ganeca Exact Bandung.

Sumarno, Edi, 1998, “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur 1863-1942”, Tesis S-2

belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Supriyono, Agustinus, 2007,Buruh Pelabuhan Semarang: Pemogokan-pemogokan pada Zaman Kolonial Belanda, Revolusi, dan Republik 1900-1965, Semarang: Badan Penerbit UNDIP dan Toyota Foundation.

Sulistiyono, Singgih Tri, 2003, The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870-1970, Semarang: Badan Penerbit UNDIP – Toyota Foundation.

Triatmodjo, Bambang, 1992, Pelabuhan, Jakarta: Beta Offset.

Volker, T., 1928, Van Oerbosch Tot Cultuurgebied: Een Schets van de Betekenis van De Tabak, De Andere Cultures en De Industrie Ter Oostkust van Sumatra, Medan: TYP. Varekamp & Co.


(6)

Vos, Reinout, 1993, Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World, 1740-1800, Leiden: KITLV Press.

Widodo, Sutejo K., 2005,Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Toyota Foundation.