2.6. Bahasa
Pulau Simeulue yang terdiri dari delapan kecamatan ini mempunyai beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat Simeulue yaitu bahasa Defayan, bahasa
Sigulai, bahasa Aneuk Jame, dan bahasa Lekon. Bahasa ini digunakan masyarakat Simeulue berdasarkan tempat tinggal daerah masing-masing. Misalnya masyarakat
Sinabang kecamatan Simeulue Timur, masyarakat ini menggunakan bahasa Jame, sementara bahasa Sigulai digunakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah Sibigo
kecamatan Simeulue Barat, dan masyarakat yang menggunakan bahasa Defayan adalah masyrakat Teupah dan masyarakat Teluk Dalam. Sementara bahasa Leukon,
digunakan oleh penduduk yang berdomisili di ujung utara pulau Simeulue, tepatnya di kecamatan Alafan. Tetapi bahasa Leukon ini sudah jarang digunakan oleh
masyarakat setempat dan bahasa ini juga hamper punah. Jadi bahasa yang digunakan bukan berdasarkan suku atau etnis tetapi berdasarkan tempat daerah masing-masing.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Simeulue ini memiliki struktur bahasa yang jauh berbeda antara bahasa devayan dengan bahasa sigulai. Dimana
pengguna bahasa Devayan tidak mengetahui bahasa Sigulai, dan sebaliknya masayarakat yang menggunakan bahasa Sigulai tidak memahami bahasa Devayan.
Untuk menjembatani komunikasi antar kedua penutur bahasa daerah ini, penduduk Kabupaten Simeulue memiliki “bahasa daerah pemersatu” yaitu bahasa aneuk jame
yang memiliki kemiripan dengan bahasa Minangkabau. Selain bahasa aneuk jame,
Universitas Sumatera Utara
komunikasi antar penutur bahasa defayan dan sigulai menggunakan bahasa Indonesia.
2.7. Kesenian
Masyarakat Simeulue yang merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai suku in memiliki banyak kesenian. Pulau Simeulue yang merupakan bagian
dari daerah propinsi Nanggroe Aceh Darusallam ini memiliki kesenian yang tidak jauh beda dengan kesenian Aceh lainnya dan memiliki kemiripan juga dengan adat
Minangkabau. Akan tetapi ada juga beberapa kesenian yang merupakan khas pulau ini antara lain adalah kesenian Nandong, Buai, Nanga-nanga. Kesenian Buai
merupakan kesenian vocal yang dinyanyikan oleh perempuan. Kesenian Buai ini berisikan tentang pujian dan nasehat. Buai ini tidak jauh beda dengan kesenian
Nandong, hanya saja yang menyanyikannya adalah perempuan. Sementara itu kesenian Nanga – Nanga merupakan nyanyian yang berisikan tentang kesedihan dan
ratapan kehidupan atau kepahitan hidup yang dialami. Kesenian Nanga-nanga ini juga dinyanyikan oleh perempuan.
Kedua kesenian Buai dan kesenian Nanga-nanga ini mulai jarang dinyanyikan oleh masyarakat. Kesenian ini dulunya dinyanyikan seseorang waktu sedang ingin
menidurkan atau mengayun anaknya dalam ayunan. Tetapi karena berkembangnya zaman dan semakin banyaknya nyanyian yang beredar yang bisa dinikmati melalui
media televisi, radio dan lain-lain. Maka kesenian ini semakin lama mulai menghilang bersama berjalannya waktu.
Universitas Sumatera Utara
Selain kesenian Nandong, Buai dan Nanga-nanga ada kesenian lain yang dikenal oleh masyarakat Aceh yaitu kesenian Debus. Kesenian Debus ini juga
dimiliki oleh masyrakat Simeulue, kesenian debus ini disebut oleh masyrakat Simeulue dengan kesenian Dabui. Kesenian Debus Dabui merupakan kesenian
unjuk kekabalan atau kekuatan sesorang dalam memainkannya. Dalam memainkan kesenian Debus ini biasanya menggunakan peralatan yang tajam seperti pisau, kris,
rencong, kapak, dan lain-lain. Peralatan tersebut dihujamkan ketubuh parah pemain.
2.8. Sistem Kekerabatan