memberikan pengaruh hubungan yang linier positif terhadap penyusutan kayu, semakin tinggi berat jenis suatu kayu maka penyusutan kayu akan semakin tinggi
Tsoumis, 1991. Berdasarkan strukturnya pada kayu, sel merupakan komponen terkecil
penyusunan tanaman. Satu unit sel terdiri atas rongga dan dinding sel, dimana ukuran rongga dan ketebalan dinding sel untuk jenis pohon akan berbeda.
Perbedaan inilah yang berakibat terhadap bervariasinya sifat fisis dari suatu jenis. Dengan mengetahui sifat fisis pada kayu diharapkan akan sangat berguna
dalam rangka memanfaatkan kayu secara optimum baik ditinjau dari segi kekuatan, keindahan ataupun lamanya penggunaan.
Skar 1989 mengemukakan bahwa kayu sebagaimana bahan berlignoselulosa lainnya memiliki sifat higroskopis yaitu dapat menyerap atau
melepas air dari lingkungannya. Tsoumis 1991 menambahkan bahwa air yang diserap dapat berupa uap air atau air dalam bentuk air cair.
2.2 Serbuk Kayu
Serbuk kayu adalah kayu halus yang terpisah kemudian direduksi menjadi partikel seperti tepung sereal dalam ukuran, penampilan, dan teksturnya atau
dengan defenisi lain serbuk kayu biasanya merujuk pada sebuah partikel yang cukup kecil untuk melewati sebuah saringan dengan ukuran 850 mikron menurut
standar amerika sekitar 20 mesh. Kebutuhan manusia akan kayu sebagai bahan bangunan baik untuk
keperluan konstruksi, dekorasi, maupun furniture, terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di
indonesia diperkirakan sebesar 70 juta m³ per tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2 per tahun sedangkan produksi kayu bulat diperkirakan hanya
sebesar 25 juta m³ per tahun, dengan demikian terjadi defisit sebesar 45 juta m³ Priyono 2001.hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya konversi hutan alam menjadi lahan pertanian, perladangan berpindah, kebakaran
hutan, praktik pemanenan yang tidak efisien dan pengembangan infrastruktur
Universitas Sumatera Utara
yang diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antar lain melalui konsep the whole tree utilkization,
disamping meningkatkan penggunaan bahan berlignoselulosa non kayu, dan pengembangan produk-produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu.
Patut disayangkan, sampai saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu di Indonesia masih menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Purwanto dkk,
1994 menyatakan komposisi limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu adalah sebagai
1. Pada pemanenan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai 66,16
berikut :
2. Pada industri penggergajian limbah kayu meliputi serbuk gergaji 10,6
3. Limbah pada industri kayu lapis meliputi limbah potongan 5,6, serbuk gergaji 0,7, sampah vinir basah 24,8, sampah vinir kering 12,6 sisa
kupasan 11,0 dan potongan tepi kayu lapis 6,3. Total limbah kayu lapis ini sebesar 61
. Sebetan 25,9 dan potongan 14,3, dengan total limbah sebesar 50,8 dari
jumlah bahan baku yang digubakan
,0 Data Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 19992000
menunjukkan bahwa produksi kayu lapisIndonesia mencapai 4,61 juta m dari jumlah bahan baku yang digunakan.
3
sedangkan kayu gergajian mencapai 2,06 juta m
3
. Dengan asumsi limbah yang dihasilkan mencapai 61 maka diperkirakan limbah kayu yang dihasilkan
mencapai lebih dari 5 juta m
3
Selama ini limbah kayu masih banyak menimbulkan masalah dalam penanganannya yaitu dibiarkan membusuk,ditumpuk, dan dibakar yang
kesemuanya berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga penanggulangannya perlu dipikirkan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah
memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai tambah dengan teknologi aplikatif dan kerakyatan sehingga hasilnya mudah disosialisakan kepada
masyarakat BPS, 2000.
2.3 Gipsum