Penggunaan Polifosfat Untuk Mereduksi Susut Masak Selama Produksi Skala Industri Udang Putih (L. vannamei) Beku di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung
USE OF POLYPHOSPHATE TO REDUCE COOKING LOSS DURING INDUSTRIAL SCALE PRODUCTION OF FROZEN WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei)
IN PT. CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
Iman Indrajaya, Ratih Dewanti-Hariyadi, Joko Hermanianto
Departement of Food Science and Technology, Faculty of AgriculturalTechnology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,Indonesia.
Phone : +62 856 150 7284, E-mail : [email protected] ABSTRACT
White shrimp (L. vannamei) is the most important shrimp export commodity in Indonesia. Shrimps are mostly exported as frozen product after cooking process.The cooking process to produce frozen shrimp generally cause undesirable cooking loss because it decrease the weight. To overcome this problem, several techniques have been developed such as soaking in salt and polyphosphate as sequestrant before cooking process. Polyphosphate and salt can increase pH and ionik strength thus increase the WHC (Water Holding Capacity) and reduce cooking loss. In addition, polyphosphate provide a synergistic effect when it is combined with salt. The purpose of this research is to determine the influence of various concentrations of polyphosphate (0%, 2%, 3%, 4%) in combination with salt (4%) on the cooking loss of industrial scale frozen zhrimp production at PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. The physico-chemicalproperties of shrimp observed are WHC using Hamm method and phosphate content in the product as P2O5. Formula resulting in the lowest cooking loss was selected as the best formula and the effect of polyphosphate was evaluated base on organoleptic characteristic. The result indicated that 4% polyphosphate gave the smallest cooking loss. Based on sensory evaluation, all various concentration showed that there is no bitter effect on final product.
(2)
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang luas dan kaya akan potensi sumberdaya perikanan. Hasil perikanan Indonesia, baik dalam bentuk segar maupun olahan, sangat diminati pasar dalam maupun luar negeri. Salah satu komoditas unggulan pada sektor perikanan adalah udang. Udang sangat diminati oleh konsumen karena memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sebagai bahan pangan, udang merupakan sumber mineral dan sumber protein hewani yang baik. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Menurut data dari Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga akhir tahun 2009, ekspor udang mencapai 240,250 ton atau 27,29% dari total ekspor perikanan yang mencapai 881,413 ton. Hal ini juga dibuktikan dengan penigkatan penjualan bibit udang yang melonjak 20% pada tahun 2009 dibandingkan tahun sebelumnya, penjualan benur mencapai satu juta ekor per hari.
Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah mutu menjadi masalah penting bagi industri pengolah udang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat banyak pesaing produk-produk udang dari negara lain yang sangat memperhatikan mutu produk udang yang prima. PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) merupakan salah satu perusahaan tambak udang dengan pengelolaan secara terintegrasi mulai dari pembenihan, pembesaran dan pengolahan. Produk akhir dari perusahaan ini merupakan udang beku segar, dan olahan dimana 90% dari total produknya diekspor baik ke Amerika, Eropa maupun ke Jepang. Agar produknya tetap eksis dipasar internasional, maka perusahaan ini sangat memperhatikan aspek mutu dan keamanan produk.
Salah satu produk dari PT CPB adalah udang beku (frozen shrimp). Permasalahan mutu yang sering dihadapi pada produk udang masak adalah hilangnya berat produk udang akibat susut masak. Untuk mengurangi besarnya susut masak, maka dilakukan proses perendaman menggunakan garam dan polifosfat sebelum dilakukan proses pemasakan. Menurut Ockermen (1983) fungsi dari polifosfat adalah untuk meningkatkan daya ikat air (water holding capacity/WHC) dalam daging udang sehingga penurunan kadar air akibat pemasakan dan pembekuan dapat diminimalkan. WHC akan meningkat jika kadar polifosfat juga meningkat. Namun belum ditemukan pola hubungan yang teratur (konsisten) anatara dosis polifosfat dengan kehilangan berat yang dimaksud.
Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang hubungan antara konsentrasi polifosfat dalam proses perendaman udang sebelum pemasakan dan kehilangan berat baik setelah udang dimasak maupun setelah didefrost (setelah dibekukan). Penggunaan konsentrasi polifosfat yang rendah dapat menurunkan kemampuan mengikat air (water holding capacity/WHC) pada udang sehingga air yang keluar lebih banyak dan susut masak semakin tinggi. Sedangkan penggunaan konsentrasi polifosfat yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan WHC udang namun dapat menyebabkan produk udang menjadi pahit. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi penggunakan konsentrasi polifosfat sehingga didapatkan kemampuan WHC udang yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
(3)
B.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendapatkan konsentrasi polifosfat optimum perendaman udang sehingga dapat menghasilkan nilai susut masakrendah dan nilai rendemen total yang tinggi, (2) mengetahui hubungan antara konsentrasi polifosfat dengan WHC (Water Holding Capacity) dan susut masak, (3) mengetahui konsentrasi phosfat (P2O5) pada produk akhir.
C.
MANFAAT
Optimasi penggunaan polifosfat saat perendaman pada produk CTO ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam perusahaan berkaitan dengan penurunan jumlah produk akhir setelah proses pemasakan, sehingga diperoleh jumlah produk akhir yang sesuai tanpa menggunakan bahan baku yang berlebihan.
(4)
II.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bratasena didirikan pada tanggal 8 Juli 1994 dengan SPT BPKM No. 453/PMDN/1994, dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 509/KPT/IK.120/7/1995 serta surat Keputusan Gubernur Daerah Lampung No. 5 tahun 1996 tentang Pola Kemitraan Usaha Perikanan Inti Rakyat di Wilayah Lampung. PT Centralpertiwi Bratasena ini merupakan usaha gabungan antara investor Charoen Pokhpand Group dari Thailand dengan PT Bratasena Perkasa Kencana. PT Centralpertiwi Bratasena bergerak di bidang aquabisnis dengan pola usaha kemitraan inti rakyat (plasma).
Pada tahun 1998, pemilik PT Bratasena Kencana Perkasa menarik sahamnya dari usaha gabungan ini. Kemudian, Nama PT Centralpertiwi Bratasena diganti menjadi PT centralpertiwi Bahari yang sudah tertuang dalam akta perusahaan Anggaran Dasar Perseroan Nomor 29 tanggal 13 Februari 1998 di hadapan Notaris Sutjito, SH. Pada tanggal 28 Desember 1998 mendapatkan predikat B (baik) dari Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta, No. 325/PP/SKP/PB/I/12/98 dan pada tanggal 26 Agustus 1999 mendapatkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Nomor 102/PP/Va/I/VIII/99. Saat ini, mayoritas saham PT Centralpertiwi Baharai dimiliki oleh PT Centralprotein Prima yang merupakan anak cabang Charoen Pokhpand Indonesia (CPI).
B.
LOKASI PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bahari berada di wilayah bekas hutan register 47 Way Terusan, Kecamatan Pembantu Gedong Meneng, Kecamatan Induk Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Luas Lahan yang dicadangkan adalah 22.271 hektar. Batas-batas wilayah PT Centralpertiwi Bahari, yaitu :
Utara : Sungai Way Tulang Bawang, Selatan : Sungai Way Seputih dan Laut Jawa Barat : Sungai Way Terusan
Timur : Laut Jawa
PT Centralpertiwi Bahari mempunyai kapasitas sekitar 15000 plasma dan 1000 tenaga kerja. Wilayah tambak budidaya terletak di dua desa, yaitu :
1. Desa Adiwarna yang meliputi Blok 1, Blok 2 dan Blok 81 2. Desa Mandiri yang meliputi Blok 71
Selain itu, PT Centralpertiwi Bahari memiliki tempat pembenuran (hatchery) yang terletak di Desa Suak, Lampung Selatan seluas 130 hektar. PT Centralpertiwi Bahari juga memiliki pabrik pakan udang yang terletak di Tanjung Bintang, Kawasan Industri Lampung. Apabila seluruh lahan dan kapasitas PT Centralpertiwi Bahari telah difungsikan, maka perusahaan ini akan menjadi perusahaan budidaya tambak udang terbesar di dunia.
(5)
C.
VISI DAN MISI PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) merupakan perusahaan budidaya dan pengolahan udang modern. Perusahaan ini memiliki visi menjadi perusahaan tambak inti rakyat terbaik dengan teknologi ramah lingkungan dimana setiap insane secara tulus mengabdi dan memberikan konstribusi terbaiknya kepada perusahaan, bangsa dan negara. Misi dari PT CPB yaitu :
1. Mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.
2. Membina hubungan kerjasama yang harmonis antara inti dengan plasma untuk mencapai tujuan bersama.
3. Menyediakan produk dan pelayanan dengan mutu terbaik bagi pelanggan yang pada akhirnya memberikan manfaat kepada investor, karyawan, mitra kerja dan pemerintah.
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat sekeliling melalui peningkatan kegitan ekonomi
Selain itu, PT CPB juga memiliki nilai-nilai (values) yang diterapkan, meliputi : 1. Contribution : merupakan falsafah Charoen Pokhpand yang berarti
perusahaan didirikan jika mempunyai kontribusi pada negara, masyarakat dan karyawan.
2. Profesionalism (honesty, loyalty, quality and intregity): segala sesuatunya dituntut berjalan secara professional, sesuai dengan nilai-nilai keujuran, kesetiaan, kualitas dan integritas yang tinggi pada perusahaan.
3. Broadminded : berpikiran luas, fleksibel dan mampu menerima, menyerap serta menerapkan kemajuan dan teknologi.
D.
SUMBER DAYA MANUSIA
Berdasarkan data dari Human Resources Departement (HRD) PT Centralpertiwi Bahari, hingga bulan Juni 2011, jumlah karyawan yang bekerja baik di Plant 1 maupun Plant 2, sebagai pekerja inti adalah 491 laki-laki dan 187 perempuan. Selain itu, PT CPB juga melakukan outsourcing dengan mempekerjakan karyawan dari perusahaan penyalur tenaga kerja sejumlah 1675 laki-laki dan 7410 perempuan.
E.
STRUKTUR ORGANISASI
PT CPB memiliki sebelas divisi yang tersebar di beberapa wilayah di Lampung, dan dua bagian non-divisi yang berada di Bandar Lampung yaitu Kantor Perwakilan PT CPB untuk wilayah Lampung dan di Jakarta yaitu Kantor Pusat. Sembilan dari sebelas divisi tersebut berada di area tambak (Pond Site), wilayah Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Dua divisi lainnya berada di wilayah Kawasan Industri Lampung (KaIL) Tanjung Bintang yaitu Divisi Feedmill Operation yang merupakan divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan pakan udang (pabrik pakan) dan di wilayah Suak-Kalianda, Lampung Selatan yaitu Divisi Breeding Operation, yakni divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan benur udang.
Sembilan divisi PT Centralpertiwi Bahari di Pond Site yaitu : 1. Divisi budidaya air (Aquaculture division)
2. Divisi pengolahan dan penyimpanan (Processing and cold storage) 3. Divisi pelayanan petambak (Farmer service)
(6)
5. Divisi pembangkit listrik dan peralatan elektrik (Power plant and electric engineering)
6. Divisi pemasaran (Marketing Division)
7. Divisi permasalahan umum dan pengembangan sumber daya manusia (General Affair and Human Resources Development)
8. Divisi keuangan dan akuntansi (Finance and accounting) 9. Divisi masyarakat dan permesinan (Civil and engineering)
F.
HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN
PT Centralpertiwi Bahari memproduksi berbagai macam jenis udang beku seperti udang mentah beku (conventional frozen shrimp), udang kupas mentah beku (peel raw frozen shrimp), udang masak beku (cooked frozen shrimp), nobashi ebi dan sushi ebi. Seluruh produk diekspor ke mancanegara, seperti Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Produk unggulan PT CPB adalah produk udang beku CTO (cooked tail-on). Setiap harinya PT CPB memproduksi produk CTO rata-rata sebesar 2,5-3 ton/hari dan menghasilkan 900-1080 ton/tahun.
G.
FASILITAS
PT Centralpertiwi Bahari menyediakan fasilitas bagi karyawan, petambak dan keluarganya. Fasilitas tersebut meliputi fasilitas perumahan, sarana pendidikan, alat transportasi, tempat ibadah, sarana ekonomi, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana olahraga dan rekreasi. Bagi karyawan PT CPB, disediakan perumahan, tunjangan, jamsostek sesuai dengan peraturan tentang ketenagakerjaan. ,Fasilitas pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar (SD) pada masing-masing desa dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fasilitas transportasi berupa infrastruktur jalan (road and subroad), jalan raya menuju dermaga (± 20 km), dermaga sungai (Amarta dan Sadewa), transportasi air (perahu speed boat dan pontoon), serta transportasi darat (bus karyawan dan minibus).
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, didirikan tempat ibadat berupa masjid, mushola, gereja dan pura. Fasilitas ekonomi meliputi pasar traditional, warung, kantin, bengkel dan pertokoan di setiap pemukiman. Selain itu, juga terdapat koperasi karyawan (Kopkar) dan Koperasi Unit Desa (KUD).
Fasilitas komunikasi meliputi siaran radio Swara Bahari, HT, Warung Telekomunikasi (Wartel), telepon rumah dan pemancar signal HP. Fasilitas kesehatan meliputi puskesmas di setiap blok dan Pusat Pelayanan Medical. Sedangkan fasilitas olahraga meliputi lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis dan tenis meja, taekwondo dan terdapat organisasi olahraga Satria Nusantara (SN). Terkadang, diadakan acara hiburan seperti layar tancap, music dangdut yang didatangkan dari Bandar Lampung.
(7)
III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PRODUK UDANG BEKU
Udang dalam bentuk produk beku memiliki pangsa pasar yang cukup luas. Sebagian besar produk udang beku diekspor ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Produk beku adalah produk yang sudah diberi perlakuan proses pembekuan yang cukup untuk mereduksi suhu seluruh produk sampai pada tingkat suhu yang cukup rendah guna mengawetkan mutu produk dan tingkat suhu rendah ini dipertahankan selama pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi sampai saat (dan termasuk) waktu penjualan akhir (Johnston et al., 1994).
Udang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sidwell et al, (1987) menyebutkan bahwa pada udang mentah mempunyai kadar protein pada kisaran 14,1g – 25,0g. Proses pemasakan dan pengalengan tidak terlalu memengaruhi kisaran protein pada udang mentah. Kadar lemak pada udang mentah lebih sedikit dibandingkan dengan protein udang. Kadar lemak pada udang mentah berkisar antara 0,37g – 0,88g. Phospholipids dan
sterol adalah komponen terbesar dalam kadar lemak yang terdapat dalam udang (Kritchevsky, et al. 1976)
Definisi udang beku menurut SNI 01-2705-1992 adalah udang segar yang telah dicuci bersih, didinginkan untuk mempertahankan suhu udang sekitar 0oC, dan dibekukan dengan atau tanpa perlakuan pendahuluan pada suhu rendah maksimum -45oC sehingga suhu produk akhir menjadi maksimum -18oC, dan kemudian disimpan pada tempat penyimpanan dengan suhu maksimum -25oC dengan fluktuasi 1oC (BSN, 1992).
Berbagai macam bentuk udang beku dapat ditemukan di pasaran. Namun demikian, produk-produk itu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: produk untuk dikonsumsi langsung dan produk untuk diolah lebih lanjut. Produk udang beku yang umum ada dipasaran adalah head-on (HO), headless (HL), peeled and undeveined (PUD – udang dikupas, kepala dan kulit dibuang, tetapi isi perut tetap). Bentuk lain termasuk
peeled and undeveined, tail on (PUDT/PTO); peeled and deveined, tail-on (butterfly); dan
black tiger (BT – tidak ada kulit atau kaki harus tetap ada pada udang atau pada kemasan). Dunia perdagangan mengenal bentuk penyajian udang beku antara lain (Ilyas, 1993):
1. Utuh: berkepala dan berkulit (whole; head and shell-on); 2. Tanpa kepala berkulit (headless shell-on);
3. Ekor kipas utuh: kepala dan kulit dibuang, kecuali ruas paling akhir dan ekor (fantail round);
4. Ekor kipas tanpa isi perut (fantai deveined); 5. Ekor kipas kupu-kupu (fantail butterfly); 6. Dikupas: tanpa kepala dan dikupas (peeled); 7. Dikupas dan tanpa isi perut (peeled and deveined); 8. Dikupas dan direbus (peeled and cooked);
9. Utuh direbus (whole cooked);
10. Dikupas dan tidak dibuang isi perut (peeled and undeveined).
Udang diperdagangkan berdasarkan ukuran dengan menghitung jumlah ekor udang, yang dinyatakan sebagai rentang jumlah udang per pon atau kilogram. Misalnya ukuran 26-30 menyatakan bahwa terdapat 26 dan 30 ekor udang per pon. Mendapatkan
(8)
hitungan yang benar dari jumlah udang merupakan hal yang sangat penting karena terdapat perbedaan harga diantara berbagai ukuran. Jumlah udang lebih sering dinyatakan sebagai nama dibandingkan jumlah, misalnya colossal (raksasa): 10 – 15 per pon, jumbo:
21 - 25 per pon dan extra large: 26 – 30 per pon.
Terdapat tiga kategori produk udang yang dimasak: cooked, peeled and deveined, tail-on (CP, tail-on/CTO); cooked, peeled and deveined, tail-off (CP, tail-off); dan cooked in the sheel (utuh dimasak) (Kanduri dan Eckhardt, 2002).
B. TEKNOLOGI PEMASAKAN UDANG CTO (cooked tail-on)
Udang CTO adalah produk udang Litopenaeus vannamei dengan ekor tanpa kepala, dibuang kulit segmen 1 – 5, bekas pangkal kaki renang dikerik, kemudian dibelah dari segmen 2 – 5 sedalam usus terambil (kedalaman 30%) kemudian dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007). Pada penelitian ini pengujian dilakukan sampai dengan tahap pemasakan.
Secara umum proses pemasakan udang CTO melalui beberapa tahapan, mulai dari pengupasan kepala (head of/HO), pengupasan kulit (peeled), dan membuang isi perut (deveined). Kemudian dilakukan proses perendaman menggunakan STP (Sodium Tripolifosfat) dan dimasak menggunakan suhu 99-100o C (Kanduri dan Eckhardt, 2002). Namun, di PT CPB perendaman dilakukan menggunakan polifosfat sesuai dengan permintaan buyer. Selain itu proses pemasakan menggunakan steam bersuhu 98-99oC.
Proses pemasakan udang CTO pada PT CPB ini dimulai dari penerimaan udang mentah (raw material), kemudian dilakukan pencucian dengan air es yang mengandung klorin 20-30ppm. Tahap selanjutnya adalah pemisahan berdasarkan ukuran dan grade
udang kemudian dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan udang dicuci menggunakan air es, dipotong kepala, dan dicuci kembali menggunakan air es. Setelah itu udang dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh PPIC (Production Planning & Inventory Control). Setelah dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit dan pembuangan usus sampai pembelahan pada punggung udang. Udang kemudian direndam dengan menggunakan larutan garam dan polifosfat. Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman menggunakan larutan tersebut. Secara lebih rinci proses pemasakan udang ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses pemasakan yang dilakukan merupakan salah satu penerapan pengolahan-panas pada bahan pangan. Menurut Lund (1989), pengolahan pengolahan-panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan unutk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan panas pada bahan pangan yang diterapkan pada pemasakan udang berupa pengukusan (menggunakan sumber panas berupa steam). Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menginaktivasi enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Lund, 1989). Pada proses pemasakan penggunaan suhu yang kebih rendah dengan waktu pemasakan yang lebih lama dapat menurunkan susut masak produk. Hal ini dikarenakan pada penggunaan suhu rendah pada proses pemasakan perbedaan suhu pusat udang dengan suhu permukaan menjadi lebih kecil sehingga air yang hilang selama pemasakan dat ditekan dan rendemen akan meningkat jika dibandingkan dengan mengunakan suhu
(9)
tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang lebih rendah akan membuat produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran suhu diatas pertumbuhan bakteri serta akan memberikan penampakan tekstur dan rasa yang lebih baik (Anonim 1, 2001).
Penerimaan ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Pemisahan (ukuran dan grade) ↓
Penimbangan ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Potong kepala ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Pengelompokkan ↓
Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung ↓
Perendaman dengan garam dan polifosfat ↓
Pemasakan ↓ Pendinginan
↓
Pembekuan dengan tunnel freezer
↓ Penimbangan
↓
Glazing
↓
Pengemasan dan Pelabelan ↓
Penyimpanan dalam cold room
Gambar 1. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB
Menurut Crowly (2001), metode dasar dari pemasakan komersil seafood ada tiga yaitu: pemasakan dengan steam, pemasakan dengan air panas dan pemasakan dengan udara panas. Prose pemasakan di PT CPB memakai steam sebagai sumber panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan konveksi dalam prosesnya. Mesin pemasak yagn digunakan pada penelitian ini adalah mesin Cabinplant® cooker. Mesin ini mampu memenuhi kapasitas produksi pemasakan 1000 kg/jam. Steam, yang dijadikan sumber panas, dialirkan langsung merata dari bagian atas mesin ke produk dengan waktu
(10)
pemasakan antara 25 detik sampai 240 detik. Suhu yang digunakan yaitu 197oF-203oF atau sekitar 92oC-113oC (Crowly, 2001). Suhu pemasakan yang distandarkan pada mesin Cabinplant® cooker di PT CPB yaitu 98oC-99oC. kisaran suhu ini juga banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan udang masak lainnya.
Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam air yang telah ditambahkan serpihan es (flake es) dan garam 2% sampai suhu dibawah 5oC yang berfungsi sebagai
shock chilling yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku dan beban refrigerasi dapat dikurangi. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan system tunnel freezer, penimbangan,
glazing, dikemas dan diberi label, dan tahap akhir adalah penyimpanan di cold room. C. MUTU PRODUK UDANG BEKU
Salah satu metode penilaian mutu produk perikanan yaitu dengan penilaian subjektif. Penilaian subjektif yang disebut juga penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakkan, bau, citarasa dan tekstur. Sifat organoleptik yang berhubungan dengan sifat fisik sangan memegan peran penting terutama untuk menentukan komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Berdasarkan penampakan, untuk udang masak, daging udang yang telah matang berwarna putih susu. Penilaian mutu secara organoleptik selain penampakan adalah tekstur dan rasa. Tekstur yang palin bagus pada udang masak adalah elastic, kompak dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak tekstur. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak bagus bagi tekstur udang (AOAC, 2000).
Udang dan produk perikanan lainnya pada umumnya mempunyai sifat cepat busuk dan mutunya identik dengan kesegarannya. Proses pembusukan atau penurunan mutu pada udang dan produk perikanan lainnya terutama disebabkan oleh kegiatan enzim dan bakteri. Untuk mempertahankan suhu agar dibawah suhu pertumbuhan mikroba, biasanya ditambahkan sejumlah es (Moeljanto, 1992).
Ada tiga penyebab terjadinya penurunan mutu udang menurut Purwaningsih (2000), yang pertama adalah penurunan secara autolisis dimana terjadinya penurunan ini diakibatkan oleh kegiatan enzim didalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh terurai. Diantara proses enzimatis yang sangat mempengaruhi rupa udang selama proses penanganan adalah pembentukan bercak hitam (black spot) akibat melanosis. Gejalanya adalah penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah enzim dalam udang yang melalui suatu rangkaian reaksi, mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen melanin berwarna hitam, proses melanosis ini sangat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1993). Menurut Bileye dkk (1960), bercak hitam itu adalah senyawa melanin, hasil keja dari enzim oksidatif tyrosinase atau Polyphenol Oxidase (PPO) yang mengkatalisis reaksi mengubah tyrosin (substrat) menjadi melanin yang berwarna hitam. Black spot tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk akan ditolak oleh konsumen. Enzim PPO, yang merupakan penyebab terjadinya blackspot,
(11)
banyak terdapat pada lapisan kutikula dan hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperan penting dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya, sehingga banyak terjadi pada produk udang berkulit (shell-on).
Penurunan mutu yang kedua adalah penurunan mutu secara bakteriologi yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh daging udang yang terurai dan menimbulkan bau busuk. Penurunan mutu yang ketiga adalah penurunan mutu secara oksidasi, penurunan mutu ini biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak pada udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih, 2000).
Perubahan mutu yang sangat berisiko dalam produk udang masak adalah perubahan mutu teknologi. Salah satunya adalah terjadinya susut masak pada produk udang yang diakibatkan oleh kehilangan sejumlah air yang terdapat didalam udang yang terjadi karena pengaruh suhu pemanasan dari proses pemasakan. Nilai susut masak dipengaruhi oleh daya ikat air/water holding capacity (WHC), kelarutan protein dan nilai pH. Dari sisi ekonomi, produk yang mengalami susut masak tinggi menyebabkan kehilangan berat yang cukup besar. Hal ini tidak diinginkan oleh perusahaan karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi susut masak pada produk udang adalah melakukan proses perendaman menggunakan polifosfat dan garam sebelum dilakukan proses pemasakan.
D. PENGARUH POLIFOSFAT TERHADAP SUSUT MASAK
Polifosfat adalah komponen kimia yang berfungsi sebagai buffer, sekuestran dan sebagai polimer yang berperan meningkatkan kekuatan ionic. Pada umumnya fosfat digunakan sebagai bahan tambahan pangan pada bermacam makanan termasuk daging, unggas dan produk perikanan. Melalui reaksi kimia antar komponen makanan dengan bahan tambahan lain, fosfat akan mempengaruhi daya ikat air, warna, pengawetan dan penanganan berbagai jenis makanan (Sofos, 1986).
Polifosfat merupakan salah satu jenis garam alkali fosfat yang sering digunakan oleh industri yang ditujukan untuk memperbaiki mutu produk, salah satunya adalah mengurangi susut masak. Pada daging alkali fosfat berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air/Water Holding Capacity (WHC) oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan memperbaiki tekstur, sehingga dapat mengurangi susut masak.
Daya ikat air oleh protein atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemanasan, penggilingan, pengadukan dan tekanan. Absorpsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan.
Air yang berada pada otot daging minimal ada dalam dua kondisi dan dalam setiap kondisi tersebut proporsinya “terikat” atau “bebas”. Hamm (1960) menjelaskan bahwa tidak lebih dari 5 persen total air dalam otot daging dapat secara langsung terikat pada grup hidrofilik dalam protein. Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5 % sebagai lapisan monomolecular pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4% dan lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air
(12)
terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan air diantara molekul protein akan menurun bila protein mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971). Hampir semua air dalam urat daging berada dalam myofibril, dalam ruang antara filamen yang tebal dari myosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin. Ruang interfilamen (menurut hasil pengamatan) berukuran antara 320
Ǻdan 570 Ǻ; ukuran tersebut ada hubungannya dengan pH, panjang sarkomere, kekuatan
ionik, tekanan osmotic dan apakah otot daging tersebut dalam keadaan pre- atau post-rigor (Offer dan Trinick, 1983). Dalam penelitian yang mendetail tentang myofibril, Offer dan Trinick (1983) melaporkan suatu kenyataan dalam menunjang pandangan mereka bahwa hampir semua air yang ada dalam otot daging ditahan oleh tenaga kapiler diantara filamen-filamen tebal dan tipis. Filamen tipis mempunyai diameter kira-kira 1µm pada setiap jalur Z dan merupakan ban I-nya sarkomer. Filamen tipis terutama terdiri dari molekul-molekul protein aktin, sehingga disebut juga filamen aktin (Forrest et al., 1975; Lawrie, 1979; Swatland, 1984) (Gambar 2). Myosin adalah protein filamen tebal yang dominan dan proporsi asam-asam amino basic dan asidiknya tinggi. Myosin memiliki pH isoele ktrik kira-kira 5,4, mengandung asam amino prolin yang lebih rendah dan lebih fibrus dari aktin. Struktur molekul myosin berbentuk seperti batang korek api dengan bagian tebal pada salah satu ujungnya. Bagian tebal ini disebut kepala myosin yang berjumlah dua buah, dan bagian yang seperti batang panjang disebut ekor myosin. Bagian antara kepala dengan ekor disebut leher myosin (Gambar 3).
Gambar 2. Struktur Sarkolema (Soeparno, 2005)
Gambar 3. Struktur Miosin (Soeparno, 2005)
WHC dipengaruhi oleh pH (Bouton et al., 1971; Wismer-Pedersen, 1971). WHC menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Gambar 4). Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang
(13)
mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging , WHC meningkat (Gambar 5). Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun sampai 5,4 – 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan WHC daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat
rigormortis menyebabkan penurunan WHC. Penurunan pH yang cepat karena pemecahan ATP akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan WHC protein (Bendall, 1960). Dua pertiga penurunan WHC otot sapi adalah karena pembentukan aktomiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor, dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Hamm, 1960).
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap Struktur Protein (Warriss, 2004)
.
Gambar 5. Pengaruh pH terhadap kelarutan protein daging (Warriss, 2004) Pemasakan menyebabkan perubahan WHC karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan WHC (Bouton dan Harris, 1971). Pada temperatur 30 dan 40oC, protein myofibril mulai mengalami koagulasi dan pada temperatur 55oC, protein myofibril mengalami denaturasi sempurna (Locker, 1956). Pada temperatur 60oC, protein sarkoplasmik hamper mengalami denaturasi sempurna (Bendall, 1960). WHC mengalami perubahan besar dengan pemanasan pada temperatur 60oC (Hamm, 1960). Bendall dan Restall (1983)
(14)
dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada protein-protein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 – 53oC tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60oC; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 – 90oC semakin banyak pengerutan,
penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan.
Pemanasan udara kering juga mempengaruhi WHC daging. WHC menurun dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Penurunan WHC pada pemanasan sampai temperatur 80oC berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik ini meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi (Hamm, 1960). Selama proses pemasakan atau pemanasan terjadi peningkatan pH akibat hilangnya group asidik di dalam otot (Angsupanich dan Ledward, 1998). Disamping faktor pH dan pemasakan atau pemanasan, WHC daging juga dipengaruhi oleh spesies, umur dan fungsi otot (Wismer-Pedersen, 1971). Peningkatan kapasitas WHC kelihatannya lebih banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam hubungan ion-protein; ada peningkatan ion K+ dan peningkatan ion Ca++. Semakin kuat ion-ion terikat oleh protein, akan semakin kuat pula pengaruh hidrasinya (Hamm, 1960).
Penurunan WHC menyebabkan terjadinya susut masak. Susut masak merupakan fungsi dari temperature dan lama pemasakan. Disamping itu susut masak juga dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al., 1971). Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Perubahan nilai WHC dan denaturasi protein dipengaruhi oleh konsentrasi dan komposisi garam didalam otot. Hanya 4 – 5% dari total air terikat kuat didalam otot dan tidak dipengaruhi oleh perubuahan struktur dan muatan protein. Kebanyakan air yang ada didalam otot dipengaruhi oleh perubahan struktur dan muatan yang ada pada protein otot. Phosfat dan natrium klorida memberikan pengaruh terhadap nilai WHC baik pada daging maupun ikan (Greene, 1981). Pada garam dengan konsentrasi sangat rendah (0 – 0,1 M) peningkatan konsentrasi garam dapat menurunkan ruang antara filamen dan menyebabkan penyusutan serat otot. Pada konsentrasi garam yang lebih tinggi dari 0,1 M , ruang antara filamen meningkat seiring dengan peningkatan muatan negatif dan meningkatnya gaya tolak menolak protein otot. Peningkatan pembekakan filamen dapat juga terjadi karena dipolimerisasi filamen tebal, yang mendorong terjadinya disosiasi dari kompleks aktomiosin (Fennema, 1990). Pada konsentrasi diatas 1 M, ruang antara filamen makin tidak mengembang, sedangkan diatas 4,5 M, otot menyusut (Offer and Knight, 1988). Pada kekuatan ionik yang tinggi, garam mempunyai pengaruh dehidrasi; hidrasi maksimum bila kekuatan ionik sekitar 0,8 – 0,1. Ini setara dengan 5 – 8 % NaCl untuk daging tanpa dan dengan penambahan 60% air (Hamm, 1960).
Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan zat aditif dalam produksi pangan telah meningkat. Penambahan polifosfat pada daging dan produk perikanan dapat
(15)
mempengaruhi nilai WHC selama proses sehingga dapat meningkatkan berat produk tersebut. Pada dasarnya protein daging dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein sarkoplasma, protein myofibril dan kolagen, elastin dan reticulum. Protein sarkoplasma memiliki sifat mudah larut air, memiliki kemampuan yang rendah dalam menjaga WHC dan emulsi, sedangkan protein myofibril memiliki sifat larut garam, larut pada suhu rendah (-4oC – 4oC), memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjaga WHC dan emulsi. Kolagen, elastin dan reticulum memiliki sifat larut pada suhu tinggi dan asam. Penggunaan polifosfat mempengaruhi protein myofibril (aktin dan myosin) yang dapat meningkatkan nilai WHC. Menurut Lindsay (1996), mekanisme yang digunakan alkalin phosfat dan polifosfat dalam meningkatkan hidrasi daging tidak dipahami dengan jelas. Hal ini bisa dipengaruhi oleh efek pH dan kekuatan ionik, dan interaksi spesifik anion phosfat dengan kation divalent dan myofibril protein. Fungsi dari phosfat adalah untuk memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehinggan myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin ; meningkatkan pH, kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen pemasakan (mengurangi susut masak) ; dan sebagai antioksidan (pengkelat ion divalent seperti Fe+2, Cu +2) mencegah oksidasi dan pembentukan flavor tengik. Menurut Thorarinsdottir et al. (2001) penggunaan polifosfat mempengaruhi hidrasi produk perikanan karena pengaruh dari pH, kekuatan ionik dan interaksi spesifik dengan protein myofibril sehingga efektif untuk meningkatkan WHC. Phosfat dapat meningkatkan WHC daging post mortem dengan cara meningkatkan pH daging sehingga muatan negatif dalam daging meningkat. Peningkatan muatan negatif meningkatkan gaya tolak menolak elektrostatik diantara protein serat daging sehingga WHC daging meningkat. Efeknya, susut masak produk rendah, stabilitas emulsi dan daya ikat produk akan lebih baik.
Efektivitas phosfat dalam mempertahankan air didalam daging tergantung dari tipe phosfat yang digunakan, jumlah yang digunakan dan produk spesifik. Phosfat memberikan efek sinergis jika diaplikasikan bersama-sama garam (NaCl). Pada jumlah phosfat terbatas, garam akan mengembangkan protein miofibril protein sehingga dan dengan bantuan gaya dari luar (misalnya pengadukan) akan menyebabkan protein terlarut kedalam larutan garam. Protein terlarut akan membentuk matriks yang bisa mengikat air. Selama pemanasan, protein yang terlarut (terekstrak) akan terkoagulasi dan memberi efek pengikatan antar setiap partikel daging, mengikat air (meminimalkan susut masak) dan membentuk matriks yang koheren yang akan memerangkap lemak yang meleleh sehingga tidak keluar. Peningkatan konsentrasi garam yang digunakan akan meningkatkan jumlah protein yang terlarut (terekstrak). Penambahan garam akan berpengaruh besar pada peningkatan kekuatan ionik (ion Cl berfungsi untuk meningkatkan gaya tolak menolak pada protein otot sehingga WHC meningkat dan susut masak rendah. Dalam hubungan ini Offer dan Trinick (1983) telah melaporkan bahwa pirofosfat banyak menurunkan konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk menghasilkan pembengkakan maksimum bila myofibril-miofibril diletakkan dalam larutan NaCl.
Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa
(16)
mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin. Schmidt, et al (1970) juga menjelaskan pengaruh garam dan phosfat didalam otot, disosiasi dari aktin dan myosin, dan kecenderungan melubangi filamen tebal sehingga terjadi dipolimerisasi. Faktor lain seperti konsentrasi ion (Mg2+, Ca2+, Cl-) dan phosfat, suhu dan pH dipercaya dapat mempengaruhi bagaimana phosfat berinteraksi dengan otot. Polifosfat memiliki potensial yang bagus sebagai buffer awal daging postmortem ketika pH akan turun karena memiliki kapasitas buffer yang sangat bagus (Ellinger, 1972). Sebagai tambahan berbagai bentuk polifosfat sering digunakan secara luas untuk industri daging, unggas dan perikanan karena polifosfat dapat meningkatkan karakteristik daging selama proses. Keuntungan ini menghasilkan empat fenomena yang berbeda: meningkatkan pH, meningkatkan kekuatan ion, menghilangkan alkali metal dan disosiasi komlpleks aktomiosin (Hamm, 1960). Kekuatan ionik berhubungan dengan jumlah ion dalam larutan phosfat yang dapat meningkatkan jumlah ion yang dapat berinteraksi dengan protein dan meningkatkan hidrasi. Interaksi phosfat-protein melibatkan beberapa hubungan antara protein dan alkali metal hancur dan memungkinkan air untuk migrasi. Kemampuan phosfat untuk meningkatkan pH tidak diragukan lagi karena phosfat telah terbukti memiliki kapastas buffer yang baik (Ellinger, 1972).
Phosfat tergolong senyawa yang tergolong GRAS (generally recognize as safe) dan harus digunakan sesuai dengan proses GMP (good manufacturing practices). Senyawa polifosfat diketahui tidak memiliki sifat beracun jika dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan peraturan international yang dikeluarkan oleh CODEX (Codex Alimentarius Commission 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P2O5. Peraturan ini juga diterapkan oleh Europian Union Council on Foods
penambahan maksimum phosfat pada produk makanan laut beku sebesar 5 g/kg. Di Indonesia peraturan penggunaan batas maksimum phosfat diatur didalam MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P2O5 tidak boleh lebih dari 0,5 %. Namun penggunaan fosfat
berlebihan (konsentrasi >0,5%) memberikan citarasa menyimpang (pahit) dan bisa memberikan sensasi terbakar karena fosfor bila terpapar udara akan teroksidasi secara spontan menjadi fosfor pentaoksida, yang akan mengalami hidrolisis di dalam air menjadi asam fosfat kausatik. Cedera panas langsung ditimbulkan oleh partikel-partikel fosfor yang membakar, dank arena sifat eksplosif dari pembakaran spontan, partikel fosfor sering tertanam dibawah kulit (Soeparno, 2005).
(17)
IV.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku yang digunakan adalah udang putih (Litopenaeus vannamei), polifosfat ((NaPO3)n) dan garam (NaCl). Udang putih yang digunakan memiliki ukuran
31-40, artinya dalam 1lbs (453,6 gr) terdapat 31 sampai 40 ekor udang. Sedangkan polifosfat dan garam yang digunakan berasal dari perusahaan. Bahan-bahan analisis yang digunakan adalah ammonium tetrahidrat, ammonium monovanadat, HClO4, kalium
dihidrogen phosfat (KH2PO4), larutan aquaregia (HCL dan HNO3) dan air destilata.
Alat – alat yang diperlukan adalah kertas Whatman No.41, dua buah plat kaca, pemberat, neraca analitik, tanur, labu takar 100 ml dan 500 ml, Pipet volumetrik 10 ml dan 20 ml, pipet Mohr 10 ml dan 25 ml, Botol semprot, Penghalus listrik (mixer/blender), Spektrofotometer UV-Vis 1650, Gelas piala 100 ml, 250 ml, dan 300 ml, dan penangas listrik (Hotplate).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : (1) optimasi polifosfat (2) pengukuran kadar phosfat (P2O5), (3) uji organoleptik dan (4) analiasis biaya produksi.
Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. 1. Optimasi Polifosfat
Udang yang telah ditimbang dibagi ke dalam empat wadah yang masing-masing memiliki berat 15 kg. Masing-masing-masing udang dilarutkan ke dalam empat larutan yang berbeda yaitu larutan A (4% garam), larutan B (4% garam dan 2% polifosfat), larutan C (4% garam dan 3% polifosfat) dan larutan D (4% garam dan 4% polifosfat). Penetapan konsentrasi garam 4% dikarenakan konsentrasi garam 4-5% memiliki kemampuan yang optimum dalam mempertahankan WHC (Hamm, 1978).
Pelarutan larutan polifosfat dan garam dilakukan melalui dua tahap. Pertama larutkan terlebih dahulu garam dengan menggunakan air dengan suhu normal (30-35oC). Kedua larutkan secara terpisah polifosfat dengan menggunakan air dengan suhu rendah (4-6oC). Setelah kedua larutan tersebut larut sempurna, campurkan kedua larutan tersebut ke dalam satu wadah. Perbandingan jumlah udang dan larutan adalah 1 : 2. Sehingga pada penelitian ini dibutuhkan 30 liter air untuk merendam 15 kg udang. Kemudian dilakukan pengadukan secara terus-menerus selama 3 jam. Setelah selesai perendaman, dilakukan perhitungan rendemen. Rendemen dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang setelah perendaman dengan bobot udang sebelum perendaman. Berikut adalah rumus perhitungan rendemen :
rendemen
Setelah proses perendaman kemudian dilakukan proses pemasakan menggunakan steamer dengan suhu 97-99OC selama 2 menit 15 detik. Udang
(18)
Pemasakan
Pendinginan
Perhitungan berat, susut masak dan rendemen total
Perendaman (perlakuan : A,B,C,D)
Selama 3 jam Perhitungan berat, phosfat, pH,
WHC dan rendemen
Udang Mentah
Perhitungan berat awal, phosfat, pH dan WHC
Pengukuran Phosfat
Uji Organoleptik
Analisis Biaya Produksi
yang telah melalui proses pemasakan direndam dengan air es selama 5 menit, kemudian ditiriskan selama 5 menit hingga suhu pusat udang mencapai 4-5oC. Setelah direndam hitung susut masak. Susut masak dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan. Susut masak menyebabkan ukuran dan berat akhir produk udang menjadi kecil dari ukuran dan berat produk awal. Berikut adalah rumus perhitungan susut masak :
=
Gambar 6. Diagram alir penelitian
Setelah dihitung susut masak, dapat dihitung pula nilai rendemen total. Rendemen total adalah berat udang setlah proses pemasakan dibandingkan dengan berat udang awal sebelum proses perendaman. Berikut adalah rumus perhitungan rendemen total :
Rendemen total = 87% x % rendemenx % susut masak
Ket : 87% : persentase berat udang setelah proses pengupasan kepala, kulit dan pengeluaran usus.
(19)
Setelah dilakukan perendaman dan pemasakan, maka dilakukan perhitungan nilai WHC (water holding capacity). Perhitungan WHC menggunakan metode Hamm (Swatland, 1984). Udang ditimbang ± 0,5 gr. Kemudian udang diletakkan pada kertas Whatman no.41. udang ditekan menggunakan beban 35 kg selama 5 menit. Cetakan yang terbentuk pada kertas Whatman dipindahkan ke dalam millimeter blok (Gambar 7). Kemudian dihitung luas area basah dan dinyatakan ke dalam satuan cm2. Daerah A
merupakan area sampel daging udang dan daerah B merupakan area basah. Mg H2O =
Ket :
0,0948 dan 8,0 adalah konstanta
Gambar 7. Cetakan daging udang pada kertas Whatman No. 41
Setelah didapatkan luas area basah, hitung kadar air bebas menggunakan rumus : Kadar air bebas =
Setelah didapatkan kadar air bebas, akan dihitung nilai kadar air daging udang. Perhitungan kadar air udang (Latimer, Horwitz 2007). Cawan dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 14 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Kadar Air (% bb) = Ket : bb = berat basah
Nilai WHC didapat dengan cara : WHC = Kadar Air Daging – Kadar Air Bebas Kemudian pada sampel udang dilakukan juga perhitungan pH (Faridah et al. 2009) dilakukan dengan mengkalibrasi pH- meter dengan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 10. Sebelumnya pH-meter dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 5gr sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml dan dilarutkan dengan 10 ml aquades. Elektroda pH-meter dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dicelupkan ke dalam sampel.
A
(20)
Nilai yang tertera pada layar menunjukkan pH sari tempe. Selanjutnya, elektroda kembali dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dapat digunakan kembali untuk pengukuran pH sampel.
2. Pengukuran Kadar Phosfat (AOAC, 1995) a. Persiapan Sampel
Sampel udang kemudian diabukan (Latimer, Horwitz 2007). Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Kadar Abu (% bb) =
selanjutnya diambil sebanyak 0,5 g untuk analisis kadar P2O5.
b. Pereaksi dan Larutan Baku
1) Larutan Ammonium Molibdovanadat
Larutan Ammonium Molibdovanadat dibuat dengan mencampurkan larutan Ammonium Molibdat 8% yang dibuat dengan melarutkan 80 g Ammonium Tetrahidrat dengan air destilata hingga 1000 mL, dan larutan Ammonium Monovanadat 0.4% yang dibuat dengan melarutkan 4 g Ammonium Monovanadat dengan 500 mL HClO4 p.a, kemudian diencerkan dengan air destilata hingga 1000 mL. Kedua larutan ini dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Pencampuran dilakukan pada saat akan digunakan.
2) Larutan baku P2O5 0,5 mg/mL
Larutan baku P2O5 dibuat dengan melarutkan kristal Kalium
Dihidrogen Posphate (KH2PO4) sebanyak 0.9587 g ke dalam labu takar 1000 mL menggunakan air destilata dengan terlebih dahulu dikeringkan selama dua jam pada suhu 105oC.
3) Prinsip Pengukuran Fosfat
Penentuan kandungan fosfat dalam bentuk P2O5 pada bahan
berdasarkan pembentukan kompleks warna kuning larutan hasil reaksi antara fosfat dengan pereaksi ammonium molibdovanadat menjadi senyawa kompleks olibdometavanadat phosphoriacid yang diukut dengan metode kolorimetri atau spektrofotometri pada intensitas panjang gelombang 420 nm atau 440 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Metode spektroskopi berdasarkan pengukuran warna yang merupakan kriteria penting di dalam pengukuran tersebut. Pada metode ini suatu sampel mengabsorpsi berkas sinar yang dipancarkan oleh suatu radiasi sehingga dapat dilewatkan. Semakin pekat warna suatu senyawa, maka semakin besar
(21)
nilai absorpsi senyawa tersebut. Untuk percobaan ini dilakukan pengujian pelarut yang dipergunakan dalam melarutkan fosfat yang terdapat dalam sample bahan dengan larutan aquaregia. Dalam hal ini dilakukan pengujian persentase kandungan P2O5 yang larut dalam air
berdasar bobot kering.
4) Penentuan Kadar Fosfat dengan Spektrofotometri
Penentuan fosfat kandungan P2O5 dalam udang beku
menggunakan larutan aquaregia dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi pembuatan kurva kalibrasi standar P2O5,
penyiapan dan pengukuran sampel. Pembuatan kurva kalibrasi standar P2O5 dilakukan dengan dipipet secara berseri larutan baku P2O5 0,5
mg/mL sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL (masing-masing mengandung 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mg P2O5), yang dimasukan kedalam labutakar 100 mL. Larutan diencerkan dengan air destilata 50 mL dan ditambahkan 20 mL larutan pereaksi Ammonium Molibdovanadat, kemudian diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis dan dilakukan pengocokan (lakukan pengerjaan larutan blako atau 0 mg P2O5). Larutan dibiarkan selama 10 menit untuk pengembangan warna
hingga didapatkan warna konstan. Larutan diukur intensitas warna dengan spektrofotometer pada kisaran gelombang 420-440 nm. Terhadap larutan blanko.
5) Pengukuran Kadar Fosfat Sampel
Persiapan dan pengukuran contoh dilakukan dengan 0,5 g contoh abu sampel ditimbang dan dimasukan kedalam gelas piala 100 mL, kemudian ditambahkan larutan aquaregia sebanyak 40 mL (HCl-HNO3 dengan perbandingan 3:1) dan campuran dipanaskan hingga didapat volume larutan 2-5 mL. setelah itu dibiarkan hingga dingin. Kemudian larutan diencerkan dengan air destilata dan dimasukan kedalam labu takar 500 mL dan diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis kemudian dilakukan pengocokan larutan. Diambil 1.0 mL larutan sampel yang dimasukan ke dalam labu takar 100 mL yang kemudian larutan diencerkan dengan air destilata 50 mL dan ditambahkan 20 mL larutan pereaksi Ammonium Molibdovanadat, kemudian diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis dan dilakukan pengocokan. Larutan dibiarkan selama 10 menit untuk pengembangan warna hingga didapatkan warna konstan.Larutan dilakukan pengukuran intensitas warna dengan spektrofotometer pada kisaran gelombang 420-440 nm terhadap blanko.
3. Uji Organoleptik (Lab PT. CPB, 2006)
Pada penelitian ini uji organoleptik menggunakan uji rating skala kategori. Uji rating ini meliputi rasa, tekstur dan kenampakan. Dalam uji ini, digunakan panelis terlatih sebanyak 8 orang. Skala yang digunakan sampai skala 5. Nilai yang paling tinggi adalah nilai yang mempunyai mutu terbaik. Sampel yang digunakan adalah sampel udang setelah pemasakan. Atribut uji dan system penilaiannya da[at dilihat pada Tabel 1.
(22)
Tabel 1. Atribut Uji Organoleptik
Skala Uji Rating
Rasa Tekstur Kenampakan
1 Pahit Membubur, sangat lunak Warna kulit pudar
2 Hambar Lunak Timbul bintik
putih
3 Dominan manis Elastis, agak berair Warna daging biru (mentah) 4 Dominan asin Elastis, kompak, kurang padat Warna kulit
sedikit pudar 5 Asin-manis Elastic, kompak, padat, kenyal Warna kulit
terang/cerah 4. Analisis Biaya Produksi (Department of A&I, 2011)
Analisa biaya produksi ini dilakukan untuk membandingkan biaya yang dibutuhkan dari keempat perlakuan (0%, 2%, 3% dan 4% polifosfat). Biaya produksi dihitung berdasarkan nilai rendemen total yang diperoleh. Dari hasil rendemen total akan dihitung kebutuhan bahan kimia dan udang mentah (RM). Analisis biaya produksi menggunakan asumsi, seperti : (1) dalam sehari menghasilkan produk jadi/Finish Good (FG) sebanyak 2000 kg/hari, (2) nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp 8.200,00, (3) harga pembelian RM Rp 34.000,00/kg, dan (4) harga jual produk jadi sebesar Rp 80.000,00/kg.
(23)
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Optimasi Polifosfat
1. Pengaruh Terhadap Rendemen
Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang dipengaruhi oleh masuknya zat (baik pelarut maupun zat terlarut) ke dalam sel udang . Proses keluar masuknya zat ke dalam sel udang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi zat terlarut yang pada penelitian ini adalah polifosfat dan garam. Unal et al. (2004) menjelaskan selama proses perendaman terjadi dua mekanisme difusi yang terjadi secara bersamaan : pada sampel daging secara alami mengandung jumlah orthophosfat yang sangat tinggi sehingga menyebabkan orthophosfat berdifusi ke dalam larutan polifosfat, sementara berlangsung juga difusi polifosfat ke dalam sampel daging. Sebagai tambahan, polifosfat berdifusi ke dalam sampel daging membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan difusi orthophosfat keluar dari sampel daging dampai pembentukan kompleks air-protein-polifosfat (Tenhet et al.
1981a,b) pada permukaan daging sempurna. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 3 kali pengulangan menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan konsentrasi polifosfat memberikan hasil rendemen yang berbeda pula. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 2a (ANOVA) dan 2b (Uji Lanjut Duncan). Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variance) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai rendemen yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Polifosfat Terhadap Rendemen.
Konsentrasi Polifosfat
Rendemen(%)
0% 106,58a
2% 114b
3% 114,52b
4% 115,89c
Pada perlakuan polifosfat 0% memberikan hasil rendemen terkecil (106,58%), dan perlakuan 4% memberikan hasil rendemen terbesar (115,89%). Perlakuan 2% dan 3% menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (114% dan 114,52%). Perlakuan 0% memberikan nilai rendemen yang paling rendah disebabkan karena perlakuan perendaman hanya menggunakan garam saja, sementara perlakuan 4% memberikan nilai rendemen yang paling besar karena perlakuan perendaman menggunakan campuran garam dan polifosfat yang tertinggi yaitu sebesar 4%. Menurut Jantranit dan Thipayarat (2009), perendaman udang putih (Panaeus vannamei) menggunakan 3% STPP dengan lama perendaman selama 60 menit memberikan nilai rendemen sebesar 107,33% sementara dengan 5% STPP dengan lama perendaman 60 menit juga memberikan nilai rendemen sebesar 108,08%. Hasil rendemen pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jantranit dan Thipayarat,
(24)
hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan lebih lama yaitu 3 jam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polifosfat semakin tinggi pula nilai rendemenyang diperoleh.
Phosfat akan memiliki sifat sinergis dengan garam dalam meningkatkan WHC. Garam dapat meningkatkan kekuatan ionik yang menyebabkan gaya tolak menolak pada protein otot yang kemudian akan memperbanyak masuknya larutan ke dalam daging sehingga WHC meningkat. Sementara phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman.
2.
Pengaruh Terhadap Kadar Phosfat Daging Udang Setelah PerendamanSelama proses perendaman terjadi mekanisme difusi yang menyebabkan masuknya larutan polifosfat kedalam daging udang. Pengukuran phosfat (P2O5)
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan triplo, masing-masing ulangan menggunakan kurva standar yang baru (Lampiran 14a, 14b, 14c). Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 3d dan 3e), menunjukkan kandungan phosfat dari ke-4 perlakuan berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Untuk hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat Udang Setelah Perendaman Konsentrasi Polifosfat Kadar Phosfat (%)
0% 0,18a
2% 0,29b
3% 0,33b
4% 0,49c
Pada Tabel 3 dapat dilihat perlakuan 0% memiliki kadar phosfat paling rendah (0,18%) sedangkan perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (0,29% dan 0,33%) dan perlakuan 4% memiliki kadar phosfat paling tinggi (0,49%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah terjadi peningkatan kadar phosfat dari udang raw material (0,25%) terhadap perlakuan 2%, 3% dan 4%. Pada perlakuan 0% terjadi penurunan kadar phosfat, hal ini disebabkan kandungan garam NaCl yang tinggi pada larutan perendaman udang tanpa adanya polifosfat yang memengaruhi proses difusi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Unal et al. (2004) secara alami terdapat orthophosfat di dalam daging yang berdifusi ke dalam larutan perendaman, sementara itu terjadi juga difusi larutan perendaman (dalam hal ini hanya NaCl saja) ke dalam sampel daging, sehingga konsentrasi phosfat pada sampel udang dengan perlakuan 0% polifosfat mengalami penurunan.
3.
Pengaruh Terhadap Nilai WHC/water holding capacitySeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan polifosfat pada industri udang memiliki tujuan untuk meningkatkan rendemen produk dengan cara meningkatkan nilai WHC pada udang. Mekanisme polifosfat dalam meningkatkan
(25)
WHC adalah dengan meningkatkan pH, sehingga akan meningkatkan muatan negatif yang akan menimbulkan gaya tolak menolak pada protein udang. Gaya tolak-menolak inilah yang menyebabkan air/larutan bisa masuk banyak kedalam protein daging sehingga meningkatkan WHC. Selain itu, mekanisme yang lainnya adalah dengan memecah kompleks aktomiosin, sehingga dapat memperlebar ruang antar filamen dan air/larutan dapat masuk kedalam daging udang. Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin.
Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 4b dan 4c), hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai WHC yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC
Perlakuan Nilai WHC (%)
0% 72,57a
2% 77,07b
3% 78,01bc
4% 78,75c
Pada Tabel 4 dapat dilihat perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (77,07% dan 78,01%), begitu pula dengan perlakuan 3% dan 4% (78,01% dan 78,75%). Namun jika dilihat secara nilai matematis, perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang digunakan maka semakin tinggi pula muatan negative yang menyebabkan semakin besar pula gaya tolak menolak pada protein otot udang sehingga nilai WHC yang diperoleh pun semakin tinggi. Berikut dapat dilihat pH daging udang setelah proses perendaman pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai pH pada setiap Perlakuan
Menurut Abduh (2001), udang windu (Paneus monodon) yang direndam menggunakan 4% sodium tripolifosfat selama 60 menit memiliki nilai WHC yang berbeda jika dibandingkan dengan perendaman udang tanpa sodium tripolifosfat.
(26)
Perendaman udang tanpa menggunakan sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 29,31 mg H2O, sementara perendaman udang menggunakan 4% sodium
tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 61,34 mg H2O. Hal ini membuktikan bahwa
polifosfat memiliki kemampuan dalam meningkatkan nilai WHC. Hasil WHC pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abduh, hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan pada penelitian lebih lama yaitu 3 jam. Peningkatan nilai WHC juga dimungkinkan dipengaruhi oleh pH. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa polifosfat memiliki nilai pH tinggi dan bersifat basa sehingga udang yang direndam menggunakan larutan polifosfat gugus karboksil asam aminonya akan terdisosiasi. Hal tersebut dapat meningkatkan muatan dan mengembangkan molekul protein yang disebabkan oleh melonggarnya jaringan protein sehingga terjadi peningkatan kapasitas menahan air karena terikatnya molekul H2O pada gugus karboksil dan amino bebas protein (Winarno, 1984).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme polifosfat dalam meningkatkan WHC adalah dengan meningkatkan pH. Pada perlakuan 4% dapat dilihat pada grafik tersebut memiliki nilai pH yang paling besar yaitu 7,45 (Lampiran 5). Hal ini juga yang memberikan alasan bahwa perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. WHC menurun sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,4 – 5,5. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Bouton et al., 1971). Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging , WHC meningkat. Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun sampai 5,4 – 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Oleh karena itu pH daging udang harus dipertahankan diatas pH isoelektrik protein daging untuk mempertahankan nilai WHC.
4. Korelasi Antara Kadar Phosfat dan pH Udang dengan Nilai WHC
Nilai WHC dipengaruhi oleh kadar phosfat yang ada pada daging udang. Hal ini karena pengaruh phosfat terhadap peningkatan pH dan peningkatan kekuatan ionik pada protein otot udang. Berdasarkan analisis statistic menggunakan
Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara WHC dengan kadar phosfat (Nilai Sig. < 0,05). Dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai positif sebesar 0,553 ( Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara WHC dan kadar phosfat berbanding lurus. Semakin tinggi phosfat maka semakin tinggi nilai WHC yang diperoleh. Phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga, myosin akan lebih mudah larut. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman (Stone, 1981). Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC dapat dilihat
(27)
pada Gambar9
.
Pada Gambar 9 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 18,79x + 70,54 dengan nilai R = 75,7% yang menandakan bahwa korelasi kadar phosfat dengan WHC tidak terlalu berbanding lurus.Gambar 9. Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC
Selain dipengaruhi oleh kadar phosfat, nilai WHC juga dipengaruhi oleh pH. Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan pH (Nilai Sig < 0,05). Nilai pearson correlation juga menunjukkan nilai positif sebesar 0,956 (Lampiran 7) yang berarti hubungan antara nilai WHC dengan pH berbanding lurus. Semakin tinggi pH daging udang maka semakin tinggi pula nilai WHC yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori menurut Bouton et al (1971), nilai pH diatas pH isoelektrik daging 5,4-5,5 dapat meningkatkan nilai WHC. Korelasi antara pH WHC dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 7,275x + 24,67 dengan nilai R = 99,7% yang menandakan korelasi antara pH udang dengan WHC berbanding lurus.
(28)
5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak
Proses pemasakan udang dilakukan pada suhu 97-99OC selama 2 menit 15 detik. Selama proses pemasakan, menurut Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada protein-protein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 – 53oC tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60oC; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 – 90oC semakin banyak pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan. Keempat fase inilah yang menyebabkan terjadinya susut masak pada produk udang.
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ( Lampiran 8a, 8b), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan denga nilai susut masak yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak
Perlakuan Nilai Susut Masak (%)
0% 15,94b
2% 13,54a
3% 11,92a
4% 12,51a
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3%, dan 4% tidak berbeda nyata, sementara perlakuan A memiliki nilai susut masak terbesar yaitu 15,94%. Semakin besar nilai susut masak, semakin tidak bagus untuk perusahaan, karena dapat menurunkan berat produk dari target yang ingin dicapai. Sementara jika dilihat secara matematis perlakuan 3% memiliki nilai susut masak terendah (11,92%) diikuti oleh perlakuan 4% dan 3% (12,51% dan 13,54%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. (2006) pengaruh penggunaan 3% SHMP (Sodium hexametaphosphate) pada udang putih (Penaeus vannamei) dengan garam NaCl 3% mampu menghasilkan nilai susut masak sebesar 10,77 ± 0,73 %. Susut masak pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. Hal ini disebabkan udang yang digunakan oleh Faithong hanya 1 kg untuk perendaman dengan larutan polifosfat sehingga lebih mudah untuk mengontrol hasil susut masak. Sedangkan menurut Erdogu (2007), pada daging merah yang dimasak tanpa perlakuan phosfat memiliki nilai susut masak sebesar 45,9%, tetapi ada penurunan 10% susut masak (35%) pada daging merah yang dimasak setelah dilakukan perendaman menggunakan 6% STP (Sodium trypolyphosphat). Jadi peningkatan konsentrasi polifosfat saat perendaman mempengaruhi nilai susut masak yang dihasilkan.
(29)
6. Korelasi Antara WHC dengan Susut Masak
Pengaruh nilai WHC terhadap nilai susut masak dapat dilihat berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan susut masak yang diperoleh (Nilai Sig. < 0,05). Jika dilihat dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai negative sebesar – 0,827 (Lampiran 9). Hal ini menandakan bahwa hubungan antara WHC dengan susut masak berbanding tebalik. Semakin besar nilai WHC maka semakin kecil nilai sust masak yang diperoleh. Semakin besar kemampuan protein otot pada daging udang dalam mengikat air maka semakin kecil kemungkinan air yang sudah terserap keluar pada saat proses pemasakan. Korelasi antara WHC dengan susut masak dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = -0,614x + 60,52 dengan nilai R = 92,3% yang menandakan hubungan antara nilai WHC dan susut masak berbanding lurus.
Gambar 11. Korelasi antara WHC dengan Susut Masak 7. Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen total
Rendemen total suatu produk merupakan indikasi pencapaian berat target perusahaan pada penjualan produk tertentu. Rendemen total merupakan perbandingan produk akhir yang dihasilkan terhadap bahan mentah (udang) yang digunakan. Sebagai produk akhir pada perlakuan ini yaitu produk masak dan udang mentah yang diambil yaitu dari bentuk Head Less (udang tanpa kepala) dengan mengasumsikan rendemen pada proses peeling untuk semua perlakuan sama. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 10a dan 10b), dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilihat dari rendemen total produk yang dihasilkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%) seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh Polphosfat Terhadap Rendemen total
Perlakuan Nilai Rendemen total (%)
0% 77,93a
2% 86,15b
3% 87,37b
(30)
Berdasarkan Tabel 6. Dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata. Sementara perlakuan 0% memiliki nilai rendemen total paling rendah sebesar 77,93%. Walaupun perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata, namun pada perusahaan perbedaan 1-2% memiliki perbedaan yang cukup besar. Oleh karena itu jika dilihat secara matematis perlakuan 4% memberikan nilai rendemen total yang paling besar yaitu 88,21%.
B. Konsentrasi Phosfat (P2O5) Pada Produk Akhir
Penggunaan polifosfat pada industri udang harus digunakan sesuai dengan peraturan yang ada, baik peraturan di negara yang akan dituju maupun peraturan di dalam negeri. Menurut peraturan pangan international CODEX (Codex Alimentarius Commission, 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P2O5. Hal ini juga diatur oleh pemerintah Indonesia yang diatur dalam
MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P2O5 tidak boleh lebih dari 0,5 %.
Pengukuran phosfat dilakukan triplo (Lampiran 11a, 11b, 11c). Berikut konsentrasi phosfat pada produk udang setelah dimasak dari ke-4 perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsentrasi Phosfat (P2O5) Pada Udang Masak
Perlakuan Rata-rata Konsentrasi Phosfat (%)
0% 0,17
2% 0,23
3% 0,27
4% 0,29
Jika dibandingkan dengan kandungan phosfat setelah perendaman pada Tabel 3 terjadi penurunan kadar phosfat. Hal ini disebabkan karena pengaruh proses pemasakan dan proses pendinginan. Berdasarkan analisis statistic (Lampiran 11d), dari ke-4 sampel perlakuan memiliki rata-rata konsentrasi P2O5 dibawah standar peraturan yang ada yaitu <
0,5%. Sehingga dapat dikatakan dari ke-4 perlakuan masih aman dan layak untuk dikonsumsi.
C. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji rating kategori yang meliputi uji rasa, tekstur dan kenampakan. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT. CPB adalah 5. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 12a. Uji organoleptik ini diikuti oleh 8 panelis terlatih. Secara rinci, hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Organoleptik
Perlakuan Nilai Rata-Rata
Uji Rasa Uji Tekstur Uji Kenampakan
0% 4,13 4,75 4,63
2% 4,25 4,50 4,75
3% 4,25 4,38 4,63
(31)
Dari tabel, dapat dilihat bahwa dari ke-4 perlakuan tidak berbeda nyata baik dari rasa, tekstur maupun kenampakan pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan berdasarkan uji statistic nilai F tabel > F hitung (Lampiran 4b, 4c, 4d). Dari ke-4 perlakuan berdasarkan Tabel 8. memiliki rasa asin, tekstur yang elastis, kompak, padat, kenyal dan memiliki kenampakan warna kulit terang.
D. Analisis Biaya Produksi
Biaya produksi dihitung berdasarkan nilai rendemen total yang diperoleh. Dari hasil rendemen total akan dihitung kebutuhan bahan kimia dan udang mentah (RM). Analisis biaya produksi menggunakan asumsi, seperti : (1) dalam satu hari menghasilkan produk jadi/Finish Good (FG) sebanyak 2000 kg, (2) nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp 8.200,00, (3) harga pembelian RM Rp 34.000,00/kg, dan (4) harga jual produk jadi sebesar Rp 80.000,00/kg. Berikut rincian biaya produksi dari perlakuan 0%, 2%, 3% dan 4% pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisi Biaya Produksi Kategori
Konsentrasi Polifosfat 0% Polifosfat
2% Polifosfat
(Perusahaan) 3% Polifosfat
4% Polifosfat Asumsi FG = 2.000 kg
/Hari 2000 2000 2000 2000
Yield (HL to FG) 0.7793 0.8615 0.8737 0.8821 Harga Bahan Kimia ($)/kg 1.85 1.85 1.85 1.85 Harga Bahan Kimia
(Rp)/kg 15,170.00 15,170.00 15,170.00 15,170.00 Kebutuhan RM HL (Kg) 2,566.41 2,321.53 2,289.12 2,267.32 Kebutuhan RM HO (Kg) 3,774.13 3,414.02 3,366.35 3,334.29 Kebutuhan Bahan Kimia/
2.000 kg FG (kg) 89.31 80.79 120.87 152.36 Biaya RM untuk 2.000 kg
FG (Rp) 128,320,287 116,076,611 114,455,763 113,365,832 Biaya Bahan Kimia/ 2.000
kg FG (Rp) 1,354,847 1,225,574 1,833,526 2,311,357 Biaya RM dan Bahan
Kimia/ 2000 kg FG 129,675,134 117,302,185 116,289,289 115,677,189 Biaya RM dan Bahan
Kimia/ kg FG 64,838 58,651 58,145 57,839
Selisih biaya udang/kg(Rp) -6,186 - 506 812 Selisih biaya
udang/2000kg(Rp) -12,372,950 - 1,012,895 1,624,996 Keuntungan udang/kg (Rp) 15,162 21,349 21,855 22,161 Keuntungan/2000kg(Rp) 30,324,866 42,697,815 43,710,711 44,322,811 Persentase kenaikan
keuntungan -28.98% - 2.37% 3.81%
Keterangan : HL : Head less
HO : Head on
(32)
Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan 4% membutuhkan biaya Rp 57.838,6/Kg produk akhir, perlakuan 2% membutuhkan biaya Rp 58.114,6/Kg produk akhir dan perlakuan 3% membutuhkan biaya Rp 58.651,1. Perlakuan 4% memerlukan jumlah biaya produksi yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Hal ini dikarenakan perlakuan 4% memiliki nilai rendemen total yang paling besar sehingga membutuhkan bahan udang mentah HO lebih sedikit dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Penggunaan 4% polifosfat dapat menghemat uang sebesar Rp 812.50/kg udang dan Rp 1,624,996.44/2000kg udang. Jika diasumsikan harga jual udang Rp 80,000/kg maka keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan 4% polifosfat akan mendapatkan keuntungan terbesar yaitu Rp 22,161.41/kg udang dan Rp 44,322,811.47/2000kg udang. Dengan demikian penggunaan 4% polifosfat akan menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 3,81%. Sementara perlakuan 0% sudah jelas membutuhkan biaya yang paling besar dan memberikan kerugian yang besar pula (-29%).
(1)
Lampiran 11b . Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan II Perlakuan Absorbansi (3 Ulangan) Gram Abu Kadar Abu (%) Persamaan Kurva
Standar P2O5 Daging (%)
0% Polifosfat
0.029 0.5017 2.23%
Y=25.74X
0.14
0.033 0.16
0.033 0.16
2% Polifosfat
0.035 0.5047 2.61% 0.17
0.036 0.18
0.036 0.18
3% Polifosfat
0.046 0.5024 2.52% 0.23
0.046 0.23
0.047 0.23
4% Polifosfat
0.048 0.5037 2.49% 0.24
0.048 0.24
0.049 0.24
Lampiran 11c. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan III
Perlakuan Absorbansi (3 Ulangan) Gram Abu Kadar Abu (%) Persamaan Kurva
Standar P2O5 Daging (%)
0% Polifosfat
0.041 0.5014 2.45%
y= 24.32x
0.16
0.043 0.17
0.042 0.17
2% Polifosfat
0.052 0.5011 2.88% 0.21
0.053 0.21
0.052 0.21
3% Polifosfat
0.064 0.5026 2.96% 0.25
0.063 0.25
0.061 0.24
4% Polifosfat
0.071 0.5029 3.33% 0.28
0.071 0.28
0.071 0.28
Lampiran 11d. Hasil Analisis Statistik Kadar Phosfat (P2O5) Pada Produk Akhir (Setelah Pemasakan)
N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Produk Akhir 0% 9 .17 .01 .00
Produk Akhir 2% 9 .23 .06 .02
Produk Akhir 3% 9 .27 .04 .01
(2)
48 Lampiran 12a. Hasil Analisis Uji Organoleptik
Perlakuan Rasa Tekstur Kenampakan
0% 4 5 5
0% 4 4 4
0% 4 5 5
0% 4 5 4
0% 4 5 5
0% 4 5 5
0% 4 4 4
0% 5 5 5
2% 4 5 5
2% 4 4 4
2% 4 4 5
2% 5 5 4
2% 4 4 5
2% 4 4 5
2% 5 5 5
2% 4 5 5
3% 4 4 5
3% 4 4 4
3% 4 5 5
3% 4 5 4
3% 4 4 4
3% 5 4 5
3% 4 4 5
3% 5 5 5
4% 4 5 5
4% 4 4 4
4% 4 5 5
4% 4 4 4
4% 4 5 4
4% 4 5 5
4% 5 5 5
(3)
Lampiran 12b. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Rasa
FK 561.125
Sumber Ragam Db JK KT Fhitung Ftabel
Sampel
(Perlakuan) 3 0.125 0.0416667 0.2592593 3.07
Panelis (Blok) 7 1.375 0.1964286 1.2222222
Galat (Error) 21 3.375 0.1607143
Total 31 4.875
Lampiran 12c. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Tekstur
FK 675.28125
Sumber Ragam Db JK KT Fhitung Ftabel
Sampel
(Perlakuan) 3 0.84375 0.28125 1.3404255 3.07
Panelis (Blok) 7 2.46875 0.3526786 1.6808511
Galat (Error) 21 4.40625 0.2098214
Total 31 7.71875
Lampiran 12d. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Kenampakan
FK 693.78125
Sumber Ragam Db JK KT Fhitung Ftabel
Sampel
(Perlakuan) 3 0.09375 0.03125 0.3962264 3.07
Panelis (Blok) 7 5.46875 0.78125 9.9056604
Galat (Error) 21 1.65625 0.078869
(4)
50 Lampiran 13. Form Penilaian Organoleptik
Uji Organoleptik Cook Product
Tanggal :
Nama :
Instruksi :
Di Hadapan Anda terdapat 4 sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia)
Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan
Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara berurutan dari kiri ke kanan dan
tidak boleh mengulang
Netralkan indera pencicip Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum
Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia.
Kriteria Penilaian Kode Sampel
Kenampakan Tekstur Rasa
Deskripsi Kriteria Penilaian Sampel
Kenampakan
5: Warna kulit terang/cerah 4: Warna kulit sedikit pudar
3: Warna daging masih ada warna biru (indikasi mentah) 2: warna kulit pudar, terjadi dehidrasi (spot putih) 1: warna kulit pudar
Tekstur
5: elastis, kompak, padat, kenyal 4: elastis, kompak, kurang padat 3: Elastis, agak berair
2: Lunak/lembek
1: Membubur, lembek sekali dan sangat lunak
Rasa
5: Asin-Manis 4: Dominan asin 3: Dominan manis 2: Hambar, sedikit asam 1: Pahit, sepat
(5)
Lampiran 14a. Kurva Standar P2O5 I
(6)
52 Lampiran 14c. Kurva Standar P2O5 III