22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Optimasi Polifosfat
1. Pengaruh Terhadap Rendemen
Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang dipengaruhi oleh
masuknya zat baik pelarut maupun zat terlarut ke dalam sel udang . Proses keluar masuknya zat ke dalam sel udang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi zat
terlarut yang pada penelitian ini adalah polifosfat dan garam. Unal et al. 2004 menjelaskan selama proses perendaman terjadi dua mekanisme difusi yang terjadi
secara bersamaan : pada sampel daging secara alami mengandung jumlah orthophosfat yang sangat tinggi sehingga menyebabkan orthophosfat berdifusi ke
dalam larutan polifosfat, sementara berlangsung juga difusi polifosfat ke dalam sampel daging. Sebagai tambahan, polifosfat berdifusi ke dalam sampel daging
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan difusi orthophosfat keluar dari sampel daging dampai pembentukan kompleks air-protein-polifosfat Tenhet et al.
1981a,b pada permukaan daging sempurna. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 3 kali pengulangan menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan konsentrasi polifosfat
memberikan hasil rendemen yang berbeda pula. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 2a ANOVA dan 2b Uji Lanjut Duncan. Berdasarkan hasil ANOVA Analysis of
Variance menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai
rendemen yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. significant level 0,05 nilai α pada selang kepercayaan 95.
Perbedan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Polifosfat Terhadap Rendemen. Konsentrasi
Polifosfat Rendemen
106,58
a
2 114
b
3 114,52
b
4 115,89
c
Pada perlakuan polifosfat 0 memberikan hasil rendemen terkecil 106,58, dan perlakuan 4 memberikan hasil rendemen terbesar 115,89. Perlakuan 2
dan 3 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata 114 dan 114,52. Perlakuan 0 memberikan nilai rendemen yang paling rendah disebabkan karena perlakuan
perendaman hanya menggunakan garam saja, sementara perlakuan 4 memberikan nilai rendemen yang paling besar karena perlakuan perendaman menggunakan
campuran garam dan polifosfat yang tertinggi yaitu sebesar 4. Menurut Jantranit dan Thipayarat 2009, perendaman udang putih Panaeus vannamei menggunakan
3 STPP dengan lama perendaman selama 60 menit memberikan nilai rendemen sebesar 107,33 sementara dengan 5 STPP dengan lama perendaman 60 menit
juga memberikan nilai rendemen sebesar 108,08. Hasil rendemen pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jantranit dan Thipayarat,
23
hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan lebih lama yaitu 3 jam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polifosfat semakin tinggi pula
nilai rendemen yang diperoleh. Phosfat akan memiliki sifat sinergis dengan garam dalam meningkatkan
WHC. Garam dapat meningkatkan kekuatan ionik yang menyebabkan gaya tolak menolak pada protein otot yang kemudian akan memperbanyak masuknya larutan ke
dalam daging sehingga WHC meningkat. Sementara phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin
dan myosin sehingga myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air
WHC sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman.
2.
Pengaruh Terhadap Kadar Phosfat Daging Udang Setelah Perendaman
Selama proses perendaman terjadi mekanisme difusi yang menyebabkan masuknya larutan polifosfat kedalam daging udang. Pengukuran phosfat P
2
O
5
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan triplo, masing-masing ulangan menggunakan kurva standar yang baru Lampiran 14a, 14b, 14c. Berdasarkan hasil analisis
ANOVA dan Uji Lanjut Duncan Lampiran 3d dan 3e, menunjukkan kandungan phosfat dari ke-4 perlakuan berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. 0,05
nilai α pada selang kepercayaan 95. Untuk hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat Udang Setelah Perendaman Konsentrasi Polifosfat
Kadar Phosfat 0,18
a
2 0,29
b
3 0,33
b
4 0,49
c
Pada Tabel 3 dapat dilihat perlakuan 0 memiliki kadar phosfat paling rendah 0,18 sedangkan perlakuan 2 dan 3 tidak berbeda nyata 0,29 dan 0,33
dan perlakuan 4 memiliki kadar phosfat paling tinggi 0,49. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah terjadi peningkatan kadar phosfat dari udang raw
material 0,25 terhadap perlakuan 2, 3 dan 4. Pada perlakuan 0 terjadi
penurunan kadar phosfat, hal ini disebabkan kandungan garam NaCl yang tinggi pada larutan perendaman udang tanpa adanya polifosfat yang memengaruhi proses
difusi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Unal et al. 2004 secara alami terdapat orthophosfat di dalam daging yang berdifusi ke dalam larutan perendaman,
sementara itu terjadi juga difusi larutan perendaman dalam hal ini hanya NaCl saja ke dalam sampel daging, sehingga konsentrasi phosfat pada sampel udang dengan
perlakuan 0 polifosfat mengalami penurunan.
3.
Pengaruh Terhadap Nilai WHC water holding capacity
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan polifosfat pada industri udang memiliki tujuan untuk meningkatkan rendemen produk dengan cara
meningkatkan nilai WHC pada udang. Mekanisme polifosfat dalam meningkatkan
24
WHC adalah dengan meningkatkan pH, sehingga akan meningkatkan muatan negatif yang akan menimbulkan gaya tolak menolak pada protein udang. Gaya tolak-
menolak inilah yang menyebabkan airlarutan bisa masuk banyak kedalam protein daging sehingga meningkatkan WHC. Selain itu, mekanisme yang lainnya adalah
dengan memecah kompleks aktomiosin, sehingga dapat memperlebar ruang antar filamen dan airlarutan dapat masuk kedalam daging udang. Offer dan Knight 1988
mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama,
phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg
2+
, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai
analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong
disosiasi dari filamen myosin. Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan Lampiran 4b dan
4c, hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai WHC yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. significant
level 0,05 nilai α pada selang kepercayaan 95. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC Perlakuan
Nilai WHC 72,57
a
2 77,07
b
3 78,01
bc
4 78,75
c
Pada Tabel 4 dapat dilihat perlakuan 2 dan 3 tidak berbeda nyata 77,07 dan 78,01, begitu pula dengan perlakuan 3 dan 4 78,01 dan 78,75. Namun
jika dilihat secara nilai matematis, perlakuan 4 memiliki nilai WHC yang paling tinggi. Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang digunakan maka semakin tinggi
pula muatan negative yang menyebabkan semakin besar pula gaya tolak menolak pada protein otot udang sehingga nilai WHC yang diperoleh pun semakin tinggi.
Berikut dapat dilihat pH daging udang setelah proses perendaman pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai pH pada setiap Perlakuan Menurut Abduh 2001, udang windu Paneus monodon yang direndam
menggunakan 4 sodium tripolifosfat selama 60 menit memiliki nilai WHC yang berbeda jika dibandingkan dengan perendaman udang tanpa sodium tripolifosfat.
25
Perendaman udang tanpa menggunakan sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 29,31 mg H
2
O, sementara perendaman udang menggunakan 4 sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 61,34 mg H
2
O. Hal ini membuktikan bahwa polifosfat memiliki kemampuan dalam meningkatkan nilai WHC. Hasil WHC pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abduh, hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan pada penelitian lebih lama yaitu 3
jam. Peningkatan nilai WHC juga dimungkinkan dipengaruhi oleh pH. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa polifosfat memiliki nilai pH tinggi dan bersifat basa sehingga
udang yang direndam menggunakan larutan polifosfat gugus karboksil asam aminonya akan terdisosiasi. Hal tersebut dapat meningkatkan muatan dan
mengembangkan molekul protein yang disebabkan oleh melonggarnya jaringan protein sehingga terjadi peningkatan kapasitas menahan air karena terikatnya
molekul H
2
O pada gugus karboksil dan amino bebas protein Winarno, 1984. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme polifosfat dalam
meningkatkan WHC adalah dengan meningkatkan pH. Pada perlakuan 4 dapat dilihat pada grafik tersebut memiliki nilai pH yang paling besar yaitu 7,45 Lampiran
5. Hal ini juga yang memberikan alasan bahwa perlakuan 4 memiliki nilai WHC yang paling tinggi. WHC menurun sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein
daging antara 5,4 – 5,5. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan
jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah
muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air.
Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan
member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air Bouton et al., 1971. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging ,
WHC meningkat. Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun
sampai 5,4 – 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Oleh karena itu pH daging
udang harus dipertahankan diatas pH isoelektrik protein daging untuk mempertahankan nilai WHC.
4. Korelasi Antara Kadar Phosfat dan pH Udang dengan Nilai WHC