Keberagamaan Masyarakat Surakarta KRISTENISASI DI SURAKARTA
45
Islam, agama Islam menjadi agama resmi yang berlaku di Kasunanan Surakarta. Meskipun agama Islam sudah menjadi agama resmi kerajaan, tetapi
tradisi nenek moyang masih dijalankan dan dipertahankan. Antara tradisi leluhur dengan ajaran Islam berjalan beriringan inilah yang disebut dengan
“Islam-Kejawen”. Perpaduan ini muncul karena biasanya rakyat hanya mengikuti sang Raja yang beragama Islam, karena raja mereka beragama
Islam maka merekapun mengikuti agama yang dipeluk oleh sang raja, akan tetapi belum sadar untuk menjalankan
syari’at-syari’at Islam. Terjadi proses akulturasi kebudayaan istana yang bercorak Hindu-Jawa
dengan kebudayaan pesantren yang bercorak Islam-Jawa. Unsur-unsur Islam pesantren ditransfer dan diadopsi untuk memperkaya warisan budaya leluhur
yang selama ini dianut. Oleh karena itu, di Jawa pada umumnya dan di Surakarta khusunya, muncul dua varian dikalangan umat Islam, yaitu kaum
santri dan kaum Abangan. Kaum santri adalah mereka yang melaksankan rukun-rukun Islam, sedangkan kaum abangan adalah mereka yang belum
menjalankan syariat Islam meski telah memeluk Islam. Dengan demikian membuat dinamika dan kekuasaan keagamaan di Kasunanan Surakarta
menekankan pada dua aspek, yaitu budaya dan syariat.
8
Agama yang dianut oleh sebagian besar anggota komunitas keraton adalah agama Islam yang besifat sinkretik yang disebut dengan istilah Agami
Jawi atau Kejawen. Agama Islam sinkretik ini merupakan agama Islam yang bercampur dengan keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cendrung
8
http:www.kerajaannusantara.comidsurakarta-hadiningratsosial-budaya-agama ,
diakses: rabu, 23 September 2015 jam 15.00
46
kearah mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari zaman pra-Hindu. Dalam agama Islam santri atau kaum santri, dianut oleh sebagian penduduk di pantai
utara Pulau Jawa. Walupun mereka ini adalah penganut agama Islam puritan yang taat menjalankan syariat Islam, tetapi tidak sepenuhnya mereka bebas
dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha.
9
Agama Islam yang bersifat sinkretik yang berada di Kasunanan Surakarta telah mewarnai simbol-simbol budaya di keraton, begitupun pada
masyarakatnya yang menampakkan sifat Islam sinkretik. Berbagai kepercayaan sebelum Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang,
kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara-upacara pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan
masyarakat keraton. Akhirnya, semua itu menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian disebut dengan istilah Agami Jawi.
10
Sifat sinkretisme agama yang dianut oleh masyarkat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri.
Sebab agama Islam yang masuk ke pedalaman masyarakat Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih kearah
sufisme atau mistik Islam.
11
Di Kasunanan sendiri sejak awal pemerintahan sudah bercorak Islam. Hal tersebut dilihat karena adanya jabatan Penghulu
dan Abdi Dalem Ulama dalam birokrasi di Kasunanan. Berlakunya peradilan Islam dengan hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar Sayyidin
9
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989, hal 462
10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal: 310
11
H.J de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafitipers, 1985, hal: 256
– 275.
47
Panatagama yang dipakai Sunan, dan berdirinya Masjid Agung dilingkungan Kasunanan. Keberadaan Islam yang berada didalam keraton Kasunanan selalu
dikaitkan dengan tradisi dan budaya Jawa. Dan upacara-upacara yang diselengarakan oleh keraton juga bersifat Islami.
Dalam kehidupan keagamaan didalam keraton Kasunanan, Ulama Abdi Dalem atau Penghulu Keraton tidak hanya bertugas sebagai pemangku urusan
Agama tapi juga sebagai penasehat Agama. Perannya adalah memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan, dimana ia berperan memberikan
masukan tentang keagamaan. Berkembangnya agama Islam ini justru berawal dari dalam keraton sendiri, karena rakyat percaya dan yakin dengan agama
yang dianut, jika raja juga menganut keyakinan yang sama.
12
Masa Paku Buwono X upacara-upacara keagamaan yang bersifat mistik masih terus berlangsung, seperti upacara Mahesalawung, dalam upacara
tersebut mereka memberikan suatu sesaji yang berupa daging dari segala macam binatang, seperti ikan, buaya, monyet, lutung, harimau, dan
sebagainya. Sesaji itu dipersembahkan untuk bangsa lelembut. Dan masih banyak upacara-upacara yang berbau mistik lainnya dengan berbagai aturan
pada setiap ritualnya yang rutin dilakukan pada masa itu.
13
Paku Buwono X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi Islam tetap di pelihara. Seperti tradisi Islam yang dilakukan setiap bulan Maulud,
Sunan akan memberikan hadiah kepada orang Arab, Benggal, dan para haji yang berdzikir di masjid yang datang dari berbagai daerah, Dari setiap
12
Subhan S.D, Ulama-ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, t.th, hal 7
13
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004, hal 36
48
orangnya mendapatkan dua gulden. Pada hari itu juga orang-orang miskin di berikan beras. Pada bulan Maulud juga dilaksanakannya perayaan Sekaten.
Karena PB X adalah simbol tradisi Islam Dan Jawa, jadi tidak hanya tradisi Islam yang menjadi perhatian Sunan, tradisi Jawa-pun di hidupkan olehnya.
14
Jadi jika disimpulkan tentang keberagamaan di keraton yaitu meskipun mereka mengakui dasar agama mereka adalah Islam akan tetapi masih percaya
terhadap hal-hal ghaib dan hal-hal yang berbau mistik lainnya. Di samping mereka shalat, puasa dan menjalankan syariat Islam, tetapi masih suka
menyimpan berbagai benda-benda pusaka, seperti keris dan lain sebagainya. Mereka percaya benda-benda pusaka tersebut didalamnya menyimpan
kekuatan.