PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Skripsi
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO X 4406008
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
(2)
commit to user
ii
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO X 4406008
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
(3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, 30 Juli 2010
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hermanu. J, M.Pd Drs. Djono, M.Pd NIP. 195603031986031001 NIP. 196307021990031005
(4)
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari : Jumat Tanggal : 30 Juli 2010
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ………
Sekretaris : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ... Anggota I : Dr. Hermanu. J, M.Pd ………
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ………....
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
(5)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v ABSTRAK
Indri Retno Sutopo. PERAN PAKU BUWONO X DALAN PERGERAKAN NASIONAL. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta; (2) Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-1939; (3) Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). yaitu prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah. Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan cara: (1) menyediakan sumber sejarah yang mendukung penelitian proses perbandingan sumber; (2) mengklasifikasikan data yang sudah terkumpul dengan pendekatan kerangka berpikir atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep atau teori politik, ekonomi dan sosial sehingga didapatkan suatu fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya; (3) mempertinggi kredibilitas penulis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Usahanya membangun landasan politik di Surakarta dilakukan Sunan dengan cara mendirikan madrasah Mamba’ul Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah
Kasatrian, Sekolah Pamardi Siwi, Pamardi Putri, sekolah pertanian dan
perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan incognito yang dinamakan dengan politik Ngideri Buwono.; (2) Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Sunan Paku Buwono X. Paku Buwono X merangkul kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam; (3) Reaksi Pemerintah Belanda terhadap peran Paku Buwono X yaitu membatasi gerakan politik Paku Buwono X dengan tidak leluasa berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah Belanda. RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Paku Buwono X yang duduk dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran Hangabehi, salah seorang putra Paku
(6)
commit to user
vi
Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri
Buwono yang dilakukan oleh Paku Buwono X. Belanda memikirkan masalah
(7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii ABSTRACT
Indri Retno Sutopo. THE ROLE OF PAKU BUWONO X IN THE NATIONALISM MOVEMENT. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, July 2010.
The objective of research is to find out: (1) the attempts the Paku Buwono X had taken to build the political life in Surakarta; (2) the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta in 1909-1939; (3) the Dutch‟s reaction to the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta.
This study employed a historical method, that is, the one deriving from the
historian‟s procedure of work to produce the past story based on the traces
abandoned by the past. The procedures of historical method include heuristic, criticsm, interpretation, and historiography. Technique of collecting data employed was library study. The data source used was the written one. In line with the type of research, the technique of analyzing data used was historical analysis technique. It is the one emphasizing on the incisiveness of history interpretation. The procedure of analysis was done by: (1) providing the data source supporting the research of source comparison process; (2) classifying the data collected using framework and reference-frame approach involving various concepts or political, economical and social theories so that a reliable fact of
history is obtained; (3) enhancing the writer‟s credibility.
Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the political condition built by Paku Buwono X Surakarta is affected by the political condition before twentieth century in relation to Dutch Colonial government. The attempt of bulking political foundation in Surakarta taken by Paku Buwono X
included by establishing Mamba‟ul Ulum madrasah in 1905 and the school for
people and for the sentana: Kasatrian, Pamardi Siwi, Pamardi Putri schools, farming and planting schools, as well as by conducting incognito journey named politically Ngideri Buwono: (2) the local political dynamics emerging in Surakarta is inseparable from the role of Paku Buwono X. Paku Buwono embraces the
nationalist in its movement to resist the Dutch‟s power, doing through the
nationalism movement, as done by Boedy Oetomo or through the economic and social improvement movement as done by Sarekat Islam; (3) the Dutch
Government‟s reaction to Paku Buwono‟s role was to limit the political
movement of Paku Buwono X in establishing the relation to other country or nation except to Dutch Government. RM. Woerjaningrat is the nephew and even son-in-law of Paku Buwono sitting in the Sarekat Islam leadership and Hangebehi prince, the son of Paku Buwono X who protects the Sarekat Islam was asked to resign. Many criticism proposed by the Dutch officials about Ngideri Buwono
conducted by Paku Buwono X. Dutch government thought of the money expended and the political effect of this invasion.
(8)
commit to user
viii MOTTO
”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa pahlawannya”.
(Ir. Soekarno)
”Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan melawan kebodohan dan ketidaktahuan”.
(9)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini kupersembahkan kepada:
Ibu, ayah dan adik Indra tercinta yang senantiasa memberi doa dan kasih sayang. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’06.
(10)
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan lancar guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu disampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Hermanu. J, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu, ayah,adik Indra, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.
7. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ‟06 terima kasih atas segala doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.
8. Doni Setyawan terimakasih buat semangat dan dukungannya.
9. Sahabat Bandenx-Ku tercinta: Citra, Ste, Irma, Riana kebersamaan kita akan selalu aku rindukan.
(11)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
11.Buat sahabat-sahabatku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih untuk semuanya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, 30 Juli 2010
(12)
commit to user
xii DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK .... ….. ... v
HALAMAN MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 10
1. Nasionalisme ... 10
2. Pergerakan Nasional ... 14
3. Agen dalam Pergerakan Nasional ... 18
B. Kerangka Berfikir ... 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 23
B. Metode Penelitian ... 24
C. Sumber Data ... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ... 27
(13)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
F. Prosedur Penelitian ... 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Usaha-usaha Paku Buwono X Membangun Kehidupan Politik 1. Keadaan Geografis Surakarta……….. 33
2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke-20………. 36
3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X……..……….. 43
a. Latar Belakang Keluarga……….…..…. 43
b. Kepribadian…………....……… 45
4. Membangun Landasan Kehidupan Politik…..………….. 50
a. Pendirian Madrasah dan Sekolah……….……… 50
b. Usaha-usaha dalam Bidang Politik……….……….. 56
c. Politik Ngideri Buwono……..………. 57
B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan 1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono X…...……….. 59
2. Peran Paku Buwono X dalam Organisasi Sosial dan Politik……… 61
a. Sarekat Islam 1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam……. 61
2) Faktor Ekonomi………. 66
3) Faktor Agama……… 68
4) Pasang Surut Sarekat Islam……… 69
5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam……… 71
b. Boedi Oetomo 1) Latar Belakang Terbentuknya Boedi Oetomo …… 73
2) Pasang Surut Boedi Oetomo…………...………... 76
3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo………. .. 81
C. Reaksi Belanda Terhadap Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta……… 83
(14)
commit to user
xiv BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 89
B. Implikasi………... 92
C. Saran……… 93
DAFTAR PUSTAKA……….. 94
(15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ... 99
Lampiran 2 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ... 100
Lampiran 3 : Paku Buwono X ... 101
Lampiran 4 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ... 102
Lampiran 5 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ... 103
(16)
commit to user
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749) pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta (Ari Dwipayana, 2004: 26). Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram (1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-1788).
Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian
Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram
dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari (pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi, Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu, terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang dipinjamkan
(17)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman, 2000: 27-29).
Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama, sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa Jawa dalam protokol.
Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph. van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka. Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang-orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan
(18)
commit to user
orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002: 18-20).
Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).
Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan oleh pihak Belanda.
Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991: 178-181).
(19)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan
cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan
semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam ekspresi-ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.
Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX (1861-1893). Paku Buwana IX (1861-1893), memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara (1866-1887), memangku jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya (1867) di Kasunanan terjadi sembilan kali perampokan dan sekali di daerah Mangkunegaran. Pada periode
(20)
commit to user
pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872, tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas, maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua pihak (Darsiti Soeratman, 2000: 45-46).
Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura. Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent J.H. Houben, 2002: 440-444).
Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.
(21)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus, walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan
swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X. Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat.
Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk (2009:
1-2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X
pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di
muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan
keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.
Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan, kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan, ia selalu mau
(22)
commit to user
membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani, salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi. Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda (George D. Larson, 1990: 44).
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School
(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda). Selain mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama
“Mamba‟ul Ulum”. (R.M Karno, 1990: 45-46).
Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional. Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern. Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara terbuka terjadi pada kongres Syarikat Islam tahun 1913 yang diselenggarakan di
(23)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo (Purwadi, dkk , 2009: 20).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL’’.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta?
2. Bagaimana peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-1939 ?
3. Bagaimana reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :
1. Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta.
2. Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-1939.
3. Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta.
(24)
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu penelitian. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ni diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya
tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.
b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan sumber data dalam bidang sejarah.
Manfaat Praktis
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Menambah khazanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
b. Dapat memberikan informasi tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.
(25)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10 BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Pustaka 1. Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).
Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga, teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama (Suhartono, 2001: 7).
Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam
Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang
mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas. Nasionalisme menjadi pusat kesetiaan tertinggi bagi mayoritas orang pada satu
(26)
commit to user
kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan. Di sisi lain, Lynan Tower Sargent (1978: 19) mengemukakan :
Nasionalisme merupakan salah satu cara dimana individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok dimana ia berada, baik karena kelahiran maupun karena lama tinggal di suatu tempat tertentu. Nasionalisme meliputi pola permintaan akan tindakan untuk memperkuat negeri dan permintaan akan patriotik.
Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik.
Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31) bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77) bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat. Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia. Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2) perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari kekuasaan-kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan bangsa dan negara. (3) perjuangan mewujudkan kemandirian, pembedaan,
(27)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi, sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2) Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses), pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara bangsa-bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa. Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1) Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa, ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap satu sama lain.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat. Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John Locke menyeberang ke Perancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit
(28)
commit to user
abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad ke-18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain. Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di negara-negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995: 17-18).
Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi, 1998: 21-162).
Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa. Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.
Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T Kansil & Julianto, 1984: 16).
(29)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu. Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin Abdul Rashid, 1980: 49-51).
Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapakan tiap-tiap bentuk kekuaaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional.
2. Pergerakan Nasional a. Pengertian
Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang
dilakukan dengan organisasi modern kearah kemerdekaan. Sedangkan menurut A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi secara modern kea rah perbaikan hidup suatu bangsa. Sedikit berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 32-33) menyatakan bahwa “ pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua pengertian. Pengertian pertama yakni pergerakan merupakan suatu proses yang dinamis menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian lainnya yaitu mengacu pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”.
Kata nasional berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan. Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai asal-usul yang sama atau sekelompok manusia dari keturunan atau ras yang sama.
(30)
commit to user
dimaksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 33-34).
Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa yang dijajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara merdeka. Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yamg dijajah yang bersifat obyektif maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari tanah airnya dan kemauan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri dari penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dalam negerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu bangsa itu sendiri (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85).
b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional
Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh dua faktor. Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (eksternal). Tetapi faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor luar negeri hanya bersifat mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul, hanya waktunya agak terlambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain (Sudiyo, 1997: 14).
Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) (G Moejanto, 1988: 26) ialah:
1. Penderitaan akibat penjajahan, bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap penjajah.
2. Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah kesatuan bangsa.
(31)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
4. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda dikalangan pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh.
5. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.
6. Pergerakan kebangsaan Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan (semangat kemerdekaan membuat kita terpecah bekah dan lemah).
7. Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan nasional itu (Sudiyo, 1997: 15), adalah sebagai berikut:
1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights, akibat perang Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789).
2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksanaan Politik Etis (1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.
3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa penjajah (bangsa kulit putih).
4. Gerakan Turki muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kebangsaan yang bulat dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki.
5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin al-Afgani bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk membentuk persatuan semua umat islam dibawah satu pemerintah Islam pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-imperialisme.
6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan Philipina
Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya pergerakan nasional, maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan corak dan organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme.
(32)
commit to user
Dalam dua abad terakhir sebelum mencapai kemerdekaannya, sejarah bangsa Indonesia diwarnai oleh rangkaian usaha yang terus menerus baik secara fisik maupun nonfisik, baik secara moril maupun materiil, dari masyarakat terjajah untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajah yang sangat menyengsarakan. Dalam kurun waktu yang lama itu, segala upaya yang dilakukan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah seolah-olah menghadapi batu karang yang demikian keras tak tergoyahkan. Perlawanan-perlawanan fisik yang muncul di berbagai daerah segera diredam oleh pemerintah kolonial Belanda. Keadaan seperti itu terus berlangsung sampai munculnya suatu gagasan baru, suatu gerakan baru untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Gagasan, cara dan gerakan baru tersebut adalah perjuangan dengan menggunakan organiasai modern. Tanda-tanda perubahan itu muncul di awal abad ke-20 yang diTanda-tandai dengan lahirnya sebuah organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama pada tanggal 20 Mei 1908 yang bernama Boedi Oetomo (Cahyo Budi Utomo, 1995: 37).
Perjuangan bangsa Indonesia yang disebut sebagai Pergerakan Kebangsaan pada permulaan abad ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi perjalanan pergerakan kebangsaan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut, salah satu faktor yang mempunyai peranan penting adalah diterapkannya Politik Etis di Indonesia yang secara perlahan mengubah pemikiran tradisional rakyat pribumi melalui pendidikan barat yang diterapkan Belanda.
Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke negeri Belanda. Walaupun tujuan utama politik Etis sangat mulia, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Tetapi dengan segala kelemahan tersebut, politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal itu disebabkan banyak penduduk bumi putera yang kemudian mengenyam pendidikan barat, sebagai suatu cara untuk mengubah
(33)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit Baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995: 40-43).
Embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia menyebar keseluruh wilayah Indonesia, tidak ketinggalan dengan Surakarta yang merupakan salah titik penting sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat perhatian penting dar Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai raja di keraton Kasunanan Surakarta.
3. Agen dalam Pergerakan Nasional
Timbulnya peristiwa akibat dari tindakan manusia yang terjalin melalui aktivitas antar mereka yaitu aktivitas budaya, ekonomi, politik, dan sosial. Berpijak dari pengertian ini, Anthony Gidden dalam George Ritzer berpendapat bahwa manusia adalah aktor dari seluruh peristiwa sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik (George Ritzer, 2004: 507-508).
Manusia tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri, dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi olehnya (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).
(34)
commit to user
Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, garis kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, aturan membatasi tindakan.
Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka, menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).
Tindakan aktor adalah akibat dari kesadaran diskursif dan kesadaran praktis (George Ritzer, 2004: 509). Kesadaran Diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata, sedangkan kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.
Aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak dapat diprediksi, tetapi diterapkan secara tiba-tiba oleh aktor berpengetahuan. Maka hasil dari tindakan ini juga tidak sepenuhnya dapat diprediksi.
Konsep agen (agency) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau makro manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas (makro) yang bertindak. Agen manusia dapat meliputi individu maupun kelompok terorganisir, organisasi, dan bangsa. Agen (aktor) dalam tindakannya dipengaruhi oleh kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis
(35)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan (George Ritzer, 2004: 506-508).
Dalam hubungan dengan pergerakan nasional, pada awal abad ke-20, muncul kaum intelektual yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran praktis tentang bangsanya sendiri. Kesadaran kaum intelektual timbul karena: (1) penindasan ekonomi, politik dan sosial akibat kolonialsme bangsa barat, (2) diskriminasi dalam pendidikan untuk penduduk pribumi.
Salah satu tokoh yang memiliki kesadaran diskursif dan kesadaran praktis adalah Paku Buwono X. Berbagai tindakan dilakukan Sunan dalam upayanya untuk memberdayakan masyarakat Surakarta di bidang ekonomi maupun pendidikan yang ditandai dengan munculnya elit intelektual yang nantinya merupakan pendukung utama yang sangat aktif dalam pergerakan kebangsaan.
(36)
commit to user
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda di Indonesia telah membawa dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup rakyat Indonesia, demikian juga terhadap kehidupan Keraton Surakarta yang merupakan salah satu kerajaan yang mempunyai peranan penting di tanah Jawa. Segala upaya dilakukan untuk mengusir penjajah dari Indonesia, baik perlawanan yang dilakukan secara
Penjajahan Belanda di Indonesia
Paku Buwono X Interaksi Kaum
Intelektual dan Pengusaha Batik
Lawean Keraton Kasunanan
Surakarta
Nasionalisme Pembangunan
Bidang Pendidikan
Pembangunan Bidang Ekonomi
SI (Sarekat Islam) 1912
Boedi Oetomo (BO) 1914 Kesadaran
Diskursif
Kesadaran Praktis
Pergerakan Nasional
(37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tradisional/ fisik dari berbagai daerah. Perlawanan yang dilakukan secara terus menerus dalam upayanya mengusir penjajah dari Indonesia semakin lama semakin mengalami perubahan dari yang bersifat tradisional manjadi terorganisir.
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X. Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sunan yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran praktis yang tinggi dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Berbagai upaya dilakukan Sunan untuk tujuannya tersebut yaitu dengan cara perubahan dan pembangunan ekonomi Surakarta agar dapat mendorong kemajuan masyarakat Surakarta. Selain pembangunan ekonomi, bidang lain yang sangat diperhatikan oleh Sunan adalah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda, memberikan kesempatan besar bagi Sunan untuk memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rakyat, maupun sekolah-sekolah berbasis agama Islam. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk kaum elite intelektual Indonesia yang mampu mengusir kekeuasaan Barat di Indonesia. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia di Surakarta yang bekerjasama dengan pengusaha batik Lawean berinteraksi dengan Keraton Surakarta yang nantinya mendorong berdirinya organisasi politik di Surakarta yaitu Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 dan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1914.
(38)
commit to user
23 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dalam rangka penelitian skripsi yang berjudul “Peran
Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan metode historis, maka untuk memperoleh data penelitian, penulis sebagian besar memperoleh data dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah sebagai berikut:
a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
c. Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret d. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
e. Perpustakaan Sasono Poestoko Keraton Kasunanan Surakarta f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
g. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta h. Buku-buku koleksi pribadi
2. Waktu Penelitian
Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui pembimbing yaitu bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah mengumpulkan sumber, baik sumber primer maupun sekunder, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
(39)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
B. Metode Penelitian.
Metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997: 7). Dalam penelitian peranan metode sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Dalam hal ini dipilih dengan mempertimbangkan kesesuainnya dengan objek yang diteliti bukan sebaliknya. Berdasarkan permasalahan yang dikaji serta tujuan yang dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk direkonsruksi menjadi cerita sejarah melalui langkah aau metode hisoris.
Menurut Gilbert J. Gharagan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43) metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Sejalan dengan pendapat ini, Louis Gottschalk (1986: 32) mendefinisikan metode historis sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Sartono Kartodirdjo (1992: 37), berpendapat bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami lagi fakta yang diselidikinya.
Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa Pergerakan Nasional di Surakarta yaitu, “Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional‟‟.
(40)
commit to user
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah. Sumber sejarah sering kali disebut sebagai data sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurrahman(1999: 30), perkataan data berasal dari bahasa latin
datum yang berarti pemberitaan. Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah
yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.
Menurut Helius Syamsuddin (1996: 73) dalam penelitian sejarah, yang menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan mentah (raw material) sejarah yang mencakup segala evidensi atau bukti yang telah ditinggalkan oleh menusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/ lesan.
Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas, (3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti.
Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yatu : (1) kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi (mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih lanjut menurut waktu, tempat dan cara/produknya. Sumber sejarah secara garis besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996 : 74 ).
Berbagai cara ditempuh untuk mengklasifikasikan sumber data, salah satu cara mengklasifikasikannya yaitu dengan meninjau atau melihat sumber data itu dari sudut kegunaannya yang langsung untuk penelitian historis. Klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tersebut menurut urutan penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan dan sumber sekunder (Dudung Abdurrahman, 1999: 31).
(41)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Menurut Nugroho Notosusanto (1986: 35), sumber primer adalah kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W. Best dalam Louis gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan para saksi mata atau pengamat atau partisipan dan juga berisi catatan-catatan para saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit didapat (Nugroho Notosusanto, 1986: 35)
Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dari buku-buku dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan lain-lain.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder, karena sulitnya memperoleh sumber primer. Sumber sekunder yang yang digunakan antara lain: Hans Van Miert judul buku Dengan semangat Berkobar
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930; George D. Larson
judul buku Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912-1942; RM. Karno judul buku Riwayat dan Falsafah Hidup
Ingkang Sinuwun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939; Darsiti Soeratman
judul Buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939; Denys Lombard judul buku Nusa Jawa Silang Budaya jilid I, II, III; G.P Rouffaer judul buku
Vorstenlanden; Vincent J.H. Houben judul buku Keraton Dan Kompeni Surakarta
Dan Yogyakarta 1830-1870; M.C Ricklefs judul buku Sejarah Indonesia Modern;
A.P.E.Korver judul buku Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?; Suhartono judul buku Apanage dan Bekel; Kuntowijoyo judul buku Raja, Priyayi dan Kawula; AA GN Ari Dwipayana judul buku Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat
di dua Kota; John Pemberton judul buku On The Subject of “Java”; A.K
(42)
commit to user
Utomo judul buku Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tehnik studi pustaka. Menurut Kartini Kartono (1990: 33) Studi pustaka merupakan sebuah penelitian yang bertujuan mengumpulkan data dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan misalnya: buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data-data yang telah terkumpul berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas dalam penelitian.
Menurut Koentjaraningrat (1997: 64), teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian adalah memanfaatkan dengan maksimal sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Dalam penelitian ini data sebagian besar diperoleh dari perpustakaan yang tedapat di Surakarta dan Yogyakarta.
Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya penggulangan suatu penelitian ( Koentjaraningrat, 1986: 36).
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisis data sehingga akan menghasilkan data yang benar dan dapat dipercaya. Dalam
(43)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
penelitian ini, digunakan analisis data historis. Analisis data historis lebih dikenal dengan penafsiran atau analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan dan secara terminologi berbeda dengan sistesis yang berarti menyatukan, namun keduanya dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995: 100).
Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 14), teknik analisis data adalah analisis dengan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber yang digunakan untuk mengadakan penulisan sejarah. Analisis dilakukan dengan meneliti semua bahan yang dipakai, setelah identitasnya dapat dibuktikan asli, baru dapat diteliti apakah pernyataan, fakta dan ceritanya dapat dipercaya.
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyekifitas dalam menganalisis data sejarah dapat diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur yang sesuai dengan sumber data sejarah dan kredibilitas unsur tersebut. Unsur yang kredibel, maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis Gottchalk, 1986: 95)
Analisis data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus seleksi, disusun, diberi, atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan ditempatkan dalam aturan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut, seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih dan memilah fakta mana yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman, 1999: 25).
Interpretasi data sejarah dilaksanakan dengan cara melaksanakan pengumpulan terhadap berbagai materi/ data yang sesuai dengan tema penelitian ini. Dari data yang telah terkumpul tersebut kemudian dlaksanakan kritik sumber dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain untuk mendapatkan data yang yang seobyektif mungkin. Data yang telah diseleksi tersebut kemudan ditafsirkan sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta merupakan bahan utama bagi sejarawan untuk menyusun historiografi, sedangkan
(44)
commit to user
fakta sejarah selalu mengandung unsur subyektivitas sehingga dalam menganalisa data diperlukan konsep dan teori sebagai ceritera penyeleksian, pengidentifikasian dan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo, 1992: 92).
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Langkah selanjutnya adalah kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Sumber data itu kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna mempreroleh kredibilitas sumber data. Mengacu pada kajian teori, fakta diberi keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling menunjukan hubungan yang relevan guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus dijalani mulai dari pengumpulan data sampai penulisan hasilnya. Berkaitan dengan tema penelitian langkah-langkah yang dilakukan adalah :
Heuristik Kritik Sumber Interpretasi Historiografi
Jejak Peristiwa Fakta Sejarah
1. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa yunani “Heurishein” yang artinya memperoleh. Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. G.J Renier yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 55) menyatakan heuristic merupakan suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Oleh karena itu heuristic tidak mempunyai peraturan umum menurut Sidi Gazalba (1981: 115) heuristik adalah mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian.
(45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Pada tahap ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dengan penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa perpusakaan diantaranya perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universias Sebelas Maret Surakarta, Perpusakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Ignatius Yogyakarta.
2. Kritik
Setelah sumber yang diperlukan terkumpul, maka langkah berikutnya adalah melakukan kritik sumber yaitu mengadakan penilaian atau pengujian terhadap sumber-sumber sehingga dapat diketahui apakah sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data bagi penelitian tersebut atau tidak. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 58) kritik sumber ini meliputi:
a. Kritik Intern
Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari suatu sumber sejarah (Hellius Sjamsudin, 1996: 118). Dalam kritik intern, hal yang dilakukan adalah menyelediki isi dari sumber sejarah. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain, dari tahap ini akan didapat validitas data.
Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sumber tersebut sesuai dengan yang ada atau banyak dipengaruhi oleh subjektifitas pengarang, dan apakah sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Misalnya buku Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuwun Sri
Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939 karangan R.M Karno yang memuat
tentang Silsilah dan riwayat Paku Buwono X dibandingkan dengan Buku
(46)
commit to user
b. Kritik ekstern
Kritik Ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 59), uji otensitas minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, dimana, siapa, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat. Sebelum semua kesaksian dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa lalu, maka terlebih dahulu dilakukan pemerikasaan ketat.
Kritik ekstern dilakukan dengan cara melakukan pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sebuah sumber sejarah. Kritik ekstern berguna untuk memeriksa sumber sejarah dan menjaga keaslian serta keutuhan sumber tersebut. Dalam kritik ekstern dilakukan pengujian sumber dari aspek luarnya seperti pengarang dan asal sumber. Dalam penelitian ini kritik ekstern dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data tertulis berupa buku dan literatur. Aspek fisik kedua sumber dilihat dari pengarang, tahun, tempat penerbitan sumber, gaya bahasa dan ejaan yang digunakan. Misalnya buku Een Koel Hoofd En Een Warm Hart Nationalisme, Javanisme En Jeugdbeweging In Nederlands-Indie, 1981-1930 karangan Hans van Miert tahun 1995 diterbitkan De Bataafsche Leeuw diterjemahkan oleh Sudewo Satiman judul Dengan semangat Berkobar
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930 tahun 2003 dengan
hak terjemahan Indonesia pada Perwakilan KITLV dan Penerbit Hasta Mitra menggunakan gaya bahasa dan ejaan yang disempurnakan.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut pula dengan analisis sejarah. Interpretasi merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data yang telah diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya análisis data. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menafsirkan data yang diperoleh, kemudian mencari kaitan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Setelah itu data yang salin berkaitan dihubungkan sehingga akan diperoleh gambaran
(47)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
yang jelas dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah yang dapat dijadikan sebagai data sejarah.
4. Historiografi
Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian sejarah, historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis, penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut menggunakan pikiran kritis dan analisis (Hellius syamsudin, 1992: 153).
Historiografi merupakan langkah merangkai fakta sejarah menjadi cerita sejarah yang dilakukan dengan cara menyalin buku-buku linteratur,surat kabar, dan sumber tertulis lainnya. Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan untuk merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Tahap historiografi ini merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis. Dari data-data yang sudah berhasil dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis. Dalam penelitian ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi
(48)
commit to user
33 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. USAHA-USAHA PAKU BUWONO X MEMBANGUN KEHIDUPAN POLITIK
1. Keadaan Geografis Surakarta
Karesidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan wilayah Mangkunegaran. Batas wilayah sebagian dibentuk oleh Gunung Lawu di sebelah Timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah Barat. Di bagian tengah karesidenan berjajar deretan bukit kapur dan pegunungan Sewu. Sementara di sebelah Utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian pegunungan Kendeng. Bengawan Surakarta mengalir melalui dataran Surakarta dari Selatan ke Utara. Dalam perjalanannya ke Jawa Timur dan laut Jawa, sungai ini melintasi kota Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Surakarta. Luas Karesidenan Surakarta adalah 6217 ��2 dan separo dari daerah itu merupakan milik Kasunanan, dan lainnya masuk daerah Mangkunegaran (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 20).
Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut, di sebelah kiri Bengawan Solo, dan pada kedua belah tepi sungai Pepe. Sebagian besar kota tersebut masuk ke wilayah Kasunanan dan hanya seperlima saja, yaitu sebelah barat laut merupakan daerah Mangkunegaran. Di kalangan penduduk, daerah Kasunanan di dalam kota dikenal dengan nama daerah Kidulan, walaupun daerah milik Sunan ini terbentang diseluruh kota, selain bagian barat laut. Sebutan Kidulan ini mungkin dihubungkan dengan letak keraton yang berada di sebelah selatan, sedangkan Istana Mangkunegaran di sebelah utara jalan raya Purwosari (sekarang Jl. Slamet Riyadi) dan jalan term yang menghubungkan Boyolali dan Wonogiri seakan-akan menjadi batas kedua daerah itu (Darsiti Soeratman 2000: 83-84). Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan
(49)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta#Geografi, diunduh pada Rabu 9 Juni 2010).
Pada awal abad ke-20 luas kota Surakarta tercatat 24��2 dengan ukuran panjang 6 ��2, membentang dari arah Barat ke Timur dan 4 ��2 dari arah utara ke Selatan. Bagian tengah yang merupakan kota lama didiami oleh beberapa etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing menempati daerah tertentu secara terpisah. Di sebelah utara keraton terletak kepatihan, tempat kediamana pepatih dalem sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Istana mangkunegaran terletak disebelah selatan sungai Pepe, demikian pula perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan (sositet), gedung-gedung sekolah, toko-toko, dan Benteng Vastenburg yang berkedudukan sebagai pusatnya. Perkampungan orang Eropa di sekitar benteng Vastenberg yang disebut Loji Wetan, karena bangunannya berbentuk loji, menggunakan bahan batu bata. Pacinan terletak di sekitar Pasar Gedhe, diurus oleh kepalanya yang diambil dari etnik yang sama, dan diberi pangkat mayor. Demikian pula halnya dengan orang-orang Arab, mereka diberi wilayah tertentu di sekitar Pasar Kliwon, diurus oleh kepalanya seoarang Arab dengan pangkat kapten. Perkampungan untuk penduduk Bumi Putera terpencar di seluruh kota di Surakarta (Darsiti Soeratman, 2000: 83-85).
Letak Keraton Surakarta, istana Mangkunegaran, rumah residen, dan kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun dekat dengan keraton dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana Mangkubegaran yang menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan besar. Selain itu juga dapat dilihat bahwa jarak dari kepatihan ke rumah residen lebih dekat daripada jarak dari kepatihan ke keraton. Untuk melewati keraton, pepatih dalem harus melewati rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan keamanan pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta (Depdikbud, 1999: 10).
Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: penduduk pribumi 2.535.594 orang, warga Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600
(1)
commit to user
(2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99 Lampiran 1
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
(3)
commit to user
Lampiran 2
Lambang Keraton Kasunanan Surakarta
(4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101 Lampiran 3
Paku Buwono X
Raja Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939)
(http://smansalingga82.wordpress.com/2010/02/21/ruasia-kagagahan-raja-nu-ngagaduhan-45-garwa/)
(5)
commit to user
Lampiran 4
Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas (Permaisuri Paku Buwono X)
(6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103 Lampiran 5
Sunan Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897)
(http://indonesian-history.blogspot.com/2009/05/history-of-dutch-in-indonesia.html)