Biografi Paku Buwono X

28 Barat maupun ilmu ketimuran datang ke Keraton. Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahandanya sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Jika ayahandanya Paku Buwono IX, digambarkan sebagai Prabu Balodewo, sakti mendroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin, wicaksono narendrotomo sang Jayen Katon. Karena itu setelah Adipati Anom Paku Buwono X naik tahta menadi Raja, beliau menjadi raja yang arif, adil dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono dan waskito. 24 Ayahanda Sunan Paku Buwono X yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat pada hari Jum’at Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 16 Maret 1893 M. Setelah wafatnya Sunan Paku Buwono IX, maka pada hari Kamis Wage tanggal 30 Maret 1893 beliau menggantikan tahta kerajaan, dengan gelar Sinuwum Kanjeng Susuhanan Paku Buwono X Senapati Ingalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama. Pada tahun 1924, Sunan Paku Buwono X naik pangkat sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemberian pangkat militer diberiakan oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah diberikan sejak masa pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara. 25 Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif sukar difahami, membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur 24 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 35-42. 25 Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 7. 29 yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya. Dan beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang sunan. Pihak residen dan gubernur mengeluhkan bahwa Susuhanan tidak memahami barang secuil pun tentang urusan-urusan penting di kerajaannya. Dari pihak Belanda memberikan laporan mengenai Susuhanan menggambarkannya sebagai seorang pesolek, lemah dan agak bodoh, tetapi ia setia kepada keluarga Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. dan hal ini dibuktikan dengan Sunan memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan senang mengenakan pakaian resmi. Salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tidak mengenal nilai mata uang. Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang keuangannya, oleh karenanya wazir dan saudaranya, yaitu pegawai menyimpan sejumlah uang jauh dari hadapannya untuk menjaga jangan sampai ia menghambur-hamburkannya. 26 Kebesaran seorang raja juga tampak dari banyaknya jumlah selir dan juga anak. Residen Van Der Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai isteri resmi empat dan selir yang tidak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu mengandung, salah seorang isteri akan diceraikan untuk memberi tempat kepada selir itu. Sesudah selir itu melahirkan, selir itu akan diceraikan lagi. Pada tahun 1910 Javaanshe Almanak menulis bahwa raja mempunyai dua belas putra dan tiga belas putri. Pada akhir hayatnya, PB X mempunyai 63 putra-putri, yaitu 24 pria, 28 wanita, dan 11 orang meninggal diusia muda. 27 26 George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 43-46. 27 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006, hal 34-35. 30 Pada dasarnya Sunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut ditiru seperti salah satu sifat yang paling menonjol yaitu sifatnya yang dermawan, ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang, Ia juga sopan dan juga suka melayani. 28 Beliau memiliki kepribadian yang kuat dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat, ia juga memiliki kemampuan menganalisa yang tajam hingga dapat menyadari apa yang paling penting untuk masa depan, beliau memiliki perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, hingga memberi kesan yang keliru bahwa seolah- olah beliau tidak memiliki keberanian, beliau juga orang yang terbuka dengan hal-hal baru yang apabila itu bermanfaat bagi rakyat dan negaranya, dan Sunan juga memiliki rasa keadilan yang tinggi. 29 Sunan Paku Buwono X hidup sampai pada usia tujuh puluh dua tahun, meski orang Belanda pada tahun 1899 sudah mulai risau dengan kesehatannya dan beranggapan tidak akan hidup lama karena menerita batu aginjal, suka minum-minum dan tidak bisa menegendalikan dirinya sendiri. 30 Namun lama Sunan dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, wibawanya sebagai seorang raja semakin terlihat dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang telah menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin menimbulkan wibawanya itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki kewibawaan yang terlihat sebagai seorang raja. Lamanya bertahta 28 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 44. 29 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 42. 30 George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 45 31 menyebabkan Paku Buwono X mengalami perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari. 31 Pada Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, suasana duka menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhanan Paku Buwono X menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun, dan mengakhiri masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat. 32 Ia disebut oleh rakyatnya sebagai sunan penutup atau raja besar Surakarta yang terakhir. Pemerintahannya lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono XI.

D. Keraton Surakarta Pada Masa Paku Buwono X

Pengertian Keraton adalah bahwa keraton adalah pusat kebudayaan Jawa yang patut dipelihara sehingga apabila keraton melakukan upacara tradisi Jawa, masyarakat umum tertarik untuk melihat karena ingin tahu bagaimana kebudayaan Jawa itu sesungguhnya. Secara internal, eksistensi Keraton dalam pandangan spiritual masih tetap terjaga dan organisasi tradisinya masih hidup dan berjalan. Selanjutnya, dijelaskan pula, bahwa Keraton memang merupakan “a living heritage”, tonggak sejarah dan budaya. Dengan demikinlah hal utama yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan warisan yang sudah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu itulah yang sangat penting, demi menjamin kelanjutan 31 John Pemberton, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003, hal 155. 32 Lihat: https:plezierku.wordpress.com20140510sosok-paku-buwono-x-raja- surakarta-yang-penuh-kharisma diakses pada 08 juni 2015 jam 15.00. 32 eksistensi Keraton Solo untuk masa depan. 33 Keraton Surakarta merupakan lambang pelestarian kebudayaan Jawa, sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga kini, dan komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan organisai-organisasi sosial politik. Keadaan ini dikarenakan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta merupakan kota yang strategis untuk dijadikan tempat bagi tumbuh kembangnya organisasi-organisaisi sosial politik. Kasunanan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sunan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah, 34 Dengan gelar itu menempatkan raja pada kedudukan yang tinggi. Dalam struktur birokrasi tradisional raja mempunyai kekuasaan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan warisan atas tradisi pengangkatan raja baru berdasarkan keturunan. untuk menjadi sorang raja ia harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing kusuma rembesing madu wijining atapa, tedaking andana warih. Artinya, 33 Anom Muhammad Hadisiswaya, Pergolakan Raja Mataram, Interprebook, 2001, hal 28. 34 C. Lekkerkerker, Land en Volk Van Java Groningen: 1983, hal 339 33 turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia. 35 Sunan Paku Buwono X, raja Keraton Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Pakubuwono X mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama yakni 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan, kebijakan dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani bagi seluruh rakyat. Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya. Akan tetapi beliau tidak merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan ke luar harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Raja memang dipandang tinggi oleh rakyatnya, meskupun begitu sebenarnya ia tidak pernah menjadi orang yang bebas. Ia terikat dengan semacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja ia perlu izin dari residen. Ia adalah tawanan di keratonnya sendiri. Tidak aneh kalau kemudian ia lebih banyak mengembangkan politik simbolis daripada politik substantif. Dengan kata lain, karena ia tidak bebas dalam mengurus kerajaan, kemudian sangat pandai mengurus dirinya sendiri. Sehingga dalam urusan kerajaan, pikiran beliau sangat sederhana. Seperti pertanyaannya kepada Patih Sasradiningrat, beliau menanyakan: “sekarang musim apa?” “para petani sedang apa?” serta “ 35 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal 62. 34 bagaimana air sungai?”. 36 Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu raja sangat berkuasa dalam sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bah kan raja di anggap sebagai “wakil Tuhan” dimuka bumi. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan raja yang berkuasa pada masanya. 37 Kota Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan di Yogyakarta terdapat Keraton Kasultanan dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota tersebut dalam pergerakan nasional sangat terlihat, bahkan menjadi pusat pergerakan. Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi dan perekonomian yang dengan cepat memberi kesadaran Surakarta atas adanya suatu dunia internasional yang tentunya bukan berpusat di Surakarta, apalagi yang diwakili oleh sumbu semesta yang tinggal dalam keraton. 36 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 20-21. 37 Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 1-2.