Hutan produksi yang dikelola secara lestari mempunyai potensi untuk ikut serta dalam REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan
mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena
perbedaan dalam pengelolaannya. Indikator kelestarian hutan alam produksi lestari di antaranya ditunjukkan oleh tingkat kerusakan tegakan tinggal yang
relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan produksi yang dikelola secara tidak lestari. Kegiatan perlindungan hutan yang dilaksanakan hutan produksi
lestari relatif lebih intensif bila dibandingkan dengan hutan produksi tidak lestari. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon
pengelolaan hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelola hutan lestari belum dapat
diprediksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi lestari.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini: apakah skema REDD+ dapat memberikan tambahan insentif atau manfaat finansial yang memadai bagi
pengelolaan hutan alam produksi lestari?
1.3. Tujuan
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui peluang insentif finansial dari REDD+ sebagai pendorong pelaku usaha IUPHHK-HA melakukan pengelolaan
hutan alam produksi lestari.
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1 pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dibandingkan dengan
pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari 2 biaya yang ditanggung pengelola hutan untuk melakukan pengurangan emisi lebih besar dari insentif
yang ditawarkan dalam skema REDD+.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari sisi akademis maupun pengelola hutan produksi dalam hal berikut:
1. Memberikan informasi berupa data empirik dampak pengelolaan hutan terhadap emisi karbon dan simpanan karbon di hutan alam produksi.
2. Memberikan informasi tentang peluang mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ dan manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan
hutan alam produksi lestari.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Perhitungan reduksi emisi karbon dalam penelitian ini difokuskan pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman di hutan alam produksi.
Reduksi emisi karbon pada tegakan tinggal dan kegiatan penanaman tidak memperhitungkan pertumbuhan yang terjadi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa dan Karbon Hutan
Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme tumbuhan persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan
dalam berat kering oven ton per ha Brown 1997. Menurut Whitten et al. 1984, diacu dalam Rizon 2005, biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering
semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering
persatuan luas tonha. Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan above ground biomass dan biomassa bawah
permukaan below ground biomass. Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke
suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah
perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan
biomassa pohon Kusmana 1993. Pendugaan bomassa di atas permukaan tanah dapat diukur
menggunakan metode langsung destructive dan metode tidak langsung non destructive. Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan regresi alometrik biomassa. Pendugaan biomassa dengan metode tidak langsung menggunakan allometrik dapat lebih cepat dilaksanakan dan area
yang lebih luas dapat dijadikan contoh. Diperkirakan 45-50 komponen penyusun biomassa adalah karbon
Brown 1997. Persamaan allometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan IPCC 2006. Upaya pengembangan
allometrik lokal berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis diperlukan untuk meningkatkan akurasi Kettering 2001.
Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam
material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah Whitmore 1985.
Suhendang 2002 menyatakan bahwa sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan potensi
penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton
karbon. Lasco 2002 menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara 40–250 ton Cha untuk vegetasi dan 50–120 ton Cha untuk
tanah. Sedangkan Murdiyarso et al. 1994 memperkirakan bahwa hutan tropis di Indonesia mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161–300 Cha.
Akumulasi kandungan biomassa hutan dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Pinard dan Putz
1997 menyebutkan bahwa kandungan biomassa hutan hujan tropika di Asia Tenggara berkisar antara 400 – 500 tonha berat kering oven termasuk
biomassa akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir antara lain intensitas pemanenan hutan dan proses
dekomposisi Ojima et al. 1996. Menurut Brown 1999, bagian terbesar gudang karbon dalam proyek
berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah
akar, pohon, palma, tumbuhan herba rumput dan tumbuhan bawah, semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar,
dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon
yang perlu diukur dan dimonitor tergantung kepada proyek yang dilakukan, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon,
biaya pengukuran. Berdasarkan IPCC 2006, sumber karbon utama dalam hutan adalah biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati kayu
mati dan serasah dan bahan organik tanah. Berikut ini definisi sumber karbon beradasarkan IPCC guideline tahun 2006.
Tabel 1 Sumber karbon hutan
Sumber Penjelasan
Biomassa Atas tanah
Semua biomassa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta
buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal.
Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan.
Bawah Tanah
Semua biomassa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm
seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan
serasah.
Bahan organik mati
Kayu mati Semua biomassa kayu mati, baik yang masih tegak,
rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm.
Serasah Semua biomassa mati dengan ukuran 2 mm dan
diameter kurang dari sama dengan 10 cm, rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi.
Tanah Bahan
organik tanah
Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu 30 cm untuk tanah mineral. Termasuk akar dan
serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm, karena sulit dibedakan.
Sumber: IPCC, 2006
Menurut Thomson 2008, peranan hutan mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai
kemungkinan berikut: 1. Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu
menggantikan bahan bakar fosil. 2. Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar
fosil seperti baja, bata dan aluminium dengan produk kayu. 3. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.
4. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim.
5. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkapmenyerap tambahan CO
2
6. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang.
di atmosfir
7. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan
lainnya.
Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Malmsheimer et al.
2008 menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa dan
menghindari konversi lahan. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam produksi
kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk
penyimpanan dalam pool tanah, serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan hidup. Maness 2007
menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dilakukam dalam 3 strategi:
1. Strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi mitigasi melalui 3 cara yaitu:
- menghindarkan konversi lahan yang secara permanen menjadi
penggunaan lain. -
menunda waktu panen. -
mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit. 2. Strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO
2
- Penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak
berhutan. dari udara melalui tiga cara:
- Penerapan pengelolaan hutan yang dapat menambah simpanan karbon.
- Menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet.
3. Strategi penggunaan energi yang dapat diperbaharui.
2.2. Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan