Definisi Konsep Kerangka Teoritis

11 Untuk itu, anak-anak melakukan upaya mencari pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritualnya dengan turun ke jalan, menjadi anak jalanan Mujiyadi, dkk, 2011: 3. Artinya, yang menjadi faktor utama dalam munculnya anak jalanan adalah aspek ekonomi. Namun demikian, keberadaan anak jalanan di kota besar pada umumnya, lebih banyak diwarnai oleh kehadiran anak jalanan pendatang. Artinya, lebih banyak anak jalanan kategori pendatang daripada anak jalanan yang terlahir di kotanya sendiri. Demikian pula keberadaan orang tuanya, yang lebih banyak sebagai pendatang di kota Mujiyadi, dkk, 2011: 12. Dengan kata lain, ada proses urbanisasi di sini. Mereka pindah ke kota tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan ekonominya. Karena kota dinilai menjadi tempat yang mudah untuk mendapatkan uang. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi keluarga, perlu diketahui aspek pendukungnya. Aspek sosial ekonomi yang dimaksud di sini adalah pendidikan, pekerjaan dan pendapatan ekonomi, juga tradisi Suyanto, 2010: 198, sebagaimana diuraikan di bawah ini : a. Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan setiap masyarakat bisa menggunakan akal pikirannya secara sehat, sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 12 Pada dasarnya, pendidikan merupakan hal sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dari individu maupun dalam masyarakat. Karena pendidikan merupakan syarat untuk menjadi manusia berkualitas. Selain itu dengan memiliki pendidikan, masyarakat secara individu bisa meningkatkan status sosial ekonomi masyarakat. Pada umumnya, keluarga anak jalanan juga tidak mendapatkan pendidikan secara layak. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah, bahkan ada yang tidak pernah bersekolah. b. Ekonomi Kehidupan keluarga yang serba kekurangan, mendorong anak turun ke jalan untuk bekerja dan mencari uang, baik untuk diri sendiri maupun untuk kebutuhan keluarga. Alasan ekonomi menjadi penyebab utama dari sekian banyak anak jalanan. Mereka terdorong keinginan untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga mereka terpaksa turun ke jalan. Padahal, Keluarga merupakan orang pertama yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Menurut ST. Vembriarto bahwa keluarga memiliki tiga fungsi dalam hubungan dengan anak, yaitu : 1 Fungsi biologik. Fungsi ini menunjuk kepada keluarga sebagai tempat melahirkan anak-anak. 2 Fungsi afeksi, dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan, cinta kasih. Dari hubungan cinta kasih ini timbulah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan tentang nilai-nilai. 3 Fungsi 13 sosialisasi, fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial didalam keluarga itu, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat Yusuf, 2008: 45-46. c. Tradisi Tradisi sering digunakan untuk menjelaskan keberadaan pekerja anak atau munculnya anak di jalanan. Anak-anak dari keluarga miskin, umumnya tidak memiliki alternatif lain dalam hal pekerjaan. Sehingga sudah menjadi semacam aksioma kultural bagi banyak kalangan, terutama di negara berkembang.

3. Kehidupan Anak Jalanan

Pada umumnya, anak jalanan merupakan bagian dari kehidupan di perkotaan. Di antara mereka, ada yang bekerja dan ada yang tidak bekerja. Mereka cenderung melaksanakan aktivitasnya di luar rumah, seperti di jalan raya, pasar, mall, tempat rekreasi, pelabuhan, terminal, dan tempat pembuangan sampah akhir. Sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas tersebut untuk mendapatkan uang. Anak jalanan selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Akibat kelelahan, mereka sulit belajar dan akhirnya putus sekolah. Mereka yang putus sekolah, kehilangan hak belajarnya dan pada giliranya kehilangan kesempatan pekerjaan yang layak. Anak jalanan yang tidur di tempat umum, sering mengalami pelecehan seksual. Mereka berpeluang melakukan tindakan negatif, seperti mencopet, berjudi, mabuk, merokok, atau bergaul dengan pelacur. Anak jalanan 14 yang mengontrak kamar dengan sesama anak jalanan, biasanya merasa lebih bebas untuk melakukan apa saja dan cuek kepada tetangga. Makin lama anak berada di jalanan dan menginternalisasi nilai-nilai jalanan, akan mempunyai anggapan bahwa siapa yang kuat dialah yang menang. Sehingga, mereka yang tidak berkelompok, lebih sering mendapatkan penganiayaan. Dan yang berkelompok cenderung akan diperbudak oleh yang kuat Suyanto, 2010: 176. Terdapat berbagai macam-macam bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan. Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan pada tahun 2011-2012, menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan anak jalanan dapat digolongkan sebagai berikut : Tabel 1. Golongan Pekerjaan Anak Jalanan Menurut Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2011-2012 Bulan Pengamen Asongan Pengelap Mobil Pengemis Januari 33 8 - 19 Februari 21 1 - 15 Maret 19 8 10 - April 11 - - 25 Mei 1 5 - 24 Juni 4 1 - 24 Juli 2 4 8 51 Agustus 1 1 - 76 September 2 - - 15 15 Oktober 4 1 - 13 November - - - - Desember - - - - Jumlah 98 29 18 267 Sumber : Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2011-2012 Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis merupakan yang tertinggi. Disusul oleh pengamen, asongan, dan pengelap mobil. Data ini juga menunjukkan bahwa keberadaan anak jalanan, khususnya di Jakarta Selatan masih sangat tinggi. Pada dasarnya mereka bekerja seperti itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kebutuhan yang harus mereka penuhi Suradi, 2011: 319-320, yaitu : a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Anak Jalanan tidak mampu memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak dan manusiawi. Pada umumnya, makanan mereka tergolong kurang sehat karena hanya dua kali sehari dengan menu nasi, sayur atau lauk, serta jarang ada makanan tambahan. Di antara mereka ada yang makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah, seperti sayuran, buah-buahan, nasi, dan sebagainya. b. Kondisi sosial, mental, dan spiritual. Anak Jalanan hidup di dalam komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di wilayah yang kurang menyatu dengan wilayah lain. Jadi, wilayah tinggal mereka 16 relatif tertutup dari komunitas luar. Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas mereka. Sebagian anak jalanan yang perempuan sudah menyalahgunakan Napza atau ngelem, berpotensi menjadi wanita tuna susila, dan bahkan ditemukan kasus sudah menjadi penjaja seks. Hal ini menggambarkan, betapa rapuhnya mental spiritual anak jalanan, baik karena tekanan ekonomi maupun hubungan sosial yang buruk di lingkungan keluarga maupun di dalam komunitas mereka Suradi, 2011: 321.

B. Pendidikan

1. Definisi Pendidikan

Dalam definisi umum, pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar, dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaannya Munawwaroh Tanenji, 2003: 5. Menurut Ketetapan MPR RI No. IVMPR1973, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup Sabri, 2005: 7. Sedangkan menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pada Bab 1, Pasal 1, Ayat 1, dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan 17 terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara Sabri, 2005: 7. Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan dengan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingi-tingginya Zurinal Sayuti, 2006: 2-3. Sedangkan Emile Durkheim, mendefinisikan pendidikan sebagai proses di mana individu mendapat alat-alat fisik, intelektual, dan moral yang diperlakukan agar dapat berperan dalam masyarakat. Ia berpendapat, bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Baginya, pendidikan anak memberi individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Dan pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam diri para murid. Dia percaya, bahwa sekolah secara praktis adalah satu- satunya institusi yang akan memberikan landasan sosial bagi moralitas modern Ritzer Goodman, 2009: 115. Bagi Durkheim, ruang kelas merupakan masyarakat kecil. Di sana ada sebuah kesadaran kolektif yang akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral. Hal ini memungkinkan pendidikan untuk hadir dan 18 memproduksi semua elemen moralitas. Pertama, pendidikan akan memberikan individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Kedua, pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam para murid Ritzer Goodman, 2009: 115. Dengan teori-teori pendidikannya, Durkheim 1858-1017 memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia mengatakan, bahwa masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai warganya. Keseragaman esensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan diperkekal dan diperkuat penanamannya sejak dini pada anak-anak. Tetapi dibalik itu, suatu kerja sama apa pun tentu tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman, yaitu upaya pendidikan dijamin dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam jenjang dan spesialisasi Idi, 2011: 10-11. Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagai “social thing, akhirnya Emile Durkheim berpendapat bahwa, pendidikan bukanlah hanya satu bentuk, dalam artian ideal dan aktual, tetapi bermacam-macam. Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan khususnya, akan menentukan tipe-tipe yang diselenggarakan Idi, 2011: 11. Berdasarkan dari beberapa definisi-definisi pendidikan di atas, sebenarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa pendidikan itu adalah sebuah proses yang 19 melibatkan orang dewasa dan peserta didik dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya dan norma yang berkembang di masyarakat.

2. Tujuan Pendidikan

Pada hakikatnya, pendidikan itu bertujuan untuk merubah kelakuan anak didik menjadi lebih baik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan keterampilan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat Nasution, 1995: 10. Tujuan pandidikan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dan dijadikan sasaran oleh setiap pendidik yang melaksanakan kegiatan pendidikan. Mengingat, apa yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pendidikan itu menjadi tujuan dari negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang- Undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Nandika, 2007: 3. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989, pada Bab II, Pasal 4, tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang 20 mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa Sabri, 2005: 45. Menurut Langeveld, tujuan pendidikan adalah terbentuknya kehidupan sebagai insan kamil, suatu kehidupan di mana ketiga hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk susila atau religius dapat terwujud secara harmonis Sabri, 2005: 43. Dari beberapa tujuan pendidikan di atas, terdapat kesamaan yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan menjadi manusia yang utuh dengan menunjukkan akhlak yang baik, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta bertanggung jawab terhadap masyarakat. Saat ini, terlihat pendidikan dan penanaman nilai-nilai hanya pada persoalan knowledge saja, tetapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam cara berfikir, merasa, dan bertindak seseorang. Dalam kaitannya dengan itu, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai pengetahuan Muzakkar, 2007: 24-25, yaitu : a. Learning by doing and exposure Jenis belajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan kuliah lapangan. Melalui kegiatan ini, para peserta didik diajak langsung ke lapangan dengan tujuan untuk mengamati, dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka membuat refleksi tentang nilai-nilai apa yang dapat mereka pelajari melalui exposure tersebut. 21 b. Learning by experiencing Peserta didik dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik lomba-lomba, kegiatan sosial, dan kegiatan kerohanian. Bagaimana peserta didik dapat memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama bila mereka pernah berinteraksi, mengalami, dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan. c. Learning by exploring and appreciating Melalui media film dan karya seni lainnya, para peserta didik dapat melihat nila-nilai apa yang dapat dipelajari dan reaksi apa yang muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditayangkan di dalam film tersebut. Pada saat melihat adegan kekerasan terhadap orang tidak bersalah misalnya, apakah diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikap indefferent. Rasa kemanusiaan dapat diasah melalui analisis film atau karya seni lainnya. d. Learning by living in Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama di suatu daerah atau lingkungan untuk mengamati, mengalami, dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Dari situ, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang berlaku, apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nuraninya saat tinggal dan berinteraksi dengan dunia luar. e. Problem solving method Sebagaimana yang dikembangkan Jonh Dewey, peserta didik dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami persoalan 22 tersebut, menganalisanya dengan tujuan untuk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atau jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya ketingkat praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik dipicu kreasi dan imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoaalan yang dihadapinya. f. Case study method Melalui metode studi kasus, peserta didik dilatih melihat persoalan- persoaalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini, peserta didik diajak untuk bekerja sama dan berintrakasi dalam upaya mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga peserta didik tidak hanya mengetahui dan memahami berbagai teori, tapi juga mahir dalam menggunakan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang kongkrit.

F. Kerangka Teoritis

1. Pendidikan Demokratis Pendidikan merupakan suatu berkah dari Maha Pencipta terhadap ciptaan- nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai makhluk alamiah yang dilahirkan di dalam lingkungan alamiahnya manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya di dalam dalam lingkungan alamiahnya itu. Di sinilah terletak kebebasan dan 23 keterikatan manusia dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasinya kemanusiaan makhluk manusia merupakan suatu proses pembebasan. Itulah makna pendidikan bagi manusia Tilar, 2005: 110. Hakikat pendidikan itu sendiri adalah proses memanusiakan anak manusia yaitu manyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia dibesarkan di dalam budayanya, serta menciptakan atau merekstruksikan budayanya itu sendiri Tilar, 2005: 112. Artinya, setiap manusia wajib mendapatkan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia bebas dan merdeka. Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokrasi tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik- praktik demokrasi. Dengan kata lain, sekolah demokrasi adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat stakeholder dan user sekolah dalam membahas program-program sekolah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, 24 semuanya memperoleh perlakuan sama, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola- pola pembinaan seperti ini, telah memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolah Rosyada, 2004: 17-18. Lebih lanjut, James A. Beane dan Michael W. Apple juga menjelaskan berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis Rosyada, 2004: 16, yaitu : 1. Keterbukaan seluruh ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. 2. Meberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah. 3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah. 4. Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. 5. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. 25 6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia. 7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus menerus mempromosikan dan mengmbangkan cara-cara hidup demokratis. Jadi, inti dari teori James A. Baene dan Michael W. Apple di atas, bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stakeholder sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah- langkah yang sedang akan ditempuh. Demokrasi pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dalam dua sudut pandang. pertama, demokrasi secara horizontal, bahwa setiap anak harus mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan di sekolah. Di Indonesia ha ini jelas sekali tercer min pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 “setiap warga negara mendapat pengajaran”. Kedua, demokrasi secara vertical, bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah setinggi-tingginya, sesuai dengan kemampuannya Freire Mangunwijaya, 2004: 93. Sekolah demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus sekolah secara transparan, 26 sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit Rosyada, 2004: 17. Selanjutnya, keunggulan dari model sekolah demokratis, ini sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang, dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis Rosyada, 2004: 20, antara lain adalah : 1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. 2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara invidual. Berbagai kesulitan siswa akan manjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitan. 3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat, masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru bekerja juga akan merasa tenang 27 karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakat, keputusan pimpinan sekolah juga akan manjadi keputusan bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakat, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut. Selanjutnya, dalam proses mengajar seorang guru itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan loyality. Artinya seorang guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan. Gilbert H. Hunt dalam bukunya effective teaching menyatakan bahwa guru yang baik harus memenuhi tujuh kriteria Rosyada, 2004: 113-114, yaitu : 1. Sifat, guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya, demokratis, penuh harapan bagi siswa, mampu mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa. 2. Pengetahuan, guru yang baik juga mampu memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya. 3. Apa yang disampaikan, guru yang baik juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasa yang diharapkan siswa secara maksimal. 4. Bagaimana mengajar, guru yang baik mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan yang variatif, 28 menciptakan dan memelihara momentum, mendorong siswa untuk berpartisipasi. 5. Harapan, guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntibel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam mamajukan kemampuan akademik siswanya. 6. Reaksi guru terhadap siswa, guru yang baik bisa menerima berbagai masukan, resiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan pada siswa. 7. Management, guru yang baik juga harus mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepet memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik. Menurut John Dewey, bahwa kualitas proses pembelajaran yang meningkat, secara otomatis akan meningkatkan pula kualitas hasil belajar siswa. Belajar dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dengannya organisme memperoleh bentuk-bentuk perubahan perilaku yang cenderung terus mempengaruhi model perilaku umum menuju pada sebuah peningkatan. Perubahan perilaku tersebut terdiri dari berbagai proses modifikasi menuju bentuk permanen, dan terjadi dalam aspek perbuatan, berpikir, sikap, dan perasaan Rosyada, 2004: 98. 2. Pendidikan Hadap Masalah problem posing Pendidikan hadap masalah pada dasarnya merupakan salah satu alternatif bagi pendidikan gaya bank. Kerena dalam pendidikan gaya bank semuanya 29 diredusir sebagai usaha untuk menjinakkan manusia. Dalam pendidikan hadap masalah ini manusia diberikan ruang bebas dalam menikmati pendidikan. Menurut Paulo Freire dan Mangunwijaya, pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan yang memberikan kebebasan penuh kepada masyarakat atau siswa untuk merefleksikan masalah, seperti mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau melakukan emansipasi memalui metode pendidikan. Pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan kritis diaologis yang menempatkan manusia sebagai subjek bagi dirinya sendiri Freire Mangunwijaya, 2004: 117. Selanjutnya, Jonh Dewey juga menekankan bahwa siswa-siswi harus dilatih untuk berfikir rekleftif, yakni mencoba melatih mereka untuk mengaplikasikan teori pada kasus dan situasi yang baru Rosyada, 2004, 42. Pola hadap masalah yang dibangun oleh Mangunwijaya adalah mengikutsertakan masyarakat serta siswa-siswi untuk tahu terhadap masalah dan berusaha memecahkan masalah. Emansipasi dalam pendidikan menurut Mangunwijaya penting, dan merupakan kunci utama bagi pemecahan masalah, terutama sekali dalam mengmbalikan cita-cita masyarakat yang selama ini merasa dibodohi, ditindas, dan dieksploitasi agar bisa bangkit untuk membangun masa depan yang baru Freire Mangunwijaya, 2004: 121. Adapun metode dalam pendidikan hadap masalah adalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru dan murid. Guru selalu menyerap baik ketika dia mempersiapkan bahan pelajaran maupun tidak ketika dia berdialog dengan para murid. Dia tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai 30 pemilik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri. Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus-menerus memperbarui refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar dan penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialog dengan guru. Guru mengkaji plajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid menemukan hasil pemikiran sendiri Freire, 2008: 65. Adapun pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi disini merupakan usaha untuk mengubah kehidupan anak jalanan menjadi lebih baik. Pembinaan yang diberikan oleh lembaga ini salah salah satunya adalah dengan melalui program pendidikan dan bimbingan-bimbingan. Karena tidak sedikit dari mereka yang masih membutuhkan bimbingan-bimbingan tersebut. Seperti, dengan melihat banyak dari mereka yang perilakunya masih tidak baik.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mendapatkan data-data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif Qualitative research adalah penelitian yang menghasilkan penemuan- penemuan yang tidak dapat dicapai diperoleh dengan menggunakan prosedur- prosedur statistik atau dengan cara lain dari kuantitatif pengukuran. Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, 31 tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan Strauss Corbin, 2007: 11. Bogdan dan Taylor, mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati Moleong, 2005: 4. Indikasi dari model penelitian ini yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, antara lain: 1 adanya latar alamiah; 2 manusia sebagai alat atau instrumen; 3 metode kualitatif; 4 analisis data secara induktif; 5 teori dari dasar grounded theory; 6 deskriptif; 7 lebih mementingkan proses daripada hasil; 8 adanya batas yang ditentukan oleh fokus; 9 adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; 10 desain yang bersifat sementara; 11 hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama Moleong, 2005: 8-13. Adapun penentuan informan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling sampel purposif, yaitu penentuan yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dengan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu Salam Arifin, 2006: 54-55. Jumlah informan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut ini : Tabel 2. Daftar Nama Informan Penelitian di Yayasan Bina Anak Peritiwi No Nama Informan Status Umur Jenis Kelamin Wawancara Kategori 1 Abdus Saleh Pimpinan Yayasan 33 L 28-04-2013 Pendatang 2 Ari M Rifki Pendampingguru 23 L 16-04-2013 Asli 3 Ali Santoso Pendampingguru 24 L 17-04-2013 Asli 32 4 Ibu Teti Warga 42 P 27-09-2013 Asli 5 Moh. Nasir RTWarga 26 L 27-09-2013 Asli 6 Dede Saputra Children on the street 18 L 6-04-2013 Asli 7 Riski Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 8 Faisal Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 9 Gifli Children of the street 18 L 12-04-2013 Pendatang 10 Riski Apriani Children of the street 15 P 16-04-2013 Asli 11 Maria Gureti Vulnerable to be street children 17 P 16-04-2013 Asli 12 Indri Vulnerable to be street children 15 P 16-04-2013 Asli 13 Dia Nurlela Vulnerable to be street children 13 P 17-04-2013 Asli 14 Maryam Vulnerable to be street children 16 P 20-04-2013 Asli 15 Dewi Apriani Vulnerable to be street children 15 P 20-04-2013 Asli Sumber : Hasil Observasi Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa informan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari 15 informan. Yang berasal dari 3 orang pengurus yayasan terdiri dari ketua dan 2 pendamping guru Yayasan Bina Anak Pertiwi. 2 masyarakat sekitar, dan 10 orang anak jalanan yang terdiri dari 4 laki-laki dan 6 perempuan dengan usia berkisar 13-18 tahun. Anak jalanan yang menjadi informan dalam penelitian ini lebih dominan tergolong kategori Vulnerable to be street children. Artinya kebanyakan dari anak jalanan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah mereka yang tinggal dengan orang tua atau keluarganya, tetapi bekerja di jalanan. Informan dalam penelitian ini kebanyakan orang asli Jakarta ketimbanag dari luar pendatang. Dan pengambilan jumlah informan tersebut dengan alasan mereka yang mengikuti program pembinaan dan terlibat langsung di Yayasan Bina Anak Pertiwi. 33 2. Metode Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara ialah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Lexy J. Moeleng mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara interviewer dan yang diwawancarai interviewee Moleong, 2005: 135. Dalam penelitian ini, wawancara di lakukan untuk menggali informasi tentang pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi. Mendalami informasi tentang bentuk-bentuk pembinaan dan bagaimana kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan. Wawancara ini dilakukan dengan dilengkapi rekaman supaya dapat mengetahui informasi secara mendalam dari informan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Wawancara juga dibantu dengan sebuah interview quide panduan wawancara, yaitu panduan wawancara yang didalamya berisi beberapa pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. b. Observasi Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi ini dilakukan langung ke Yayasan Bina Anak Pertiwi untuk mengamati situasi dan kondisi serta mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Seperti, dengan mengikuti kegiatan- kegiatan anak jalanan di yayasan. Kemudian, peneliti mencatat dan mengambil