Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional

5.3. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional

Karet alam adalah salah satu komoditi pertanian yang diperdagangkan di pasar komoditas dunia. Persetujuan dalam perdagangan karet alam Internasional umumnya dilakukan dalam rangka mengatasi fluktuasi harga. Perjanjian internasional mengenai karet alam, pertama kali dicetuskan oleh komisi perdagangan dan pembangunan perserikatan bangsa-bangsa UNCTAD United Nations Commision for Trade and Development. Perjanjian tersebut lebih di kenal dengan sebutan International Natural Rubber Agreement INRA yang pertama kali disetujui pada tahun 1979. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk menstabilkan harga karet alam di pasar Internasional dalam jangka menengah atau jangka panjang sebagai dampak dari keseimbangan pertumbuhan permintaan dan penawaran. Instrumen yang dilakukan untuk mengintervensi pasar karet alam guna tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut adalah dengan menetapkan persediaan penyangga buffer stock. Kapasitas buffer stock yang disetujui adalah sebesar 550 ribu ton. Pelepasan dan pembelian buffer stock didasarkan pada harga referensi yang disesuaikan dengan tren pasar dari harga karet alam Prabowo, 2006. Untuk mengatur dan menjamin efektifitas pelaksanaan instrumen ini, dibentuklah organisasi karet alam internasional atau INRO International Natural Rubber Organisation yang beranggotakan negara-negara produsennegara eksportir Indonesia, Malaysia, Nigeria, Sri Lanka dan Thailand dan negara konsumenimportir China; Masyarakat Eropa, yaitu: Austria, Belgia- Luxembourg, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris; Jepang; dan Amerika Serikat. Menurunnya harga karet alam mulai yang terjadi sejak krisis moneter pada bulan Juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen karet alam seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia telah terdepresiasi dengan nilai mata uang US dollar. Pada mulanya, masyarakat perkaretan Indonesia mendapat keuntungan akibat terpuruknya nilai rupiah terhadap US dollar sampai 10 kali lipat 300-400 persen dibandingkan dengan depresiasi negara-negara produsen karet utama lainnya, yaitu Thailand dan Malaysia 30-40 persen. Namun akibat peningkatan eksporsupply yang melebihi kapasitas penyerapan konsumsi karet alam dunia menyebabkan harga karet alam semakin terpuruk. Pihak yang paling menderita akibat terus menurunnya harga karet di pasaran dunia adalah para petani karet, dan apabila permasalahan ini tidak diatasi, dikhawatirkan para petani tidak tertarik lagi untuk berusaha di bidang karet. Kemudian negara-negara eksportir karet alam yang tergabung dalam keanggotaan INRO pada tahun 1998 mengusulkan peningkatan harga referensi sebesar 5 persen, terkait dengan krisis ekonomi dan mata uang yang menimpa negara-negara kawasan produsen karet alam. Namun usulan tersebut ditolak negara-negara importir karena bertentangan dengan tren pasar sebagai dasar penentuan harga referensi. Sebagai tanggapan dari penolakan ini pada September 1999, tiga negara yaitu Malaysia, Thailand dan Sri Lanka memutuskan untuk menarik diri dari INRA. Pada bulan Desember 1999, dewan INRO akhirnya memutuskan untuk melikuidasi organisasi ini dan buffer stock yang dimiliki menjadi sekitar 140 ribu ton. Produsen kemudian mengambil alih cadangan untuk mengatur penjualannya sehingga anggota INRO bisa mendapat harga yang adil. Dalam perkembangan selanjutnya, tugas dan tujuan dari INRO untuk menciptakan pembangunan pasar karet alam Internasional yang sehat, diambil alih oleh International Rubber Study Group IRSG yang menjadi forum kerja sama internasional untuk komoditas karet alam. Hal ini disebabkan International Natural Rubber Organization INRO, yang saat itu diharapkan dapat mengatasi terus terpuruknya harga karet alam di pasaran internasional, ternyata tidak membawakan hasil dan bahkan harga semakin menurun. Sejak dibubarkannya INRO, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilisator harga. Bila terjadi fluktuasi harga, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi seperti INRO. Kemudian Association of Natural Rubber Producing Countries ANRPC, suatu organisasi yang anggotanya terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti INRO, juga tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam upaya mengatasi menurunnya harga karet alam, kemudian pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam bernama International Rubber Consortium Limited IRCo. Kesepakatan pendirian IRCo telah tertuang dalam Memorandum of Undrstanding MoU yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand dan Menteri Primary Industries Malaysia tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema stabilisasi harga yang lain, yaitu Supply Management Scheme SMS dan Agreed Export Tonnage Scheme AETS sebagaimana disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration Bali Declaration 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam. Mekanisme beroperasinya IRCo, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya langkah-langkah Supply Management Scheme SMS dan Agreed Export Tonnage Scheme AETS. Dalam “Joint Ministerial Declaration Bali Declaration 2001”, ketiga negara telah sepakat melaksanakan pengurangan produksi sebesar 4 persen setiap tahunnya dalam jangka waktu tertentu melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor sebesar 10 persen melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2002. 2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme SMS maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada tingkat harga yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan yang harus dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu diantaranya adalah melakukan pembelian karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartit antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 sebelum ditandatanganinya Bali Declaration 2001 harga karet alam berkisar antara 46 USCkg– 52 USCkg. Setelah masing-masing negara anggota melaksanakan AETS Agreed Export Tonnage Scheme dan SMS Supply Management Scheme, harga merangkak naik. Pada bulan Januari 2002 mencapai 53.88 USCkg dan pada bulan Agustus 2003 mencapai 83.06 USCkg. Dengan ditandatanganinya MoU oleh tiga negara pada tanggal 8 Agustus 2002, harga merangkak naik dan pada bulan September 2002 harga mencapai 89.55 USCkg. Pada bulan Maret 2003, harga mencapai tingkat tertinggi yaitu 96.50 USCkg sejak krisis moneter Juli 1997, kemudian menurun lagi, dan pada bulan April 2003 harga karet turun menjadi 81.00 USCkg, namun pada bulan Mei 2003 menjadi 82.00 USCkg. Setelah itu harga cenderung meningkat hingga pada tahun 2005 harga karet telah menyentuh 2.00 USC kg untuk SIR 20 di SICOM Singapura Departemen Pertanian, 2007. Kemudian sejak terjadi krisis global akhir tahun 2008 membuat ITRC dan International Rubber Consortium Limited IRCo bertempat di Bangkok pada 28 dan 29 Oktober 2008 kembali menyepakati tiga langkah menstabilkan pasar antara lain, dua langkah jangka pendek yaitu Aggreed Export Tonnage Scheme AETS dan Strategic Market Operation SMO, dan satu langkah jangka panjang Supply Management Scheme SMC. Ketiga skema di atas akan diimplementasikan ke upaya percepatan program peremajaan accelerated replanting. Program pengurangan ekspor itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga. Secara total ITRC menyepakati pengurangan ekspor karet alam dari tiga negara itu sebesar 915 ribu ton selama tahun 2009 atau sekitar 16 persen dari volume ekspor tahun 2008 yang diperkirakan tidak jauh berbeda dari ekspor karet alam tahun 2007 yang sebanyak 5.5 juta ton. Indonesia mengurangi ekspor sebanyak 116 ribu ton, sedangkan Malaysia sebanyak 22 ribu ton dan terbesar Thailand sebanyak 132 ribu ton. Pengurangan ekspor 915 ribu ton selama tahun 2009 itu sendiri ditetapkan masing-masing sebanyak 700 ribu ton melalui skema kesepakatan ketiga negara Agree Export Tonnage SchemeAETS dan 215 ribu ton dari peremajaan pohon karet di tiga negara tersebut. Sedangkan langkah urgen jangka pendek ada kesepakatan AETS dan jangka panjang dengan cara replanting, diversifikasi tanaman dalam negeri dan strategic market operation, yaitu operasi pasar apabila dibutuhkan. Faktanya eksportir karet di Indonesia pada kuartal I2009 mengurangi volume ekspor sebanyak 197.423 ton atau 170 persen melebihi batas yang telah disepakati tiga negara anggota ITRC yakni sebanyak 116.000 ton. Dengan demikian, volume ekspor selama kuartal I lebih rendah dari target yang ditetapkan. Padahal berdasarkan kesepakatan ITRC, Indonesia dapat mengekspor karet selama semester I tahun 2009 sebanyak 499.459 ton, tetapi realisasi ekspor hanya 418.037 ton. Pengurangan kuota ekspor tersebut antara lain bertujuan menyeimbangkan pasokan sehingga harga tidak jatuh dan diharapkan stabil. Selain mengurangi volume ekspor, ketiga negara juga sudah menyepakati batas harga jualekspor yang mana pihak Gapkindo selaku pihak yang diminta untuk mengawasi jalanya kesepakatan sudah meminta perusahaan anggotanya untuk tidak menjual karet di bawah 1.35 dolar AS per kg Honggokusumo, 2009.

5.4. Perkembangan Ekonomi Karet Alam Indonesia