Pemanfaatan Limbah Cair Fermentasi Tempe sebagai Bahan Penggumpal Lateks untuk Memproduksi SIR

(1)

LAMPIRAN


(2)

(3)

dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe


(4)

Fermentasi Tempe


(5)

Tempe


(6)

Tempe


(7)

Lampiran 7. Plastisimeter


(8)

Lampiran 9. Viskosimeter


(9)

Lampiran 10. Bunsen Pembakar

Lampiran 11. Oven PRI


(10)

Lampiran 12. Alat Creeper

Lampiran 13. Oven Pemanasan


(11)

Lampiran 14. Unit Infra Red

Lampiran 15. Wallace Punch Viskositas


(12)

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1989. Tahu Tempe, Pembuatan Pengawetan dan Pemanfaatan Limbah. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan IPB.

Astawan, M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta : Dian Rakyat

Bathnagar, S. M. 2004. Polymers (Chemistry and Technology of Polymers).Volume 2. New Delhi: S.Chand& Company LTD.

Blackley, D.C. 1997. Polymer Latices, Science and Technologie. 2 nd ed. Dordrecht, Netherland : Kluwer Academic.

Buckle, dkk. 2007. Ilmu Pangan. Jakarta. UI – Press.

Dalimunthe, R. 1983. Kandungan Lateks serta kaitan nya dengan Pembuatan Barang Jadi. Medan.

De Boer. 1952. Pengetahuan Praktis tentang Karet. Bogor. Balai Penyelidikan Karet Indonesia.

Erry Wiryani. Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe. Semarang. Laboratorium Ekologi dan Biosistematik Jurusan Biologi FMIPA UNDIP. Goutara, B. D., dan Tjiptadi, W. 1985. Dasar Pengolahan Karet, Agroindustri. Bogor

:Institut Pertanian Bogor Press.

Junaidi, U. 1996. Penyadapan Tanaman Karet dalam Sapta Usaha Bina Tani. Anwar Chairil(ed). Balai Penelitian Sumbawa.

Kartowardoyo,S. 1980. Penggunaan Wallace Plastimeter Untuk Penentuan Karakteristik – Karakteristik Pematangan Karet Alam. Yogyakarta: UGM-Press.

Kasmidjo. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatan. Semarang. Soegijapranata Press.

Loganathan, K.S. 1998. Rubber Engineering.New Delhi : Indian Rubber Institute. Lovell, P.A. 1997. Emulsion Polymerization And Emulsion Polymers. New York :

John Wiley And Sons.


(14)

Manday, P.B. 2008. Pengaruh Penambahan Asam Formiat sebagai Kegunaan terhadap Mutu Karet (Karya Ilmiah). Medan :USU

Nisandi. 2007. Pengolahan dan Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Briket Arang dan Asap Cair. Yogyakarta :Seminar Nasional Teknologi.

Ong, E.L., Lai, P., C. L., dan Ng, K.P. 1998.Standard Malaysian Glove Scheme Technical Requitments. Malaysia Rubber Seminar, MRBs Malaysian Economic and Technical Mission (Rubber) b Tehe Hon Primary Industries of Malaysia to France, Germany and UK, for (25 Sept- 2 Oct 1998-KL)

Ompusunggu, M. 1987. Pengawetan Bahan Olah Lateks Kebun. Warta Perkaretan.Medan : PusatPenelitian Perkebunan.

Reffrizon. 2003. Viscositas Mooney Karet Alam. Medan : USU Press.

Said, N I dan A. Herlambang. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu Tempe Dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta.

Sarwono. 2005. Membuat Tempe dan Oncom. Cetakan 29. Jakarta : Penebar Swadaya

Setyamidjaja, D. 1993. Karet.Cetakan ke 13.Yogyakarta : Kanisius.

Siregar, T. HS. 1995. Teknik Penyadapan Karet. Cetakan keenam.Yogyakarta : Kanisius.

Spillane, J.J. 1989. Komoditi Karet. Cetakan 1.Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Jakarta : Pradnya Paramita. Suparto, D. 2002. Pengetahuan tentang Lateks Hevea. Kursus Barang Jadi Lateks.

Bogor. Balai Penelitian Teknologi Karet.

Triwiyoso dan Siswantoro. 1995. In House Trainning Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. Balai Penelitian Perkebunan Bogor.

Stude Baker, M.L. 1984. The Rubber Compound and Its Composition.Science and Technology of Rubbers. Academic Press.

Wadah Informasi dan Komunikasi Perkebunan Karet. 1991. Lateks. Palembang. Pusat Penelitian Perkebunan Sembawa.


(15)

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Penerbit Andi

Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air.IPB. Bogor. Winarno, F.G. 1984. Bahan Pangan Terfermentasi. IPB. Bogor.

Yayasan Karet. 1983. Penuntun Praktis Untuk Pembuatan Barang – Barang dari Karet Alam. Jakarta :Penerbit KINTA.

Zuhra, C. F. 2006. Karet.Medan : USU Repository.


(16)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Alat

- Alat Creper Shanghai

- Lab mill Spend Reducer

- Wallace Punch Spend Reducer

- Plastimeter Wallace

- Mooney viskosimeter Sondes

- Cawan Platina

- Pembakar Listrik Karl Kolb

- Oven Gallenkamp

- Muffle furnace Sybron Termolir

- Desikator

- Beaker Glass Pyrex

- Bunsen

- Gelas Ukur Pyrex

- Pipet Tetes - Kaki Tiga - Kawat Kasa - Neraca Analitis - Termometer


(17)

3.2. Bahan

- Lateks STIPAP, Sumatera Utara

- Limbah Cair Tempe - Kertas Lakmus Indikator - Kertas Sigaret

- Mineral Terpentin - Curio Ts Sol 36% -Amonia

-Asam Formiat

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan limbah cair tempe

Diambil limbah cair tempe sebanyak 600 mL, kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan disaring limbah cair tempe lalu dimasukkan filtrat ke dalam beaker glass.

3.3.2 Pengambilan lateks

Diambil lateks sebanyak 1000 mL, kemudian disaring lateks, lalu dihomogenkan lateks.

3.3.3. Pengambilan Asam Formiat sebagai control

Diukur Asam Formiat 67 % sebanyak 80 ml, kemudian diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol penggumpal tanpa amonia, lalu diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol penggumpal dengan amonia.


(18)

3.3.4. Pembuatan Amonia 2,5 % sebagai anti koagulan

Diukur 50 ml amonia 25 %, lalu dimasukkan kedalam labu takar 500 ml, kemudian dihomogenkan, lalu diambil amonia 2,5 % sebanyak 10 ml.

3.3.5. Penggunaan limbah cair fermentasi tempe sebagai penggumpal lateks tanpa penambahan amonia

Disediakan lateks sebanyak 1000 ml, kemudian masing-masing 100 ml lateks dimasukkan ke dalam 10 mangkok penggumpal, untuk mangkok 1; ditambahkan asam formiat sebanyak 40 ml, asam formiat digunakan sebagai kontrol, lalu untuk mangkok ke 2 sampai ke 4 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL pada suhu 30oC, lalu untuk mangkok ke 5 sampai ke 7 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 350C , lalu untuk mangkok ke 8 sampai ke 10 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume

penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 400C, kemudian masing-masing koagulum karet yang terbentuk digiling dengan alat creper sebanyak enam kali gilingan dan dikeringkan 7 hari sehingga menghasilkan karet kering, kemudian setelah itu masing-masing koagulum karet yang sudah kering digiling dengan lab mill sebanyak tiga kali, lalu karet kering yang dihasilkan diuji mutu karetnya yaitu Plastisitas Awal (Po), Plastisitas Retensi Indeks (PRI),

Viskositas Mooney, Kadar Abu, Kadar Kotoran, Kadar Karet Kering (KKK) sesuai dengan ketentuan SIR (Standar Indonesia Rubber).

3.3.6. Penggunaan limbah cair fermentasi tempe sebagai penggumpal lateks dengan penambahan amonia

Disediakan lateks kebun sebanyak 1000 ml, kemudian ditambahkan amonia 2,5 % sebanyak 10 ml kedalam 1000 ml lateks kebun, lalu di diamkan selama 5 jam,


(19)

kemudian masing-masing 100 ml lateks dimasukkan ke dalam 10 mangkok penggumpal, untuk mangkok 1; ditambahkan asam formiat sebanyak 40 ml, asam formiat digunakan sebagai kontrol, lalu untuk mangkok ke 2 sampai ke 4 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL pada suhu 30oC, lalu untuk mangkok ke 5 sampai ke 7 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 ml dengan suhu dinaikkan menjadi 350C , lalu untuk mangkok ke 8 sampai ke 10 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 400C, kemudian masing-masing koagulum karet yang terbentuk digiling dengan alat creper sebanyak enam kali gilingan dan dikeringkan 7 hari sehingga menghasilkan karet kering, kemudian setelah itu masing-masing koagulum karet yang sudah kering digiling dengan lab mill sebanyak tiga kali, lalu karet kering yang dihasilkan diuji mutu karetnya yaitu Plastisitas Awal (Po), Plastisitas Retensi Indeks (PRI), Viskositas Mooney, Kadar Abu, Kadar Kotoran, Kadar Karet Kering (KKK) sesuai dengan ketentuan SIR (Standar Indonesia Rubber).

3.4 Pengujian Mutu Karet

3.4.1. Penetapan nilai Plastisitas Awal (Po ) dan Plastisitas Retensi Index (PRI)

Ditimbang sekitar 15 gram lateks yang sudah dikeringkan, lalu digiling dengan gilingan laboratorium sebanyak tiga kali, lalu lembaran karet tersebut dilipat dua, ditekan perlahan-lahan dengan telapak tangan.

Kemudian lembaran karet tersebut dipotong dengan alat wallace punch sebanyak enam buah potongan uji dengan diameter 13 mm.


(20)

Adapun lembaran karet yang telah dipotong dengan alat Wallace punch dapat dilihat pada gambar 3.1 sebagai berikut :

Gambar 3.1 Lembaran Karet Setelah Dipotong dengan Alat Wallace Punch

Untuk pengukuran plastisitas awal diambil potongan uji (1), sedangkan potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pemanasan. Diletakkan potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan di atas baki dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1400 C selama 30 menit. Lalu dikeluarkan kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Sementara potongan uji (1) sebanyak tiga buah diletakkan satu persatu diantara dua lembar kertas sigaret yang berukuran 35 mm x 45 mm selanjutnya diletakkan di atas piringan plastimeter lalu piringan plastimeter tersebut ditutup. Setelah ketukan pertama piringan bawah plastimeter akan bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas. Dilanjutkan sampai ketukan berakhir yang ditandai dengan angka jarum mikrometer berhenti bergerak pada nilai plastisitas karet. Sedangkan potongan uji (2) setelah pengusangan tadi diukur dengan cara yang sama dan tiga potongan uji dari setiap contoh diambil angka rata-ratanya dan dibulatkan.

1

2

1

2

1

2


(21)

Plastisitas Retensi Index (PRI) dapat dihitung dengan persamaan 3.1 sebagai berikut :

PRI =

× 100% (3.1)

Dimana:

Pa = Plastisitas setelah pemanasan Po = Plastisitas sebelum pemanasan

3.4.2. Penetapan Viskositas Mooney

Sebelum pengukuran dilakukan, alat viskosimeter terlebih dahulu dipanaskan selama 1 jam. Masing-masing lembaran contoh karet diambil 2 buah potongan uji dengan menggunakan alat wallace punch sehingga ukuran diameternya sama dengan ukuran diameter rotor lalu dimasukkan rotor ke contoh karet pertama yang telah diberi lubang dengan gunting lalu dimasukkan bersama-sama ke stator bawah. Contoh kedua diletakkan tepat di atas rotor kemudian ditutup stator atas dan setelah tertutup stopwatch dihidupkan. Setelah tepat satu menit, dijalankan rotor. Setiap setengah menit dilihat nilai viskositas pada alat penunjuk. Angka yang ditunjukkan jarum mikrometer setelah menit keempat adalah nilai viskositas karet.

Nilai viskositas mooney dapat digunakan dengan menggunakan persamaan 3.2 sebagai berikut :

ML(1

+

4)'

×

100

o

C (3.2)

Dimana :

M = Pembacaan nilai viskositas setelah 4 menit L = Besar rotor yang digunakan


(22)

1 = 1 menit waktu pemanasan

4 = Waktu 4 menit lamanya pengujian 100oC = Suhu pengujian

.

3.4.3. Penentuan Kadar Kotoran

Ditimbang sample sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer yang telah diisi mineral terpentin sebanyak 230mL dan Curio Ts Sol 36% sebanyak 1,2 ml. Dipanaskan pada box infrared dengan suhu 255oC selama 2 jam dan selama pemanasan diguncang beberapa kali sampai larut dengan baik. Sebelumnya saringan ditimbang dalam keadaan kosong dan dicatat nomor saringannya. Setelah 2 jam kemudian larutan disaring, kemudian dibilas Erlenmeyer dengan washing bottle untuk membersihkan kotoran yang tinggal di dasar Erlenmeyer.Dikeringkan saringan di dalam oven selama 1 jam sampai mencapai suhu kamar (100oC ) lalu didinginkan saringan beserta kotoran. Kemudian ditimbang dan dicatat berat saringan yang berisi kotoran kotoran.

Kadar kotoran dapat dihitung dengan persamaan 3.3 sebagai berikut :

Kadar kotoran = × 100% (3.3)

Dimana:

A = bobot saringan + kotoran B = bobot saringan kosong C = bobot contoh

3.4.4. Penetapan Kadar Abu

Ditimbang masing-masing 5 gram contoh karet yang telah diseragamkan lalu dipotong-potong. Selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan platina yang telah


(23)

dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Masing-masing cawan yang berisi karet kemudian dipindahkan di atas pembakar listrik/gas sampai tidak keluar asap. Lalu pemijaran diteruskan di dalam tanur pada suhu 5500C selama dua jam (sampai tidak berjelaga lagi). Didinginkan cawan yang berisi abu di dalam desikator sampai suhu kamar selama 30 menit kemudian ditimbang.

Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan 3.4 sebagai berikut :

Kadar Abu = × 100%

(3.4)

Dimana:

A = berat cawan platina + abu B = berat cawan platina

C = berat contoh

3.4.5. Penentuan Kadar Karet Kering (KKK)

Ditimbang lateks untuk menentukan bobot lateks, kemudian digiling karet kering 25 kali dengan ketebalan 6,9 mm untuk membersihkan sampel dari kontaminan seperti potongan kulit karet, lumut, daun, pasir dan sebagainya, lalu digulung hasil gilingan dan ditimbang kembali untuk menentukan bobot karet kering.

Kadar karet kering dapat dihitung dengan persamaan 3.5 sebagai berikut :


(24)

KKK =

x 100% (3.5)

3.5 Bagan Penelitian

3.5.1 Penentuan limbah cair fermentasi tempe

Limbah Cair Tempe

Diambil limbah dari pabrik tempe

Dimasukkan ke dalam wadah

Ditutup rapat

Disaring

Limbah Tempe Residu

3.5.2. Pengambilan lateks kebun

Lateks Kebun

Diambil sebanyak 1000 mL

Disaring dengan ukuran 40 mesh

Dihomogenkan

Lateks Bersih


(25)

3.5.3. Pengambilan Asam Formiat sebagai control

Asam Formiat 67 %

Diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol tanpa menggunakan amonia

Diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol dengan menggunakan amonia

Diukur sebanyak 80 ml

Hasil

3.5.4. Pembuatan Amonia 2,5 % sebagai anti koagulan

Amonia 25 %

Diukur 50 ml

Dimasukkan kedalam labu takar 500 ml Dihomogenkan

Amonia 2,5 %

Diukur 10 ml

Hasil


(26)

3.5.5. Limbah cair fermentasi tempe digunakan sebagai penggumpal lateks tanpa penambahan amonia

Lateks

Dimasukkan 100 mL kedalam mangkok penggumpal

Ditambahkan 20 mL limbah cair fermentasi tempe

Koagulum

Digiling dengan alat creeper sebanyak 6 kali Creeper

Dikeringkan selama 7 hari Karet Kering

Digiling dengan lab mill sebanyak 3 kali Pengujian Mutu Karet

Plastisitas Awal (Po)

Plastisitas Retensi index (PRI)

Viskositas

Mooney KadarAbu

Kadar Kotoran

KKK Disesuaikan pada suhu 30oC

Catatan :

*Perlakuan yang sama diulang dengan variasi volume limbah tempe 40 dan 60 ml dan variasi suhu 300C; 350C; dan 400C.


(27)

3.5.6. Limbah cair fermentasi tempe digunakan sebagai penggumpal lateks dengan penambahan amonia

Lateks

Dimasukkan 100 mL kedalam mangkok penggumpal

Ditambahkan 20 mL limbah cair fermentasi tempe

Koagulum

Digiling dengan alat creeper sebanyak 6 kali Creeper

Dikeringkan selama 7 hari Karet Kering

Digiling dengan lab mill sebanyak 3 kali

Pengujian Mutu Karet

Plastisitas Awal (Po)

Plastisitas Retensi index (PRI)

Viskositas

Mooney KadarAbu

Kadar Kotoran

KKK Disesuaikan pada suhu 30oC Ditambahkan 10 ml amonia 2,5 % Didiamkan selama 5 jam

Catatan :

*Perlakuan yang sama diulang dengan variasi volume limbah tempe 40 dan 60 ml dan variasi suhu 300C; 350C; dan 400C.


(28)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Nilai Plastisitas Awal (Po) dan Plastisitas Retensi Indeks (PRI)

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai Plastisitas Awal (Po) dan

Plastisitas Retensi Indeks (PRI) yang di paparkan pada tabel 4.1 dan 4.2.

Tabel 4.1 Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia

Perlakuan Po Nilai

Tengah

P.30 Nilai

Tengah

PRI % I II III I II III

40 ml asam formiat 46 47 47 46,667 33 34 32 33 70,714 20 ml limbah cair

tempe suhu 300C

44 43 42 43 29 30 29 29,333 68,216 40 ml limbah cair

tempe suhu 300C

39 40 41 40 27 26 28 27 67,5 60 ml limbah cair

tempe suhu 300C

41 38 38 39 27 26 26 26,333 67,521 20 ml limbah cair

tempe suhu 350C

41 41 41 41 27 28 26 27 65,854 40 ml limbah cair

tempe suhu 350C

38 39 38 38,333 25 25 25 25 65,218 60 ml limbah cair

tempe suhu 350C

37 38 36 37 23 21 23 22,333 60,359 20 ml limbah cair

tempe suhu 400C

39 39 40 39,333 25 25 25 25 63,56 40 ml limbah cair

tempe suhu 400C

38 38 38 38 21 24 22 22,333 58,771 60 ml limbah cair

tempe suhu 400C

36 37 37 36,667 19 20 22 20,333 55,453

Tabel 4.2 Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet dengan


(29)

Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia

Perlakuan Po Nilai

Tengah

P.30 Nilai

Tengah

PRI %

I II III I II III

40 ml asam formiat 41 41 41 41 30 30 31 30,333 73,984

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

41 42 40 41 26 26 26 26 63,415

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

39 38 40 39 24 25 23 24 61,538

60 ml limbah cair tempe suhu300C

39 39 38 38,667 24 24 23 23,667 61,206

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

39 39 39 39 25 24 24 24,333 62,393

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

37 38 37 37,333 21 21 21 21 58,929

60 ml limbah cair tempe suhu350C

39 39 39 39 22 21 21 21,333 54,7

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

40 38 39 39 21 21 21 21 53,846

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

37 37 36 36,667 19 18 18 18,333 49,107

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

37 36 36 36,333 19 19 18 18,667 51,377

4.1.2 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Viskositas Mooney

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai viskositas mooney yang di

paparkan pada tabel 4.3 dan 4.4.


(30)

Tabel 4.3 Nilai Viskositas Mooney dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia

Perlakuan Menit Rata-rata

1.00' 1.30' 2.00' 2.30' 3.00' 3.30' 4.00'

40 ml asam formiat 68 68 67 66 66 67 68 67,14286

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

82 80 80 80 79 79 78 79,71429

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

80 79 78 79 79 79 78 78,8572

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

74 64 65 63 63 65 64 65,4286

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

104 78 68 69 68 70 71 75,28571

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

82 79 79 78 67 67 66 74

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

80 78 79 77 74 67 66 74,4286

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

76 73 70 69 67 66 65 69,4286

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

59 60 61 61 61 61 60 60,4286

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

65 66 66 63 60 60 54 62

Tabel 4.4 Nilai Viskositas Mooney dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia

Perlakuan Menit

Rata-rata

1.00' 1.30' 2.00' 2.30' 3.00' 3.30' 4.00'

40 ml asam formiat 59 60 61 61 61 61 60 60,4286

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

70 64 65 62 63 65 64 64,7143

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

62 61 59 59 58 57 57 59

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

59 58 57 58 56 56 55 57

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

80 79 78 79 79 79 78 78,8571

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

76 73 70 69 67 66 65 69,4286

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

62 60 60 61 59 59 58 59,8571

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

84 82 80 80 79 79 78 80,2857

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

70 69 69 67 66 67 65 67,5714

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

60 59 60 61 62 61 60 60,4286


(31)

4.1.3 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Kotoran

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai kadar kotoran yang di paparkan pada tabel 4.5 dan 4.6.

Tabel 4.5 Nilai Kadar Kotoran dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia

Perlakuan Berat

Karet Berat Saringa n Saringan + Berat Kotoran Berat Kotora n Kadar Kotoran (%)

40 ml asam formiat 10,0021 18,3806 18,3812 0,0006 0,006

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0034 18,4223 18,4257 0,0034 0,034

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0013 18,1216 18,1283 0,0067 0,067

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0062 18,6821 18,6950 0,0129 0,129

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0059 18,7296 18,7322 0,0026 0,026

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0018 18,3224 18,3256 0,0032 0,032

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0072 18,1987 18,2043 0,0056 0,056

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0074 18,6445 18,6466 0,0021 0,021

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0024 18,3239 18,3322 0,0083 0,083

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0037 18,8254 18,8348 0,0094 0,094


(32)

Tabel 4.6 Nilai Kadar Kotoran dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia

Perlakuan Berat

Karet Berat Saringa n Saringan + Berat Kotoran Berat Kotora n Kadar Kotoran (%)

40 ml asam formiat 10,0006 18,9775 18,9792 0,0017 0,017

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0016 18,6817 18,6875 0,0058 0,058

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0057 18,8140 18,8212 0,0072 0,072

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

10,0091 18,3267 18,3412 0,0145 0,145

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0002 18,5470 18,5535 0,0065 0,065

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0004 18,3494 18,3541 0,0047 0,047

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

10,0049 18,6249 18,6347 0,0098 0,098

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0033 18,3697 18,3773 0,0076 0,076

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0031 18,9288 18,9380 0,0092 0,092

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

10,0057 18,7607 18,7887 0,0128 0,128

4.1.4 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Abu

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa menggunakan amonia dan menggunakan amonia diperoleh nilai kadar abu yang di paparkan pada tabel 4.7 dan 4.8


(33)

Tabel 4.7 Nilai Kadar Abu dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia

Perlakuan Berat

Karet (g) Berat Cawan (g) Berat Cawan + Abu (g) Berat Abu (g) Kadar Abu (%)

20 ml asam formiat 5,0027 29,7509 29,7740 0,0231 0,461

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0092 27,2171 27,2357 0,0186 0,372

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0034 27,6285 27,6482 0,0197 0,394

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0018 27,4558 27,4906 0,0348 0,695

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0096 28,9153 28,9389 0,0236 0,472

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0013 28,3379 28,3575 0,0196 0,392

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0001 28,1403 28,1810 0,0407 0,813

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0056 28,4998 28,5136 0,0138 0,276

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0038 29,9816 29,9831 0,0386 0,772

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0058 29,6246 29,6684 0,0438 0,875

Tabel 4.8 Nilai Kadar Abu dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia

Perlakuan Berat

Karet (g) Berat Cawan (g) Berat Cawan + Abu (g) Berat Abu (g) Kadar Abu (%)

20 ml asam formiat 5,0012 28,7652 28,7915 0,0263 0,526

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0036 28,2102 28,2169 0,0067 0,134

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0008 28,5529 28,6001 0,0236 0,472

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

5,0076 28,3216 28,3513 0,0297 0,593

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0029 27,9328 27,9523 0,0195 0,390

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0081 27,0219 27,0577 0,0358 0,714

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

5,0032 28,5410 28,5826 0,0416 0,832

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0037 28,5521 28,5644 0,0123 0,246

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0086 28,9174 28,9593 0,0419 0,837

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

5,0017 27,2289 27,2739 0,0450 0,899


(34)

4.1.5 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Karet Kering

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa menggunakan amonia dan menggunakan amonia diperoleh nilai kadar karet kering yang di paparkan pada tabel 4.9 dan 4.10

Tabel 4.9 Nilai Kadar Karet Kering dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia

Perlakuan Berat

Mangkuk Berat Mangkuk + Lateks Berat Lateks Berat Karet Kering Kadar Karet Kering

20 ml asam formiat 25,6392 159,9094 134,2702 38,1237 28,3933

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,7172 156,6409 130,9237 36,1661 27,6238

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,6523 174,9259 149,2376 36,0024 24,1242

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,7475 187,4607 161,7132 35,4533 21,9237

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

25,9300 157,1684 131,2384 37,4858 28,5631

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

25,9833 175,9066 149,9233 37,3798 24,9326

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

26,1581 188,3630 162,2049 35,8857 22,1237

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,7135 157,5807 131,8672 37,9635 28,7892

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,9384 176,0749 150,1365 37,6877 25,1023

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,8632 188,2098 162,3466 37,1391 22,8764


(35)

Tabel 4.10 Nilai Kadar Karet Kering dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan amonia

Perlakuan Berat

Mangkuk Berat Mangkuk + Lateks Berat Lateks Berat Karet Kering Kadar Karet Kering

20 ml asam formiat 25,6392 162,6132 136,9740 37,4196 27,3188

20 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,7172 159,5626 133,8454 33,1370 24,7577

40 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,6523 180,1100 154,4577 33,8499 21,9153

60 ml limbah cair tempe suhu 300C

25,7475 197,5670 171,8195 33,6451 19,5817

20 ml limbah cair tempe suhu 350C

25,9300 161,3002 135,3702 33,5382 24,7752

40 ml limbah cair tempe suhu 350C

25,9833 179,6984 153,7151 33,7363 21,9473

60 ml limbah cair tempe suhu 350C

26,1581 198,3482 172,1901 34,0281 19,7619

20 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,7135 160,9802 135,2667 34,2845 25,3458

40 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,9384 177,9580 152,0196 34,2816 22,5508

60 ml limbah cair tempe suhu 400C

25,8632 197,6376 171,7744 34,8219 20,2719

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Variasi Limbah cair fermentasi tempe terhadap nilai Plastisitas Awal (Po)

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai Plastisitas Awal (Po) yang digambarkan pada gambar di bawah ini :


(36)

Gambar 4.1 Hubungan nilai Plastisitas Awal (Po) vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Gambar 4.2 Hubungan nilai Plastisitas Awal (Po) vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan Penambahan Amonia

Plastisitas Awal (Po) adalah plastisitas karet mentah yang langsung diuji tanpa perlakuan khusus sebelumnya. Syarat uji minimum Po = 30 untuk semua jenis SIR. Pada gambar 4.1 dan 4.2 menunjukkan bahwa semakin banyak volume limbah cair

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

30°C 35°C 40°C

N il a i P o t a n p a A m o n ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

30°C 35°C 40°C

Nil ai P o d en gan Am on ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(37)

tempe yang ditambahkan pada lateks memberikan nilai Po yang semakin rendah dan suhu yang semakin tinggi mengakibatkan nilai Po yang juga semakin rendah. Hal ini disebabkan karena konsentrasi senyawa anti oksidan alamiah dalam karet semakin kecil, yang teradsorbsi ke dalam serum yang menjadikan nilai Po menurun. Adanya lipid yang terdapat dalam lateks akan terhidrolisa menghasilkan asam lemak bebas dan teradsorbsi ke dalam karet sehingga nilai Po menurun.

Di dalam lateks, selain hidrokarbon karet (polimer poliisoprena), terkandung juga berbagai senyawa penting antara lain lipid dan protein. Lipid berperan sebagai antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Masuknya kontaminan ke dalam karet, akan merusak bahan-bahan alami tersebut . Kontaminasi terhadap sesuatu produk diartikan sebagai pencemaran. Dengan demikian kontaminan bisa didefinisikan sebagai zat pencemar, karena berdampak buruk terhadap mutu (Riset, 2004).

Penambahan volume limbah cair fermentasi tempe tanpa penambahan amonia dengan perbandingan 20:100 (v/v karet) dan suhu 30oC yang menghasilkan nilai Plastisitas Awal yang maksimum sebesar 43. Sedangkan Penambahan volume limbah cair fermentasi tempe dengan penambahan amonia dengan perbandingan 20:100 (v/v karet) dan suhu 30oC yang menghasilkan nilai Plastisitas Awal yang maksimum sebesar 41.


(38)

4.2.2 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI)

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) yang digambarkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.3 Hubungan nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa penambahan Amonia

0 10 20 30 40 50 60 70 80

30°C 35°C 40°C

N

il

a

i

P

R

I

ta

n

p

a

A

m

o

n

ia

Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(39)

Gambar 4.4 Hubungan nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Terjadinya reaksi oksidasi pada molekul karet dikarenakan adanya ikatan rangkap. Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap yang akan berakhir dengan pemutusan ikatan rangkap, sehingga rantai polimer akan semakin pendek. Terjadinya pemutusan rantai polimer menyebabkan sifat viskositas dan PRI dan Po karet menurun.(Ompusunggu, 1987).

Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang mempengaruhi nilai PRI adalah perimbangan prooksidan dan anti oksidan dalam karet (Wadah, 1991).

Kandungan ion – ion logam adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah. Reaksi oksidasi yang menyebabkan karet menjadi lunak. Limbah cair fermentasi tempe mengandung ion besi (Fe) yang sedikit sehingga karet yang dihasilkan lebih tahan terhadap oksidasi. Pada gambar

0 10 20 30 40 50 60 70 80

30°C 35°C 40°C

N il a i P R I d e n g a n A m o n ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(40)

4.3 menunjukkan nilai PRI maksimum tanpa penambahan amonia pada perbandingan variasi volume 20 mL dan suhu 30oC yaitu sebesar 68,216. Sedangkan pada gambar 4.4 limbah cair fermentasi tempe dengan penambahan amonia mengalami penurunan yaitu PRI maksimum pada perbandingan variasi volume 20 mL dan suhu 30oC sebesar 63,415, dikarenakan adanya penambahan amonia yang menyebabkan nilai PRI mengalami penurunan.

4.2.3 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Viskositas Mooney

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai viskositas mooney yang digambarkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.5 Hubungan nilai Viskositas Mooney vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa penambahan Amonia

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30°C 35°C 40°C

N il a i V M ta n p a A m o n ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(41)

Gambar 4.6 Hubungan nilai Viskositas Mooney vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan menggunakan Amonia

Viskositas Mooney menunjukkan pangjangnya rantai molekul karet atau berat molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Pada umumnya semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran, dengan kata lain karet nya semakin viskous dan keras.

Apabila berat molekul tinggi maka viskositas mooney akan naik sehingga karetmenjadi viskous dan keras sehingga energi yang dibutuhkan untuk melumat karet sangat besar maka akan kurang menguntungkan maka hal itu tidak dikehendaki oleh konsumen. Sebaliknya apabila viskositasnya rendah hidrokarbon karet dengan berat molekul yang rendah membutuhkan energi yang lebih sedikit jumlahnya, tetapi sifat fisika yang dihasilkan kurang baik.Oleh karena itu karet alam dengan berat molekul yang medium dapat memberikan titik temu antara energi yang hemat dengan sifat fisika yang unggul. Derajat pengikat silang rantai molekul yang tinggi menyatakan semakin banyak reaksi ikatan silang (cross linking reaction) yang terjadi, sehingga akan meningkatkan nilai viskositas Mooney karet alam (Reffrizon. 2003).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30°C 35°C 40°C

N il a i V M d e n g a n A m o n ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(42)

Penggumpalan dengan asam formiat menghasilkan nilai viskositas rendah dibandingkan dengan cara mikrobiologi, panas maupun alami. Penggumpalan secara alami menyebabkan nilai viskositas tinggi dan tidak seragam karena proses penggumpalannya tidak serentak dan merata.

Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai viskositas mooney tanpa penambahan amonia dengan asam formiat yang lebih kecil sebesar 67,143%, sedangkan nilai maksimum visoksitas mooney tanpa penambahan amonia pada volume 20 mL suhu 30C sebesar 79,714%. Sedangkan pada gambar 4.6 menunjukkan bahwa nilai viskositas mooney tanpa penambahan amonia dengan asam formiat yang lebih kecil sebesar 60,428%, sedangkan nilai maksimum visoksitas mooney tanpa penambahan amonia pada volume 20 mL suhu 40C sebesar 80,285%. Dengan adanya penambahan asam formiat menyebabkan nilai viskositas mooney semakin kecil.

4.2.4 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar Kotoran

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai kadar kotoran yang digambarkan pada grafik di bawah ini :


(43)

Gambar 4.7 Hubungan nilai Kadar Kotoran vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Gambar 4.8 Hubungan nilai Kadar Kotoran vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran didalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul darl vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan ketahanan retak lenturnya. Kotoran tersebut juga mengganggu pada pembuatan

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14

30°C 35°C 40°C

N il a i K K t a n p a A m o n ia ( % ) Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16

30°C 35°C 40°C

N il a i K K d e n g a n A m o n ia ( % ) Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(44)

vulkanisat tipis Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi untuk memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling ulang, dilarutkan didalam pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat untuk memudahkan larutnya karet (rubber peptiser).

Pada gambar 4.7 menunjukkan bahwa kadar kotoran maksimum tanpa penambahan amonia dengan perbandingan variasi volume 60 ml suhu 30C sebesar 0,129. Sedangkan pada gambar 4.8 menunjukkan bahwa kadar kotoran maksimum dengan penambahan amonia dengan perbandingan variasi volume 60 ml suhu 30C sebesar 0,145. Melalui perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa semakin banyak volume limbah cair tempe yang digunakan maka kadar kotoran semakin meningkat. Untuk mengeluarkan zat pengotor tersebut diperlukan serangkaian proses pengecilan dan pencucian yang banyak memerlukan air, listrik dan waktu proses. Dengan demikian, kontaminan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap mutu produk, namun juga memerlukan biaya ekstrak untuk membersihkan nya.

4.2.5 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar Abu

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai kadar abu yang digambarkan pada grafik di bawah ini :


(45)

Gambar 4.9 Hubungan nilai Kadar Abu vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa penambahan Amonia

Gambar 4.10 Hubungan nilai Kadar Abu vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Kadar abu dalam karet mentah dapat mengurangi sifat-sifat dinamika yang baik dari vulkanisasi karet alam. Didalam karet mentah terdiri dari oksida, fosfat, karbonat, magnesium, natrium dan beberapa unsur lain dalam perbandingan yang berbeda-beda. Syarat uji untuk kadar abu ini bertujuan untuk menjamin agar karet

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

30°C 35°C 40°C

N il a i K A t a n p a A m o n ia ( % ) Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

30°C 35°C 40°C

N il a i K A d e n g a n A m o n ia Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(46)

mentah yang dihasilkan tidak mengandung terlalu banyak zat-zat kimia anorganik (Asmir Harun, 1984). Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor seperti tanah yang mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan membusuk). Kadar abu ini dapat tinggi akibat perlakukan yang tidak dianjurkan misalnya penggumpalan lateks dengan menggunakan ammonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet kering tinggi. Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar tinggkat pengolahan maka kadar abu semakin rendah, misalnya lateks yang digumpalkan tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari pada dengan pengenceran. Dengan kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan maka semakin rendah kadar abu karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci bersama serum (Kartowardoyo, 1980).

Pada gambar 4.9 dan 4.10 tersebut, besarnya kadar abu dikarenakan adanya kandungan senyawa yang terdapat dalam limbah cair fermentasi tempe. Dimana semakin besar volume limbah cair tempe maka kadar abu semakin meningkat.

4.2.6 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar Karet Kering

Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda dapat mempengaruhi nilai kadar karet kering yang digambarkan pada grafik di bawah ini :


(47)

Gambar 4.11. Hubungan nilai Kadar Karet Kering vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa menggunakan Amonia

Gambar 4.12. Hubungan nilai Kadar Karet Kering vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia

Hasil penyadapan pohon karet berupa getah cair, KKK 20 – 40 %, biasanya 25 – 35 % di perkebunan besar dan 20 – 28 % di perkebunan karet rakyat. KKK tergantung pada musim,umur dan keadaan pohon, cara penyadapan dan lain lain.

0 5 10 15 20 25 30 35

30°C 35°C 40°C

N il a i K K K t a n p a A m o n ia ( % ) Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe

0 5 10 15 20 25 30

30°C 35°C 40°C

N il a i K K K d e n g a n A m o n ia ( % ) Suhu

40 mL asam formiat 20 mL limbah cair tempe 40 mL limbah cair tempe 60 mL limbah cair tempe


(48)

Lateks kebun mutu I mempunyai KKK 28 % dan lateks kebun mutu II mempunyai KKK 20%.

Pada gambar 4.11 KKK maksimum tanpa penambahan amonia pada volume 20 mL dan suhu 20C sebesar 28,5631 %. Sedangkan pada gambar 4.12 KKK maksimum dengan penambahan amonia sebesar 25,3458 %. Hal ini terjadi dikarenakan karena adanya penambahan amonia dalam limbah cair fermentasi tempe yang bertindak sebagai anti koagulan, dimana lateks lebih lama menggumpal dan mempengaruhi berat dari KKK tersebut.

Zat anti koagulan berupa amonia yang termasuk banyak digunakan. Apabila segala sesuatunya dilakukan dengan benar dan cermat maka hasil yang didapat dengan menggunakan amoniak akan memuaskan. Lateks yang akan diolah menjadi crepe hendaknya tidak diberi amoniak secara berlebihan karena berpengaruh terhadap warna crepe yang jadi nantinya. Dosis amoniak yang dipakai untuk mencegah terjadinya prakoagulasi adalah 5-10 mL larutan amoniak 2,5% untuk setiap liter lateks.


(49)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang kami lakukan, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa kandungan asam nitrat dalam limbah cair fermentasi tempe dapat digunakan sebagai penggumpal lateks yang memenuhi Standar Indonesia Rubber (SIR) yaitu SIR 20.

2. Mutu SIR dari lateks yang digumpalkan dengan limbah cair fermentasi tempe pada volume 20 mL dan suhu 300C tanpa penambahan amonia menghasilkan mutu karet yang memenuhi Standar Indonesia Rubber (SIR) 20.

3. Mutu SIR dari lateks yang digumpalkan dengan limbah cair fermentasi tempe pada volume 20 mL dan suhu 300C dengan penambahan amonia menghasilkan mutu karet yang memenuhi Standar Indonesia Rubber (SIR) 20.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh maka disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap bahan penggumpal alami yang digunakan dan menambahkan bahan pengawet pada lateks yang digunakan. Serta menggunakan uji – uji terhadap sifat fisik lain seperti kadar zat menguap, kadar nitrogen, ASHT dan FTIR.


(50)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lateks

Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) adalah tanaman yang tumbuh subur padaiklimtropis. Tanaman ini dapat tumbuh subur pada temperatur rata-rata 80oF (27oC) dan mengalami penurunan hujan tahunan sebanyak 80 inci (Blackley, 1997).

Karet alam yang berwujud cair disebut lateks. Lateks merupakan suatu cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan, yang terdiri atas partikel karet dan bahan non karet yang terdispersi di dalam air (Triwiyoso,dkk. 1995).

Lateks karet alam yang diperoleh dari lateks Hevea brasiliensis adalahberupa cairan putih seperti susu yang diperoleh dari proses penyadapan batang pohon karet. Cairan ini mengandung 30-40% partikel-partikel hidrokarbon karet yang terkandung di dalam serum dan mengandung partikel-partikel seperti protein, karbohidrat dan lainnya (Ong et al,1998). Sementara itu, menurut Goutara, et al (1985), lateks merupakan suatu sistem koloid dengan partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid yang terdispersi di dalam air.

Lateks segar pada umumnya berupa cairan susu, tetapi kadang-kadang sedikit berwarna, tergantung dari klon (varietas) tanaman karet. Lateks atau getah karet terdapat di dalam pembuluh-pembuluh lateks yang letaknya menyebar secara melingkar di bagian luar lapisan kambium. Lateks diperoleh dengan membuka atau menyayat lapisan korteks. Penyayatan lapisan korteks tanaman karet dikenal sebagai proses penyadapan, yaitu suatu tindakan membuka pembuluh lateks agar lateks yang terdapat di dalam tanaman dapat keluar. Faktor-faktor yang


(51)

mempengaruhi produksi lateks adalah penyadapan, arah dan sudut kemiringan irisan sadap, panjang irisan sadap, letak bidang sadap, kedalaman irisan sadap, frekuensi penyadapan dan waktu penyadapan. Lateks hasil penyadapan dikenal dengan nama lateks kebun (Junaidi, 1996).

Lateks segar ketika baru disadap dari pohon bersifat sedikit basa atau netral. Lateks segar dapat dengan cepat berubah menjadi asam akibat kerja bakteri. Pembentukan asam organik menetralisasi muatan negatif pada partikel karet dan lateks terkoagulasi secara otomotis. Akan tetapi hal ini harus dicegah, biasanya dengan penambahan 0,7 % amoniak (Loganathan, 1998).

Telah diketahui bahwa material karet dalam aplikasinya tidak terdiri dari komponen tunggal. Biasanya, ditambahkan satu atau lebih material dasar (kompon) yang terdiri atas elastomer bersama dengan pemvulkanisasi, pengisi, pemplastisasi, antioksidan, pigmen dan lain-lain. Bahan dasar yang diubah menjadi karet pada campuran diatas terntunya adalah polimer, suatu bahan yang memiliki massa molekul tinggi. Polimer jenis ini yang telah dikenal dan telah lama digunakan adalah karet alam. Karet alam terdiri dari rantai linier cis-1,4-poliisoprena yang bermassa molekul tinggi, yang terjadi secara alami sebagai partikel koloid yang terdispersi pada lateks dari spesies tanaman tertentu. Sejauh ini, spesies yang paling penting adalah Hevea brasiliensis. Ketertarikan yang tinggi pada produksi karet alam terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20 disebabkan perkembangan industry motor. Dari periode perang dunia I, terjadi ketertarikan pada produksi karet sintetis sebagai alternatif karet alam. Polimer karet tersebut dihasilkan dari polimerisasi monomer yang biasanya diperolehdari minyak tanah (Lovell, 1997).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kualitas lateks yaitu :

1. Iklim

Musim hujan akan mendorong terjadinya prokogulasi, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan keadaan lateks tidak stabil.


(52)

2. Alat-alat yang digunakan untuk penyadapan, pengumpulan, dan pengangkutan. Peralatan yang digunakan harus bersih untuk menjaga kualitas lateks.

3. Pengaruh pH

Pengaruh pH dapat terjadi karena adanya penambahan asam, basa ataupun elektrolit sehingga membuat lateks tidak stabil dan menggumpal.

4. Pengaruh jasad renik

Jasad renik yang berasal dari udara maupun dari peralatan yang digunakan akan menyerang karbohidrat terutama gula yang terdapat dalam serum lateks yang menghasilkan asam sehingga membuat lateks menggumpal.

5. Pengaruh mekanis

Pengaruh mekanis ini dapat disebabkan oleh proses pengangkutan yang menyebabkan guncangan-guncangan sehingga partikel akan bertubrukan satu sama lain yang dapat menyebabkan terpecahnya lapisan pelindung, dan mengakibatkan penggumpalan (Ompusunggu, 1987).

2.2 Komposisi Lateks

Secara fisiologis lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleus, mitokondria, partikel Frey Wessling, dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun dalam jumlah relatif kecil (Suparto, 2002).


(53)

Apabila lateks Hevea Brasiliensis dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 32.000 rpm selama 1 jam, maka akan terbentuk 4 (empat) fraksi :

1. Fraksi Karet

Fraksi karet terdiri dari partikel-partikel karet yang berbentuk bulat dengan diameter 0,05 – 3 mikron (μ). Partikel karet diselubungi oleh lapisan pelindung yang terdiri dari protein dan lipida dan berfungsi sebagai pemantap.

2. Fraksi Kuning

Fraksi ini terdiri dari partikel-partikel berwarna kuning yang mula-mula ditemukan oleh Frey Wyssling, sehingga disebut partikel Frey Wyssling. Ukuran partikel dan berat jenisnya lebih besar dari partikel karet dan bentuknya seperti bola. Setelah pemusingan dilakukan, partikel Frey Wyssling biasanya terletak di bawah partikel karet dan di atas fraksi dasar.

3. Fraksi Serum

Fraksi serum juga disebut fraksi C (centrifuge cerumi) mengandung sebagian besar komponen bukan karet yaitu air, karbohidrat, protein, dan ion-ion logam.

4. Fraksi Dasar

Fraksi dasar biasanya terdiri dari partikel-partikel dasar. Partikel dasarmempunyai diameter 2 - 5 mikron dan berat jenisnya lebih besar dari berat jenis karet, sehingga pada saat pemusingan partikel-partikel dasar berkumpul di bagian bawah atau dasar (Bhatnagar, 2004).


(54)

Komposisi lateks segar dari kebun dapat dilihat dalam tabel 2.1sebagai berikut :

Tabel 2.1 Komposisi Lateks Segar dari Kebun

Komponen Komposisi dalam

Lateks Segar (%)

Karet hidrokarbon 36

Protein 1,4

Karbohidrat 1,6

Lipida 1,6

Persenyawaan organik 0,4

Sumber: (Ompusunggu, 1987).

Komposisi lateks dalam karet kering dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut :

Tabel 2.2 Komposisi Lateks dalam Karet Kering

Komponen Komposisi dalam

Lateks Kering (%)

Karet hidrokarbon 92–94

Protein 2,5–3,5

Karbohidrat -

Lipida 2,5–3,2

Persenyawaan organik -

Persenyawaan anorganik 0,1-0,5

Air 0,3–1,0

Sumber: (Ompusunggu, 1987).

2.3 Sifat Lateks

Kualitas dan hasil produk karet alam sangat terkenal dan merupakan dasar perbandingan yang baik untuk barang – barang karet buatan manusia.


(55)

Secara umum sifat – sifat lateks adalah sebagai berikut :

a. Sifat fisik

1. Warna setelah koagulasi putih hingga coklat.

2. Elatisitas lateks tersebut semakin bertambah setelah vulkanisasi. 3. Larut dalam benzen.

4. Tidak larut dalam air.

5. Sensitif terhadap perubahan temperatur.

6. Bila dipanaskan maka sifat fisiknya akan semakin baik.

b. Sifat kimia

1. Mudah teroksidasi oleh udara

2. Bila dibakar lateks alam akan berubah menjadi CO2 dan H2O (Yayasan Karet, 1983).

Semua jenis karet adalah polimer tinggi dan mempunyai susunan kimia yang berbeda dan memungkinkan untuk diubah menjadi bahan-bahan yang bersifat elastis (rubberiness). Karet alam adalah suatu komoditi homogen yang cukup baik. Karet alam mempunyai daya lentur yang tinggi, kekuatan tensil dan dapat dibentuk dengan panas yang rendah. Daya tahan karet terhadap benturan, gesekan dan koyakan sangat baik. Namun, karet alam tidak begitu tahan terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti oksidasi dan ozon. Karet alam juga mempunyai daya tahan yang rendah terhadap bahan-bahan kimia seperti bensin, minyak tanah, pelarut lemak (degreaser), pelumas sintetis, dan cairan hidrolik. Karena sifat fisik dan daya tahannya, karet alam dipakai untuk produksi-produksi pabrik yang membutuhkan kekuatan yang tinggi dan panas yang rendah (misalnya ban pesawat terbang, ban truk raksasa dan ban – ban kendaraan) dan produksi – produksi teknik lain yang memerlukan daya tahan yang sangat tinggi (Spillane,J.J., 1989).


(56)

Sifat – sifat karet alam dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut :

Tabel 2.3 Sifat – Sifat Karet Alam

No. Sifat Parameter

1 Massa jenis (g/cm3) 0,91 – 0,93

2 Indeks bias (nd25) 1,519

3 Kuat tarik 300 – 4000

4 Elongasi (%) 100 -700

5 Modulus tarik (105 psi) 0,025

6 Titik leleh (oC) Tidak tajam (Amorf)

7 Titik transisi gelas (oC) -70

8 Suhu pakai (oC) -50 sampai 80

9 Kekerasan 20 – 100

10 Sifat dinamik Baik

11 Sifat listrik Baik

12 Permanen set Rendah

13 Adhesi Baik

14 Ketahanan cuaca Cukup

15 Ketahanan ozon Rendah

16 Ketahanan minyak/pelarut organik Rendah

17 Ketahanan abrasi Cukup

Sumber: (Studebaker, 1984).

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa karet alam mempunyai beberapa kelebihan dibanding material lain, yaitu mempunyai kekenyalan yang tinggi dengan kalor yang terjadi rendah, daya rekat cukup tinggi, ketahanan leleh cukup tinggi, sangat elastis, mempunyai kekuatan tumbuk (Impact Strength) yang baik. serta kuat tarik yang tinggi. Sedangkan kelemahan karet alam yaitu: relatif dapat terdegradasi oleh sinar UV dan ozon karena mempunyai ikatan rangkap, serta mudah mengalami pengembunan (swelling).


(57)

2.4 Penggumpalan Lateks

Penggumpalan lateks merupakan peristiwa perubahan sol menjadi gel. Proses penggumpalan lateks dapat terjadi dengan sendirinya dan dapat pula karena pengaruh dari luar seperti gaya mekanis (gesekan), listrik panas, enzim, asam, maupun zat penarik air. Penggumpalan lateks dari luar atau disengaja untuk mempercepat proses penggumpalan dan untuk memperoleh koagulum karet dengan mutu yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien dan lebih murah.. Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan.

Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan) butir-butir karet yang terdapat dalam cairan lateks agar menjadi suatu gumpalan atau koagulum. Perubahan lateks menjadi suatu koagulum membutuhkan bahan pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Lateks segar yang diperoleh dari hasil penyadapan memiliki pH 6,5.

Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena muatan partikel karet di dalam lateks, sehingga daya interaksi karet dengan pelindungnya menjadi hilang. Partikel karet yang sudah bebas akan bergabung membentuk gumpalan. Penurunan muatan dapat terjadi karena penurunan pH lateks, dengan menurunkan pH hingga tercapai titik isoelektrik yaitu pH dimana muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol. Titik isoelektrik karet di dalam lateks kebun adalah pada pH 4,5 – 4,8 (tergantung jenis klon) (Manday, 2008).


(58)

Adapun hubungan antara pH dan muatan listrik pada lateks dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Titik Isoelektrik Daerah stabil ( + )

0 2 4 6 8 10 Daerah stabil

Daerah ( - )

Pembekuan

Gambar 2.1 Hubungan antara pH dan Muatan Listrik Sumber : (Manday, 2008)

Proses penggumpalan karet didalam lateks juga dapat terjadi secara alamiah akibat aktivitas mikroba. Karbohidrat dan protein lateks menjadi sumber energi bagi pertumbuhan mikroba dan diubah menjadi asam-asam lemak eteris (asam formiat, asam asetat dan propionat). Semakin tinggi konsentrasi- konsentrasi asam tersebut maka pH lateks akan semakin menurun dan setelah tercapai titik isoelektrik karet akan menggumpal (Manday, 2008).

Kandungan protein yang terdapat dalam lateks segar berkisar antara 1,0 – 1,5 % dan sebagian dari protein tersebut teradsorbsi pada partikel karet, dan sebagian larut dalam serum. Protein yang teradsorbsi pada permukaan partikel karet berfungsi sebagai lapisan pelindung, dimana protein akan memberikan muatan negatif yang mengelilingi partikel karet sehingga mencegah terjadinya interaksi antara sesama partikel karet seperti digambarkan pada gambar 2.2.


(59)

1 2 H+ O -H+ H+ H + O -H+ H+ O -H+ H+ O -H+ H + O -H+ H+ O -3

Gambar 2.2. Partikel Karet dengan Lapisan Pelindung dan Molekul air 1. Partikel karet

2. Lapisan fosfolipid dan protein muatan negatif 3. Molekul air

Namun dengan adanya mikroorganisme maka protein tersebut akan terurai sehingga lapisan pelindung partikel karet akan rusak dan terjadilah interaksi antara partikel karet membentuk flokulasi atau gumpalan (Safitri, 2009).

Penambahan elektrolit yang bermuatan positif akan dapat menetralkan muatan negatif, sehingga interaksi air dengan partikel karet akan rusak, mengakibatkan karet menggumpal. Petani karet sering menggunakan tawas (Al3+) sebagai bahan penggumpal lateks. Sifat penggumpalan lateks dengan tawas kurang baik, karena dapat mempertinggi kadar kotoran dan kadar abu karet. Selain itu semakin tinggi konsentrasi logam dapat mempercepat oksidasi karet oleh udara yang menyebabkan terjadi pengusangan karet dan PRI menjadi rendah. Pada pembuatan lump mangkok untuk bahan olah SIR 20 atau SIR 10 penggumpalan secara alamiah sering dilakukan. Lateks dibiarkan menggumpal selama 24 jam, kemudian besok harinya dipungut. Lump mangkok harus dideres setiap harinya, agar variasi mutu bahan olah lump tersebut tidak terlalu besar (Manday, 2008).


(60)

Beberapa cara penggumpalan lateks dari luar antara lain:

1. Penurunan pH lateks

Penurunan pH lateks dapat dilakukan dengan penambahan larutan asam. Asam-asam yang banyak digunakan sebagai penggumpal lateks adalah Asam-asam formiat dan asam asetat. Pada proses ini, pH lateks diusahakan disekitar titik isoelektrik lateks yaitu 4,4-5,3 dimana muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol.

2. Penambahan larutan elektrolit

Penambahan larutan elektrolit yang mengandung logam seperti Ca2+, Mg2+, Ba2+, K+, Al3+ kedalam lateks menyebabkan penurunan potensial listrik partikel karet dan mengakibatkan lateks menggumpal.

3. Penambahan senyawa penarik air

Penggumpalan lateks dengan cara menarik air (dehidrasi) dilakukan dengan menambahkan senyawa alkohol dan aseton yang dapat mengganggu lapisan molekul air di dalam lateks. Penggumpalan dengan cara ini jarang dilakukan karena karet yang dihasilkan memiliki mutu yang kurang baik (Ompusunggu, 1987).

2.5 Struktur Kimia Karet

Polyisoprena adalah gabungan dari unit – unit monomer hidrokarbon C5H8

(isoprene) yang membentuk rantai panjang dan jumlahnya sangat banyak. Karet alam adalah makro molekul polyisoprenayang bergabung dengan ikatan kepala ke ekor. Konfigurasi dari polimer ini adalah konfigurasi ”cis” dengan susunan ruang yang teratur, sehingga rumus dari susunan karet adalah 1,4 cis polyisoprena. Susunan ruang demikian membuat karet mempunyai sifat kenyal.


(61)

Adapun rumus bangun dari isoprena dan cis 1,4 polyisoprena dapat dilihat pada gambar 2.1 dan gambar 2.2 sebagai berikut :

CH3

CH2 C CH CH2

Gambar 2.3 Struktur monomer Isoprena

C = C

CH3 H

CH2 CH

2

n

Gambar 2.4 Rumus bangun cis - 1,4 Polyisoprena Sumber: (Stevens, 2001).

”n” adalah derajat polimerisasi yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah

monomer dalam rantai polimer. Nilai ”n” dalam karet berkisar antara 3000 – 15000. Viskositas karet berkorelasi dengan nilai ”n”. Semakin besar nilai n akan

semakin penjang rantai molekul karet menyebabkan viskositas mooney semakin tinggi. Karet yang terlalu keras kurang disukai konsumen, karena akan mengkonsumsi energi yang lebih besar sewaktu proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi. Tetapi sebaliknya karet yang viskositas mooney-nya terlalu rendah juga kurang disukai karena sifat tegangan putus dan perpanjangan putus menjadi rendah. Adanya ikatan rangkap karbon ( -C=C- ) padas molekul karet memungkinkan dapat terjadi reaksi oksidasi. Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap molekul, sehingga viskositas mooney menurun. Terjadinya pemutusan ikatan rangkap molekul, sehingga panjang rantai polimer


(62)

semakin pendek. Terjadinya pemutusan rantai polimer mengakibatkan sifat Po dan PRI karet jadi rendah. Oksidasi karet oleh udara (O2) akan semakin lambat bila kadar antioksidan alam (protein dan lipida) tinggi serta kadar ion – ion logam dalam karet (Ca, Mg, Cu, Fe, Na, Rb dan Mn) rendah (Ompusunggu, 1987).

2.6 Tempe

Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang sangat terkenal di Indonesia. Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang menggunakan bahan baku kedelai. Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh. Tempe segar tidak dapat disimpan lama, karena tempe tahan hanya selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe mati dan selanjutnya akan tumbuh bakteri atau mikroba perombak protein, akibatnya tempe cepat busuk ( Sarwono, 2005).

Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase.Bahan pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme (Buckle, 2007).

Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin - vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Kasmidjo, 1990).


(63)

Proses fermentasi pembuatan tempe memakan waktu 36 – 48 jam. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstur yang lebih kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan terjadinya kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur juga menurun dan menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amoniak. Akibatnya, tempe yang dihasilkan mengalami proses pembusukan dan aromanya menjadi tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa yang dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat (Winarno, 1984).

Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari aroma miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas dan aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin lama fermentasi berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi pelepasan amonia (Astawan, 2008).

Komposisi kimia dalam 100 gr tempe kedelai dapat dilihat pada tabel 2.4 sebagai berikut :

Tabel 2.4 Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai

Komposisi Jumlah

Kaloro (kal) 149,00

Air (gr) 64,00

Protein kasar (gr) 18,30

Lemak (gr) 4,00

Vitamin A (SI) 50,00

Karbohidrat (gr) 12,70

Kalsium (gr) 129,00 Fosfor (mg) 154,00 Vitamin B1 (mg) 0,17 Besi (mg) 10,00 Sumber: (Direktorat Gizi Depkes RI, 1992),


(64)

2.7 Limbah cair tempe

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis (Nisandi, 2007).

Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang diperoleh dari proses proses tersebut diatas dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan mengambang pada proses pencucian serta lembaga yang lepas pada waktu pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989).

Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang relatif singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut (Wardoyo,1975). Adanya proses pembusukan, akan menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama pada musim kemarau dengan debit air yang berkurang. Ketidakseimbangan lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan tersebut .

Bahan yang terbuang dalam proses pembuatan tempe yang berasal dari 1000 gram tempe kedelai adalah sebesar 21,9 % yang terdiri dari 8 % kulit, 12,2 % larut dalam proses perebusan dan 1,7 % hilang pada proses inkubasi. Pada proses pembuatan tempe diperlukan proses perebusan kedelai selama kurang lebih setengah jam kemudian dilakukan perendaman kedelai selama satu malam dan proses fermentasi selama dua hari.


(65)

Adapun bagan proses pembuatan tempe dapat dilihat pada gambar 2.3 sebagai berikut :

KEDELAI

PEREBUSAN

PERENDAMAN

PENCUCIAN

PEMECAHAN

PEMISAHAN KULIT

PENCUCIAN

PERAGIAN

PENIRISAN

PEMBUNGKUSAN (Dengan Daun Pisang)

Kedelai masak

Kedelai rendaman

Kedelai bersih

Campuran kedelai kupas dan kulit

Kedelai kupas

Kedelai bersih

TEMPE Air untuk merebus

Air rendaman

Air pemisahan

Air pencuci

Air pelarut ragi

air limbah air limbah air limbah + kulit

air limbah air limbah air limbah

Gambar 2.5 Bagan Proses Pembuatan Tempe ( Said dan Herlambang, 2003).


(66)

Berdasarkan bagan diatas nampak bahwa hampir disetiap tahap pembuatan tempe menghasilkan limbah. Komposisi kedelai dan tempe yang sebagian besar terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak, maka dalam limbahnya dapat diduga akan terkandung unsur unsur tersebut.

Hasil analisis kandungan limbah cair tempe dapat dilihat pada tabel 2.5

Tabel 2.5 Hasil Analisis Kandungan Limbah Cair Tempe

No. Parameter Satuan

Baku Mutu Air Limbah (Gol. 1V) Air Limbah (Gol. 1V) Limbah Cair Dari Rebusan Kedelai (Rata rata) Limbah Cair Dari Rendaman Kedelai (Rata rata)

1 Suhu oC 45 75 32

2 TDS (Total Dissolve Solid)

mg/ l 5.000 25.060 25.254

3 TSS (TotalSuspended Solid)

mg/ l 500 4.012 4.551

4 pH mg/ l 5 – 9 6 4,16

5 NH3N (Amoniak bebas) mg/ l 20 16,5 26,7

6 NO3N (Nitrat) mg/ l 50 12,52 14,08

7 DO (Dissolve Oxygen) mg/ l - Ttd Ttd

8 BOD

(BiologicalOxygen Demand)

mg/ l 300 1.302,03 31,380,87

9 COD (Chemical Oxygen Demand )

mg/ l 600 4.188,27 35.398,87

Keterangan: Tercetak tebal berarti melampaui standart Baku Mutu Limbah Cair. Ttd berarti tidak terdeteksi (Erry Wiryani).


(67)

Berdasarkan Tabel 2.5 diatas dapat dinyatakan bahwa baik limbah cair yang berasal dari air rebusan maupun air rendaman kedelai berpotensi untuk mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Suhu limbah cair yang berasal dari rebusan kedelai mencapai 750C. Apabila setiap hari perairan memperoleh pasokan limbah cair dengan suhu yangtinggi maka akan membahayakan kehidupan organisme air. Suhu yang optimum untuk kehidupan dalam air adalah 25 – 300C.Air sungai yang suhunya naik akan mengganggu kehidupan hewan maupun tanaman air karena kadar oksigen terlarut akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu (Wardhana, 2004).

Tumbuhan air akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air dibawah 100C atau diatas 400C. Terdapat hubungan timbal balik antara oksigen terlarut dengan laju pernapasan mahkluk hidup. Meningkatnya suhu akan menyebabkan peningkatan laju pernapasan makhluk hidup dan penurunan oksigen terlarut dalam air. Laju penurunan oksigen terlarut (DO) yang disebabkan oleh limbah organik akan lebih cepat karena laju peningkatan pernapasan makhluk hidup yang lebih tinggi.

2.8 Karet SIR-20

Standar mutu karet bongkah Indonesia tercantum dalam Standar Indonesia Rubber (SIR). SIR adalah Karet bongkah (karet remah) yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditentukan. Karet SIR-20 berasal dari koagulum (lateks yang sudah digumpalkan) atau hasil olahan seperti lum,sit angin, getah keeping sisa, yang diperoleh dari perkebunan rakyat dengan asal bahan baku yang sama dengan koagulum. Prinsip tahapan proses pengolahan karet SIR-20 yaitu tahapan sortasi bahan baku, tahapan pembersihan dan pencampuran makro, tahapan peremahan pengeringan, tahapan pengempaan bandela, dan tahapan pengemasan.


(68)

Perbedaan SIR 5, SIR 10, dan SIR 20 adalah pada standar spesifikasi mutu kadar kotoran, kadar abu dan kadar zat menguap yang sesuai dengan Standar Indonesia Rubber. Langkah proses pengolahan karet SIR 20 bahan baku koagulum (lum mangkok, sleb, sit angin, getah sisa). Disortasi dan dilakukan pembersihan dan pencampuran mikro, pengeringan gantung selama 10 hari sampai 20 hari, peremahan, pengeringan, pengempaan bandela, (setiap bandela 33 Kg atau 35 Kg), pengemasan dan karet SIR-20 siap untuk diekspor (Ompusunggu, 1987).

2.9 Uji Mutu Karet

2.9.1. Plastisitas Awal (Po)

Plastisitas awal (Po) menggambarkan kekuatan karet. Kegagalan pemenuhan syarat Po dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bahan baku yang telah mengalami degradasi akibat perlakuan yang tidak tepat seperti perendaman didalam air, penggunaan formalin sebagai pengawet lateks kebun dan umur bahan olah yang terlalu lama dapat menyebabkan nilai Po.

Nilai Po yang rendah juga bias disebabkan oleh adanya pengeringan suhu yang terlalu tinggi (<1300C) dalam waktu yang lama dan pengeringan ulang karet yang kurang matang.. Pemeraman juga dapat menyebabkan karet menjadi keras dengan disertai peningkatan nilai viskositas atau Po, serta penurunan PRI.

Nilai Po crumb rubber juga dipengaruhi oleh karakter bahan baku yaitu lateks kebun. Jenis bahan penggumpal berpengaruh baik terhadap nilai Po maupun ketahanan karet terhadap pengusangan (PRI).

2.9.2. Plastisitas Retention Index (PRI)

Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang sederhana dan cepat untuk mengukur ketahanan karet terhadap degadasi oleh oksidasi pada suhu


(69)

tinggi. Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap molekul karet, yang akan berakhir dengan pemutusan ikatan rangkap karbon-karbon sehingga panjang rantai polimer semakin pendek.

Terputusnya rantai polimer pada karet mengakibatkan sifat karet menjadi rendah. Bila nilai PRI diketahui, dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet mudah menjadi lunak atau lengket jika lama disimpan atau dipanaskan. Hal ini berhubungan dengan vulkanisasi karet pada pembuatan barang jadi, agar diperoleh sifat dari barang jadi karet yang lebih kuat. Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan proses pengolahan karet. Terdapatnya nilai PRI yang rendah, disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi pada karet.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya oksidasi pada karet antara lain adalah:

a. Sinar Matahari

Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang menggiatkan terjadinya oksidasi pada karet apabila bahan baku lateks dan koagulum tekena langsung oleh sinar matahari, hal ini ditandai dengan mengeringnya kulit permukaan lateks dan koagulum.

b. Pengenceran lateks dan Koagulum

Pengenceran lateks dengan penambahan air yang terlalu banyak dan perendaman dengan air yang terlalu lama yang tujuannya untuk mencuci kotoran-kotoran yang melekat pada koagulum. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat-zat non-karet didalam lateks seperti terlarutnya asam-asam amino yang berfungsi sebagai anti oksidasi dan dapat juga berfungsi sebagai bahan pemacu cepat pada pembuatan barang jadi karet yang selanjutnya menurunkan PRI pada karet.


(70)

c. Zat-zat pro-oksidasi (tembaga atau mangan)

Kandungan ion-ion log seperti Cu, Mg, Mn, dan Ca berkolerasi dengan kadar abu didalam analisa karet. Kadar abu diharapkan rendah karena sifat logam tembaga (Cu) dan mangan (Mn) adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah.

d. Pengeringan karet

Penguraian molekul karet oleh reaksi oksidasi dapat pula terjadi bila karet dikeringkan terlalu lama dan temperatur pengeringan yang dipakai adalah 127oC, dengan waktu pengeringan 2 - 4 jam tergantung pada jenis alat pengeringan. Nilai PRI akan turun bila terjadi ikatan silang (Storage Hardening) didalam lateks kebun dan diantara butiran-butiran karet hasil pengeringan. Ikatan silang terjadi pada pembentukan gel secara perlahan-lahan sehingga butiran-butiran karet menjadi melendir dan lengket-lengket. Hal ini akan menyebabkan plastisitas karet Po karet, maka akan merubah nilai PRI karet sehingga menjadi turun (Omppusunggu, 1987).

Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang mempengaruhi nilai PRI adalah perimbangan prooksidan dan antioksidan dalam karet (Wadah, 1991).

Pengujian ini meiiputi pengujian plastisitas Wallace dari potongan uji sebelum dan sesudah pengusangan didalam oven. Nilai PRI diukur dari besarnya keliatan karet mentah yang masih tertinggal apabila sampel karet tersebut dipanaskan didalam oven selama 30 menit pada suhu 1400C. Nilai PRI adalah persentase keliatan karet sesudah dipanaskan dan ditentukan dengan alat ukur Wallace Plastimeter.


(1)

3.3.2 Pengambilan Lateks 34

3.3.3 Penggunaan Asam Formiat sebagai Kontrol 34

3.3.4 Pembuatan Amonia 2,5% sebagai Antikoagulan 35

3.3.5 Penggunaan Limbah Cair Fermentasi 35

Tempe sebagai Penggumpal Lateks tanpa Penambahan Amonia 3.3.6 Penggunaan Limbah Cair Fermentasi 35

Tempe sebagai Penggumpal Lateks dengan Penambahan Amonia 3.4. Pengujian Mutu Karet 36

3.4.1 Penetapan Nilai Plastisitas Awal (Po) 36

Dan Plastisitas Retensi Index (PRI) 3.4.2 Penetapan Viskositas Mooney 38

3.4.3 Penetapan Kadar Kotoran 39

3.4.4 Penetapan Kadar Abu 39

3.4.5 Penentuan Kadar Karet Kering (KKK) 40

3.5. Bagan Penelitian 41 3.5.1 Penentuan Limbah Cair Tempe 41

3.5.2 Pengambilan Lateks 41

3.5.3 Penggunaan Asam Formiat sebagai Kontrol 42

3.5.4 Pembuatan Amonia 2,5% sebagai Antikoagulan 42

3.5.5 Limbah Cair Fermentasi tempe digunakan 43

sebagai Penggumpal Lateks tanpa Penambahan Amonia 3.5.6 Limbah Cair Fermentasi tempe digunakan 44

sebagai Penggumpal Lateks dengan Penambahan Amonia Bab 4 Hasil dan Pembahasan 45

4.1. Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan 45 Plastisitas Awal (Po) dan Plastisitas Retensi Indeks (PRI) 4.1.2 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan 46 Viskositas Mooney 4.1.3 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan 48 Kadar Kotoran 4.1.4 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan 49 Kadar Abu 4.1.5 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan 51 Kadar Karet Kering (KKK) 4.2. Pembahasan 52 4.2.1 Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe

Terhadap Nilai Plastisitas Awal (Po)

4.2.2 Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe 55 Terhadap Nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI)


(2)

4.2.3. Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe 57 Terhadap Penetapan Viskositas Mooney

4.2.4 Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe 59 Terhadap Penetapan Kadar Kotoran

4.2.5 Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe 61 Terhadap Penetapan Kadar Abu

4.2.6 Pengaruh Limbah Cair Fermentasi Tempe 63 Terhadap Penetapan Kadar Karet Kering

Bab 5. Kesimpulan Dan Saran 66

5.1. Kesimpulan 66

5.2. Saran 66

Daftar Pustaka 67


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel

2.1. Komposisi Lateks Segar dari Kebun 12 2.2. Komposisi Lateks dalam Karet Kering 12 2.3. Sifat-sifat Karet Alam 14 2.4. Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai 21 2.5. Hasil Analisis Kandungan Limbah Cair Tempe 24 4.1. Nilai Plastisitas Awal (Po) dan Plastisitas Retensi 45

Indeks (PRI) Karet dengan Penggumpal Limbah Cair

Fermentasi Tempe tanpa penambahan Amonia 4.2. Nilai Plastisitas Awal (Po) dan Plastisitas Retensi 46

Indeks (PRI) Karet dengan Penggumpal Limbah Cair

Fermentasi Tempe dengan penambahan Amonia 4.3. Nilai Viskositas Mooney Karet dengan Penggumpal 47

Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa penambahan Amonia

4.4. Nilai Viskositas Mooney Karet dengan Penggumpal 47 Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan

Amonia

4.5. Nilai Kadar Kotoran Karet dengan Penggumpal Limbah 48 Cair Fermentasi Tempe tanpa penambahan Amonia

4.6. Nilai Kadar Kotoran Karet dengan Penggumpal Limbah 49 Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan Amonia

4.7. Nilai Kadar Abu Karet dengan Penggumpal Limbah 50 Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan Amonia

4.8. Nilai Kadar Abu Karet dengan Penggumpal Limbah 50 Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan Amonia

4.9. Nilai Kadar Karet Kering (KKK) Karet dengan 51 Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa

penambahan Amonia

4.10. Nilai Kadar Karet Kering (KKK) Karet dengan 52 Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa


(4)

(5)

(6)