Profil Informan DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

41 34. Membuat perjanjian tertulis yang disaksikan oleh orang tuawali siswa yang bersangkutan. 35. Dirumahkan bahkan dikeluarkan oleh pihak sekolah.

4.2 Profil Informan

Nama : Lina Sitohang Kelas : X Agama : Kristen Suku : Tionghoa Informan yang pertama ini bernama Lina, Seorang siswa perempuan yang berusia 16 tahun. Siswa yang memiliki darah campuran suku batak dan tionghoa yang di dapat dari keturunan orang tuanya. Lina mengatakan bahwa ayahnya merupakan keturunan etnis tionghoa asli tetapi ayahnya membeli marga “ Sitohang” dengan tujuan untuk bisa berbaur dengan orang batak. Dari segi fisik, lina memang seperti orang-orang tionghoa, tetapi pada saat ditanya suku, dia lebih suka memanggil dirinya sebagai suku batak di bandingka dengan tionghoa, karena nilai seperti itu yang ia dapatkan dari lingkungan keluarganya. Lina merupakan salah satu siswa SMA Sutomo 2 yang sedang duduk di kelas X-5. Alasan yang melatarbelakangi lina memilih untuk bersekolah di SMA Sutomo 2, Medan adalah karena menurutnya SMA Sutomo 2 merupakan sekolah yang terfavorit di kota Medan,selain itu lina juga telah bersekolah di Universitas Sumatera Utara 42 Sutomo semenjak SMP, dan tentunya atas dorongan orang tuanya. Lina merasa beruntung bisa bersekolah di Sutomo 2, hal tersebut di karenakan fasilitas yang didapatkan lina sangat memadai, dari segi materi, sarana dan prasarananya sangat membantu para siswa untuk bisa belajar efektif. Tidak hanya itu saja lina juga mengakui kecakapan guru di Sutomo 2 sangat pintar dan bagus dalam mengajar para siswa. Selama lina bersekolah di SMA Sutomo 2, mengakui ada sedikit kesulitan dalam berinteraksi terutama penggunaan bahasa. Apalagi ketika berbicara dengan siswa yang non tionghoa, sedikit ada kesulitan. Hal tersebut dikarenakan siswa yang bersekolah disini mayoritas tionghoa, tetapi selama ini siswa tidak pernah mempermasalahkan itu. Malah sebaliknya siswa saling bertukar bahasa, misalnya suku batak belajar bahasa hokkien dan sebaliknya. Menurt lina terkadang siswa yang non tionghoa sedikit merasa minder ketika berinteraksi dengan siswa tionghoa, mungkin di karenakan penggunaan bahasa dan tidak terbiasa berinteraksi dengan yang tionghoa. Tetapi biasanya itu pada saat baru bersekolah tapi lama kelamaan akan terbiasa dan akan mengerti dengan sendirinya bahasa hokkien. Guru di SMA Sutomo 2 sangat memaklumi para siswanya, menurut lina para guru tidak berbicara bahasa daerah di dalam kelas, dan menekankan bahasa indonesia, pengakuan lina sendiri ketika berbicara dengan guru tionghoa menggunakan bahasa daerah, karena biar terlihat lebih akrab dan gurunya juga menggunakan bahasa daerah yang sama juga. Sepengetahuan lina sesama guru yang tionghoa pada saat berbicara dengan guru yang tionghoa pastinya akan berbicara bahasa daerah, dan guru yang misalnya suku batak juga tentu berbahasa batak, jadi menurut lina itu tidak ada masalah. Universitas Sumatera Utara 43 Lina menyadari bahwa masih terdapat kesenjangan di antara para siswa, tetapi lina sendiri merasa hal tersebut tidak terjadi pada dirinya, di karenakan lina menyandang marga. Selain itu menurut lina teman-temannya masih suka mengelompokkan teman yang non tionghoa, sebagai contohnya pada saat jam istirahat, mereka lebih suka berteman dengan yang sesama suku. Menurut lina itu biasa terjadi di kalangan siswa, berkaitan dengan kenyamanan para siswa dalam bergaul. Siswa berteman satu sama lain baik di dalam kelas dan diluar kelas, hanya saja pada saat di luar kelas sangat jarang nongkrong bareng. Kecuali pada saat ada yang merayakan ulang tahun maka semua teman di kelas di undang. Menurut lina semua orang itu sama saja, kan kita sama-sama bangsa Indonesia jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan atas dasar perbedaan. Nama : Frederick Kelas : XI IPA 1 Agama : Kristen Suku : Batak Informan Frederick yang berusia 17 tahun, yang berasal dari suku batak dan agama kristen memilih bersekolah di SMA Sutomo 2 di karenakan orang tuanya merupakan salah satu guru yang mengajar di Sutomo 2, medan. hal tersebut tentunya sangat mendukung akses kemudahan dalam mendapatkan pendidikan, misalnya biaya pendidikan gratis di sekolah, dan Universitas Sumatera Utara 44 tentunya banyak di kenal oleh siswa lainnya. Frederick mengatakan secara pribadi, di bandingkan dengan sekolah negeri pendidikan di Sutomo sangat memadai, hal tersebut pernah di rasakan frederick ketika dulu pada waktu SMP di sekolah negeri. Hal tersebut sangat jauh berbeda dari segi materi, fasilitas, guru dan juga pendidikannya. Sebelum memutuskan sekolah di SMA Sutomo 2, frederick telah mengetahui mengenai keadaan sekolah tersebut dari ayahnya yang mengajar di Sutomo 2, pada awalnya frederick merasa canggung pertama kali masuk SMA, tapi karna teman-temannya tau bahwa frederick anak dari guru jadi F mendapat banyak teman. Begitu juga dengan teman yang tionghoa mereka sangat ramah dengan frederick, tetapi tetap saja frederick merasa itu hanya sebatas teman biasa di kelas. Tapi kalau untuk teman dekat frederick merasa lebih nyaman dengan teman yang sama dengannya misalnya dari suku mana aja yang penting bukan tionghoa, hal tersebut terbentur oleh penggunaan bahasa daerah mereka “ Hokkien”. Frederick mengatakan mana pula dia mengerti bahasa mereka. Hal yang paling tidak di sukai frederick adalah terkadang mereka masih suka menjelek-jelekan orang kita “ Huana”, dan bahkan terlibat ejek- ejekan mengenai suku, tapi kalau dalam hal agama tidak pernah terjadi masalah sejauh yang frederick tahu. Belum lagi mereka lebih menyukai mengelompok misalnya pada saat pembagian tugas kelompok, mereka lebih memilih teman yang tionghoa juga, dan kalaupun memilih orang kita tentu karena sudah berteman dekat misalnya dari SD, SMP, dan sampai sekarang dan yang paling penting harus pintarlah, jawab frederick dengan tertawa. Universitas Sumatera Utara 45 Frederick mengakui kalau selagi di kelas ya kita tegur sapa layaknya anak lain, tapi kalau berbicara urusan pribadi mereka lebih suka dengan teman tionghoa, dan begitu juga frederick sebaliknya, mungki terpaut masalah suku, dan bahasa, tuturnya. Selain itu guru yang frederick lihat di Sutomo khususnya guru SMA kebanyakan orang kita Batak, lebih banyak jumlahnya dari guru tionghoa, dan sejauh ini frederick tidak terlalu peduli dengan penggunaan bahasa para guru karena menurut frederick itu merupakan pribadi masing- masing, karena frederick juga melihat ayahnya menggunakan bahasa batak dengan guru yang suku batak juga. Menurut frederick kesenjangan antara siswa yang tionghoa dan non tionghoa masih terlihat jelas, tetapi selama dia bersekolah tidak pernah mempermasalahkan hanya saja frederick mengetahui ada sedikit agak risih ketika berteman dekat, hal tersebut karena mungkin tidak terbiasa di lingkungan, dirumah juga tidak ada orang tionghoa tuturnya. Selain itu frederick juga tidak memahami sama sekali makna dari multikulturalisme. Nama : Samuel Kelas : XII IPA 2 Agama : Kristen Suku : Batak Informan yang berusia 18 tahun yang memiliki karakteristik orang batak terlihat dari tampilan fisik serta logat batak yang kental merupakan Universitas Sumatera Utara 46 siswa SMA Sutomo 2. Samuel merupakan siswa yang sedang duduk di kelas XII IPA II. Yang melatarbelakangi ia bersekolah di SMA Sutomo 2, medan adalah karena faktor dari orang tuanya sendiri yang menginginkan sekolah di situ, selain itu juga ia telah bersekolah di Sutomo sejak SMP, dan tinggal melanjutkan sekolah tersebut ke jenjang SMA. Samuel yang juga beragama kristen mengakui harapan yang besar ketika lulus dari SMA Sutomo untuk bisa masuk di Universitas Negeri. Samuel sendiri menyadari Sutomo 2 memiliki kelebihan dibandingkan sekolah negeri atau pun swasta lainnya. Misalnya fasilitasnya, pendidikannya, dan Sekolah di Sutomo 2 sangat terkenal di kota medan. Ketika di tanya mengenai interaksi antar siswa, Samuel mengakui bahwa itu tergantung sistem maksudnya bagaimana siswa saling membawakan dirinya sendiri dalam berteman. Karena kenyamanan kita berteman itu diri sendiri yang membuatnya bukan orang lain, ya kalau kita diam tentunya siapa yang akan mau berteman dengan kita. Apalagi disini mayoritas orang tionghoa. Samuel mengatakan bahwa tidak ada kesulitan dalam bergaul dengan mereka karena samuel juga fasih dalam berbahasa tionghoa, karena terbiasa mendengar dan di praktekkan baik di dalam dan diluar kelas. Samuel juga menyadari bahwa para siswa sendiri yang memilih temannya bukan karena pilih-pilih teman tetapi ia juga mengakui masih ada pengelompokkan di antara para siswa. Misalnya pada saat makan siang, jajan di kantin, pergi jalan-jalan keluar misalnya nongkrong, atau nonton. Cuma ia merasa tidak pernah di kucilkan, lagian siswa tionghoa semuanya mau bergaul dengan siapa saja, ya hanya saja untuk teman dekat ia mengatakan lebih senang berteman dengan yang berasal dari orang kita sendiri. Ketika di tanya mengapa hal tersebut Universitas Sumatera Utara 47 terjadi ia mengatakan kurang begitu tau, nyaman sih nyaman berteman dengan mereka ya hanya saja ini berbicara masalah nyambung atau gak, karena terkadang ia merasa tidak nyambung, tuturnya. Samuel mengatakan bahwa para guru juga menekankan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah hanya saja paling di ulangi lagi, tidak hanya itu saja sesama guru terkadang menggunakan bahasa daerah jadi ya tidak ada masalah sama sekali, itukan tergantung pribadinya. Samuel juga memahami makna multikulturalisme bahwa indonesia ini terdiri dari banyak budaya, oleh karena itu samuel merasa tidak ada yang berbeda dari siswa di sini walaupun mereka etnis tionghoa ya walau terkadang masih suka ejek- ejekan misalnya bilang “ Kau cina atau kau batak” ya paling hanya ejekan becandaan. Samuel mengatakan bahwa adanya sikap yang tidak mau terbuka dengan suku ataupun agama lain di karenakan mungkin belum terlalu kenal lama. Nama : Giovanie Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 17 Tahun Kelas : XII IPS 2 Agama : Buddha Suku : Tionghoa Giovanie yang berusia 17 tahun memilih bersekolah di SMA Sutomo 2, Medan dikarenakan sekolah favorit di kota Medan, selain itu ia juga Universitas Sumatera Utara 48 mendengar daripihak keluarganya yang merekomendasikan sekolah tersebut kepada orang tuanya dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMA di Sutomo 2. Pada awalnya ia merupakan siswa pindahan yang berasal dari Pulau Jawa, kepindahannya di karenakan ikut orang tua. Giovanie mengatakan merasa senang bisa bersekolah yang secara etnis dan agama mayoritas tionghoa dan juga buddha, hal tersebut di karenakan baik agama, etnis semuanya sama. Selain itu guru di Sutomo 2 sangat baik dan pintar dalam memahami siswanya, tanpa ada perlakuan khusu terhadap siswanya. Guru yang tionghoa sangat toleransi dalam menempatkan penggunaan bahasa daerah misalnya pada saat berbincang berdua dengan siswanya memnggunakan bahasa daerah tetapi kalau dalam kelas gurunya tidak akan menggunakan bahasa daerah. Pengalaman Giovanie semenjak di sekolah tersebut sangat senang karena dapat memiliki teman baru selain itu ia merasa nyaman bisa berkomunikasi dengan teman yang tionghoa karena dirinya tidak fasih menggunakan bahasa hokkien, sejujurnya ia mengatakan jauh lebih senang bergaul dengan yang tionghoa di bandingkan dengan suku lainnya, tetapi Giovanie pernah mengalami pengalaman buruk pada saat tahun pertama bersekolah di Sutomo 2. Giovanie menganggap teman yang setia kawan yang berasal dari non tionghoa di banding orang tionghoa itu sendiri. Giovanie menyadari terjadi kesenjangan di antara para siswa terbukti dengan adanya Genk yang biasanya anggotanya berasal dari siswa tionghoa yang bertujuan untuk pilih- pilih kawan tuturnya. Giovanie berkata bahwa “ Untuk apa memilih kawan walaupun sesama suku maupun agama kalau sifat dan tingkahnya tidak baik ya buat apa di temani “. Selain itu ia juga menyadari Universitas Sumatera Utara 49 keterbatasannya di dalam menggunakan bahasa daerah, dan mungkin faktor itu juga yang membuatnya merasa minder berteman dengan teman yang tionghoa. Semakin lama ia merasa heran mengapa temannya mengelompokkan sesama teman misalnya yang non tionghoa dengan yang non tionghoa dan sebaliknya begitu. Kalau sebatas interaksi teman, ya semuanya berteman tutur Giovanie. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk bersifat terbuka untuk kesemua temannya, tanpa memilih siapa-siapa saja karakteristik temannya. Tetapi kalau masalah agama ia tidak pernah mendengar masalah perbedaan sebaliknya masalah suku yang sering di perbincangkan dan sangat jelas perbedaannya. Saat ini teman dekat ia berasal dari non tionghoa, selai itu Giovanie juga mengakui bahwa ada beberapa temannya pernah menjelek- jelekkan siswa non tionghoa karena giovanie dekat dengan mereka, tetapi giovanie berfikir secara rasional, buat apa membedakan orang toh diri sendiri saja belum tentu baik. Semuanya sama saja semua pada makan nasi hanya saja merk beras yang berbeda tuturnya. Nama : Tria Widya Aprillia Kelas : XII IPA 2 Agama : Islam Suku : Jawa Gadis yang bernama tria merupakan siswa yang sedang duduk di bangku kelas XII IPA 2 di SMA Sutomo 2, Medan. Tria telah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut di mulai sejak dari SD bahkan SMP dan SMA pun juga bersekolah di disitu. Tria mengatakan banyak sekali keuntungan Universitas Sumatera Utara 50 bersekolah di Sutomo selain menambah wawasan bisa berteman akrab dengan yang berbeda secara agama, suku dan budaya, sangat jarang orang kita non Tionghoa bisa berkawan dengan mereka tuturnya. Seingat Tria pada saat pertama sekali dia masuk sekolah pada masa SD, ia tidak menyukai sekolah tersebut, karena ia tidak mengerti apa arti bahasa yang mereka gunakan, mungkin karna saya masih anak-anak celotehnya. Keminderan pasti menjadi hal utama mengapa ia enggan sekolah, tapi seiring berjalannya waktu malahan tria sangat fasih berbahasa daerah Hokkien, ini jadi keuntungan tersendiri bagi tria jadi kalau ada siswa yang sedang bertengkar dengan saya dan menggunakan bahasa hokkien maka ia tau, tegasnya. Tria mengatakan selama bersekolah di Sutomo tidak ada perlakuan khusus sama sekali dari pihak guru, malah semua pukul rata baik nilai, perlakuan. Kalau kita pintar ya akan mendapat juara dan sebaliknya jika kita bodoh ya tetap aja bodoh juga ungkapnya. Para guru juga saling memahami satu sama lain, misalnya tidak menggunakan bahasa daerah pada saat mengajar, ya tapi kalau di luar kelas misalnya seorang siswa yang tionghoa berbicara bahasa daerah dengan guru tersebut pasti guru tersebut berbahasa daerah juga, malahan tria juga menggunakan bahasa daerah dengan guru tionghoa dikarenakan lebih fasih dan lebih afdol berkomunikasi, pernyataannya. Tria mengatakan tidak ada kesulitan dalam berinteraksi dengan teman yang tionghoa, pandai pandai kita dalam berkawan. Kalau cari musuh gampang kalau cari kawan susah, selain itu tria memaparkan jika pandai berbahasa daerah jauh lebih bagus karena bisa menambah keakraban dengan teman yang lain karena di sekolah ini mayoritas tionghoa ya mau tidak mau Universitas Sumatera Utara 51 setiap siswa yang non Tionghoa harus mampu beradaptasi dan mempelajari budaya mereka sebaliknya kita juga bisa bertukar informasi misalnya pada saat imlek, lebaran kita suka pada datang kerumah – rumah, dan halal bihalal di kelas dengan guru-guru. Tria mengatakan ada beberapa siswa yang terkadang sombong, dan suka mengelompok, biasanya mungkin karena lebih pintar, tetapi pemandangan di sekolah ini khususnya di kelas tria, banyak juga temannya yang Tionghoa lebih suka dengan teman yang Tionghoa juga, ya namanya secara bahasa, budaya sama. Begitu juga dengan tria lebih suka dengan siswa yang Non Tionghoa di banding siswa Tionghoa, tetapi pada saat di kelas tria duduk dengan siswa yang Tionghoa alasannya karena sudah temanan dari SD jadi sudah seperti saudara sendiri ungkapnya. Tria berharap tidak ada lagi pandangan negatif tentang SARA, karena semua orang sama maka harus bisa bersosialisasi, lagian di Sutomo 2 juga banyak siswa yang seperti tria non Tionghoa dan sejauh ini tidak pernah ada masalah, semuanya sama saja. Nama : Adrian William Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 18 Tahun Kelas : XII IPA 3 Agama : Buddha Suku : Tionghoa Universitas Sumatera Utara 52 Informan Adrian merupakan salah seorang siswa yang sedang duduk di bangku kelas XII IPA 1, siswa yang berusia 18 Tahun ini memiliki alasan mengapa ia bersekolah di SMA Sutomo 2, Medan di karenakan ia sudah bersekolah dari sejak SD dan merupakan pilihan orang tuanya. Selain itu ia juga memiliki alasan tersendiri memilih sekolah tersebut, orang tua adrian tidak akan mungkin menyekolahkannya di lingkungan Non Tionghoa misalnya di Sekolah Negeri karena pastinya akan di kucilkan, selain itu adrian juga mendengar pengalaman teman-temannya yang pernah bersekolah di Sekolah Negeri, dan mereka di kucilkan dan bahkan di Bully dan di ejek-ejek dengan kata-kata “ China”. Menurut adrian padahal siswa yang Non Tionghoa yang bersekolah di Sutomo 2 tidak pernah di diskriminasi bahkan di kucilkan, malah kita semua saling toleransi dan bahkan mengajari berbahasa daerah. Menurut adrian tidak ada kesulitan berinteraksi dengan siswa yang Non Tionghoa karena ia juga belajar bahasa Indonesia baik di sekolah dan di luar sekolah, selain itu ia juga mendapat les tambahan di rumah berupa bimbingan belajar, dan pengajarnya adalah orang non Tionghoa. Semua siswa saling berbaur ya paling yang sedikit berbeda pada saat berteman dekat tentunya berteman dekat dengan siswa yang secara budaya dan agama yang sama, tetapi masalah agama tidak pernah di permasalahkan, karena orang Tionghoa juga banyak yang beragama Kristen dan Islam, tegasnya. Menurut adrian tidak ada yang di permasalahkan mengenai agama, dan suku mungkin lebih pada kenyamanan dan tidak terbiasa berinteraksi. Tidak hanya itu saja pada saat berinteraksi di kelas adrian mengatakan bahwa di kelasnya semuanya orang Tionghoa jadi ya mau tidak mau pasti dekatnya ya dengan non Tionghoa, tetapi adrian juga memiliki teman yang Universitas Sumatera Utara 53 non Tionghoa, malahan punya eksul bareng basket. Komunitas ya tentu pasti ada, kan lebih nyaman dengan yang sama dengan kita di banding yang berbeda, tuturnya. Hanya saja yang disesalkan Adrian mengapa sampai sekarang masih ada tindakan diskriminasi, seperti yang ia dengar dari seniornya yang berkuliah di Universitas Negeri masih mendapat diskriminasi, dengan di kucilkan padahal menurutnya banyak juga orang yang menggunakan bahasa daerah misalnya batak, jawa, tetapi mengapa berbahasa hokkien terkesan di musuhi. Besar harapan adrian untuk bisa mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada UGM maka dari itu di mulai dari sekarang adrian lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, agar tidak kesulitan pada saat berinteraksi dengan teman di bangku perkuliahan kelak. Adrian juga mengatakan bahwa para guru di Sutomo 2 juga lebih banyak orang non Tionghoa, lagian menurut ia Guru yang ada di SMA Sutomo 2 juga sangat pintar dalam mengajar, adrian juga membandingkan kepintaran guru yang non tionghoa dibandingkan dengan yang tionghoa, berdasarkan perbandingan dirinya guru yang Non sangat pintar bahkan guru- gurunya juga mengajar di Universitas baik swasta maupun Negeri. Tetapi pada saat guru yang berbicara sesama Tionghoa tentunya akan berbahasa Hokkien juga, toh guru-guru juga seperti itu menggunakan bahasa daerah masing- masing. Semuanya sama-sama pengertia saja tanpa ada merasa di rugikan. Selama tidak pernah ada konflik yang terjadi tuturnya. Nama : Denny Wijaya Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 17 Tahun Universitas Sumatera Utara 54 Kelas : XI IPA 2 Agama : Buddha Suku : Tionghoa Informan Denni merupakan salah satu seorang siswa dari kelas XI IPA 2, siswa yang berusia 17 tahun dan bertempat tinggal di jalan pertempuran ini, memiliki latar belakang mengapa ia bersekolah disini, adalah karena orang tuanya telah menyekolahkannya semenjak SD, SMP, bahkan SMA. Ia mengatakan karena menghemat biaya kalau pindahan setiap jenjang kelas dan gratis paling hanya bayar uansg sekolah dan buku. Seingat deni waktu pertama masuk sekolah ia sedikit sulit berinteraksi dengan siswa yang non Tionghoa, terutama dalam penggunaan bahasa. Deni mengakui bahasa Indonesianya dulu sangat sulit, tetapi lama kelamaan sudah terbiasa menggunakannya, apalagi setiap kenaikan kelas Deni selalu sekelas dengan teman yang non Tionghoa. Menurut deni, setiap siswa yang ada di SMA Sutomo 2, hubungan pertemanannya baik-baik saja, malahan deni mengakui sering kerja kelompok bareng pada saat tugas di sekolah. Guru-guru nya juga tidak ada perlakuan khusus sama sekali, malahan sering menekankan penggunaan bahasa Indonesia, lagian di kelas deni guru bahasa Indonesia nya malahan orang kita Tionghoa tuturnya. Pengakuan deni ketika berbicara dengan guru Tionghoa, misalnya deni memakai bahasa daerah gurunya terkadang menegurnya untuk menggunakan bahasa Indonesia, tapi menurut deni itu tergantung gurunya juga. Peraturan di sekolah ya pasti ada, hanya saja terkadang siswanya saja yang bandel. Berupa sangsi penggunaan bahasa daerah juga tergantung gurunya, misalnya pada saat di Laboraturium ketahuan guru atau assisten lab Universitas Sumatera Utara 55 menggunakan bahasa daerah pasti di hukum menegerjakan tulisan sebanyak 50 Halaman tuturnya. Sejujurnya deni merasa “Klop” dengan teman yang Tionghoa, tujuannya bukan bermaksud pilih-pilih teman, hanya saja terkadang susah berkomunikasi menggunakan bahasa campuran. Beruntung kalau dapat lawan bicara yang mengerti bahasa daerah. Kalau dapat teman yang harus di translate kan lagi, ribet ngomongnya, ungkapnya. Berteman ya dikelas saja tidak pernah keluar dengan mereka. Semacam genk ataupun kelompok pasti ada, seperti yang deni katakan di atas pembentukan kelompok semacam ada rasa persamaan, nyaman dan merasa dekat, ya semua orang kan punya teman dekat, jadi menurut deni teman dekat yang paling comfort , ya teman dari Tionghoa. Baik di dalam kelas juga, deni dari dulu duduk dengan siswa Tionghoa. Konflik yang berkaitan dengan agama ataupun suku, menurut deni ada paling hanya ejek-ejekan saja, selebihnya kita baikan di tempat. Paling parah pernah ada sampai pukul-pukulan di kelas, terus langsung di bawa ke BP dan langsung baikan. Mnurut deni buat apa bertengkar untuk mempermasalahkan perbedaan apalagi zaman sekarang ini semuanya itu sama, globalisasi yang memimpin siapa yang pintar dia yang menang. Harapan deni kedepannya jangan pernah lagi memandang negatif untuk suku ataupun agama yang minoritas, karena semua orang itu baik apa adanya kita sama-sama Indonesia,ucapnya. Nama : Farhan Surbakti Jenis Kelamin : Laki-laki Universitas Sumatera Utara 56 Usia : 16 Tahun Kelas : X-3 Agama : Islam Suku : Karo Informan Farhan merupakan salah satu siswa yang duduk di bangku sekolah SMA kelas X-3, siswa yang berusia 16 tahun ini mempunyai latar belakang tersendiri bersekolah disini, pertama di karenakan setahu farhan sekolah Sutomo 2 terkenal dengan muridnya pintar, jadi farh pengen melihat seberapa pintar orang-orang Tionghoa, atas dukungan orang tuanya maka jadilah farhan bersekolah di SMA Sutomo 2, dan sebelumnya farhan juga telah bersekolah semenjak SMP. Farhan mengakui fasilitas yang ia dapatkan di sekolahnya ini. Selain itu ternyata siswa yang non Tionghoa tidak kalah dengan yang Tionghoa terbukti di kelasnya saat ini yang memegang juara 1 adalah orang Non Tionghoa. Farhan mengakui pada saat berkomunikasi sebenarnya ada kesulitan terbentur masalah bahasa, sejujurnya farhan lebih nyaman dengan yang Non Tionghoa juga walaupun bukan satu suku tutur siswa yang bersuku karo ini. Selain itu tidak pernah ada permasalahan agama, ya paling siswa yang Tionghoa sedikit “ Kreak” ungkapnya. Dalam hal ini tingkah mereka terkadang suka-suka aja, tapi ya menurut farhan selagi kitanya tidak pernah ada masalah ya, paling di biarkan aja. Paling kalau sudah keterlaluan biasanya siswa tersebut “main di luar” maksudnya adalah berkelahi di luar sekolah, kalau di sekolah bisa-bisa di pecat dan malas berurusan dengan guru tuturnya. Universitas Sumatera Utara 57 Menurut farhan siswa yang Tionghoa masih suka berkelompok sesama mereka, jadi siswa yang Non Tionghoa mungkin merasa minder karena dari segi fisik, bahasa ya berbeda. Sebenarnya tidak ada yang perlu di pikirkan. Guru juga menekankan persamaan bahwa kita juga sama tidak ada yang beda, tapi lagi-lagi siswanya juga yang bandel jujurnya. Farhan juga bahkan bisa menggunakan bahasa Hokkien, tapi farhan merasa canggung kalau mengucapkan, ya paling ketika ngobrol siswa yang Tionghoa pengertian sendiri berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Lagian di sekolah ini khususnya yang SMA, guru-gurunya kebanyakan orang kita selain itu siswa nya kan juga banyak juga orang kita. Terkait masalah agama, Farhan yang juga menganut agama Islam, tidak ada larangan untuk menganut agama, semua yang disekolah ini punya kebebasan beragama karena di pelajari 3 agama yaitu Islam, Kristen, dan juga Buddha. Siswa yang beragama Islam juga di perbolehkan memakai jilbab. Gurunya juga yang beragama islam juga memakai jilbab. Tidak ada larangan sama sekali. Saat ini teman dekat farhan adalah siswa yang non Tionghoa walaupun teman sebangkunya adalah siswa Tionghoa. Penuturannya menjelaskan bahwa farhan merasa lebih kompak aja kalau temannya sama dengan dia. Nama : Kevin Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 17 Tahun Kelas : XI IPS 2 Universitas Sumatera Utara 58 Agama : Buddha Suku : Tionghoa Kevin adalah salah satu siswa yang bersekolah di Perguruan Sutomo 2 sejak dari SD, dan kevin beranggapan bahwa ia sama sekali tidak pernah merasakan adanya diskriminasi terhadap sesama siswa, kevin beranggapan bahwa interaksi di sekolah ini baik-baik saja, lagian kebanyakan siswa yang berasal dari sutomo biasanya juga bisa berbahasa hokkien dan memang kevin mengakui bahwa sebenarnya ada semacam kesalahan dalam berbahasa daerah, tapi kevin menegaskan bahwa itu kan bahasa yang harus di lestarikan, semua orang bebas menggunakan bahasa daerah. Tidak hanya itu saja kevin mengakui bahwa sanya tidak pernah ada konflik yang besar antara siswa hanya karena permasalahan suku atau pun agama, toh semuanya baik tidak pernah ada yang mengajarkan untuk saling memusuhi, malah sebaliknya jika ada yang mengompor-ompori berarti dia belum dewasa donk, tegas kevin. Masalah kenyaman dalam berinteraksi sebenarnya individualnya dan kevin sendiri tidak pernah menutup akses untuk siapa saja yang ingin berteman dengannya. “Sah- sah saja kalau kita mau berteman, karna kita sendiri kan tau mana yang baik dan buruk, paling kalau salah ya kita tegur lah” tegasnya. Kevin mengatakan bahwa banyak juga siswa yang campuran misalnya bapak dan ibunya menikah berbeda suku, bapaknya tionghoa dan mama nya pribumi, tidak ada yang beda antara Tionghoa ataupun suku lain, apalagi masalah agama sama sekali tidak pernah ada pernyataan yang menyimpang. Kevin mengatakan guru disini juga kebanyakan mengerti bahasa hokkien jadi Universitas Sumatera Utara 59 ya biasa aja kalau mendengar siswanya berbicara bahasa daerah, paling hanya guru-guru tertentu saja yang menegur menggunkan bahasa daerah. Selain itu kevin sama sekali tidak mengerti mengenai multikultural. Nama : Michael Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 18 Tahun Kelas : XII IPA 3 Agama : Kristen Suku : Tionghoa Michael merupakan salah satu siswa yang sedang duduk di bangku kelas XII IPA 3 yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama kristen, michael mengatakan bahwa ia mulai masuk di Perguruan Sutomo sejak SMA, dan sampai pada dia menginjak kelas 3, ia sama sekali tidak meraskan adanya perbedaan yang mencolok antara non Tionghoa dan Tionghoa semuanya sama saja, menurut michael, bahwa pergaulan yang ada di sekolahnya tergolong biasa-biasa saja selayaknya pertemanan yang ia temukan di sekolahnya sebelumnya. Michael melihat dari segi agama, suku, bukan menjadi penentu dalam pemilihan teman, karena michael beranggapan mereka sudah semacam saudara khususnya kelas XII IPA 3, yang juga telah berteman sama sejak kelas XI dan tidak ada kesulitan dalam berinteraksi dengan yang non Tionghoa, karena di kelasnya tidak ada yang siswa non Tionghoa, jadi wajar saja kalau michael Universitas Sumatera Utara 60 tidak merasa ada perlakuan khusus apapun. Tapi sejauh ini ia tetap menjalin hubungan erat dengan teman lainnya. Pertemanan yang berkelompok biasanya dikarenakan sudah saling dekat, dan michael juga mempunyai teman dekat dan juga berasal dari yang Tionghoa, dan michael mengatakan karena sejak kecil ia sudah berteman dengan yang Tionghoa jadi sampai sekarang terbawa-bawa, michael juga mengatakan sama saja seperti yang lainnya kalau terbiasa berteman dengan yang non Tionghoa pasti akan jauh lebih nyaman dengan sesama. Informan Guru 1. Nama : Thompson S Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 48 Tahun Agama : kristen Suku : Batak Bidang Studi : Sosiologi sekalian merangkap sebagai Wakil Kepala Sekolah SMA Sutomo 2 Bapak Thomson merupakan salah satu seorang guru di SMA Sutomo 2 Medan, yang mengajar pada bidang studi Sosiologi dan juga sekaligus memegang jabatan sebagai wakil kepala sekolahdi tingkat SMA, bapak Universitas Sumatera Utara 61 Thompson dulunya juga merupakan mahasiswa di Fisip Usu jurusan Administrasi Negara. Menurut bapak Thompson, interaksi siswa yang terjadi dengan baik jika siswanya berasal dari sd , karena bahasa sebagai jembatan, dan sebagai pengantar tetapi jika dari SMA, ibaratnya hanya 3 tahun biasanya akan daa kesulitan dalam bersosialisasi, umumnya sekoalh kita karena 98 mereka berasal dari SMP, tentu ga akan sulit karena kawannya dari smp , anak luar akan di terima hanya sekitar 4- 5 orang saja, baik itu pribumi dan non pribumi. Itu saja perbedaan, kalau berasa dari smp , bahasa interaksi mereka bahasa hokkien, bahkan orang batak dan padang sama- sama bahasa hokkien tapi karena proses sosialisasinya akan mudah dan biasanya akan berkelompok atas agama, tapi kan tidak terlalu banyak jika 4-5 orang tentu tidak akan signifikan kalau dia pindah ke sekolah lain akan ada kesulitan, kalau proses sosialisasi pribumi dan non pribumi tidak ada masalah lagi, karena sudah temanan sudah sejak lama, menurut ia anak- anak tidak mengenal agama, suku tanpa ada membeda-bedakan justru menurutnya orang dewasalah yang membuat ribet dan membuat kelompok antara golongan kaya miskin, golongan orang pintar dan orang bodoh, dan yang paling sensitif adalah pengelompokkan antara suku dan agama. Menurut bapak Thompson anak-anak tidak mengenal sama sekali agama mau muslim, kristen, buddha. Ternyata menurut ia lebih toleransi anak- anak kecil dibandingkan siswa yang sudah memasuki jenjang SMP,SMA. Terkait masalah agama, untuk siswa SMA yang berasal dari jurusan IPS kelas 2 hanya 6 orang siswa yang menganut agama islam, diantara para siswa tersebut merupakan pribumi karena di sekolah ini sangat sedikit pribumi. Universitas Sumatera Utara 62 Bapak Thompson juga mengakui bahwa peraturan penggunaan bahasa Indonesia berasal dari pemerintah dalam kegiatan belajar mengajar namun setelah reformasi tidak ada seperti itu lagi. Bahkan 1-2 guru yang Non Tionghoa bisa menggunakan bahasa daerah dan sebaliknya guru Tionghoa juga bisa berbahasa batak. Bapak Thompson mengatakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar Tidak terlalu nampak ksenjangan dalam arti pengelompokan suku etnis, karna rata-rata siswa pribumi yang bersekolah disini bukan berasal dari pribumi asli, tetapi campuran dengan etnis Tionghoa, dan biasanya kalau sudah berteman sudah sejak SD bahkan TK tidak akan terlihat kesenjangan. 2. Nama : Lilis M Usia : 45 Tahun Agama : kristen Suku : Tionghoa Bidang Studi : Bahasa Indonesia Ibu lilis merupakan salah satu guru yang mengajar pelajaran bahasa Indonesia, yang juga berasal dari etnis Tionghoa. Lilis mengakui sendiri bahwa ia sebagai etnis Tionghoa tidak memandang perbedaan sama sekali hal tersebut terbukti dengan adanya perkawinan campuran diluar dari etnisnya. Lilis yang juga bekerja di sekolah negeri dan berstatus sebagai PNS mengakui pada saat belajar ngajar di SMA sutomo 2, ia merasa bahwa selaku sebagai guru harus berlaku selayaknya seorang guru, harus mencerminkan bagaimana bahasa Indonesia harus di praktekkan baik di dalam kelas maupun di luar Universitas Sumatera Utara 63 kelas. Walaupun ia etnis Tiongoa tetapi pada saat berbicara dengan siswa yang Tionghoa juga maka saya menggunakan bahasa Indonesia juga. Ia beranggapan bahwa sebagai seorang guru harus mampu merangkul semua siswa tanpa adanya menciptakan kesenjangan di antara siswa. Semua siswa harus merasa nyaman dengan setiap guru, jadi tidak ada batasan – batasan antara siswa yang Tionghoa dan Non Tionghoa. Itulah yang ingin di capai dari pihak sekolah agar tidak adalagi perasaan diskriminasi. Sejujurnya ia mengakui bahwa masih ada kesenjangan apalagi terjadi pada saat tahu 60- an. Terkait penggunaan bahasa daerah, ia mengatakan bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan alam sebagai keanekaragaman budaya di indonesia tetapi pada saat di jam kelas saya wajib menggunakan bahasa Indonesia. Langkah untuk mengubah sikap siswa yang sedikit tertutup dan cenderung ingroup haruslah berasal dari siswa itu sendiri di butuhkan kesadaran untuk mengubahnya, dari pihak guru sendiri terutama sekolah telah berupaya dalam mengajar dengan baik. 3. Nama : Hendra Agama : Buddha Umur : 41 Jabatan : Sebagai Kepala Sekolah SMA Sutomo 2, Medan Menurut Kep.sek yang yang memimpin tingkatan SMA, bahwa interaksi yang terjadi diantara siswa baik-baik saja karena pada dasarnya siswasudah saling mengenal satu sama lain. Bahkan telah berkenalan sejak masa SD, bahkan terkadang siswa disini sudah berkenalan sejak TK. Jadi Universitas Sumatera Utara 64 masalah perbedaan tidak ada lagi dan menurut kepala sekolah SMA ini, dirinya sangat tidak menyukai permasalahan mengenai Agama, suku, budaya. Itu pembahasan terlalu sensitif menurutnya, karena etnis Tionghoa dan Pribumi kedua-duanya adalah bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia ditegakkan dengan sangat jelas, terutama dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi kalau berbahasa daerah wajar-wajar saja menurutnya hal tersebut di karenakan itukan hak pribadi setiap orang dalam setiap budaya yang di milikinya, begitu juga dengan guru yang mengajar disini, guru batak, jawa, padang, dll tidak ada permaalahan jika mereka berbahasa daerah, itu semua lumrah. Tapi kalau di dalam kelas ya berbahasa Indonesia. Menurut Kep. Sek SMA ini sebisa mungkin menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya saja karena lingkungan disini bermayoritas Tionghoa sedikit ada kesulitan tetapi siswa nya saling mengerti satu sama lainnya dalam penempatan bahasa daerah. Toleransi dalam hal beragama menurut Kep.Sek SMA ini sanat tinggi semua siswa yang beragama Islam, Kristen, Buddha diberikan kebebasan dalam menjalankan nilai-nilai agama mereka sendiri. Tidak ada larangan sama sekali walaupun disekolah ini sangat terlihat jelas mayoritas etnis Tionghoa dan Non Tionghoa tetapi itu bukanlah menjadi patokan akan adanya perbedaan ataupun semacam perlakuan khusus terhadap siswa atau siswa Tionghoa, tuturnya. 4.Nama : H. Hanidar Agama : Islam Umur : 49 Tahun Universitas Sumatera Utara 65 Bidang Studi : Agama Islam Ibu Hanidar merupakan guru agama islam yang mengajarkan pendidikan di SMA Sutomo 2, Medan, ia mengatakan bahwa ada siswa etnis Tionghoa ada juga beragama islam, kesulitan mengajar siswa beragama islam terkait dengan susah membaca alquran,hal tersebut di karenakan biasanya siswa Tionghoa yang beragama islam merupakan etnis Tionghoa campuran, tidak ada Tionghoa asli yang beragama islam. Sejauh yang ibu hanidar perhatikan pada saat belajar mengajar di kelasnya tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol, misalnya pada saat duduk di ruangan kelas belajar agama duduknya tidak ada perbedaan antara etnis Tionghoa dan Non Tionghoa semua berbaur. Konflik saling ejek-ejekkan tidak pernah ada. Ibu hanidar Mengatakan bahwa peraturan penggunaan bahasa indonesia merupakan keharusan, gurunya juga harusnya berbahasa indonesia tetapi di karenakan lingkungan etnis Tionghoa jadi gurunya menggunakan bahasa daerah Tionghoa juga, dan hal tersebut sudah di maklumi oleh guru yang Non Tionghoa. Guru yang etnis Tionghoa mau berbahasa daerah karena di SMA Sutomo 2 mayoritas etnis Tionghoa kecuali guru atau siswa tidak pandai berbahasaa daerah maka mereka berbahasaha Indonesia juga tetapi jarang yang tidak bisa menggunakan bahasa daerah mereka.Selain itu ibu hanidar mengakui hanya sedikit saja guru yang Tionghoa terbuka masih ada beberapa guru yang tertutup dan memiliki sikap cenderung in group, tetapi semakin dunia modern guru yang Tionghoa mau bergabung dan menyadari makna dari nasionalisme. Ibu hanidar mengatakan bahwa terdapat kesenjangan di antara siswanya di karenakan prinsip orang cina mau bergaul dengan etnis lain jika Universitas Sumatera Utara 66 siswa tersebut memiliki kepintaran, tetapi jika siswa etnis Non Tionghoa hanya ingin bermain-main saja, maka siswa tersebut tidak akan mau berteman dekat tetapi siswanya tetap berteman saing berbaur. Selain itu ibu hanidar mengatakan bahwa Sanksi penggunaan bahasa daerah tidak ada khususnya di sekolah ini. Kalau dalam kelas berbahasa indonesia, tetapi kalau diluar kelas menggunakan bahasa mereka, tetapi kalau siswa Non Tionghoa telah bersekolah di di TK bisa berbahasa daerah dan bisa berteman lebih akrab di bandingkan dengan siswa yang masuk dari SMA. Universitas Sumatera Utara 67 4.3 Interpretasi Data 4.3.1 Bentuk Interaksi Sosial Siswa