93
Namun berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan yang saya temukan terdapat kesenjangan yang terjadi antar siswa dan tentunya guru
beranggapan bahwa semuanya baik-baik saja, karena siswa tentunya ingin mendapatkan perhatian dari guru sebgai siswa yang berbudi pekerti baik dan
berprestasi di kelas tanpa adanya permasalahan yang berarti. Solidaritas yang terjalin di antara siswa berdasarkan penelitian penulis di lapangan tidak
berjalan dengan baik. Hal tersebut terpapar dari beberapa pernyataan siswa yang mengatakan bahwa pola pergaulan mereka sebatas hanya di kelas saja,
itupun hanyalah sebagai teman biasa bukan teman dekat. Dalam hal ini solidaritas yang dibangun oleh pihak sekolah belum cukup memadai karena
terlihat dari sikap dan tingkah laku para guru yang tidak segan- segan berbicara dengan siswa yang berbahasa daerah.
4.5.1 Asimilasi dalam Interaksi Sosial Siswa
Proses asimilasi merupakan pembauran dua kebudayaan yang disertai denga adanya suatu usaha untuk mengrangi perbedaan yang ada dalam suatu
kebudayaan. Asimilasi dalam penelitian ini dilihat melalui proses interaksi sosial siswa. Melalui interaksi para siswa yang berasal dari kebudayaan
berbeda, seperti yang telah penulis paparkan bahwa kondisi SMA Sutomo 2, Medan berasal dari etnis Tionghoa dan juga etnis lainnya, akan tetapi yang
begitu mendominasi yaitu dengan etnis Tionghoa.
Terkait dengan adanya sikap ingroup yang terjadi pada pergaulan siswa dalam hal ini, proses asimilasi tentunya tidak terjadi dengan baik. Hal
tersebut dikarenakan seharusnya proses asimilasi terjadi dengan baik tanpa adanya batasan perbedaan baik antar individu maupun kelompok. Hal tersebut
dikarenakan setiap siswa memiliki sikap untuk memperhatikan kepentingan
Universitas Sumatera Utara
94
tujuan bersama, namun pada kenyataannya proses asimilasi tidak terjadi dengan sebagaimana yang di harapkan, pemaparan para siswa sendiri
mengakui masih adanya perasaan kesenjangan. Siswa berinteraksi hanya sebatas teman di kelas, sementara syarat terjadinya proses asimilasi hanya
dapat terjadi jika pergaulan antar individu atau kelompok terjadi secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama. Memang berdasarkan pengakuan
para siswa dan bahkan guru mengatakan bahwa siswa akan merasa nyaman bergaul dengan siswa yang berasal dari budaya yang berbeda jika siswa Non
Tionghoa maupun Tionghoa telah bersekolah melalui jenjang SD, SMP kalau hanya berskolah pada tingkat SMA akan tidak terbiasa khususnya untuk
kalangan siswa yang Non Tionghoa. Tetapi kalau untuk siswa yang Non Tionghoa sekalipun telah
bersekolah lama, belum tentu bisa berteman dekat dengan siswa Tionghoa. Interaksi siswa dalam hal ini belum menunjukkan keterbukaan, hanya saja
terkait dengan sikap toleransi dan saling menghargai. Beberapa faktor pendorong yang mempemudah terjadinya asimilasi sala satunya toleransi yang
terjadi di antara para siswa, saat peneliti berada di lapangan ternyata siswa khususnya di tingkatan SMA Sutomo 2, Medan masih memiliki nilai toleransi
yang sangat tinggi baik dalam hal agama, perbedaan kebudayaan. Siswa masih saling hormat menghormati satu sama lain, hanya saja salah satu unsur
pendorong asimilasi dalam penelitian ini, keterbukaan belum dapat terjadi dengan baik, hal tersebut berkaitan dengan hasil penelitian di lapangan.
Ternyata hasil penelitian di lapangan ada beberapa siswa yang merupakan perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Non Tionghoa,
percampuran budaya tersebut berakibat lebih terbukanya siswa yang campuran
Universitas Sumatera Utara
95
tersebut. Hanya saja siswa yang berasal dari perkawinan campuran jauh lebih gampang untuk bersosialisasi dibandingkan siswa yang Tionghoa. Kebiasaan
yang terjadi di lingkungan keluarga membawa nilai-nilai tersebut mengalir di darah siswa yang campuran misalnya dari segi bahasa, siswa yang berasal dari
darah campuran di ajari bahasa daerah Tionghoa dan Batak seperti halnya salah satu siswa yang berasal dari tingkat SMA sebagai informan, berikut
pemaparannya : “ Ayah saya seorang keturunan Tionghoa dan ibu saya etnis Batak,
tetapi ayah saya membeli marga “ Sitohang”, dan saya bisa berbahasa Hokkien dan juga bisa berbahasa batak”.
Asimilasi yang tidak berjalan dengan baik khususnya sesuai dengan penelitian ini dikarenakan pengalaman masa lalu menp dirgenai diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa yang menjadikan kepribadian etnis Tionghoa menutup diri dengan etnis lainnya. Apalagi etnis Tionghoa merupakan
kelompok minoritas yang ada di Indonesia, maka dari itu pada saat anak dari etnis Tionghoa bersekolah di suatu sekolah yang mayoritas Tionghoa, maka
mereka memiliki rasa yang nyaman untuk bisa bergaul dengan sesama mereka tanpa adanya ketakutan dengan etnis lainnya. Ketakutan berasal dari
pengalaman yang sangat menyakitkan dan puncaknya pada tahun 1998. Tidak heran siswa yang berasal dari SMA Sutomo khususnya etnis Tionghoa
membentuk sikap yang tertutup lihat saja khususnya di kota Medan sangat jarang siswa yang Tionghoa bersekolah di sekolah negeri, bahkan swasta
sekalipun walaupun berkualitas sekalipun etnis Tioonghoa akan berfikir dua kali untuk menyekolahkan anak-anak mereka bergaul dengan etnis non
Tionghoa.
Universitas Sumatera Utara
96
Sikap yang cenderung ingroup di karenakan adanya pola sosialisasi yang didapat pada keluarga, lihat saja siswa yang menjadi informan
kebanyakan bertempat tinggal di daerah dekat sekolah, dan berdasarkan pengamatan peneliti bahwa daerah tersebut bermayoritas tionghoa jadi tidak
heran kalau dari lingkungan rumah saja terlihat ketertutupan dengan etnis lainnya, yang cenderung menutup diri. Tak heran jika pada saat di sekolah hal
demikian terjadi di lingkungan sekolah. Selain itu ada beberapa prasangka negatif yang membangun pola pemikiran siswa khususnya etnis Tionghoa
terhadap etnis lainnya, prasangka negatif itu lah yang membuat para siswa cenderung tertutup.
Untuk siswa yang non Tionghoa sendiri, mengakui sedikit merasa tidak nyaman hal tersebut sama juga dengan pemaparan siswa Tionghoa, yang
mengatakan bahwa memiliki perasaan yang tidak begitu nyaman, kecuali untuk siswa campuran. Selain itu para siswa Non Tionghoa juga mengatakan
bahwa kecanggungan dalam berteman dengan siswa Non Tionghoa di karenakan siswa tersebut tidak bertempat tinggal dengan lingkungan etnis
Tionghoa jadi pertemanan hanya terjadi di lingkungan sekolah saja. Hal tersebut yang menjadi perhatian, lihat saja sekolah etnis Tionghoa cenderung
membuat sekolah tersendiri walaupun siswa yang Non Tionghoa ada tetapi hanya sebagai kalangan minoritas saja, dibandingkan dengan sekolah yang
terbuka untuk umum seperti negeri ataupun swasta yang mayoritas Non Tionghoa, pasti tidak ada siswa Tionghoa di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
97
4.6 Implementasi Nilai Multikultural Mengenai Interaksi Sosial Siswa